• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Pola Penggunaan Ruang – Habitat

Pola penggunaan ruang merupakan keseluruhan interaksi antara satwa dengan habitatnya (Lindsay 1993). Wiersum (1973) menyatakan bahwa habitat merupakan kawasan yang terdiri atas berbagai komponen dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwa liar. Selanjutnya Alikodra (1997a) menyatakan bahwa komponen fisik penyusunan habitat tersebut terdiri atas air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang, sedangkan komponen biotiknya meliputi ve getasi, mikro fauna dan makro fauna serta manusia yang merupakan satu kesatuan dan berinteraksi satu dengan lainnya membentuk suatu habitat tertentu.

Keadaan habitat tergantung pada faktor atau komponen penyusunnya serta interaksi antara komponen tersebut. Pada umumnya tipe habitat satwa liar digambarkan berdasarkan komunitas vegetasi, walaupun keberadaan komunitas vegetasi tersebut sangat ditentukan oleh komponen abiotik. Kawasan yang merupakan habitat dari suatu satwa dan mendukung kelangsungan hidupnya akan

ditemukan berbagai komponen yang dibutuhkan seperti pakan, tempat yang cocok untuk berkembang biak, berlindung, beristirahat, maupun kesesuaian dalam melakukan aktivitas sosial. Kesesuaian habitat tersebut berlainan antara spesies, dan suatu habitat yang baik bagi spesies tertentu belum tentu juga baik bagi spesies yang lain, karena setiap jenis satwa liar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda Alikodra (1997a).

Satwa liar menempati habitat tertentu yang sesuai dengan kondisi lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Walaupun kondisi habitat yang dibutuhkan berbeda antara jenis satwa liar namun demikian menurut Alikodra (1979) dan Bailey (1984) hal yang penting adalah habitat tersebut mampu menyediakan makanan, air, dan tempat berlindung. Selain ketiga komponen tersebut dibutuhkan oleh satwa liar untuk dapat hidup dan berkembang biak secara alami (Wiersum 1973 dan WWF 2005). Makanan dan air merupakan faktor pembatas bagi kehidupan margasatwa, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya artinya pertumbuhan populasi sangat ditentukan oleh jumlah minimum dari faktor tersebut (Alikodra 1979).

Habitat mempunyai peranan yang sangat penting terhadap kelestarian keanekaragaman hayati, oleh karena itu habitat dan ekosistemnya mendapat perhatian atau sasaran utama dalam konsentrasi spesies baik flora maupun fauna. Menurut Alikodra (1997a), habitat dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak oleh mahluk hidup termasuk satwa liar. Oleh karena itu untuk konservasi spesies baik flora maupun fauna, diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung, berkembang biak, maupun tempat untuk mengasuh anak-anaknya.

Konservasi pada tingkat komunitas dalam habitat akan memungkinkan pelestarian sejumlah besar spesies, dalam kesatuan-kesatuan yang besar biasanya sulit dilaksanakan, mahal dan seringkali tidak berhasil. Secara tidak langsung, konservasi habitat akan memainkan peranannya dalam fungsi ekologis khususnya dalam mengatur perilaku sistem drainase air, terutama dalam menyekap air hujan dan air itu ditahan oleh hutan dan padang rumput sehingga mengalir ke luar lebih lambat dan merata ke dalam sistem sungai, mengurangi kecenderungan banjir pada

periode hujan lebat dan melepaskan air terus menerus selama periode musim kemarau (MacKinon et al. 1993).

Dilihat dari peranan habitat, maka pelestarian habitat secara utuh merupakan cara yang paling efektif untuk melestarikan seluruh keanekaragaman hayati. Bahkan dapat dikatakan bahwa pelestarian habitat merupakan satu-satunya cara yang efektif untuk melestarikan spesies, terutama mengingat dalam situasi penangkaran, pengetahuan yang kita miliki hanya dapat menyelamatkan sebagian kecil saja spesies yang ada di bumi. Menurut Primack et al. (1998), upaya pelestarian keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa di kawasan konservasi dan zona inti taman nasional merupakan perlindungan percontohan perwakilan semua habitat utama termasuk perairan laut, bersama-sama dengan flora dan faunanya. Oleh karena itu peranan yang begitu besar terhadap konservasi tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya, keutuhan dan keaslian dari suatu kawasan perlu dijaga dari gangguan agar prosesnya berjalan secara alami.

Semua organisme memerlukan makanan sebagai sumber energi untuk dapat hidup dan berkembang biak dengan baik. Satwa liar menggunakan perantara organisme lain sesuai dengan posisinya dalam rantai makanan. Organisme yang makanannya beranekaragam akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Demikian pula sebaliknya, organisme yang mempunyai jenis makanan yang terbatas, akan sulit beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Alikodra 1980).

Padang pengge mbalaan (grazing area) merupakan salah satu komponen lingkungan yang mempunyai peranan sangat penting karena dapat menyediakan makanan bagi satwa liar dan juga sebagai tempat untuk melakukan aktivitas sosialnya (Alikodra 1979). Menurut Schroder (1976), padang rumput yang merupakan padang pengembalaan atau grazing area, disamping sebagai tempat sumber makanan, juga merupakan sumber air bagi satwa liar.

Air merupakan komponen habitat yang sangat dibutuhkan oleh satwa liar. Satwa liar memerlukan air untuk berbagai spesies, diantaranya digunakan untuk pencernaan makanan dan metabolisme, mengangkut bahan-bahan sisa, dan untuk mendinginkan dalam proses evaporasi. Demikian juga untuk mendapatkan air, jenis-jenis vertebrata liar memperoleh dari berbagai sumber, yaitu melalui air

bebas yang tersedia di danau, kolam, ataupun sungai, dan air yang terdapat pada parit-parit irigasi, bagian tanaman yang mengandung air, embun, dan air yang dihasilkan dari proses-proses metabolisme lemak maupun karbohidrat di dalam tubuh (Alikodra 1997a). Bila dikaji dari aspek ketergantungannya terhadap air, maka gajah termasuk golongan satwa water dependent spesies yaitu binatang yang memerlukan air untuk proses penghancuran makanan dan memperlancar proses pencernaannya.

Pelindung atau cover juga merupakan salah satu komponen lingkungan yang dapat menjamin berlangsungnya berbagai kegiatan, dan untuk mempertahankan kehidupannya. Keberadaan pelindung sangat diperlukan karena peranannya sangat penting untuk melindungi kegiatan reproduksi dan berbagai kegiatan satwa liar lainnya (Alikodra 1997a). Struktur vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung, yang menurut peranannya bagi kehidupan satwa liar merupakan tempat persembunyian (hiding cover) dan tempat penyesuaian terhadap perubahan temperatur (thermal cover). Di samping hal tersebut, menurut Alikodra (1979), pada umumnya pelindung atau cover mempunyai 2 fungsi utama yaitu sebagai tempat untuk hidup dan berkembang biak bagi margasatwa, dan juga sebagai tempat berlindung dari serangan predator. Pelindung dapat berupa pegunungan, hutan mangrove, padang rumput atau savana.

Dokumen terkait