• Tidak ada hasil yang ditemukan

Protein ikan bersifat tidak stabil dan mempunyai sifat dapat berubah (denaturasi) dengan berubahnya kondisi lingkungan. Larutan protein tersebut apabila diasamkan hingga mencapai pH 4,5-5 akan terjadi pengendapan. Sebaliknya apabila dipanaskan (pemasakan, penggorengan) proteinnya akan menggumpal (koagulasi). Protein juga dapat mengalami denaturasi apabila dilakukan pengurangan air, baik selama pengeringan maupun pembekuan (Zaitsev et al. 1969).

Protein ikan secara umum dapat digolongkan berdasarkan kelarutannya dalam air, lokasi terdapatnya, dan fungsinya. Berdasarkan kelarutannya dalam air, protein ikan dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu protein mudah larut dalam air, protein yang tidak larut dalam air dan protein yang sukar larut dalam air setelah diberi garam dalam konsentrasi tertentu (Hadiwiyoto 1993).

Berdasarkan lokasi terdapatnya dalam daging ikan, Protein ikan dapat diklasifikasikan menjadi protein miofibril, protein sarkoplasma, dan protein stroma (protein jaringan ikat) dengan komposisi kandungan miofibril 65-75%, sarkoplasma 20-30%, dan stroma 1-3% (Suzuki 1981).

2.3.1 Protein miofibril

Protein miofibril merupakan bagian yang terbesar dan merupakan jenis protein yang larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari miosin, aktin, dan protein regulasi yang merupakan gabungan antara aktin dan miosin yang membentuk aktomiosin. Golongan protein yang menyusun miofibril pada otot daging merupakan 50% lebih dari seluruh protein daging ikan (Zaitsev et al. 1969). Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel dan proses koagulasi, terutama dari fraksi aktomiosin (Suzuki 1981).

Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi otot. Protein ini dapat diekstrak dengan larutan garam netral yang berkekuatan ion sedang (> 0,5 M). Penampakan protein miofibril ikan mirip dengan otot hewan mamalia, tetapi lebih mudah

kehilangan aktivitas ATP-asenya dan laju agregasinya lebih cepat. Protein yang larut dalam larutan garam umumnya efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut dalam air (Wilson et al. 1981).

Aktin dan miosin merupakan anggota utama yang termasuk ke dalam golongan protein yang larut dalam larutan garam dengan konsentrasi 0,05 – 0,5%. Jumlah aktin dalam daging ikan kurang lebih 15-25%, miosin kurang lebih 50-60%, dan tropomiosin kira-kira 3-5% dari seluruh protein golongan ini. Aktin dan miosin merupakan protein yang labil sifatnya dan dapat membentuk aktomiosin yang lebih kompleks.

Miosin merupakan komponen protein miofibril terbesar di dalam daging ikan, yaitu sekitar 80% dari total protein miofibril (Shahidi dan Botta 1994). Menurut Chen (1995), miosin merupakan protein terpenting pada gelasi daging selama pemanasan dimana sisi aktifnya mengembang dan tidak menggulung setelah “setting”. Miosin juga merupakan protein yang paling penting dari semua protein otot, selain karena jumlahnya yang besar, miosin juga mempunyai sifat biologi khusus yaitu adanya aktivitas enzim ATP-ase dan kemampuannya pada beberapa kondisi dapat bergabung dengan aktin membentuk kompleks aktomiosin.

2.3.2 Protein sarkoplasma

Protein sarkoplasma sebagai protein terbesar kedua mengandung bermacam-macam protein yang larut dalam air yang disebut miogen. Kandungan sarkoplasma dalam daging ikan bervariasi, selain tergantung jenis ikannya juga tergantung habitat ikan tersebut. Ikan pelagis pada umumnya mempunyai kandungan sarkoplasma lebih besar daripada ikan demersal (Suzuki 1981). Jumlah protein ini tidak banyak, kira-kira 20-25% dari kandungan protein ikan (Lanier 2000).

