BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
B. Saran
2. Bagi Perusahaan
Penelitian ini diharapkan dapat membantu Divisi Human
lebih memahami tingkat engagement karyawan dan hubungannya
dengan Leader Member Exchange (LMX). Hasil penelitian ini
nantinya dapat digunakan sebagai sumber data empiris bagi Divisi
Human Resources Management Sumber Baru KIA Yogyakarta
dalam merancang program intervensi untuk peningkatan employee
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Leader Member Exchange (LMX)
1. Definisi Leader Member Exchange (LMX)
Asumsi dasar dari teori LMX menyatakan bahwa para pemimpin mengembangkan hubungan atasan-bawahan yang berbeda dengan masing- masing bawahan (Yukl dalam Wijanto, 2013). Atasan dapat memiliki hubungan yang dekat hanya dengan beberapa bawahannya, di mana hubungan yang terjalin merupakan hubungan yang berkualitas tinggi. Di sisi lain, atasan juga dapat memiliki hubungan yang jauh dengan bawahannya yang merupakan hubungan yang berkualitas rendah. Atasan dan bawahan yang memiliki hubungan baik akan memiliki perasaan yang lebih baik satu sama lain, dapat menyelesaikan tugas lebih banyak, dan dapat berdampak pada keberhasilan organisasi (Northouse dalam Sarisusantini, 2012).
Karyawan yang memiliki kualitas hubungan yang tinggi dengan atasannya memiliki ciri keterlibatan dalam timbal balik pengetahuan, dukungan emosional dan logistik, serta usaha ekstra dengan atasannya (Graen, Liden, & Hoel dalam Landy, 2010). Saat memiliki kualitas hubungan yang tinggi, pengikut akan tertarik untuk menegosiasikan hal- hal yang ingin mereka lakukan untuk kelompok kepada pemimpin. Negosiasi ini melibatkan pertukaran yang dilakukan pengikut terkait
aktivitas yang melebihi deskripsi pekerjaan resmi mereka dan pemimpin melakukan lebih banyak hal untuk pengikutnya. Bila pengikut tidak tertarik untuk menerima tanggung jawab pekerjaan yang baru dan berbeda, mereka akan memiliki kualitas hubungan yang rendah dengan atasannya (Graen dalam Northouse, 2013).
Menurut Robbins (2006), teori LMX berpendapat bahwa karena adanya tekanan waktu, para pemimpin membangun hubungan yang istimewa dengan kelompok kecil bawahan mereka. Morrow (2005) mengatakan bahwa LMX merupakan hubungan antara atasan dan bawahan yang berkembang sebagai akibat dari pertukaran yang berhubungan dengan pekerjaan. Hubungan ini dapat dicirikan dengan kualitas hubungan yang tinggi atau baik jika mencerminkan kepercayaan, rasa hormat, dan kesetiaan. Di sisi lain, hubungan ini dapat dicirikan dengan kualitas hubungan yang rendah atau buruk jika mencerminkan ketidakpercayaan, rasa hormat yang rendah, dan kurangnya loyalitas (Morrow, 2005).
Robbins (2006) mengungkapkan bahwa bawahan dengan kualitas hubungan yang tinggi akan memiliki peringkat kinerja yang lebih tinggi,
turnover yang rendah, kepuasan yang lebih besar terhadap atasan mereka,
dan kepuasan keseluruhan yang lebih besar dibandingkan bawahan dengan
kualitas hubungan yang rendah. Selain itu, bawahan lebih dipercaya,
mendapat perhatian dalam porsi yang lebih besar dari atasan, dan mendapat hak-hak khusus. Sebaliknya, bawahan yang memiliki kualitas hubungan yang rendah akan mendapat waktu yang terbatas dari atasannya,
hubungan antara atasan dan bawahan berdasar pada hubungan formal yang dapat dilihat dari penggunaan bahasa pada saat berkomunikasi.
