• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi merupakan persentase dari banyaknya cemaran atau kontaminan bakteri dalam sejumlah sampel yang dianalisis. Pada penelitian ini cemaran atau kontaminan yang dimaksud adalah Campylobacter jejuni, sedangkan sampelnya berupa karkas ayam, dengan total 84 sampel yang diambil dari berbagai pasar tradisional dan modern di wilayah Bogor dan Jakarta. Menurut Doyle (1989), karkas ayam merupakan salah satu sumber utama untuk isolasi C. jejuni yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi pada manusia dapat berupa sakit diare, gastroenteritis, maupun Campilobakteriosis. Hasil isolasi C. jejuni dari 84 sampel karkas ayam yang dianalisis dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Prevalensi cemaran C. jejuni di wilayah Bogor dan Jakarta

Wilayah Jenis Pasar Jumlah sampel

Jumlah sampel yang

positif C. jejuni Prevalensi (%)

Bogor Tradisional 24 4 16,7 29,2

Modern 24 10 41,7

Modern 18 10 55,6

Total 84 30 35,7

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa tingkat prevalensi cemaran C. jejuni dari total 84 sampel karkas ayam adalah sebesar 35,7%. Tingkat prevalensi cemaran C. jejuni di pasar tradisional wilayah Bogor sebesar 16,7% atau lebih kecil daripada tingkat cemaran C. jejuni pada pasar modern yaitu sebesar 41,7%. Secara keseluruhan, tingkat prevalensi C. jejuni di wilayah Bogor adalah sebesar 29,2%. Sedangkan untuk wilayah Jakarta, tingkat prevalensi cemaran C. jejuni di pasar tradisional adalah sebesar 33,3% atau lebih kecil daripada tingkat prevalensi cemaran C. jejuni di pasar modern yaitu 55.6%. Secara keseluruhan, tingkat prevalensi C. jejuni di wilayah Jakarta adalah sebesar 44,4%. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa pada kedua wilayah yaitu Bogor dan Jakarta, tingkat prevalensi cemaran C. jejuni sampel dari pasar tradisional lebih rendah daripada pasar modern. Hal ini mungkin disebabkan beberapa hal, antara lain adanya kontaminan bakteri lain, kemungkinan pemakaian bahan pengawet dan penyimpanan daging ayam.

Berdasarkan penelitian Abdi (2007) diketahui bahwa rata-rata total mikroba pada sampel karkas ayam yang berasal dari pasar tradisional dan supermarket di Bogor adalah 7.4 Log CFU/g dengan nilai standar deviasi secara keseluruhan adalah sebesar 0.639. Tingginya nilai rata-rata total mikroba pada karkas ayam yang dijual di pasar tradisional maupun supermarket wilayah Bogor memperlihatkan bahwa karkas ayam yang dijual memiliki mutu mikrobiologi yang rendah.

Kandungan air sekitar 71%, aktivitas air (aw) berkisar 0,98-0,99, dan sumber nutrisi yang tinggi pada daging ayam dapat merangsang pertumbuhan bakteri, sehingga jumlah total mikroba pada karkas ayam tinggi. Namun tingginya nilai total mikroba tersebut bergantung pada cara penanganan dan penyimpanan karkas ayam. Menurut Fardiaz (1992), salah satu cara menghambat pertumbuhan mikroba yaitu dengan cara menurunkan suhu sehingga tercapai suhu pendinginan ataupun pembekuan.

Berdasarkan perhitungan total plate count (TPC) didapatkan total mikroba karkas ayam yang berasal dari pasar tradisional berkisar antara 6.8

sampai 8.5 Log CFU/g, sedangkan pada sampel supermarket nilai TPC berkisar antara 6.3 sampai 7.2 Log CFU/g. Sehingga dapat diketahui bahwa total mikroba karkas ayam yang berasal dari supermarket berada di bawah nilai rata-rata total mikroba. Hal ini dapat disebabkan karena tempat penjualan (display) karkas ayam di supermarket umumnya menggunakan sistem pendingin, sehingga pertumbuhan dari mikroba dapat dihambat.