Protein sarkoplasma tidak berperan dalam pembentukan gel dan kemungkinan akan merusaknya, sebagai contoh misalnya beberapa protease yang merusak miofibril (Hall dan Ahmad 1992). Protein sarkoplasma dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan dengan cara mengekstrak daging ikan dengan menggunakan air dingin. Pencucian dengan menggunakan suhu dingin ini

bertujuan untuk mempertahankan protein khususnya protein miofibril agar tidak mengalami kerusakan seperti denaturasi (Santoso et al. 1997).

2.3.3 Protein stroma

Protein stroma merupakan bagian terkecil yang membentuk jaringan ikat dan tidak dapat diekstrak dengan air, larut asam, larut alkali atau larutan garam pada konsentrasi 0,01-0,1 M. Protein stroma ini terdiri dari kolagen dan elastin dan merupakan protein yang terdapat pada bagian luar sel otot. Daging merah ikan pada umumnya mengandung lebih banyak protein stroma tapi lebih sedikit mengandung protein sarkoplasma jika dibandingkan dengan daging putih ikan. Daging merah ini terdapat di sepanjang tubuh bagian samping di bawah kulit, sedangkan daging putih terdapat pada hampir seluruh bagian tubuh (Suzuki 1981). Protein ini disusun dari kolagen dan elastin dengan jumlah sekitar 3% dari total protein otot ikan teleostei dan sekitar 10% dalam ikan elasmobranchii, sedangkan pada mamalia sekitar 17%. Protein stroma ini tidak dapat diekstrak oleh larutan asam, alkali atau garam berkekuatan ion tinggi. Selain protein stroma, protein kontraktil seperti konektin dan desmin juga tidak dapat terekstrak (Hultin 1985). Protein stroma dalam pengolahan surimi tidak dihilangkan karena mudah dilarutkan oleh panas (kolagen) dan merupakan komponen netral pada produk akhir (Hall dan Ahmad 1992).

2.4 Surimi

Surimi dapat didefinisikan sebagai bentuk cincang dari daging ikan yang telah mengalami proses penghilangan tulang (deboning), pencucian dan penghilangan sebagian air (dewatering) sehingga dikenal sebagai protein konsentrat basah (wet concentrate protein) dari daging ikan (Okada 1992). Surimi merupakan protein miofibril yang telah distabilkan dan dicampur dengan cryoprotectant bila disimpan dalam keadaan beku (Park dan Lin 2005). Surimi digunakan sebagai bahan dasar pengolahan produk tradisional Jepang “kamabako”. Saat ini surimi dikenal sebagai daging lumat yang telah mengalami proses pencucian. Salah satu keunggulan surimi adalah kemampuannya untuk diolah menjadi berbagai macam produk lanjutan.

2.4.1 Mutu surimi

Surimi dengan mutu yang paling bagus adalah surimi dengan derajat putih yang paling tinggi, paling bersih dan kekuatan gelnya paling tinggi (Mitchell 1986). Martin et al. (1982) menambahkan bahwa kriteria penting yang dapat menentukan kualitas surimi adalah kekuatan gel yang dapat dibentuk oleh surimi tersebut. Komponen yang berperan dalam pembentukan gel adalah protein miofibril yang dapat diekstrak dengan larutan garam netral.

Mutu surimi beku umumnya dinilai dari kekuatan gelnya dan warna yang sangat tergantung dari faktor-faktor seperti spesies ikan, kesegaran ikan, metode dan pengawasan pengolahan, kadar air, pengawasan suhu pembekuan dan penyimpanan serta kondisi penanganan dan distribusi. Penentuan mutunya dilakukan dengan mengukur kekuatan gel dan penilaian organoleptik, uji lipat dan uji gigit (Tan et al. 1987).

Persyaratan bahan baku surimi menurut Badan Standardisasi Nasional (BSN) (2006) yaitu bahan baku surimi beku berasal dari ikan demersal dan ikan pelagis segar yang sudah atau belum disiangi serta berasal dari perairan yang tidak tercemar. Mutu bahan baku surimi adalah sebagai berikut :

1. Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat- sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan.

2. Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran seperti berikut :

- Kenampakan : mata cerah, cemerlang

- Bau : segar

Tabel 4 Syarat mutu dan keamanan pangan surimi beku

Jenis uji Satuan Persyaratan

a Organoleptik angka (1-10) minimal 7

b Cemaran mikroba:

- ALT koloni/gram

- Escherichia coli APM/g maksimal 5,0x105

- Salmonella APM/g negatif

- Vibrio cholera APM/g negatif

- Vibrio parahaemolyticus* APM/g maksimal<3

(kanagawa positif) c Cemaran kimia - Raksa (Hg)* mg/kg maksimal 1 - Timbal (Pb)* mg/kg maksimal 0,4 - Histamin* mg/kg maksimal 100 - Cadmium (Cd)* mg/kg maksimal 0,1 d Kadar air % 80-82 e Fisika:

- Suhu pusat oC maksimal -18

f Filth potong 80-82

Catatan* Bila diperlukan

APM = Angka paling memungkinkan Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2006).

Kriteria yang paling penting dalam menentukan mutu surimi adalah elastisitas produk yang dihasilkan karena hasil pembentukan gel ikan. Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap elastisitas produk surimi diantaranya jenis ikan, kesegaran ikan, pH, kadar air, pencucian, suhu dan waktu pemasakan dan jumlah zat penambah, seperti garam, gula, polipospat, monosodium glutamat, pati dan putih telur. Perlakuan pencincangan dan penggilingan juga menentukan tekstur (Heruwati et al. 1995).

2.4.2 Pembentukan gel surimi

Pembentukan gel protein daging terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah denaturasi protein (tidak menggulungnya rantai protein) dan tahap kedua adalah terjadinya agregasi protein membentuk struktur tiga dimensi (Niwa 1992). Mackie (1992) menyimpulkan bahwa ada dua hal yang diperlukan untuk menghasilkan produk gel, yaitu: (1) protein miofibril harus dilarutkan dalam larutan garam, dan (2) pemanasan untuk membentuk gel, protein harus terdenaturasi sehingga membentuk struktur jala yang teratur dan mampu menahan

air yang terdapat dalam surimi. Menurut Venugopal et al. (1994) selain garam, asam lemah (asam asetat dan asam laktat) juga dapat menyebabkan denaturasi protein yang memudahkan proses pembentukan gel yang ditunjukkan dengan meningkatnya viskositas. Akan tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya jika yang ditambahkan adalah asam kuat seperti HCl, asam sitrat dan asam tartrat.

Penambahan garam dalam pembuatan surimi dapat memperbaiki sifat gel, dan kekuatan gel optimum tercapai pada konsentrasi garam 2-3%. Konsentrasi garam minimum yang ditambahkan untuk mengekstrak protein miofibril dan jaringan ikan adalah ±2% dari berat daging pada pH 7. Konsentrasi garam yang digunakan menjadi lebih besar jika pH diturunkan (Suzuki 1981).

Pembentukan gel ikan terjadi pada saat penggilingan daging mentah dengan penambahan garam. Aktomiosin (miosin dan aktin) sebagai komponen yang paling penting dalam pembentukan gel akan larut dalam larutan garam, membentuk sol (dispersi partikel padat dalam medium cair) yang sangat adhesif. Bila sol dipanaskan akan terbentuk gel dengan konstruksi seperti jala dan memberikan sifat elastis pada daging ikan. Sifat elastis ini disebut ashi atau suwari. Kekuatan ashi merupakan nilai mutu dari produk gel ikan misalnya kamaboko yang kekuatannya berbeda-beda menurut jenis dan kesegaran ikan (Tanikawa 1985).

Menurut Lee (1984), gel suwari terbentuk tidak hanya melalui hidrasi molekul protein saja, tetapi juga pembentukan struktur jaringan oleh ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik dan molekul protein miofibril. Setting pada suhu rendah akan membentuk ikatan hidrogen dalam gel, sedangkan ikatan hidrofobik akan mendominasi gel yang dibentuk dengan setting pada suhu tinggi.

Konstruksi jala dapat terbentuk dan konjugasi molekul-molekul protein yang diikat oleh suatu jembatan seperti garam, atau ikatan antara karbonil dengan radikal amino pada peptida oleh hidrogen atau oleh radikal disulfida yang terbentuk dan radikal sulfhidril. Pasta daging ikan apabila dibiarkan pada suhu kamar dalam waktu lama, maka sifat elastis akan hilang dan daging menjadi mudah patah, fenomena ini dikenal dengan modori. Fenomena modori ini juga dapat terjadi apabila daging dipanaskan pada suhu rendah dalam jangka waktu yang lama (Tanikawa 1985). Fenomena modori terjadi pada suhu sekitar 60 oC,

karena pada suhu tersebut protease akan lebih aktif terhadap aktomiosin yang menyebabkan lemahnya gel yang dihasilkan (Haard et al. 1994). Fenomena perubahan elastisitas dapat dijelaskan dengan dispersi molekul-molekul protein (Tanikawa 1985).

2.4.3 Cryoprotectant

Cryoprotectant adalah bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. Fungsi cryoprotectant adalah untuk menghambat proses denaturasi protein selama pembekuan dan penyimpanan beku.

Penambahan zat ini penting untuk menjamin sifat fungsional surimi beku mengingat pembekuan dapat berpengaruh menyebabkan denaturasi dan agregasi. Jumlah yang ditambahkan sekitar 3-5%. Bahan yang sering digunakan sebagai cryoprotectant adalah dari golongan karbohidrat dengan bobot molekul rendah seperti sukrosa. Sorbitol juga umum digunakan dan merupakan cryoprotectant terkuat. Penambahan sukrosa tanpa sorbitol akan mengakibatkan surimi menjadi manis dan warnanya berubah selama pembekuan (Park dan Morrissey 2000).

Cryoprotectant juga dapat meningkatkan kekuatan gel. Sering pula ke dalam surimi ditambahkan bahan lain dengan maksud untuk memperbaiki sifat surimi terutama sifat elastisitas dan kelembutannya, seperti dengan penambahan 0,2-0,3% polifosfat dalam bentuk garam natrium tripolifosfat atau campurannya dengan tetrasodium pyrofosfat (1:1) yang akan bersifat sinergis dengan karbohidrat (Peranginangin et al. 1999).

2.5 Edible Coating

Edible coating adalah lapisan tipis bahan yang dibentuk secara langsung dengan mencelupkan (dipping), penyemprotan (spraying), atau panning ke permukaan dari produk makanan dengan maksud untuk melindungi serta meningkatkan nilai tambah produk (Krochta 2002). Fungsi edible coating adalah untuk melindungi produk dari kerusakan mekanis, fisik, kimia, dan aktivitas mikrobiologi. Edible coating menghasilkan suatu kondisi atmosfir termodifikasi pasif, yang dapat mempengaruhi berbagai perubahan pada produk segar dan bahan

pangan terolah minimal dalam beberapa hal seperti sifat antioksidan, warna firmness, kualitas sensori, menghambat pertumbuhan mikroba, komponen volatil yang dihasilkam dari proses anaerobik (Falguera et al. 2011).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Riyanto (2006) menunjukkan bahwa dengan pemberian coating dengan isinglass pada produk udang masak mampu mencegah perubahan kimia akibat oksidasi, sehingga mampu mempertahankan perubahan warna produk. Pelapis edible dari isinglass juga mampu melindungi udang masak dari kontaminasi mikroba. Hasil yang sama juga diperoleh pada proses coating yang telah diteliti oleh Ismudiyati (2003) pada filet ikan patin menggunakan coating kappa karagenan semi refine dapat menghambat pertumbuhan mikroba hingga hari ke-10 pada produk yang diberi coating terdapat bakteri sebanyak 1,5 x 106 koloni/g, sedangkan pada produk tanpa coating terdapat bakteri sebanyak 2 x 107 koloni/g. Hasil penelitian Julikartika (2003) melaporkan bahwa udang kupas rebus yang dilapisi edible coating dari natrium alginat mampu menghambat susut bobot sebesar 36%. Selanjutnya, Mastromatteo et al. (2010) menemukan bahwa coating aktif dari minyak thymol pada udang peeled ready to use efektif mengurangi kerusakan kualitas sensori selama penyimpanan refrigerasi dan dapat menghambat pertumbuhan mikroba terutama pada awal penyimpanan.

Edible film dan coating dalam perkembangannya telah lama digunakan sebagai pelindung produk pangan. Contohnya adalah aplikasi gula dan coklat sebagai coating pada permen, coating lilin pada buah-buahan, lemak cair atau minyak juga sering kali digunakan sebagai coating pada produk pangan. Edible film juga sangat menarik dan seringkali digunakan sebagai parameter terhadap kualitas dan stabilitas beberapa produk pangan (Gontard dan Guilbert 1994).

Menurut Donhowe dan Fennema (1994), terdapat beberapa metode dalam pembuatan edible film dan coating, yaitu :

1. Pencelupan (dipping)

Metode ini merupakan metode aplikasi dari coating, produk yang akan dilapisi dicelupkan dalam larutan yang akan digunakan sebagai bahan coating. Metode ini sudah diaplikasikan sebagai pengemas atau pelapis pada produk daging, ikan, produk ternak, sayur, dan buah-buahan.

2. Penyemprotan (spraying)

Pada metode ini, larutan bahan yang akan digunakan sebagai coating disemprot, kemudian dikeringkan sehingga lapisan dapat menempel pada produk dengan baik.

3. Pembungkusan (casting)

Pembungkusan atau casting, merupakan metode yang digunakan dalam pembuatan edible film. Metode ini diawali dengan pembuatan larutan bahan pembentuk film, kemudian dituangkan dalam cetakan dengan ketebalan tertentu, dilanjutkan dengan pengeringan. Film yang telah kering diangkat dari cetakan dan siap untuk diaplikasikan. Ketebalan film dapat dikontrol sehingga dihasilkan film dengan ketebalan yang lebih rata.

2.7 Udang dan Komponen Udang

Udang termasuk ke dalam kelompok krustasea. Bagian tubuh udang terdiri dari dua bagian yaitu gabungan antara kepala,dengan dada (chepalothorax) dan perut (abdomen). Udang mempunyai kerangka luar yang keras, sehingga untuk tumbuh menjadi besar udang perlu membuang kulit lama, dan menggantinya dengan kulit baru. Peristiwa dikenal sebagai pergantian kulit (moulting). Struktur anatomi udang disajikan pada Gambar 3.

Udang vannamei merupakan organisme akuatik asli pantai Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Udang vannamei memiliki nama umum pacific white shrimp, camaron blanco, dan longostino. Udang vannamei juga mempunyai nama FAO yaitu whiteleg shrimp, crevette pattes blanches, dan camaron patiblanco. Komposisi kimia udang tergantung kepada spesies, umur, jenis kelamin dan musim penangkapan serta ketersediaan pakan di air, habitat dan kondisi lingkungan. Kandungan protein dan mineral daging udang relatif konstan, tetapi kadar air dan kadar lemak berfluktuasi. Kandungan lemak pada daging semakin besar, maka kandungan air akan semakin kecil dan begitu juga sebaliknya (Simson et al. 1998). Komposisi kimia udang vannamei (Litopenaeus vannamei) disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi kimia udang vannamei (Litopenaeus vannamei) segar