Merujuk pada definisi LMX yang telah dikemukakan, peneliti menyimpulkan LMX sebagai pertukaran terkait aktivitas melebihi pekerjaan resmi yang dikembangkan atasan terhadap bawahannya, di mana bawahan yang mendapat perhatian lebih dari atasan akan mendapat kualitas hubungan yang tinggi, sedangkan bawahan yang dibatasi hubungan kerja formal akan memiliki kualitas hubungan yang rendah dengan atasannya.
2. Fase-fase Pembentukan Kepemimpinan Leader Member Exchange (LMX)
Tabel 1 menunjukkan bahwa pembentukan kepemimpinan berkembang secara pesat dalam tiga fase, yaitu (1) fase orang asing, (2) fase perkenalan, dan (3) fase hubungan pertemanan yang matang (Graen & Uhl-Bien dalam Northouse, 2013).
Tabel 1
Fase-fase dalam Pembentukan Kepemimpinan LMX (Northouse, 2013) Fase 1 Orang Asing Fase 2 Perkenalan Fase 3 Pertemanan
Peran Tertulis Diuji Dinegosiasikan
Pengaruh Satu arah Campuran Timbal balik
Pertukaran Kualitas rendah Kualitas sedang Kualitas tinggi
Minat Diri sendiri Diri sendiri dan
orang lain
Kelompok
Waktu
Pada fase 1 atau fase orang asing, interaksi antara pemimpin dan anggota dalam hubungan dua pihak dibatasi oleh peraturan. Selain itu, pemimpin dan anggota sangat mengandalkan hubungan kerja, di mana mereka saling berhubungan di dalam peran organisasi yang telah ditetapkan. Pemimpin dan anggota memiliki pertukaran yang berkualitas rendah. Pengikut akan patuh kepada pemimpin resmi yang memiliki status hirarkis untuk mendapat imbalan ekonomi yang dikontrol oleh pemimpin. Motif pengikut selama fase orang asing mengarah pada kepentingan diri, bukan untuk kebaikan kelompok (Graen dan Uhl-Bien dalam Northouse, 2013).
Menurut Northouse (2013), fase 2 merupakan fase perkenalan yang dimulai dengan adanya tawaran dari pemimpin atau pengikut untuk meningkatkan pertukaran sosial yang berorientasi pada karir. Pertukaran tersebut termasuk membagi lebih banyak sumber daya dan informasi
pribadi atau informasi terkait dengan pekerjaan. Fase ini merupakan periode pengujian untuk pemimpin dan pengikut guna menilai apakah pengikut tertarik untuk mengambil lebih banyak peran dan tanggung jawab. Fase ini juga berguna untuk menilai apakah pemimpin bersedia untuk memberikan tantangan baru bagi pengikut. Selama masa ini, hubungan dua pihak berubah dari interaksi yang dengan ketat diatur oleh deskripsi jabatan dan menetapkan peran serta menuju cara baru berelasi. Kualitas hubungan dari pertukaran atasan dengan bawahan dalam fase ini telah meningkat ke kualitas menengah. Atasan dan bawahan mulai mengembangkan kepercayaan dan penghargaan yang lebih besar untuk masing-masing pihak. Mereka cenderung tidak terlalu berfokus pada kepentingan diri sendiri, melainkan lebih pada tujuan dan kegunaan kelompok.
Fase 3 atau hubungan pertemanan yang matang ditandai dengan pertukaran pemimpin dan anggota yang berkualitas tinggi. Orang-orang yang maju pada tahap ini telah mengalami rasa saling percaya, sikap saling menghormati, dan sikap saling menghargai yang tinggi di dalam hubungannya. Pada fase ini, ada tingkatan timbal balik yang tinggi antara pemimpin dan pengikut, sehingga masing-masing pihak saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pihak lain. Selain itu, anggota dapat saling mengandalkan untuk bantuan dan dukungan khusus. Contoh, pemimpin dapat mengandalkan pengikut untuk melakukan tugas tambahan dan pengikut dapat mengandalkan pemimpin untuk dukungan atau
dorongan yang diperlukan. Jadi, pemimpin dan pengikut saling terikat dalam cara produktif yang lebih dari hubungan kerja yang telah ditetapkan oleh hirarki (Northouse, 2013).
Nahrang, Morgeson, dan Illies (dalam Northouse, 2013) berpendapat bahwa prediktor utama dari kualitas hubungan untuk pemimpin dan pengikut adalah perilaku, seperti kinerja.
3. Dimensi Leader Member Exchange (LMX)
Menurut Dienesch dan Liden (dalam Harris, 2004), teori Leader
Member Exchange melibatkan empat dimensi utama, yaitu afeksi
(affection), kontribusi (contribution), loyalitas (loyalty), dan penghormatan
profesional (professional respect). Dionne (dalam Hasdiabsar, 2011)
menjabarkan empat dimensi LMX, sebagai berikut :
a. Afeksi (affection)
Afeksi adalah kepedulian antara atasan dan bawahan yang saling mempengaruhi satu sama lain tidak hanya dari nilai profesional pekerja, tetapi juga berdasarkan pada daya tarik interpersonal. Selain itu, terjadi suatu hubungan pribadi yang saling bermanfaat antara atasan dengan bawahan, misalnya persahabatan.
Zahn dan Wolf (dalam Liden, 1997) menyatakan bahwa afeksi berkisar dari tidak suka ke suka dengan titik tengah yang mencerminkan ketidakpedulian afektif. Suka ditunjukkan dalam berbagai cara, seperti gerakan spontan dari kasih sayang, menyuarakan
keprihatinan dan memberi dukungan pada masalah-masalah pribadi yang dihadapi seseorang, serta dengan bersosialisasi di luar tempat kerja. Contoh lain mencakup beberapa hal sederhana berupa ekspresi
interpersonal yang mempengaruhi feedback yang cepat dan segera dari
orang lain, seperti senyum atau sikap dukungan (Capella dalam Liden, 1997).
b. Kontribusi (Contribution)
Kontribusi merupakan persepsi tentang kegiatan yang berorientasi pada tugas di tingkat tertentu antara setiap anggota untuk mencapai tujuan bersama, baik secara eksplisit maupun implisit. Hal yang penting dalam mengevaluasi orientasi kerja adalah sejauh mana
anggota bawahan dari dyad (dua orang yang berupa kesatuan yang
berinteraksi) bertanggung jawab dan menyelesaikan tugas-tugasnya melebihi deskripsi pekerjaan atau kontrak kerjanya, serta sejauh mana atasan memberikan sumber daya dan peluang untuk kegiatan tersebut.
Zahn dan Wolf (dalam Liden, 1997) menyatakan bahwa
kontribusi berkisar dari orang-orang yang secara negatif
mempengaruhi ‘dyad’ ke orang-orang yang memiliki pengaruh positif.
Karena adanya perbedaan peran dan tanggung jawab, maka apa yang diberikan oleh pemimpin dan anggotanya belum tentu sama. Pada titik kontinum akhir yang positif, anggota dapat berkontribusi pada perilaku
extra-role, seperti bekerja lembur dan pemimpin membalas dengan
dalam Liden, 1997). Karena kontribusi melibatkan performansi kerja yang sering terikat dengan waktu, maka waktu timbal baliknya tidak pasti. Pada pertukaran kontribusi yang positif, pemimpin dan anggota mencerminkan hubungan timbal balik yang seimbang. Di sisi lain, pertukaran kontribusi yang negatif akan bertujuan untuk menyakiti satu sama lain dengan mencegah pencapaian tujuan dari masing- masing orang (Zahn & Wolf dalam Liden, 1997).
c. Loyalitas (Loyalty)
Loyalitas merupakan ekspresi dan ungkapan yang mendukung penuh tujuan dan karakter pribadi anggota lainnya dalam hubungan timbal balik pimpinan dan bawahan. Loyalitas melibatkan kesetiaan pada individu yang bersifat konsisten dari satu situasi ke situasi lainnya.