Total mikroba pada sampel karkas ayam dari pasar tradisional berada di atas rata-rata total mikroba. Tingginya cemaran mikroba pada karkas ayam yang berasal dari pasar tradisional tersebut dapat disebabkan penanganan karkas ayam yang kurang higienis yang dilakukan oleh pedagang dan kondisi penyimpanan yang buruk. Kondisi ini dapat dilihat dari tempat penjualan yang tidak menggunakan pendingin dan berada di tempat udara terbuka, sehingga pada kondisi tersebut mengakibatkan mikroba mudah tumbuh.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa, sampel karkas ayam dari pasar tradisional memiliki total mikroba yang tinggi. Total mikroba yang tinggi pada sampel menyebabkan C. jejuni yang mungkin ada pada sampel memiliki banyak saingan untuk pertumbuhannya. Menurut McClure dan Blackburn (2003), Campylobacter tidak dapat bertahan sebaik bakteri patogen lain seperti Salmonella, dan bersifat sensitif terhadap keberadaan mikroba lain dan perlakuan fisik seperti kondisi kering, panas, asam, disinfektan, dan irradiasi. Dengan demikian, jika terdapat lebih banyak mikroorganisme pada sampel karkas ayam dari pasar tradisional, maka keberadaan C. jejuni cenderung lebih kecil dibandingkan sampel karkas ayam dari pasar modern (supermarket) seperti pada penelitian ini.

Beberapa sampel karkas ayam yang berasal dari pasar tradisional dimungkinkan sekali telah diberi bahan pengawet. Hal ini karena kondisi karkas ayam yang masih tampak baik, tidak berbau busuk, dan tanpa lalat, saat karkas ayam telah cukup lama dijual belikan oleh pedagang sejak masa penyembelihan ayam. Bahan pengawet seperti asam benzoat, asam askorbat, dan beberapa bahan pengawet yang lain diduga dapat menurunkan jumlah mikroba awal pada sampel karkas ayam, begitu juga jumlah C. jejuni. Menurut Fletcher et al dalam Doyle (1989), asam askorbat 0.05% dapat

menghambat pertumbuhan C. jejuni, dan produk oksidasinya yaitu L-asam askorbat lebih efektif dalam menghambat dan mengurangi jumlah C. jejuni dalam sampel.

Pada pasar tradisional, sampel karkas ayam ditata di atas meja terbuka, dan tanpa penyimpanan suhu dingin. Sehingga, sampel karkas ayam banyak terpapar oleh udara dan cahaya sekitar. Hal ini memungkinkan terjadinya pengurangan jumlah C. jejuni pada sampel sebelum dilakukan proses analisis cemaran C. jejuni di laboratorium. Menurut Doyle (1989), C. jejuni tidak dapat tumbuh dengan baik pada bahan pangan mentah hewani jika bahan pangan disimpan pada penyimpanan suhu ruang. Sedangkan di pasar modern (supermarket), sampel karkas ditempatkan pada kondisi penyimpanan suhu dingin (refrigerator) suhu 4-10 0C. Pada penyimpanan suhu refrigerator ini, bakteri C. jejuni lebih dapat bertahan hidup. Menurut Christopher dalam Doyle (1989), C. jejuni dapat bertahan hidup dengan baik pada sampel daging pada penyimpanan suhu dingin 1-10 0C, dengan pengurangan jumlah kurang dari 1 log10 setelah 48 jam. Dengan demikian, cukup jelas bahwa perbedaan perlakuan penyimpanan sampel karkas ayam antara pedagang di pasar tradisional dan pasar modern (supermarket) memungkinkan berpengaruh terhadap hasil pengujian prevalensi cemaran C. jejuni sehingga prevalensi cemaran C. jejuni pada sampel karkas ayam di pasar modern (supermarket) lebih tinggi jika dibandingan dengan prevalensi cemaran C. jejuni pada sampel karkas ayam di pasar tradisional.

Berdasarkan Tabel 11 juga dapat diketahui bahwa tingkat prevalensi cemaran C. jejuni pada sampel karkas ayam di wilayah Bogor yaitu sebesar 29,2%, lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat prevalensi cemaran C. jejuni pada karkas ayam di wilayah Jakarta yang sebesar 44,4%. Sebenarnya, tingkat prevalensi cemaran C. jejuni pada sampel karkas ayam antara kedua wilayah tidak dapat dibandingkan. Hal ini dikarenakan penggunaan metode yang sedikit berbeda untuk isolasi C. jejuni dari sampel karkas ayam yang berasal dari kedua wilayah tersebut. Sampel karkas ayam dari wilayah Bogor dianalisis dengan menggunakan metode modifikasi I BAM 2001, sedangkan sampel karkas ayam dari wilayah Jakarta dianalisis dengan menggunakan

metode modifikasi II BAM 2001. Ada beberapa perbedaan tahap proses analisis diantara kedua metode, seperti penggunaan tahap pra pengkayaan dan sentrifugasi pada metode modifikasi II BAM 2001, sedangkan pada metode modifikasi I BAM 2001 tahap tersebut dihilangkan. Penjelasan tentang kedua metode tersebut telah dibahas dibagian sebelumnya. Penggunaan metode yang berbeda untuk sampel dari wilayah Bogor dan Jakarta diduga cukup berpengaruh terhadap hasil pengujian tingkat prevalensi cemaran C. jejuni pada sampel karkas ayam di kedua wilayah.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait