• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Water Supply and Demand (Pasokan dan Permintaan Air)

2.1.3 Proyeksi Ketersediaan dan Kebutuhan Air

Menurut proyeksi International Food Policy Research Institute (IFPRI) (1997) kebutuhan air Indonesia tahun 2020 untuk keperluan pertanian, industri dan domestik dibandingkan tahun 1995 meningkat berturut-turut 25%, 400% dan

Pulau Luas Wilayah Potensi air permukaan (m3/dt) Potensi air bumi (m3/dt) Low flow tersedia (m3/dt) Permintaan (m3/dt)

Irigasi DMI Total

Jawa/Bali 139 6199 95 786 950 124 1074 Nusa Tenggara 81 1777 21 90 70 3 73 Sumatera 470 23660 N/A 4704 271 26 297 Kalimantan 535 32279 N/A 6956 19 7 26 Sulawesi 187 2488 44 561 120 6 126 Maluku 78 3373 9 391 5 1 6

Papua Barat 414 28061 N/A 4140 2 1 1

300%. Sementara itu, secara kuantitas volume air yang ada relatif konstan bahkan yang dapat digunakan (utilizable) cenderung menurun antara lain akibat pencemaran, rusaknya kondisi biofisik DAS. Salah satu indikatornya adalah tingginya fluktuasi debit pada musim hujan dan kemarau serta rentannya (susceptible) pasokan air akibat deraan anomali iklim seperti El-Niño dan La-Niña.

Masalah air di Indonesia cukup kritis. Untuk menjamin keberlanjutan ketersedian air perlu upaya-upaya pengelolaan air yang baik, terpadu dan profesional. Masalah utama pengelolaan sumber daya air di Indonesia antara lain: (1) Kelangkaan lokal dalam alokasi air di beberapa sektor karena peningkatan

jumlah penduduk dan peningkatan permintaan air bersih, khususnya di perkotaan. Meskipun total ketersediaan air bersih di Indonesia masih cukup tinggi sekitar 13000 m3 /kapita/tahun, tetapi ketersediaan di beberapa wilayah tidak sama. Misalnya di Jawa, dengan hanya 4,5% dari total potensial air bersih nasional, harus menyokong 65% penduduk Indonesia dari total 210 juta orang. Akibatnya terjadi krisis air selama musim kemarau. Di sisi lain, permintaan air bersih terutama di Jawa meningkat setiap tahun. Menurut data dari Kimpraswil permintaan air bersih meningkat 220% antara 1990 dan 2020 (Sarwoko dan Anshori, 2003).

(2) Kemampuan akses untuk air bersih dari institusi pengelola dan kemampuan infrastruktur air bersih di perkotaan untuk menyediakan cepatnya permintaan air bersih. Penelitian WATSAL menyebutkan bahwa di perkotaan, hanya sekitar 40% dari seluruh wilayah perkotaan yang mendapatkan akses dari air PAM. Sehingga, masyarakat mengandalkan air tanah untuk memenuhi keperluan sehari-hari dan untuk industri. Diperkirakan 80% keperluan air bersih penduduk perkotaan dan pedesaan disuplai dari air tanah dan 90% industri juga menggunakan air bersih (Yousana OP Siagian, 2003).

(3) Kecerobohan perencanaan dengan tidak adanya perhatian pada kelangsungan lingkungan dan budaya lokal menyebabkan stres pada lingkungan. Sedangkan industrialisasi dan urbanisasi akan menambah stres.

Rata-rata tahunan curah hujan atau ketersediaan air di Indonesia cukup berlimpah, tetapi terdapat variasi antar wilayah dan antar waktu, sehingga sering terjadi kekurangan air di wilayah rawan kekeringan, dan banjir di tempat lain atau

waktu lain. Hal ini jelas mengganggu keberlanjutan sistem produksi pertanian nasional, termasuk bahan pangan.

Kebutuhan air pertanian relatif terpenuhi di wilayah irigasi teknis yang telah dilengkapi dengan bendungan dan saluran-saluran irigasinya. Itupun pada akhir- akhir ini mengalami kekurangan air apabila terjadi anomali iklim, yang sering tidak dapat diramalkan sebelumnya. Sedangkan pertanian tadah hujan, terutama di wilayah beriklim kering seperti Indonesia Bagian Timur, selalu terancam oleh risiko kekurangan air.

Dewasa ini, masalah meningkatnya tekanan terhadap sumber daya air di beberapa tempat sudah semakin besar, disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan permintaan akibat pertumbuhan ekonomi dan proses urbanisasi (Pasandaran, 1996).

