• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rezim dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan

Menurut Hanna et al.(1996) terdapat 4 tipe rezim hak kepemilikan dalam sistem pengelolaan perikanan laut yang dikenal oleh masyarakat perikanan, yaitu: (1) rezim hak kepemilikan pribadi (private property regime); (2) rezim hak milik bersama (common property regime); (3) rezim hak milik negara (state

property regime); dan (4) rezim tanpa hak milik (open acces regime).

Karakteristik dari masing-masing tipe rezim tersebut berdasarkan unit pemegang hak kepemilikan, dan hak pemilik, serta tugas-tugas pemilik sebagaimana diungkapkan pada Tabel 5.

Sedangkan kebijakan sistem pengelolaan perikanan ada 2 tipe yang ekstrim, yaitu: (1) pengelolaan sumberdaya ikan oleh pemerintah atau dikenal dengan istilah pengelolaan sentralistis (Government Centralized Management = GCM); dan (2) pengelolaan sumberdaya ikan berbasis masyarakat (Community

Based Management = CBM). Pengelolaan sentralistis adalah rezim pengelolaan

sumberdaya alam dengan pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan dan wewenang dalam memanfaatkan sumberdaya alam, sehingga pemerintah mempunyai hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak eksklusif dan hak mengalihkan sumberdaya alam.

Tabel 5 Tipe rezim hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berdasarkan pemilik, hak dan tugas-tugasnya

Tipe Rezim Pemilik Hak Pemilik Tugas Pemilik

§ Hak milik pribadi Individu Penggunaan SDI secara sosial diterima; kendali akses

Penghindaran pengunaan secara sosial tidak dapat diterima

§ Hak bersama Kolektif Pengaturan

bukan pemilik

Pemeliharaan; menghambat tingkat penggunaan

§ Hak negara Warga negara Menentukan aturan

Memelihara tujuan sosial

§ Akses terbuka (tidak ada hak milik)

Tidak ada Menangkap Tidak ada

Sumber: Hanna et al. (1996)

Implikasi dari kebijakan sentralistik tersebut menimbulkan berbagai konflik yang sangat rumit yang terjadi di wilayah pesisir (coastal zone), seperti hancur dan rusaknya potensi sumberdaya pesisir, konflik antar kelas sosial masyarakat nelayan, kemiskinan yang terus melilit kehidupan masyarakat pesisir dan lain sebagainya (Kusumastanto, 2003; Satria et al., 2002b). Hal ini dikarenakan kebijakan ini bersifat top-down, yang menempatkan masyarakat nelayan sebagai obyek sasaran kebijakan, akibatnya masyarakat kurang peduli “masa bodoh” terhadap kebijakan yang dibuat. Selain itu, model ini mengabaikan pluralisme hukum yang berlaku turun-temurun di masyarakat pesisir, seperti hak ulayat laut

(marine tenure rights) yang ditemukan di beberapa lingkungan masyarakat

nelayan artisanal kawasan Indonesia Timur (Saad, 2003). Selain itu kekuatan modernisasi yang bertumpu pada ideologi pembangunan di era orde baru telah mengabaikan sistem hukum adat yang dijunjung tinggi fungsinya oleh masyarakat setempat (Suwarsono dan Alvin, 2000).

Kegagalan kebijakan sentralistik dalam sistem pengelolaan sumberdaya ikan telah menciptakan permasalahan yang begitu kompleks di masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah pesisir, sehingga hal ini harus segera disikapi dengan cara mencari model baru pengelolaan sumberdaya ikan dalam rangka mewujudkan visi pembangunan perikanan berkelanjutan yang mampu mensejahterakan para pelakunya. Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasiskan masyarakat merupakan suatu model lama dalam pengelolaan perikanan yang selama ini termarginalkan oleh kebijakan pemerintahan yang sentralistik (Saad, 2003). Model-model pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adat tersebut terdapat di beberapa daerah pesisir Indonesia dengan aturan-aturan lokalnya atau tradisi (adat-istiadat) masyarakat yang diwarisi secara turun temurun yang telah dipandang efektif sebagai pengendalian pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, dan menjaga pelestarian ekosistem laut dari aktivitas yang merusak, aturan-aturan lokal dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal tersebut, diantaranya adalah Awig-awig di Lombok dan Bali, Sasi di Maluku, Rompong di Sulawesi Selatan, Panglima Laot

di Nangroe Aceh Darussalam, Sawi di Sulawesi Selatan, Ondoafi di Papua, dan di beberapa daerah kawasan Indonesia lainnya (Barani, 2006; Wahyono et al.,

2000; Indar et al., 2002). Sedangkan di perairan Kepulauan Riau ditemukan sistem kelembagaan Kelong (Kelong Pantai dan Kelong Betawi) sebagai unit penangkapan ikan karang seperti ikan Dingkis (ikan Baronang, Siganus sp), yang dimiliki secara turun temurun oleh sebagian besar anggota masyarakat nelayan artisanal. Alat tangkap Kelong Pantai ini beroperasi pada musim ikan tertentu beruaya (setiap bulan Desember-Pebruari) dengan daerah penangkapan di sekitar perairan pulau-pulau kecil yang terdapat di kawasan Barelang, Kota Batam, Propinsi Kepulauan Riau.

Sistem pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada

masyarakat untuk mengelola sumberdaya ikannya sendiri dengan

memperhatikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya (Nikijuluw, 2002). Dengan model community base management (CBM) ini, masyarakat pesisir akan bertanggung jawab penuh dalam menjalankan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan karena masyarakat ikut terlibat dalam membuat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Partisipasi masyarakat tersebut

merupakan wujud kepentingannya terhadap kelangsungan sumberdaya ikan sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari (Satria et al., 2002b).

