• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Batasan Pertanian Perkotaan

2.3. Pertanian Berkelanjutan

Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini, dan generasi masa depan. Konsep pertama pembangunan berkelanjutan dirumuskan dalam Brundtland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa: “Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka” (WCED 1987). Ada dua hal yang secara implisit menjadi perhatian dalam konsep Brundtland tersebut, yaitu Pertama, menyangkut pentingnya memperhatikan kendala sumberdaya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi dan

Kedua, menyangkut perhatian pada kesejahteraan (well being) generasi yang akan datang.

Konsep pertanian berwawasan lingkungan adalah agroekologi merupakan studi agroekosistem yang holistik, termasuk semua elemen lingkungan dan manusia. Fokusnya adalah pada bentuk, dinamika dan fungsi hubungan timbal balik antar unsur-unsur tersebut serta proses dimana seluruh elemen terlibat (Reijntjes et al. 1992). Perencanaan suatu perkotaan seyogyanya tidak hanya dipenuhi oleh simbol- simbol kekuatan ekonomi saja, tetapi berisikan simbol-simbol kekuatan sosio- kultural, pemerintahan. Disisi lain, keserasian antara simbol kegiatan masyarakat dengan simbol-simbol lingkungan akan menciptakan suasana yang ”harmonis” serta ”nyaman” bagi warga perkotaan. Ekosistem perkotaan dapat dibagi menjadi empat ruang (compartment) secara berimbang, yaitu ruang sistem produksi, ruang sistem perlindungan, ruang sistem serbaguna dan ruang sistem industri perkotaan. Untuk implementasi konsep ruang tersebut diperlukan prosedur zonasi lanskap (Rustiadi et al. 2008).

Menurut Munasinghe (1993), beberapa kalangan meringkas tujuan-tujuan pembangunan yang terbagi dalam tiga tujuan, yaitu tujuan ekonomi, sosial dan ekologi. Dari berbagai pendekatan, dapat disimpulkan tiga tujuan pembangunan, yaitu (1) produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan (growth), (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability). Reijntjes et al. (1992), menyebutkan bahwa pertanian berkelanjutan harus memenuhi beberapa

indikator antara lain; (1) mantap secara ekologis, bahwa kualitas sumberdaya alam

dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari manusia, tanaman, hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Hal itu akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan dan masyarakat dipertahankan melalui proses biologi (regulasi sendiri). Sumberdaya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa dan energi bisa ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran. Tekanannya adalah pada penggunaan sumberdaya yang dapat diperbaharui. (2) berlanjut secara ekonomis, bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan atau pendapatan sendiri serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis dapat diukur dari produk usaha tani yang langsung namun juga dalam hal fungsi melestarikan sumberdaya alam dan meminimalkan resiko. (3) adil, bahwa sumberdaya alam dan kekuasaan di

distribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam pengembilan keputusan, baik di lapangan maupun di masyarakat. (4) manusiawi, bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) dihargai. Martabat dasar semua makhluk hidup dihormati dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar, sperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang. Integritas budaya dan spritualitas masyarakat dijaga dan dipelihara. (5) luwes, bahwa masyarakat pedesan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus seperti pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lain-lain. Hal ini meliputi bukan hanya pengembangan tekhnologi yang baru dan sesuai, namun juga inovasi dalam arti sosial dan budaya.

Konsep pembangunan pertanian berkelanjutan mencakup 3 komponen utama yakni : (1) integritas lingkungan; (2) efisiensi ekonomi dan (3) keadilan kesejahteraan (Kay dan Alder 1999). Sistem pertanian berkelanjutan (SPB) terdiri atas praktek-praktek ekologi (kebutuhan lingkungan dan didasarkan atas prinsip- prinsip ekologi), tanggung jawab sosial (pemberdayaan masyarakat, kesamaan sosial dan kesehatan, kesejahteraan penduduk) dan semangat ekonomi (ketahanan pangan, kelayakan ekonomi dan bernuansa teknologi). Pengertian dan pendekatan tersebut menunjukkan bahwa sistem pertanian berkelanjutan harus dapat memenuhi indikator dari berbagai aspek (Trupp 1996). Indikator sistem pertanian berkelanjutan adalah pendapatan masyarakat petani yang cukup tinggi, tidak menimbulkan kerusakan dan dapat dikembangkan dengan sumberdaya yang dimiliki petani.

Sistem pertanian berkelanjutan akan terwujud, hanya apabila lahan digunakan untuk sistem pertanian yang tepat. Bila lahan tidak digunakan secara tepat, produktifitas akan cepat menurun dan ekosistem mengalami kerusakan. Penggunaan lahan yang tepat selain menjamin bahwa lahan memberikan mamfaat untuk pemakai saat ini, juga menjamin bahwa sumberdaya akan bermanfaat untuk generasi penerus di masa mendatang. Dengan mempertimbangkan keadaan agroekologi, penggunaan lahan berupa sistem produksi tanaman yang tepat dapat ditentukan (Puslittanak 1999).

Keberlanjutan sistem usaha tani bergantung pada 3 karakteristik utama, yaitu kemampuan untuk mengendalikan kehilangan tanah, efektifitas dalam meningkatkan pendapatan petani dan secara sosial agroteknologi yang digunakan harus dapat diterima dan dapat diterapkan (acceptable dan replicable) dengan sumberdaya yang ada, termasuk pengetahuan, keterampilan dan persepsi petani (Sinukaban 2007). Menurut Sabiham (2005), ciri utama penggunaan lahan berkelanjutan adalah berorientasi jangka panjang, dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan potensi untuk masa datang, pendapatan per kapita meningkat, kualitas lingkungan dapat dipertahankan atau bahkan dapat ditingkatkan, mempertahankan produktifitas dan kemampuan lahan serta mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi. Lanjut mengemukakan bahwa, pertanian berkelanjutan harus pula di indikasikan dengan tidak terjadinya kerusakan lingkungan. Kondisi ini memerlukan teknologi tepat guna, kebijakan dan pengelolaan sumberdaya yang sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah.