Istilah ruang publik (public space) pernah dilontarkan Lynch dengan menyebutkan bahwa ruang publik adalah nodes dan landmark yang menjadi alat navigasi di dalam kota (Lynch, 1960). Gagasan tentang ruang publik kemudian berkembang secara khusus seiring dengan munculnya kekuatan civil society. Dalam hal ini filsuf Jerman, Jurgen Habermas, dipandang sebagai penggagas munculnya ide ruang publik (Sulfikar, 2010). Jurgen Habermas memperkenalkan gagasan ruang publik pertama kali melalui bukunya yang berjudul The Structural Transformation of
the Public Sphere: an Inquire Into a Category of Bourjuis Society yang diterbitkan sekitar tahun 1989.
Ruang publik diartikan sebagai ruang bagi diskusi kritis yang terbuka bagi semua orang. Pada ruang publik ini, warga privat (private person) berkumpul untuk membentuk sebuah publik dimana nalar publik ini akan diarahkan untuk mengawasi kekuasaan pemerintah dan kekuasaan negara. Ruang publik mengasumsikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Lebih lanjut, ruang publik dalam hal ini terdiri dari media informasi seperti surat kabar dan jurnal. Disamping itu, juga termasuk dalam ruang publik adalah tempat minum dan kedai kopi, balai pertemuan, serta ruang publik lain dimana diskusi sosio-politik berlangsung.
Secara sederhana, yang dimaksud ruang publik adalah ruang yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum sepanjang waktu, tanpa dipungut bayaran (Danisworo, 2004). Lebih lanjut Danisworo mengatakan bahwa ruang publik tidak selalu berupa ruang terbuka hijau, akan tetapi suatu ruang dengan perkerasan seperti jalan raya maupun pelataran parkir, dapat menjalankan fungsi publik karena ruang tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum setiap waktu tanpa dipungut bayaran.
Menurut Carr dkk (1992) terdapat 3 (tiga) kualitas utama sebuah ruang publik, yaitu: tanggap (responsive), demokratis (democratic), dan bermakna (meaningful). Yang dimaksud tanggap (responsive) berarti bahwa ruang tersebut dirancang dan dikelola dengan mempertimbangkan kepentingan para penggunanya. Sedangkan demokratis (democratic) berarti bahwa hak para pengguna ruang publik tersebut
terlindungi, pengguna ruang publik bebas berekspresi dalam ruang tersebut, namun tetap memiliki batasan tertentu karena dalam penggunaan ruang bersama perlu ada toleransi diantara para pengguna ruang. Pengertian bermakna (meaningful) mencakup adanya ikatan emosional antara ruang tersebut dengan kehidupan para penggunanya.
Sementara itu, secara spasial ruang publik didefinisikan sebagai tempat dimana setiap orang memiliki hak untuk memasukinya tanpa harus membayar uang masuk atau uang lainnya. Ruang publik dapat berupa jalan (termasuk pedestrian), tanah perkerasan (pavement), public squares, dan taman (park). Hal ini berarti bahwa ruang terbuka hijau (open space) publik seperti jalan dan taman serta ruang terbuka non-hijau publik seperti tanah perkerasan (plaza) dan public squares dapat difungsikan sebagai ruang publik
Sejak tahun 1960-an di Amerika dan Eropa telah tumbuh gerakan menentang pendekatan perencanaan dan perancangan teknis-rasional yang dominan pada masa itu, serta juga memperjuangkan terbentuknya praktek pofesional baru yang memiliki unsur moral dan politik, berkeadilan sosial, dan memberi kekuasaan pengambilan keputusan pada masyarakat (citizen empowerment). Gerakan ini kemudian menghasilkan beberapa paradigma perencanaan dan perancangan partisipatif seperti Community Architecure (Christopher dan Rossi, 2003).