Komposisi % Berat Basah

Kadar air 77,21± 0,18

Abu 1,47± 0,10

Protein 18,8± 0,23

Lemak 1,30± 0,09

Sumber: Sriket et al. (2007)

Udang segar memiliki ciri-ciri rupa dan warna bening, spesifik jenis, cemerlang, sambungan antar ruas kokoh, kulit melekat kuat pada daging. Bau segar spesifik menurut jenisnya, jika diamati bentuk dagingnya kompak, elastis, dan rasanya manis. Pembentukan rasa dalam produk hasil perikanan merupakan peranan dari asam amino-asam amino yang dikandungnya. Asam amino-asam amino yang berperan pada umumnya adalah asam glutamat, glisin, alanin, arginin, metionin, valin, dan prolin (Yamaguchi dan Watanabe 1988). Glisin dan alanin berperan pada munculnya rasa manis, prolin pada rasa manis dan pahit, selain itu lisin dan alanin memiliki efek sinergis pada campuran senyawa yang mengandung asam glutamat (Kato et al. 1989). Hidrolisis trypsin dan chymotrypsin pada udang segar dan beku keduanya menghasilkan hidrolisat dengan kandungan asam amino yang tinggi, alanin, prolin, glisin, dan arginin, yang penting dalam flavor krustasea. (Simson et al. 1998). Komposisi asam amino udang segar disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi asam amino udang vannamei (Litopenaeus vannamei)

Asam amino mg/100 g daging

Asam aspartat+aspargin 1704 Hidroksiprolin 215 Treonin 1129 Serin 1027 Asam glutamat+glutamin 1504 Prolin 3862 Glisin 871 Alanin 1601 Sistein 547 Valin 1078 Metionin 1298 Isoleusin 2411 Leusin 3153 Tirosin 1967 Penilalanin 1967 Lisin 630 Histidin 666 Arginin 3494

Sumber: Sriket et al. (2007)

Udang termasuk komoditas yang cepat rusak dan bahkan lebih cepat dibandingkan dengan komoditas daging hewan lainnya. Kecepatan pembusukan udang setelah ditangkap atau dipanen sangat dipengaruhi oleh teknik penangkapan dan pemanenan, kondisi biologis udang, dan teknik penanganannya. Sehingga setelah udang ditangkap atau dipanen harus segera dilakukan pendinginan atau pembekuan.

Bentuk-bentuk olahan udang yang akan dibekukan tergantung dari jenis udang, mutu bahan baku, dan pesanan dari pihak konsumen. Menurut Purwaningsih (1995), bentuk olahan dari udang beku adalah sebagai berikut: 1. Head On yaitu produk udang beku yang utuh lengkap dengan kepala, badan,

kulit, dan ekor.

2. Headless (HL) yaitu produk udang beku yang diproses dalam bentuk kepala sudah dipotong, tetapi masih memiliki kulit, kaki, dan ekor.

3. Peeled yaitu produk udang beku tanpa kepala, kulit, dan tanpa atau dengan ekor. Peeled terdiri dari:

a. Peeled tail on (PTO) yaitu produk udang beku tanpa kepala dan kulit dikupas mulai dari ruas pertama sampai ruas kelima, sedangkan ruas terakhir dan ekor disisakan.

b. Peeled deveined tail on (PDTO) yaitu produk udang kupas (hampir sama dengan PTO), tetapi pada bagian punggung udang diambil vein (kotoran perutnya).

c. Peeled and deveined (PD) yaitu produk udang yang dikupas seluruh kulit serta ekornya dan bagian punggungnya dibelah untuk mengambil kotoran perut.

d. Peeled undeveined (PUD) yaitu produk udang beku yang dikupas seluruh kulit dan ekor seperti pada produk PD, tetapi tanpa mengambil kotoran ekor.

e. Butterfly yaitu produk udang beku hampir sama dengan produk PDTO dimana kulit udang dikupas mulai dari ruas pertama sampai ruas kelima, sedangkan ruas terakhir dan ekor disisakan. Kemudian bagian punggung dibelah sampai pada bagian perut bawahnya, tetapi tidak sampai putus dan kotoran perutnya dibuang.