Variabilitas dalam tingkat loyalitas dimulai dari ketidaksetiaan hingga kesetiaan (Zahn dan Wolf dalam Liden, 1997). Kesempatan bagi pemimpin dan anggota untuk menggambarkan loyalitasnya sering bergantung pada faktor situasional, misalnya pada saat orang lain memberikan penilaian negatif baik secara langsung atau tersirat. Pemimpin yang didukung bawahannya dalam menghadapi kritik eksternal tidak dapat membalas bawahannya tersebut sebelum bawahannya mengalami situasi atau keadaan yang sama. Jadi, pertukaran dalam loyalitas tidak bergantung pada pengembalian secara cepat karena ada banyak cara untuk mengekspresikan loyalitas, seperti
pertukaran yang berdasar pada pengembalian yang setara. Di sisi lain, ketidaksetiaan ditunjukkan dengan menyetujui kritik atau memulai kritik terhadap orang lain di depan umum (Liden, 1997).
d. Penghormatan profesional (professional respect)
Penghormatan profesional merupakan persepsi sejauh mana setiap hubungan timbal balik telah memiliki dan membangun reputasi di dalam atau luar organisasi. Persepsi dapat didasarkan pada riwayat hidup seseorang. Misalnya, pengalaman pribadi dengan individu, komentar yang dibuat orang lain di dalam atau luar organisasi, dan penghargaan atau pengakuan profesional lain yang telah dicapai. Ada kemungkinan bahwa persepsi tentang rasa hormat pada seseorang telah ada sebelum bekerja atau bertemu dengan orang tersebut.
Penghormatan profesional dapat dikomunikasikan dengan berbagai cara, seperti atasan atau bawahan yang meminta saran satu sama lain, dapat juga dengan mengungkapkan kekaguman atas ketrampilan dan integritas orang lain. Di sisi lain, penghormatan profesional yang negatif ditunjukkan dengan menghindari untuk meminta saran satu sama lain dan mungkin mengejek satu sama lain di depan umum (Liden, 1997).
Liden (1997) mengatakan bahwa LMX mungkin didasarkan terutama pada satu dimensi, dua dimensi, tiga dimensi, atau keempat dimensi. Setiap dimensi LMX dapat berkembang berbeda dan bervariasi
dalam pentingnya hubungan atasan-bawahan yang ada. Namun, pemimpin dan anggota yang dapat mengembangkan hubungan dengan beberapa konten yang ada (misalnya: afeksi, kontribusi, loyalitas, dan penghormatan profesional) tidak hanya dengan satu sama lain, tetapi juga dengan orang lain akan menuai lebih banyak keuntungan daripada mereka yang hubungannya didasarkan pada konten tunggal.
Berdasarkan penjelasan mengenai dimensi LMX dari teori-teori yang ada, peneliti menyimpulkan bahwa LMX melibatkan empat dimensi utama, yaitu: afeksi, kontribusi, loyalitas, dan penghormatan profesional (Dienesch & Liden dalam Harris, 2004).
4. Dampak Leader Member Exchange (LMX)
Hubungan Leader Member Exchange (LMX) yang berkualitas
tinggi akan menghasilkan karyawan dengan kinerja yang lebih baik,
peningkatan komitmen organisasi, kepuasan kerja, organizational
citizenship behavior, dan menurunnya intensi turnover (Gerstner & Day;
Schriesheim et al dalam Harris, 2007). Bawahan juga memiliki peringkat
kinerja yang lebih tinggi, keinginan turnover yang rendah, kepuasan yang
lebih besar terhadap atasan mereka, dan kepuasan keseluruhan yang lebih besar dibandingkan dengan bawahan yang memiliki kualitas hubungan
yang rendah. Selain itu, bawahan lebih dipercaya, mendapat perhatian
dalam porsi yang lebih besar dari atasan, dan mendapat hak-hak khusus (Robbins, 2006).
Sebaliknya, bawahan yang memiliki kualitas hubungan yang rendah akan mendapat waktu yang terbatas dari atasannya, menjalin hubungan antara atasan dan bawahan berdasar pada hubungan formal yang dapat dilihat dari penggunaan bahasa pada saat berkomunikasi. Karyawan dengan kualitas hubungan yang rendah juga cenderung memandang hubungan atasan dan bawahan tidak lebih dari hubungan kontraktual
(sesuai dengan surat kontrak), dimana karyawan bekerja ‘delapan jam
untuk upah delapan jam’ dalam pekerjaan, serta tingginya turnover
(Graen, Liden, & Hoel dalam Landy, 2010).