Arsitektur merupakan produk budaya yang tidak terlepas dari manusia/masyarakat yang membuat dan menggunakannya. Perancangan arsitektur baik dalam skala bangunan/rumah tinggal maupun skala lingkungan/kawasan kota sudah seharusnya berorientasi pada kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat yang akan menggunakannya. Community architecture dalam proses perancangan maupun
pembangunan sebuah lingkungan/kawasan kota menjadi dasar dalam menggerakkan dan mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Karena masyarakat dan kehidupannya merupakan realita sosial yang tidak boleh diabaikan, mereka merupakan potensi sekaligus pengguna setiap karya arsitektur, sehingga antara masyarakat dan rancangan arsitektur seharusnya memiliki kesesuaian. Dengan demikian program community based development merupakan bagian penting dari tugas seorang arsitek/perancang kota agar dalam setiap memulai rancangan memiliki dimensi sosiologi yang mampu menganalisis secara kritis pola perilaku masyarakat serta bagaimana menterjemahkannya menjadi sebuah produk arsitektur.
Community based development mengisyaratkan pentingnya pembangunan yang didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Di sisi lain pola seperti itu memungkinkan partisipasi masyarakat dapat dikembangkan secara optimal. Partisipasi merupakan pemberdayaan (engagement) dari kelompok sasaran (affected group) dalam satu atau lebih siklus project/program/kegiatan: desain, implementasi, monitoring, dan evaluasi.
Masyarakat diajak untuk berperan dan didorong untuk berpartisipasi karena masyarakat dianggap: (1) Mereka mengetahui sepenuhnya tentang permasalahan dan kepentingannya/kebutuhan mereka; (2) Mereka memahami sesungguhnya tentang keadaan lingkungan sosial dan ekonomi masyarakatnya; (3) Mereka mampu menganalisis sebab akibat dari berbagai kejadian di masyarakat; (4) Mereka mampu merumuskan solusi unuk mengatasi permasalahan dan kendala yang dihadapi; (5) Mereka mampu memanfaatkan sumberdaya pembangunan (SDA, SDM, dana, sarana dan teknologi) yang dimiliki untuk meningkatkan produksi dan produktivitas dalam
rangka mencapai sasaran pembangunan masyarakatnya yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat; (6) Anggota masyarakat dengan upaya meningkatkan kemauan dan kemampuan SDMnya sehingga berlandaskan pada kepercayaan diri dan keswadayaan yang kuat mampu mengurangi dan bahkan menghilangkan sebagian besar keterganungan terhadap pihak luar.
Disamping itu, penataan ruang kota yang disusun, sebagian besar masih berupa rencana umum (RUTRK) yang belum menyentuh secara detail tentang ruang publik, meskipun kita sering berdiskusi tentang ruang publik. Masih sedikit Pemerintah kota yang menyusun Rencana Teknis Ruang Kota (RTRK), atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) yang sudah mempertimbangkan tiga dimensional ruang publik (Anggriani, 2010).
Penanganan ruang publik membutuhkan biaya tinggi sehingga menjadi masalah dari segi pembiayaan, sehingga penerapannya boleh dikatakan setengah hati. Sekarang ini penanggung jawab pengelolaan ruang publik seolah-olah hanya dipundak Pemerintah Kota, sementara beban yang harus ditanggung masih sangat banyak. Ruang publik, kualitas ruang kota dan tingkat sosial masyarakat merupakan benang merah yang tidak bisa putus. Hildebrand Frey dalam Anggriani (1999) mengaitkan kebutuhan kota dengan kebutuhan dasar manusia dan hirarki A.Maslow sebagai berikut:
1. Pada tingkatan dasar (basic level), fasilitas kota yang disediakan adalah semua kebutuhan fisik masyarakat antara lain: tempat tinggal dan tempat kerja, pendapatan yang memadai, pendidikan dan kursus, transportasi dan
memungkinkan untuk mengadakan komunikasi dengan fasilitas-fasilitas dan pelayanan-pelayanan kota.