Model CBM lebih efektif dan efisien karena proses pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat lokal, sehingga dapat mengakomodir setiap aspirasi masyarakat serta pembuat kebijakan lebih memahami kondisi daerahnya (Satria et al., 2002a). Selain itu, kelestarian sumberdaya ikan dapat terjaga dikarenakan proses pengawasan oleh masyarakat dilakukan setiap saat. Sedangkan kelemahan dari model CBM ini adalah tidak mampu mengatasi masalah-masalah inter-komunitas, berlaku hanya pada daerah tertentu atau bersifat spesifik lokal, sangat rentan terhadap perubahan-perubahan eksternal, sulit mencapai skala ekonomi serta tinggi biaya institusionalisasinya.

Kedua bentuk model atau rezim pengelolaan perikanan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Selain itu, kedua rezim masih sangat sulit mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam perkembangan perikanan tangkap. Guna mengatasi hal tersebut, kedua rezim ini bisa dipadukan atau diintegrasikan, sehingga dengan demikian kelemahan yang satu bisa ditutupi oleh kekuatan yang lain. Pengintegrasian kedua rezim ini dikenal dengan nama kolaborasi manajemen, kooperasi manajemen, atau ko- manajemen (co-management).

Ko-manajemen perikanan merupakan rezim derivatif yang berasal dari rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (CBM) dan rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan oleh Pemerintah. Ko-manajemen perikanan dapat diartikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan (Nikijuluw, 2002). Tujuan utama ko-manajemen adalah pengelolaan perikanan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata. Sementara tujuan sekundernya adalah: (1) mewujudkan pembangunan berbasis masyarakat; (2) mewujudkan proses pengambilan keputusan secara desentralisasi, sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif; dan (3) sebagai mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan nelayan lokal serta mengurangi konflik antar nelayan melalui proses demokrasi partisipatif. Ada tiga hal yang sangat menentukan variasi bentuk ko-manajemen serta hirarkinya adalah:

2. Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau didistribusikan diantara kedua pihak. 3. Tahap proses manajemen ketika secara aktual kerjasama pengelolaan betul-

betul terwujud (perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi). Nikijuluw (2002) memaparkan beberapa contoh ko-manajemen perikanan artisanal yang diambil dari kasus-kasus yang terjadi di negara yang mempunyai budaya dan ekosistem yang berbeda (lihat Gambar 2). Contoh ko-manajemen perikanan artisanal ada 5 tipe adalah sebagai berikut:

(1) Ko-manajemen Instruktif.

Pada bentuk ko-manajemen ini, pertukaran informasi terjadi timbal balik masih sangat kurang antara pemerintah dan masyarakat pesisir, karena peran pemerintah sangat mendominasi setiap informasi. Namun hal ini berbeda dengan model sentralistis yang sama sekali tidak ada dialog antara pemerintah dengan nelayan. Artinya, dalam bentuk ini pemerintah yang membuat rencana kebijakan dan menginformasikannya kepada nelayan untuk dilaksanakan.

(2) Ko-manajemen Konsultatif.

Bentuk ko-manajemen ini menempatkan masyarakat pesisir hampir sama dengan pemerintah, dimana terjadinya proses konsultasi pemerintah ke masyarakat. Namun keputusan mengenai kebijakan yang akan ditetapkan sepenuhnya ada di tangan pemerintah, artinya masyarakat hanya sebatas memberikan masukan saja.

(3) Ko-manajemen Kooperatif.

Bentuk ini menempatkan masyarakat pesisir dan pemerintah pada tingkat yang sama atau sederajat. Oleh karenanya pada semua tahapan pembuatan dari perencanaan hingga pengambilan keputusan kedua belah pihak mempunyai kekuatan yang sama. Artinya, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra yang mempunyai kedudukan yang sama.

(4) Ko-manajemen Pendampingan atau Advokasi.

Pada bentuk ini peran masyarakat pesisir lebih besar dari pemerintah, masyarakat pesisir memberikan masukan kepada pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Lebih dari itu, dalam bentuk ini masyarakat dapat mengajukan rancangan yang tinggal di legalisir (disahkan). Artinya, peran pemerintah lebih banyak bersifat mendampingi atau memberikan advokasi tentang suatu yang sedang dikerjakan.

(5) Ko-manajemen Informatif.

Peran masyarakat pesisir lebih besar dari pemerintah dibanding keempat bentuk sebelumnya. Dalam hal ini pemerintah hanya memberikan informasi kepada masyarakat pesisir tentang apa harus dikerjakan oleh masyarakat. Artinya, setiap pembuatan kebijakan dari perumusan hingga pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat pesisir. Konsep ko-manajemen sumberdaya ikan di gambarkan lebih jelas pada Gambar 2.

Rezim ko-manajemen perikanan bekerja dengan cara mengubah hubungan pelaku pembangunan perikanan, terutama antara pemerintah dan masyarakat, tetapi juga antara nelayan dengan kelompoknya. Secara umum, manfaat yang ingin dicapai setiap pelaku ko-manajemen perikanan adalah status pengelolaan perikanan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata. Melalui ko-manajemen, pemerintah memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa keputusan yang diambilnya ternyata bisa secara efektif dilaksanakan. Hal ini dapat meningkatkan harga diri dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menjadi bertambah. Pada masyarakat pesisir, ko-manajemen membawa manfaat kepada nelayan melalui partisipasi atau keikutsertaan dalam proses pengambilan keputusan (Nikijuluw, 2002).

Gambar 2 Rezim ko-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Nikijuluw, 2002)

Dokumen terkait