• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Persentase mortalitas larva (%)

Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa stadia predator sangat berpengaruh nyata terhadap persentase mortalitas larva (%). Hal ini dapat dilihat dari Tabel 1 dan Lampiran 1.

Tabel 1. Stadia predator terhadap persentase mortalitas larva (%)

Perlakuan Rataan

P0 (Kontrol) 0.00c

P1 (Nimfa) 9.72b

P2 (Imago jantan) 61.11a

P3 (Imago betina) 63.89a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang berbeda menunjukkan data berbeda nyata pada taraf 5%.

Tabel 1 menunjukkan bahwa stadia predator yang paling tinggi dalam memangsa larva terdapat pada perlakuan P3 (Imago Betina) yaitu sebesar 63,89% dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 (Imago Jantan) yaitu sebesar 61,11%, selanjutnya perlakuan P1 (Nimfa) yaitu sebesar 9,72%, dan yang terendah terdapat pada perlakuan P0 (Kontrol) yaitu sebesar 0%. Perlakuan P3 (Imago Betina) memiliki nilai tertinggi walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 (Imago Jantan) karena imago betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan imago jantan, sedangkan nimfa hanya memiliki nilai sebesar 9,72%. Karena dengan semakin besarnya ukuran suatu serangga maka semakin besar pula kemampuannya dalam memangsa. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Prasetyo (2000) dalam Yuliati (2009), bahwa perbedaan kemampuan memangsa dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain oleh tingkat stadia, karena semakin

besar ukuran tubuh maka semakin besar daya mangsa suatu predator. Selain itu, dengan ukuran tubuhnya yang lebih besar, imago betina memiliki kemampuan dan kekuatan yang lebih dalam memangsa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Untung (1996) bahwa predator harus memiliki daya cari yang tinggi juga harus memiliki kelebihan sifat fisik seperti kecepatan bergerak, kekuatan dan ukuran tubuh yang lebih besar, dan cara penangkapan yang lebih baik daripada cara pertahanan mangsa.

Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa stadia larva yang diaplikasikan sangat berpengaruh nyata terhadap persentase mortalitas larva (%). Hal ini dapat dilihat dari Tabel 2 dan Lampiran 1.

Tabel 2. Stadia larva terhadap persentase mortalitas larva (%)

Perlakuan Rataan

L1 (E. thrax instar 2) 45.83b L2 (E. thrax instar 4) 14.58e L3 (S. litura instar 2) 52.08a L4 (S. litura instar 4) 27.08d L5 (E. thrax dan S. litura instar 2) 37.50c L6 (E. thrax dan S. litura instar 4) 25.00d

Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang berbeda menunjukkan data berbeda nyata pada taraf 5 %.

Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase mortalitas larva tertinggi pada perlakuan L3 (Larva S. litura instar 2) yaitu sebesar 52,08%, selanjutnya perlakuan L1 (Larva E. thrax instar 2) sebesar 45,83%, L5 (E. thrax dan S. litura

instar 2) sebesar 37,50%, L4 (S. litura instar 4) sebesar 27,08% dan persentase terendah terdapat pada perlakuan L2 (Larva E. thrax instar 4) yaitu 14,58%. Perlakuan L3 (Larva S. litura instar 2) mengalami tingkat mortalitas tertinggi

dikarenakan larva instar 2 ini ukuran tubuhnya lebih kecil, sehingga lebih mudah untuk dimangsa dan dimangsa dalam jumlah yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sands dan Simpson (1972) dalam Yuliati (2009) bahwa makin kecil mangsa makin banyak yang dikonsumsi dan makin besar predator maka semakin banyak nimfa yang dimangsa. Selain itu perlakuan L3 (Larva S. litura

instar 2) mengalami mortalitas tertinggi dikarenakan S. litura merupakan mangsa utama dari R. fuscipes. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Kalshoven (1981) bahwa di Indonesia salah satu spesies Reduviidae yaitu R. fuscipes adalah kepik yang berwarna hitam dan merah dengan abdominal strip yang berwarna putih, kepik ini merupakan predator larva S. litura, Heliothis dan Aphid di pertanaman tembakau. Sedangkan perlakuan L2 (Larva E. thrax instar 4) mengalami tingkat mortalitas terendah dikarenakan larva E. thrax instar 4 merupakan larva instar tua yang memiliki ukuran yang besar sehingga memiliki kemampuan yang besar juga dalam melakukan perlawanan terhadap predator. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Hagen et al (1989) bahwa umur predator dan ukuran tubuh suatu mangsa sangat mempengaruhi penangkapan atau penyusupan mangsa. Selain itu juga dikarenakan larva E. thrax bukan merupakan mangsa utama tetapi merupakan mangsa alternatif, predator akan memangsa mangsa alternatif ketika keberadaan mangsa utama kurang atau tidak ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan Driesche et al (2008) bahwa predator yang hidup di tanaman tahunan mungkin perlu pindah untuk mencari mangsa jika lokasi tidak lagi cocok. Pemberantasan hama dengan predator dapat dipengaruhi oleh makanan lain yang dimangsa oleh predator. Predator terkadang beralih dari memangsa hama target menjadi pemangsa hama/mangsa alternatif.

Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa interaksi antara stadia predator dengan stadia larva sangat berpengaruh nyata terhadap persentase mortalitas larva. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 3 dan Lampiran 1.

Tabel 3. Interaksi stadia predator dan stadia larva terhadap persentase mortalitas larva (%) Perlakuan Rataan P0L1 (Kontrol) 0.00j P0L2 (Kontrol) 0.00j P0L3 (Kontrol) 0.00j P0L4 (Kontrol) 0.00j P0L5 (Kontrol) 0.00j P0L6 (Kontrol) 0.00j

P1L1 (Nimfa terhadap E. thrax instar 2) 25.00h P1L2 (Nimfa terhadap E. thrax instar 4) 0.00j P1L3 (Nimfa terhadap S. litura instar 2) 25.00h P1L4 (Nimfa terhadap S. litura instar 4) 0.00j P1L5 (Nimfa terhadap E. thrax dan S. litura instar 2) 8.33i P1L6 (Nimfa terhadap E. thrax dan S. litura instar 4) 0.00j P2L1 (Imago jantan terhadap E. thrax instar 2) 75.00c P2L2 (Imago jantan terhadap E. thrax instar 4) 33.33g P2L3 (Imago jantan terhadap S. litura instar 2) 83.33b P2L4 (Imago jantan terhadap S. litura instar 4) 58.34e P2L5 (Imago jantan terhadap E. thrax dan S. litura instar 2) 66.67d P2L6 (Imago jantan terhadap E. thrax dan S. litura instar 4) 50.00f P3L1 (Imago betina terhadap E. thrax instar 2) 83.33b P3L2 (Imago betina terhadap E. thrax instar 4) 25.00h P3L3 (Imago betina terhadap S. litura instar 2) 100.00a P3L4 (Imago betina terhadap S. litura instar 4) 50.00f P3L5 (Imago betina terhadap E. thrax dan S. litura instar 2) 75.00c P3L6 (Imago betina terhadap E. thrax dan S. litura instar 4) 50.00f Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang berbeda menunjukkan

data berbeda nyata pada taraf 5 %.

Tabel 3 menunjukkan bahwa persentase mortalitas tertinggi dari interaksi stadia predator dengan stadia larva terdapat pada perlakuan P3L3 (Imago betina terhadap larva S. litura instar 2) sebesar 100%, dan yang terendah pada perlakuan P0L1, P0L2, P0L3, P0L4, P0L5, P0L6 (Kontrol) dan P1L2, P1L4, P1L6 (Nimfa terhadap larva E. thrax dan S. litura instar 4) sebesar 0%. Pada perlakuan P3L3 terjadi mortalitas larva tertinggi yaitu sebesar 100% karena ukuran imago R. fuscipes

betina yang lebih besar dari predator lainnya sehingga memerlukan nutrisi yang lebih besar dan larva yang dimangsa yaitu S. litura instar 2, dimana larva ini merupakan larva pada instar muda yang berukuran kecil sehingga perlu dikonsumsi dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya dan juga

S. litura merupakan mangsa utama dari R. fuscipes. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Tarumingkeng (2001) bahwa keefektifan predator dalam pengaturan populasi mangsa dipengaruhi oleh kemampuan berkembang biak, kemampuan mencari mangsa, dan kisaran toleransi terhadap habitat dan instar mangsa.

Tabel 3 menunjukkan bahwa mortalitas larva E. thrax tertinggi terdapat pada perlakuan P3L1 (Imago betina terhadap E. thrax instar 2) sebesar 83,33%. Selain karena ukuran imago betina yang lebih besar, ini karena ukuran larva yang kecil, sehingga perlu dikonsumsi lebih banyak. Namun tidak setinggi mortalitas dari larva S. litura karena larva E. thrax bukan mangsa utama dari R. fuscipes, dan tingkat pemangsaan dipengaruhi oleh kualitas mangsanya. Hal ini sesuai pernyataan Manti (1981) dalam Oktarina (2009) bahwa ada lima komponen utama yang mempengaruhi pemangsaan oleh predator yaitu (1) kerapatan populasi mangsa, (2) kerapatan populasi predator, (3) sifat mangsa itu sendiri seperti reaksinya terhadap predator, (4) jumlah dan kualitas makanan pengganti yang tersedia untuk predator, dan (5) sifat predator seperti jenis makanan yang disukai dan efisiensi dalam menyerang.

Pada perlakuan P1L2, P1L4, P1L6 (Nimfa terhadap larva instar 4) tidak terjadi pemangsaan dikarenakan ukuran larva yang jauh lebih besar daripada ukuran nimfa R. fuscipes, sehingga nimfa tidak dapat memangsa larva tersebut.

Hal ini sesuai pernyataan Hagen et al (1989) yang menyatakan bahwa diterima atau tidaknya suatu mangsa di samping masalah kekhususan mangsa, umur predator yang bersangkutan dan ukuran tubuh mangsa tersebut dapat berpengaruh terhadap serangan predator tersebut.

Dokumen terkait