2. Pada tingkatan kedua, hal-hal yang harus diperhatikan oleh kota adalah keselamatan (safety), keamanan (security) dan perlindungan (protection), unsur visual, fungsi, susunan dan kontrol terhadap lingkungan yang harus bebas dari polusi, kebisingan, kecelakaan, dan krimininalitas.
3. Tingkatan yang ketiga adalah menciptakan lingkungan sosial yang kondusif. Suatu tempat yang penghuninya mempunyai pertumbuhan yang baik, anak-anak mereka bisa saling mengadakan sosialisasi, mereka merasa sebagai bagian dari komunitas dan merasa memiliki terhadap lingkungannya.
4. Tingkatan yang keempat, bahwa fasilitas kota harus memberikan kesan yang cocok (appropriate image), reputasi yang baik serta gengsi yang dapat menggambarkan penghuninya. Disamping dapat memberikan rasa percaya diri yang kuat, status dan martabat yang tinggi bagi mereka. 5. Pada tingkat diatasnya (kelima), fasilitas kota harus dapat memberi
kesempatan penghuninya untuk berkreasi sendiri, membentuk ruang pribadi yang mengekspresikan pribadi mereka. Disamping itu, secara bersama-sama mereka juga dapat menciptakan daerah dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.
6. Tingkat yang terakhir, bahwa fasilitas kota harus berupa karya desain yang bagus, sebagai tempat yang estetis, secara fisik dapat memberi kesan yang mendalam, merupakan suatu tempat budaya dan karya seni yang bermutu.
2.5.1 Pengertian ruang terbuka publik di pusat kota
Ruang Terbuka Publik di Pusat Kota dalam istilah Inggris disebut "place" berasal dari kata latin "platea" yang berarti ruang terbuka publik atau jalan yang diperlebar seperti pada "plaza" di Spanyol atau "piazza" di Italia atau kata yang lebih khusus seperti "square". Paul Zucker (1959) menyatakan bahwa square adalah tempat orang-orang berkumpul untuk bersosialisasi, melindungi mereka dari hiruk-pikik lalu-lintas, membebaskan mereka dari tekanan kesibukan di pusat kota.
Kualitas hidup di dalam kota merupakan hasil interaksi antara manusia dan lingkungan kota mereka (Das, 2008). Penelitian terkini di berbagai kota di dunia telah melihat suatu masalah yang sama bagi ruang terbuka publik di dalam kota, yaitu meningkatnya perubahan lingkungan dan fungsi ruang terbuka publik. Termasuk di dalamnya privatisasi, komersialisasi dan pembatasan ruang terbuka publik, menimbulkan dampak meningkatnya segregasi, isu keamanan, terbentuknya kelompok eksklusif dan berbagai masalah sosial lainnya (Turner, 2002; Atkinson, 2003).
Mengacu pada (Miethe dikutip dari Williams & Green, 2001), alasan terbesar orang enggan ke ruang publik adalah ketakutan akan tindak kejahatan. Selain itu, beberapa faktor penyebab sebuah ruang publik gagal adalah ketiadaan tempat berkumpul atau istirahat, akses masuk yang jelek atau tak terjangkau, sarana
pendukung tidak berfungsi, dan ketiadaan „nilai kebersamaan‟ pada ruang publik. Karena itu, sebuah ruang publik harus dikelola dengan tepat, baik dari proses penyediaan, desain, hingga perawatan.
Michael Webb (1990) beranggapan bahwa square adalah mikrokosmos dari kehidupan, menawarkan daya tarik, peristirahatan, pasar dan upacara rakyat, tempat untuk berjumpa teman dan menghabiskan waktu. Moughtin (1992) menemukan bahwa square adalah areal yang dibingkai oleh bangunan-bangunan untuk memamerkan bangunan tersebut sebagai karya agung. Selanjutnya dinyatakan bahwa sebuah kota harus memilki ruang untuk penempatan bangunan umum, tempat bertemu yang utama, tempat untuk perayaan atau upacara umum yang besar, tempat untuk pertunjukan, restoran dan cafe, tempat untuk berbelanja, pasar dan etalase, tempat dimana bangunan kantor mengelompok, tempat akomodasi rumah tinggal, tempat yang berhubungan dengan simpul-simpul transportasi.