B. Employee Engagement
1. Definisi Employee Engagement
Kahn (dalam Chaurasia, 2013) menjelaskan employee engagement
sebagai investasi energi fisik, emosional, dan kognitif karyawan secara terus menerus dalam peran pekerjaan mereka. Menurut CLC dan Blessing
(dalam Muthuveloo, 2013), employee engagement merupakan penekanan
terhadap hubungan kognitif antarpekerja untuk bekerja dan perilaku selanjutnya yang ditunjukkan pekerja terhadap kepuasan kerja, serta efeknya mengenai seberapa sulit pekerja ingin untuk bekerja. Di sisi lain,
Gubman dan Bates (dalam Muthuveloo, 2013) mendefinisikan employee
engagement sebagai kelekatan emosional yang dibawa pekerja ke
Schaufeli (dalam Heger, 2007) mendefinisikan employee
engagement sebagai sebuah pemenuhan positif keadaan mental yang
berhubungan dengan pekerjaan yang melibatkan faktor rasional dan emosional mengenai apa yang dipikir dan dirasa oleh karyawan mengenai pekerjaannya dan organisasi. Faktor rasional meliputi hubungan yang lebih luas yang dimiliki karyawan dengan organisasi, seperti memiliki sumber daya, peralatan, dan dukungan yang mereka butuhkan untuk melakukan pekerjaan. Faktor emosional meliputi rasa akan inspirasi dan prestasi yang karyawan dapatkan dengan menjadi anggota dari perusahaan
dan dari pekerjaan mereka. Menurut Robbins (2015), employee
engagement adalah keterlibatan, kepuasan, dan antusiasme seorang
individu terhadap pekerjaan yang dilakukan. Pekerja yang sangat terlibat akan memiliki gairah dalam pekerjaannya dan merasakan hubungan yang dalam dengan perusahaannya.
Merujuk pada definisi yang telah dikemukakan, peneliti
menyimpulkan employee engagement sebagai tingkat keterlibatan,
kepuasan, dan antusiasme karyawan mengenai pekerjaannya dan organisasi, sehingga karyawan memiliki gairah dalam pekerjaannya dan merasakan hubungan yang dalam dengan perusahaannya.
2. Aspek Employee Engagement
Schaufeli (2004) mendefinisikan tiga aspek employee engagement sebagai
berikut:
a. Vigor (semangat)
Vigor merupakan tingginya energi yang diberikan saat bekerja,
ketahanan dalam menghadapi pekerjaan, kemauan untuk mencurahkan usaha dalam pekerjaan, serta ketekunan saat menghadapi kesulitan dalam bekerja.
b. Dedication (dedikasi)
Dedication merupakan rasa bermakna dan antusiasme terhadap
pekerjaan, serta inspirasi, kebanggaan, dan tantangan yang didapat dari pekerjaan.
c. Absorption (penghayatan)
Absorption merupakan konsentrasi dan atensi penuh yang diberikan
seseorang dalam pekerjaannya.
3. Anteseden Employee Engagement
Kahn (dalam Kumar, 2011) mengungkapkan bahwa anteseden dari
employee engagement ialah:
a. Job characteristics
Kebermaknaan psikologis dapat dicapai dari karakteristik tugas yang
memberikan pekerjaan yang menantang dan bervariasi,
pribadi, dan kesempatan untuk membuat kontribusi penting.
b. Perceived organisasional support
Hubungan resiprokal antaranggota berkembang dari waktu ke waktu melalui rasa percaya, setia, dan komitmen mutual sepanjang anggota patuh pada beberapa aturan yang ada. POS menciptakan kewajiban pada bagian dari karyawan untuk peduli kesejahteraan organisasi dan membantu organisasi mencapai tujuannya.
c. Perceived supervisor support
PSS juga merupakan prediktor penting dari engagement karyawan.
