• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pernyataan-Pernyataan Pemerintah

BAB III UPAYA PEMERINTAH UNTUK MEMUTUS

B. Pernyataan-Pernyataan Pemerintah

Sulit untuk menebak arah Indonesia sebagai negara pada masa Demokrasi Terpimpin. Pertama, karena sistem demokrasi berasal dari Barat, dan, Amerika Serikat merupakan negara demokrasi terbesar di dunia. Kedua, pemerintah menyatakan anti terhadap budaya Barat. Ketiga, penerapan demokrasi tidak berjalan dengan semestinya, karena rakyat tidak bergerak bersama-sama dengan pemerintah dalam menentukan arah negara. Terakhir, pandangan politik yang dipakai ialah pandangan yang mirip dengan yang ada di Uni Soviet, namun, istilah demokrasi tetap digunakan.

Musisi-musisi pop beraliran Barat lebih tepat dikatakan terombang-ambing akibat ketidakjelasan arah politik di era Demokrasi Terpimpin. Berbeda dengan para musisi yang berada di bawah naungan Lekra, di mana gaya bermusik mereka telah diarahkan sesuai dengan kehendak negara, musisi-musisi pop yang bermusik tanpa ada embel-embel politik mendapat tekanan yang lebih besar. Mereka dipaksa untuk mencampurkan politik ke dalam musik mereka, karena politik adalah panglima.

Sekali lagi sistem Demokrasi Terpimpin harus dipertanyakan. Salah satu anggota Koes Bersaudara, Yok Koeswoyo, tidak pernah mengatakan bahwa lagu-lagu mereka adalah bentuk perlawanan terhadap pemerintah atau pun sikap pro terhadap Barat.65 Kemudian, yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa mereka masih memainkan musik dengan lagu-lagu yang dilarang oleh negara? Apa yang membuat

65

mereka berani? Hal ini karena Pemerintah terlalu sibuk mengurusi kepentingan negara namun tidak melibatkan rakyat. Koes Bersaudara tidak memahami arti sikap pemerintah yang anti Barat. Tidak dilibatkannya rakyat dalam kebijakan-kebijakan negara bukan ciri khas dari demokrasi.

Soekarno, yang tidak mengetahui bahwa lenso adalah tarian yang serupa dengan cha-cha, memberikan tekanan kepada musisi-musisi pop. Bahkan, sebagai seorang presiden, ia secara langsung menegur Lilis Suryani karena lagu-lagunya yang dianggap kebarat-baratan, yang kemudian dilanjutkan dengan permintaan maaf dan janji dari Lilis Suryani untuk tidak menyanyikan lagu-lagu yang dilarang pemerintah.66

Pada bulan Agustus 1960, diadakan Musyawarah Besar Tentang Kepribadian Nasional di Salatiga yang bertujuan untuk membuat pedoman praktis dalam pelaksanaan tugas dan kegiatan budaya dalam rangka Manifesto Politik.67 Adalah Achdiat Karta Mihardja, satu di antara tiga pembicara dalam musyawarah tersebut yang menghembuskan rasa anti terhadap kesenian yang berasal dari Barat

66

Singers Ernie Djohan and Lilis Suryani were warned to change their stage presentation and style of clothing and made to promise they would not sing in the style of the Beatles...Lilis Suryani declared in a newspaper report that she had previously performed cengeng songs and had sung in the style of the Beatles, but she had only been following trends. She onlybecame aware of the error of her ways after reading about efforts to ‘stamp

out’ ‘Beatles-like’ songs, and she would not repeat her mistake.” (Penyanyi Ernies Djohan dan Lilis Suryani diperingatkan agar mereka mengganti gaya mereka di atas panggung dan agar mereka berjanji tidak lagi bernyanyi dengan gaya Beatles. Lilis Suryani mengatakan kepada media bahwa dia sebelumnya menyanyikan lagu-lagu cengeng dan bergaya a la The Beatles hanya karena mengikuti trend. Dia menjadi sadar atas kesalahannya setelah membaca pengumuman pelarangan lagu-lagu Beatles, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.) Steven Farram, 2007, op.cit., hlm.257.