Karena ketersediaan air secara kualitas cenderung menurun, maka akan mempengaruhi pemenuhan air untuk kebutuhan rumah tangga, sektor pertanian, industri, dan lingkungan. Pada saat ini, permintaan air tersebut masih dapat dipenuhi karena ketersediaan air jauh lebih besar dari permintaannya (Tabel 3). Bahkan kebutuhan air sampai tahun 2020 masih dapat dipenuhi dari air yang tersedia saat ini. Neraca kebutuhan air tahun 2003 dan 2020 disajikan pada Tabel 4 dan 5.

Secara global sampai dengan tahun 2020 diperkirakan kebutuhan produksi padi nasional meningkat hingga 71,55 juta ton dengan peningkatan kebutuhan pengembangan sumber daya air sebesar 45-57,5% dibanding tahun 1998 (Pasandaran dan Sugiharto, 1999). Selanjutnya menurut Napitupulu (1999) kebutuhan air irigasi sawah di Indonesia pada tahun 1998 diperkirakan ± 71,676 juta meter kubik (MMC)/tahun, sementara itu untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam 10 tahun mendatang (dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk nasional 1,6%/tahun) diperlukan air 90-100 MMC/tahun. Sebagai gambaran kapasitas waduk Jatiluhur hanya 2 juta MMC, sehingga paling tidak perlu dibangun 45-50 buah waduk sejenis untuk memenuhi kebutuhan air tersebut, apalagi dengan kondisi pendanaan yang tampaknya semakin sulit. Disisi lain pada saat ini persaingan penggunaan air antar sektor sedemikian meningkat akibat peningkatan pertumbuhan penduduk. Apalagi ada indikasi bahwa gejala anomali iklim, baik El- Nino maupun La-Nina semakin kerap terjadi.

Tabel 3 Ketersediaan dan permintaan air aktual untuk keperluan rumah tangga, perkotaan, industri dan irigasi

No Propinsi Ketersediaan Permintaan Saat Ini (2002) dalam m3/dt

Rata-rata R.Tangga Perkotaan Industri Irigasi Total

1 N. Aceh D. 3,042.21 9.34 3.98 - 126.54 139.86 2 Sumatra Utara 2,948.79 87.46 37.32 9.42 166.51 300.71 3 Sumatra Barat 1,670.69 8.00 3.41 93.01 - 104.42 4 Riau 5,020.67 15.76 6.73 - 74.42 96.91 5 Jambi 2,680.65 6.17 2.63 - 31.14 39.94 6 Sumsel (Bangka/Belitung) 4,793.82 26.96 11.50 - 62.67 101.13 7 Bengkulu 1,662.20 2.97 1.27 - 41.96 46.20 8 Lampung 1,528.41 17.82 7.60 - 94.67 120.09 SUMATRA 23,347.44 174.48 74.44 102.43 597.91 949.26 9 DKI Jakarta 317.45 31.41 13.77 14.14 75.85 135.17 10 Banten 252.38 1.11 0.49 1.59 29.05 32.24 11 Jawa Barat 2,171.14 24.00 9.00 20.00 372.00 425.00 12 Jawa Tengah 1,665.18 17.95 7.87 - 337.28 363.10 13 DI Yogyakarta 175.23 3.89 1.71 - 50.01 55.61 14 Jawa Timur 1,354.95 24.99 10.96 11.55 419.26 466.76 JAWA 5,936.33 103.35 43.80 47.28 1,283.45 1,477.88 JAWA+BALI 6,109.24 105.25 44.59 47.28 1,374.40 1,571.52 15 Kalbar 10,154.14 3.51 1.47 - 5.17 10.15 16 Kalsel 5,668.41 5.69 2.38 - 7.18 15.25 17 Kalteng 5,824.04 8.96 3.75 - 0.38 13.09 18 Kaltim 10,318.37 14.41 6.03 - 3.26 23.70 KALIMANTAN 31,964.96 32.57 13.63 0.00 15.99 62.19 19 Bali 172.91 1.90 0.79 90.95 93.64 20 NTB 404.90 1.90 0.79 - 164.65 167.34 21 NTT 907.98 1.52 0.64 - 23.70 25.86 BALI+ N.TENGGARA 1,485.79 5.32 2.22 0.00 279.30 286.84 N.TENGGARA 1,312.88 3.42 1.43 0.00 188.35 193.20 22 Sulawesi Utara 1,003.93 2.13 0.89 - 42.69 45.71 23 Gorontalo 221.91 0.81 0.34 - 11.22 12.37 24 Sulteng 3,683.12 8.92 3.74 - 71.97 84.63 25 Sultra 217.69 0.71 0.30 - 6.04 7.05 26 Sulsel 2,698.76 9.05 3.79 1.10 232.03 245.97 SULAWESI 7,825.41 21.62 9.06 1.10 363.95 395.73 27 Maluku Utara 1,324.00 0.28 0.12 - 0.80 1.20 28 Maluku 1,994.17 5.78 2.42 - 10.02 18.22 29 Papua 27,786.00 13.41 5.62 - 2.32 21.35