Bahkan, kurangnya dukungan dari supervisor telah ditemukan menjadi
faktor yang sangat penting terkait dengan burnout (Maslach et al
dalam Kumar, 2011). Temuan ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Graen, Liden, dan Hoel (dalam Landy, 2010) yang mengatakan bahwa kurangnya perhatian dan komunikasi dari atasan ke bawahan dapat menciptakan hubungan yang renggang di antara keduanya dan dapat memunculkan kecenderungan bagi bawahan untuk memandang hubungan atasan dan bawahan tidak lebih dari hubungan
kontraktual, dimana karyawan bekerja ‘delapan jam untuk upah
delapan jam’ dalam pekerjaan, serta tingginya turnover. Karyawan
tersebut akan memiliki kualitas hubungan yang rendah dengan
atasannya, sehingga cenderung menjadi karyawan yang not-engaged.
Sedangkan karyawan yang memiliki kualitas hubungan yang tinggi
Oleh karena itu, peneliti memilih variabel LMX terkait hubungannya
dengan employee engagement karena teori LMX mengungkap
pertukaran yang dilakukan pemimpin dan bawahannya dalam hubungan atasan-bawahan yang dikembangkan satu sama lain yang membuat karyawan dapat memiliki kualitas hubungan yang tinggi maupun rendah dengan atasan.
d. Reward and recognition
Pengakuan dan penghargaan yang tepat penting untuk
mengembangkan engagement karyawan, sedangkan kurangnya
penghargaan dan pengakuan dapat menyebabkan burnout pada
karyawan.
e. Distributive and procedural justice
Keadilan distributif berkaitan dengan persepsi seseorang tentang kewajaran hasil keputusan, sedangkan keadilan prosedural mengacu pada keadilan yang dirasakan dari sarana dan proses yang digunakan untuk menentukan jumlah dan distribusi sumber daya. Persepsi akan keadilan terkait dengan hasil organisasi seperti kepuasan kerja,
komitmen organisasi, perilaku anggota organisasi, withdrawal, dan
4. Tipe Engagement pada Karyawan
Menurut Fleming (dalam Muthuveloo, 2013) ada 2 grup karyawan, yaitu:
a. Engaged Employees
Engaged employee merupakan pekerja yang bersemangat terhadap
pekerjaannya dan mempunyai tanggung jawab mengenai apa yang harus dilakukan kepada perusahaan mereka.
b. Not-Engaged Employees
Not-Engaged Employees merupakan pekerja yang tidak memiliki
energi dalam melakukan pekerjaannya.
5. Dampak Employee Engagement
Menurut Vance (dalam Muthuveloo, 2013), karyawan yang tidak
engaged dengan pekerjaannya akan mempengaruhi performansinya dalam
perusahaan melalui tingginya absensi, tingginya turnover, dan rendahnya
produktivitas. Employee engagement dapat mempengaruhi kinerja
organisasi saat employee engagement terlebih dahulu memberikan
pengaruh positif bagi karyawan. Menurut Ramsay (dalam Muthuveloo,
2013), karyawan yang engaged lebih mungkin untuk tinggal dalam
organisasi mereka saat ini dan berkomitmen terhadap organisasi mereka.
Karyawan yang engaged juga akan termotivasi untuk meningkatkan
produktifitasnya, mau menerima tantangan, dan merasa bahwa pekerjaannya memberi makna bagi dirinya. Pengalaman tersebut akan
berpengaruh bagi kinerja pegawai dan juga memberikan dampak positif di tingkat organisasi, yaitu produktivitas dan pertumbuhan organisasi (Margaretha & Saragih dalam Murnianita, 2012).