67

Todd Jones, 2015, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 Hingga Reformasi, Jakarta: hlm. 115.

melalui dua saran pentingnya.68 Saran-saran tersebut sangat berpengaruh pada sikap pemerintah terkait dengan masalah budaya, karena Prijono, yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 1957, merupakan salah satu pelaksana musyawarah tersebut.

Setahun sebelum musyawarah besar berlangsung, tepatnya pada tanggal 30 Oktober 1959, perwakilan Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan mengeluarkan pernyataan yang menegaskan bahwa tarian Barat yang gila, rock’n roll, cha-cha, samba, dan sejenisnya, tidak dapat diterima oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, baik jika dilakukan di rumah maupun di tempat umum.69 Pada tahun 1960, Prijono mengeluarkan pernyataan terkait dengan persoalan seni yang diterima dan seni yang harus ditolak.70

Pada 14 Desember 1963, Presiden Soekarno di kediamannya di Istana Bogor mengeluarkan pernyataan yang dimuat dalam Harian Rakjat pada 15 November 196471 terkait dengan musik a la imperialis yang merusak moral.72 Tahun berikutnya,

68

Tod Jones mencatat dua saran yang disampaikan oleh Achdiat Karta Mihardja

dalam musyawarah tersebut, “Saran pertama adalah meningkatkan perlawanan, termasuk perlawanan negara, terhadap hiburan “murah dan sensasional” yang mengandung “akibat

yang merusak”. Saran kedua Mihardja adalah mendidik orang tentang bagaimana menghargai

seni yang baik sebagai cara untuk memerangi bentuk-bentuk seni yang komersial.” ibid., 117.

69

ibid., hlm. 119.

70 Pernyataan tersebut berbunyi, “[Izinkan] hal

-hal yang sesuai dengan semua karakteristik dari Revolusi kita dan terutama yang sesuai dengan sosialisme Indonesia, dan menolak segala sesuatu yang menentang atau bertentangan dengan ciri tersebut”. ibid., 121.

71

Jennifer Lindsay, dkk., op.cit., hlm 431.

72

Berikut isi pernyataan Soekarno dalam Harian Rakjat dalam terjemahan bahasa Inggris, “On 14 December 1963 at the Presidential Palace in Bogor, President Soekarno

called on artists to present songs in harmony with the ‘national character’ and suggested

that they no longer sing songs that weakened the revolution: ‘so that the romanticand

tepatnya pada penyelenggaraan Konferensi LMI di markas Ganefo 31 Oktober 1964, Sudharnoto selaku Ketua LMI, menyampaikan pernyataan yang menunjukkan kewaspadaan terhadap kebudayaan populer Amerika Serikat.73 LMI muncul sebagai lembaga yang berfungsi untuk kepentingan politik dan propaganda untuk menghapus pengaruh musik Amerika Serikat di Indonesia yang dinilai bertentangan dengan pandangan Indonesia sebagai Negara anti-imperialisme Barat.74

songs any more, or Manikebu songs, or sappy songs.” (Pada tanggal 14 Desember 1963 di Istana Kepresidenan, Bogor, Presiden menghimbau para seniman agar mempersembahkan lagu-lagu dengan harmonisasi yang berkarakter budaya nasional dan meminta agar mereka tidak lagi menyanyikan lagu-lagu yang melemahkan jalannya revolusi: Jadi, keromantisan dan kedinamisan dari Revolusi kita akan benar-benar dibangun kembali, dan jangan nyanyikan lagu-lagu ngak-ngik-ngok (rock’n roll), lagu-lagu Manikebu, dan lagu-lagu

cengeng’" ibid., hlm. 430-431.