4. Value Added Product (VAP) yaitu produk udang beku yang mendapat perlakuan tambahan. Udang yang diproduksi sebagai produk VAP adalah udang ukuran 21 dan 31. Produk VAP ada 2 jenis, yaitu:

a. VAP belly cut (BC) yaitu produk udang beku yang dikupas dan disisakan satu ruas di dekat ekor kemudian dipijit dan diluruskan.

b. VAP non belly cut (NBC) yaitu produk udang beku yang dikupas, tetapi tidak dipijit dan diluruskan, hanya dibuang ususnya.

Bahan pigmen utama udang adalah astaxanthin, satu dari pigmen utama karotenoid. Memberikan warna merah-orange pada jaringan (Yamaguchi 1994 dalam Yanar et al. 2004). Kandungan karotenoid pada udang berbeda-beda, tergantung habitat, pakan, dan musim. Kandungan karotenoid pada udang spesifik pada setiap spesies dan sangat bervariasi dengan daerah geografis walaupun pada spesies yang sama (Yanar et al. 2004). Astaxanthin disusun oleh tiga stereoisomer dalam suatu campuran rasemik membentuk kompleks dengan protein yang terakumulasi dalam eksoskeleton krustasea (Schiedt et al. 1993) Kompleks ini

dapat berwarna hijau, atau biru dalam hewan hidup, menjadi berwarna merah jika dipanaskan (Britton 1996).

2.8 Udang Rebus (Cooked Shrimp)

Udang sebagai produk perikanan yang mudah mengalami kerusakan, biasanya memiliki nilai komersial yang lebih tinggi jika dijual dalam bentuk udang masak. Udang masak merupakan produk udang yang telah mengalami proses pemasakan baik melalui perebusan maupun pengukusan. Industri pengolahan udang masak pada umumnya dilakukan pada skala besar dalam wadah dengan kuantitas air yang banyak. Ketika udang dimasukkan ke dalam wadah, suhu air akan menurun kemudian akan meningkat kembali sampai suhu 100 oC. Udang selanjutnya direbus dalam air mendidih sesuai dengan waktu yang telah ditentukan untuk memastikan aman dari bakteri dan diperoleh kualitas daging yang optimum (Alvarez et al. 2009).

Udang rebus seperti produk perikanan lainnya, selama proses penanganan, pengolahan, dan penyimpanan akan mengalami kemunduran mutu. Kemunduran mutu ini terjadi karena adanya proses dekomposisi dalam produk. Menurut Food and Drug Administration (FDA) (1998), dekomposisi adalah suatu penguraian oleh bakteri atau akibat perubahan kimia enzimatis pada jaringan produk. Perubahan ini selanjutnya diperlihatkan dengan timbulnya penyimpangan pada kenampakan, warna, rasa, tekstur, dan penyimpangan yang lainnya pada produk.

Udang umumnya mengandung lemak sebesar 1,2%, dimana komponen utama yang paling banyak adalah phospholipid. Adanya cahaya dan oksigen akan menyebabkan asam lemak menjadi teroksidasi. Oksidasi lemak tersebut selanjutnya akan menghasilkan bau seiring dengan semakin lamanya proses penyimpanan produk (Johnston et al. 1983). Oksidasi lemak cenderung terjadi pada saat penyimpanan beku dibandingkan dengan penyimpanan dingin, dan dapat berkaitan dengan enzim maupun non enzim. Enzim-enzim seperti lipoksigenase, peroksidase, dan enzim-enzim mikrosomal dari jaringan otot hewan kemungkinan besar dapat memulai peroksidasi lemak yang menghasilkan

Dokumen terkait