MALUKU dan PAPUA 31,104.17 19.47 8.16 0.00 13.14 40.77

INDONESIA 101,664.10 356.81 151.31 150.81 2,553.74 3,212.67

Sumber: Sub Direktorat Hidrologi, Direktorat Pemanfaatan Sumber daya Air, Dep.Kimpraswil (2003)

Tabel 4 Neraca air pada MK tahun 2003

No. Pulau

Tahun 2003

Kebutuhan (kemarau) Ketersediaan (kemarau) Neraca

Milyar m3 (%)* Milyar m3 (%)

1. Sumatera 11.6 17.5 96.2 19.9 surplus

2. Jawa Bali 38.4 57.8 25.3 5.2 defisit

3. Kalimantan 2.9 4.3 167.0 34.6 surplus

4. Nusa Tenggara 4.3 6.5 4.2 0.9 defisit

5. Sulawesi 9.0 13.6 14.4 3.0 surplus

6. Maluku 0.1 0.2 12.4 2.6 surplus

7. Papua 0.1 0.1 163.6 33.9 surplus

Tabel 5 Proyeksi keadaan neraca air pada MK tahun 2020

No. Pulau

Tahun 2020

Kebutuhan (kemarau) Ketersediaan (kemarau)

Neraca

Milyar m3 (%)* Milyar m3 (%)

1. Sumatera 13.3 17.6 96.2 19.9 Surplus

2. Jawa Bali 44.1 58.4 25.3 5.2 Defisit

3. Kalimantan 3.5 4.6 167.0 34.6 Surplus

4. Nusa Tenggara 4.7 6.2 4.2 0.9 defisit

5. Sulawesi 9.7 12.8 14.4 3.0 surplus

6. Maluku 0.1 0.2 12.4 2.6 surplus

7. Papua 0.2 0.2 163.6 33.9 surplus

Sumber: Sub Direktorat Hidrologi, Dep.Kimpraswil, 2000

.

Ketersediaan sumber daya air nasional (annual water resources, AWR) memang masih sangat besar, terutama di wilayah barat, akan tetapi tidak semuanya utilizable. Sebaiknya di sebagian besar wilayah timur yang radiasi suryanya melimpah, curah hujannya rendah (< 1500 mm/tahuin) yang terdistribusi selama 3- 4 bulan saja. Kondisi sumber daya air yang berbeda akan memerlukan strategi pengelolaan dan sistem usahatani yang berlainan pula. Total pasokan atau ketersediaan air wilayah (air permukaan dan air bumi) di seluruh Indonesia adalah 2110 mm/tahun setara dengan 127.775 m3/detik (Tabel 6) (Pawitan, et al, 1996; Las, Pawitan, Sarnita,1998).

Berdasarkan analisis “water-demand-supply 2020” oleh International Water

Management Institute (IWMI), Indonesia dikategorikan sebagai negara kelompok 3 berdasarkan kebutuhan dan potensi sumber daya airnya yang membutuhkan pengembangan sumber daya 25-100% dibanding saat ini (Seckler, et al., 1998). Tabel 6 Total air tersedia menurut wilayah/kepulauan di Indonesia

Wilayah/ Pulau Luas

(Km2)

Curah Hujan (mm/th)

Total Air Tersedia Keb. air

irigasi MCM (mm/th) (m3/det) MCM Sumatera 477.379 2.801 2.128 32.198 1015.396 19.417 Jawa 121.304 2.555 1.915 7.360 232.105 32.255 Bali & NT 87.939 1.695 1.167 3.251 102.525 3.808 Kalimantan 534.847 2.956 2.264 38.369 1210.004 8.123 Sulawesi 190.375 2.156 1.568 9.458 298.267 7.855 Maluku/Papua 499.300 30.221 2.221 37.139 1171.215 218 Indonesia 1911.144 2.779 2.110* 127.775 4029.512 71.676

Sumber : Pawitan et al (1996) dan Napitupulu(1999) data diolah,

Sementara itu secara hidrologis masih terdapat peluang yang cukup besar untuk meningkatkan ketersediaan air melalui pemanfaatan air limpasan (direct runoff) sebesar kurang lebih 45% dari total hujan, sedangkan sisanya yaitu 55% akan dievapotranspirasikan (Seckler et al, 1998). Di Indonesia pada beberapa DAS yang kritis prosentase air limpasannya lebih dari 50%, sehingga proporsi air yang disimpan sebagai cadangan air tanah sangat rendah dan sering menyebabkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Sementara itu potensi sumber daya air tanah cukup besar, yaitu dengan debit 4,7 x 109 m3/tahun dari 224 cekungan yang tersebar diseluruh Indonesia. Sumber daya air tersebut pada musim kemarau sangat potensial untuk suplemen air permukaan (irigasi dan curah hujan bagi kebutuhan pertanian (Soetjipto, 1997).