C. Karyawan Sumber Baru KIA Yogyakarta
Berdasarkan hasil wawancara dengan SB selaku kepala HRD Sumber Baru KIA Yogyakarta (komunikasi pribadi, 28 Februari 2015) diketahui bahwa terdapat 88 karyawan yang bekerja di Sumber Baru KIA Yogyakarta dan terbagi menjadi 4 kelompok besar sebagai berikut:
a. Back Office (Operasional)
Karyawan yang bekerja pada bagian ini bertugas untuk mengurusi berbagai administrasi perusahaan. Divisi dan karyawan yang termasuk
dalam bagian ini meliputi: ADH (Administration Head), HRD, Promosi,
Marketing Support, BBN/STNK, Accounting, Finance, PDC (Pre
Delivery Check), dan Admin Logistik.
b. After Sales Service
Karyawan yang bekerja pada bagian ini bertugas untuk mengurusi
berbagai layanan servis bengkel dan spare part mobil. Divisi dan
karyawan yang termasuk dalam bagian ini meliputi: Assistant Manager,
Kepala Bengkel, CS Service, Kasir, Staff Spare Part, Manager Part,
c. Marketing
Karyawan yang bekerja pada bagian ini bertugas untuk mengejar pencapaian target penjualan mobil di perusahaan. Karyawan yang
termasuk dalam bagian ini meliputi: Manager Marketing, SPV, dan
Marketing.
d. Support System
Karyawan yang bekerja pada bagian ini bertugas untuk membantu dan mendukung kegiatan operasional yang ada di perusahaan. Karyawan yang
termasuk dalam bagian ini meliputi: Security, Cleaning Service, dan
Office Boy.
D. Dinamika Hubungan Leader Member Exchange (LMX) dan Employee
Engagement
Sumber Baru KIA Yogyakarta memiliki 88 karyawan yang terbagi
menjadi 4 kelompok besar, meliputi : karyawan back office (operasional),
after sales/service, marketing, dan support system. Berdasarkan hasil
wawancara dan data yang diberikan SB selaku kepala HRD Sumber Baru KIA Yogyakarta, diketahui bahwa mayoritas karyawan di perusahaan tersebut telah bekerja selama lebih dari 1 tahun (komunikasi pribadi, 28 Februari 2015).
Menurut RN selaku supervisor marketing di bagian konter yang sudah bekerja
selama kurang lebih 12 tahun di perusahaan tersebut, hal yang membuat ia dan karyawan-karyawan lain betah bekerja lama di sana ialah karena adanya peran pemimpin yang selalu memotivasi dan mendukung karyawan dalam bekerja
(komunikasi pribadi, 4 Februari 2015).
Sesuai penuturan RN, peneliti berasumsi bahwa karyawan yang betah bekerja selama bertahun-tahun di Sumber Baru KIA Yogyakarta dikarenakan adanya hubungan timbal balik yang baik antara atasan dengan bawahan di perusahaan tersebut. Hal ini sesuai dengan asumsi dasar teori LMX yang menyatakan bahwa para pemimpin akan mengembangkan hubungan atasan- bawahan yang berbeda dengan masing-masing bawahan (Yukl dalam Wijanto, 2013). Hubungan atasan dan bawahan yang dikembangkan pemimpin melibatkan melibatkan empat dimensi utama teori LMX (Dienesch dan Liden
dalam Harris, 2004), yaitu afeksi (affection), kontribusi (contribution),
loyalitas (loyalty), dan penghormatan profesional (professional respect).
Afeksi (affection) merupakan kepedulian antara atasan dan bawahan
yang saling mempengaruhi satu sama lain tidak hanya dari nilai profesional pekerja, tetapi juga berdasarkan pada daya tarik interpersonal. Afeksi ditunjukkan dengan gerakan spontan kasih sayang, menyuarakan keprihatinan dan memberi dukungan pada masalah-masalah pribadi yang dihadapi seseorang, bersosialisasi di luar tempat kerja, senyum atau sikap dukungan (Capella dalam Liden, 1997). Karyawan yang mempersepsi positif perilaku tersebut dari atasannya akan menjalin suatu hubungan pribadi yang saling bermanfaat antara atasan dengan bawahan, yaitu persahabatan. Hal ini membuat karyawan memiliki kualitas hubungan yang tinggi, sehingga
karyawan cenderung menjadi karyawan yang engaged. Di sisi lain, karyawan
menjalin suatu hubungan pribadi seperti persahabatan dengan atasannya. Hal