73 Berikut bunyi pernyataan Sudharnoto, “Kita harus lebih waspada,

lebih ulet, dan lebih gigih melawan kebudajaan imperialis, terutama imperialis AS, jang dalam kenjataan masih terus-menerus mengantjam kita, dengan segala bentuk dan tjaranja. Timbulah lagu2 jang kegila-gilaan dan lagu2 tjengeng dewasa ini adalah akibat serangan djahat kebudajaan

imperialis AS dalam bentuk mendjalankan lagu2 ‘dive-rythm-music’ ala Elvys Presley dan

lagu2, ‘sex dream’ ala Tommy Sands. Umpanan2 musik dekaden mereka sebarkan sedjalan

dengan serangan2 terhadap Rakjat kita di bidang politik, ekonomi, sedjadjar djuga dengan pers mereka setjara imoral hendak mendjatuhkan nama/baik pribadi Pimpinan Besar Revolusi

kita Bung Karno [...]. ‘Ganjang kebudajaan imperialis AS & Manikebu; Bina musik jang

berkepribadian nasional.” ibid. 74

Berdasarkan laporan Sudharnoto dalam esay Roma Dwi Arianti, sebagai Ketua

Lembaga Musik Indonesia (LMI), pada Kongres 1964, dituliskan bahwa, “with the rhythm of Djarek [Djalannja Revolusi Kita or The Path of Our Revolution], Resopim [Revolusi, Sosialisme, dan Pimpinan or Revolution, Socialism, and Leadership], with the Takem [Tahun Kemenangan or Year of Victory] and Gesuri [Genta Suara Revolusi Indonesia or The Pealing Bell of the Indonesian Revolution] melody, with the harmony of Manipol [Manifesto Politik] strengthened by the glorious arrangement of Tavip, progressive music artists will smash American imperialist culture, smash Manikebu [Manifes Kebudayaan or Cultural Manifesto] and cultivate a music with national identity.” ([d]engan irama Djarek, Resopim, dengan melodi Takem dan Gesuri, dengan harmoni Manipol yang diperkuat gubahan megah Tavip, seniman musik progresif mengganjang kebudajaan imperialisme Amerika Serikat, mengganjang Manikebu, dan membina musik jang berkepribadian nasional.) Harian Rakjat, 2 November 1964 dalam Roma Dwi Arianti dan Muhidin M. Dahlan, 2008, loc.cit.

Pernyataan-pernyataan di atas, adalah langkah penting yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menolak budaya Barat dan membangun kebudayaan nasional. Ironisnya, setelah pernyataan tersebut dikeluarkan, budaya populer justru semakin kuat di Indonesia. Salah satu grup musik yang dipengaruhi oleh band-band Inggris dan Amerika Serikat dan sangat berpengaruh di Indonesia adalah Koes Bersaudara yang berdiri pada tahun 1960 di Jakarta.

Kebijakan-kebijakan dan pernyataan-pernyataan yang dibuat pemerintah terkait dengan pelarangan musik populer memang memberikan kesan kepada masyarakat bahwa pemerintah anti terhadap musisi-musisi yang terpengaruh musik Barat. Namun, apa yang diterima oleh masyarakat melalui media belum tentu sama dengan apa yang sebenarnya menjadi maksud dari pemerintah. Kesaksian Yok Koeswoyo pada tahun 2004 cukup untuk menerangkan perbedaan tersebut. Lebih tegas lagi, Yok Koeswoyo mengatakan kepada CNN Indonesia bahwa hukuman yang diterima Koes Bersaudara hanyalah propaganda.75

Apa yang terjadi dengan Koes Bersaudara pada tahun 1960-an membuktikan ungkapan Njoto bahwa politik adalah panglima. Koes Bersaudara, sebagai seniman, tidak dapat melepaskan kegiatan seni mereka dari politik. Hal itu disebabkan oleh represi pemerintah yang tegas terhadap grup musik ini. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Amir Pasaribu, 1001 kali seniman tidak berpolitik, maka

75

CNN Indonesia, 3 November 2016, Koes Bersaudara Rela Masuk Bui Demi Indonesia.

1001 kali pula politik akan mencampuri urusan seniman.76 Tidak dapat dilepaskannya seniman dari politik juga dapat dimengerti sebagai upaya pemerintah untuk menarik seniman ke dalam arus yang mereka ciptakan. Tonny Koeswoyo mengklaim bahwa salah satu anggota Lekra pernah mengajak Koes Bersaudara, untuk bergabung bersama Lekra, ajakan yang kemudian ditolak oleh Tonny.77

Dokumen terkait