Hasil penelitian teknologi panen hujan dan aliran permukaan di Sub DAS Kripik menunjukkan bahwa teras sawah dapat menurunkan debit puncak dari 14,42 menjadi 11.40 m3/detik, dan memperpanjang waktu terjadinya debit puncak selama 42 menit (Irianto, 1999). Debit puncak pada lahan yang diteras lebih rendah 3,02 m3/detik dibandingkan dengan lahan tidak diteras, sedangkan waktu respon lahan berteras lebih lama 42 menit. Artinya DAS yang diteras menyimpan air hujan dan aliran permukaan lebih besar dari pada yang tidak diteras.

Dalam penelitiannya Irianto (1999) juga mengemukakan bahwa apabila kapasitas menahan air pada lahan tanpa teras dibandingkan dengan lahan yang diteras untuk luasan yang sama, maka teras dapat menyimpan 1,2 kali lebih besar dibandingkan lahan tidak diteras. Bahkan secara potensial teras mampu menampung volume air 2-3 kali lebih besar dari yang ada apabila genangan air di teras dapat mencapai ketinggian 6-10 cm.

Berdasarkan sebaran luas baku lahan dan sebaran jumlah penduduk Indonesia, terlihat adanya kesenjangan (gap) ketersediaan air antar pulau (wilayah) yang cukup besar (Tabel 7). Menurut Ditjen Pengairan (1997), batas kritis yang

“aman” persediaan air wilayah berdasarkan jumlah penduduk adalah 2000 MCCT

(meter cubic per capita per year). Jika berada di bawah nilai tersebut maka diperkirakan bahwa pengembangan sumber daya air untuk mengikuti laju peningkatan kebutuhan di masa datang sulit dilakukan.

Tabel 7 Rasio ketersediaan air dan luas lahan pertanian dan ketersediaannya per kapita Wilayah Luas Wilayah Total Air Tersedia Luas Lahan Air/luas lahan Penduduk Air/kapita

% GMC Rb. Ha MCHY Jt. Jiwa MCCY

Sumatera 24,7 1015 14.833 68.429 42,6 23.826 Jawa 6,9 232 7.052 32.898 121,3 1.896 Bali & NT 4,6 103 1.574 65.438 10,8 9.537 Kalimantan 28,1 1210 6.229 194.252 10,6 114.151 Sulawesi 9,9 298 5.063 58.858 14,2 20.986 Maluku/Papua 25,9 1171 tad - 4,1 285.610 Indonesia*) 100,0 4030 34.763 115.928 203,6 19.793 *)

tad = tidak ada data

Penerapan rekayasa teknologi irigasi dan pengelolaan sumber daya air dimungkinkan untuk mentransfer air dari satu ke lain DAS, namun belum mungkin dilakukan antar pulau.

Peningkatan apresiasi masyarakat terhadap air dalam bentuk investasi air oleh swasta atau privatisasi air untuk irigasi (misalnya sprinkler irrigation, drip irrigation) merupakan salah satu indikator berkembangnya sektor agribisnis. Melalui penerapan teknik rekayasa irigasi yang memadai, maka efisiensi irigasi dan air dan pengembangan komoditas unggulan bernilai ekonomi tinggi pada petani yang pemilikan lahannya sempit dapat ditingkatkan dan mampu membiayai investasi yang ditanamkan sekaligus memberikan keuntungan yang mamadai (Dahigaonkar, 1993). Pengembangan teknik irigasi tersebut juga sangat tepat untuk pengembangan lahan kering, mengingat pada saat ini lahan kering semakin strategis dalam ketahanan pangan nasional dan pengembangan agribisnis (Las et al., 2000).

Dari hasil penelitian peningkatan intensitas pertanaman mengenai palawija utama menunjukkan bahwa tanaman kedelai dan jagung merupakan tanaman yang relatif tidak boros air dan merupakan tanaman palawija utama di Indonesia, dapat dipilih menjadi tanaman alternatif yang dapat digunakan untuk mengganti padi. Peningkatan IP pada dasarnya adalah pemanfaatan sumber daya air dan lahan secara optimal. Potensi ketersediaan air sangat menentukan jenis tanaman yang ditanam. Jika potensi air relatif besar, jenis tanaman yang sebaiknya ditanam adalah padi. Sedangkan pada daerah yang mempunyai ketersediaan air terbatas, lahan sebaiknya ditanami palawija (kedelai dan jagung).

Selanjutnya masalah air di Indonesia ditandai juga dengan kondisi lingkungan yang makin tidak kondusif sehingga makin mempercepat kelangkaan air. Kerusakan lingkungan antara lain disebabkan oleh terjadinya degradasi daya dukung daerah aliran sungai (DAS) hulu akibat kerusakan hutan yang tak terkendali sehingga luas lahan kritis sudah mencapai 18,5 juta hektar. Di samping itu jumlah DAS kritis yang berjumlah 22 buah pada tahun 1984 telah meningkat menjadi 59 buah pada tahun 1998. Fenomena ini telah menyebabkan turunnya kemampuan DAS untuk menyimpan air di musim kemarau sehingga frekuensi dan besaran banjir makin meningkat, demikian juga sedimentasi makin tinggi yang menyakibatkan pendangkalan di waduk dan sungai sehingga menurunkan daya tampung dan pengalirannya. Pada tahun 1999 terdeteksi bahwa dari 470 DAS di Indonesia, 62 di antaranya dalam kondisi kritis, yang diprediksi dari perbandingan aliran maksimum dan minimum sungai-sungai yang sudah jauh melampaui batas normalnya. Keadaan ini diperparah oleh degradasi dasar sungai akibat penambangan bahan galian golongan C di berbagai sungai di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Barat yang telah menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi prasarana dan sarana di sepanjang sungai.

Sementara itu penyedotan air tanah terutama di beberapa kota besar di Indonesia yang melebihi kemampuan alami untuk mengisinya kembali makin tidak terkendali sejalan dengan perkembangan permukiman dan pertumbuhan kegiatan ekonomi penduduk yang pada akhirnya menyebabkan permukaan tanah turun, muka air tanah menurun, dan terjadinya intrusi air laut. Sebagai contoh, di wilayah Leuwigajah (Bandung) telah terjadi penurunan muka air tanah yang mencapai 60 meter sedangkan di Jakarta muka air tanah turun rata-rata antara setengah sampai dengan tiga meter per tahun dan intrusi air laut telah sampai di wilayah Jakarta Pusat yaitu di daerah Monumen Nasional (Santoso, 2000). Penurunan muka air tanah tersebut telah menyebabkan turunnya permukaan tanah dengan laju 2,3 sampai dengan 34 sentimeter per tahun sehingga meningkatkan kerentanan wilayah-wilayah tersebut terhadap banjir.

Salah satu implikasi terbesar dari kelangkaan air global dan lokal adalah jaminan kesinambungan ketahanan pangan (food security). Sebagian besar dari sekitar 800 juta penduduk dunia yang masih mengalami kekurangan pangan dan kelaparan hidup di wilayah-wilayah yang mengalami kekurangan air yang laten.

Dari sekitar 3.600 kilometer kubik air yang dikonsumsi manusia per tahun (ekivalen dengan 580 meter kubik per kapita per tahun), sekitar 69 persen di antaranya dipergunakan untuk sektor pertanian, bahkan di Asia mencapai rata-rata sekitar 83 persen, sedangkan sisanya sebesar 21 persen untuk industri, dan 10 persen untuk sektor perkotaan. Ancaman kelangkaan air untuk kehidupan manusia ini menjadi lebih kita pahami bila menyadari bahwa untuk memproduksi satu kilogram beras diperlukan sekitar satu sampai tiga ton air (FAO, 2002) . Di Indonesia, pada tahun 2020 kebutuhan air untuk keperluan irigasi masih mencapai 74,1 persen dari total kebutuhan sedangkan lainnya digunakan untuk keperluan domestik, perkotaan, dan industri (domestic,municipal and industries - DMI) sebanyak 11,34 persen, pemeliharaan sungai 7 11,53 persen, dan sisanya untuk keperluan tambak dan peternakan (Kimpraswil, 2003).

Kekurangan air pada suatu kawasan juga akan memicu terjadinya konflik di kawasan tersebut, baik konflik antar wilayah, antar sektor, maupun konflik antar petani dan pengguna air lainnya. Dalam skala tertentu, konflik penggunaan air secara horizontal sudah terjadi di Indonesia terutama antara daerah hulu dan hilir.