Krier (1992) menyatakan bahwa suatu square harus dapat berfungsi sebagai tempat aktifitas komersial seperti pasar, kegiatan budaya, tempat berdirinya kantor pelayanan umum, balai kota, gelanggang remaja, perpustakaan, teater, balai konser, cafe, bar, dan lain-lain. Jika memungkinkan square di pusat kota harus dapat berfungsi 24 jam sehari.
Di samping itu budaya populer merambah masyarakat perkotaan dimana proses ekonomi mereka didorong oleh media massa yang bermain dengan citra (image) dan penampilan. Proses kapitalisasi menjadi salah satu pendorong bagi konsumsi kota yang terkesan terus meningkat.
Karena itu, budaya populer adalah alat untuk memanipulasi tidak saja sekedar memediasi dan mendefinisikan realitas, tetapi juga secara implisit menyediakan serangkaian nilai (Bigsby, 1976). Nilai-nilai tradisional masyarakat diadopsi dalam kebudayaan pop dalam masyarakat kota yang haus akan citra yang lebih modern.
Dari beberapa pengertian tentang square dapat disimpulkan bahwa square bukanlah suatu ruang terbuka publik biasa yang ada di daerah urban, melainkan suatu ruang terbuka publik di pusat kota dengan suatu ciri khas tersendiri. Tidak semua ruang terbuka publik di daerah urban dapat digolongkan kepada square. Dalam tesis ini pengertian square diterjemahkan menjadi Ruang Terbuka Publik di Pusat Kota, yaitu ruang terbuka yang mempunyai ciri antara lain, sebagai berikut:
1. Berada di pusat kota;
2. Berupa ruang terbuka yang cukup luas (Kostof, 1992), merujuk Laws of Indies yang mengatur ukuran minimum square (61 x 91 m);
3. Menjadi pusat kegiatan publik di pusat kota (Moughtin, 1992);
4. Pilihan utama masyarakat kota untuk tempat berkumpul, disekitarnya terdapat bangunan-bangunan publik dan atau bangunan religius, merupakan bagian dari bentukan arsitektur yang ada disekelilingnya (Kostof, 1992);
5. Mempunyai signifikansi sejarah, dapat mengakomodasi parkir, dimungkinkan;
6. Melakukan kegiatan komersial non-formal, kadangkala ia berisi suatu monumen utama, patung atau air mancur (Marcus,1998).
2.5.2 Arti penting ruang publik
Karakteristik ruang publik sebagai tempat interaksi warga masyarakat sangat penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kawasan perkotaan. Ruang publik di Indonesia memiliki arti yang sangat penting dan strategis secara hukum, yaitu
dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Sedangkan dalam Pasal 28 ditegaskan perlunya penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) di dalam suatu kota.
Ruang Terbuka Hijau adalah ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijauan tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah atau budidaya tanaman. Ruang Terbuka Hijau dinyatakan sebagai ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk taman kota, taman kampus, taman rumah, jalur hijau, hutan kota dan bantaran sungai (Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 2008).
Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang disi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi guna mendukung manfaat langsung dan/tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan tersebut (Sumarmi, 2006).
Secara umum ruang terbuka publik di perkotaan terdiri dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang terbuka Non Hijau (RTNH), Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi guna mendukung fungsi ekologis, sosial budaya dan arsitektural yang dapat memberi manfaat ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakatnya, seperti antara lain (Gambar 2.3): (1) Fungsi Ekologis, RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara dan pengatur iklim mikro; (2) Fungsi Sosial Budaya, keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi dan sebagai tetenger (landmark)
kota; (3) Fungsi Arsitektural, RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota dan jalur hijau jalan; (4) Fungsi Ekonomi, RTH sebagai pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.
Gambar 2.3 Tipologi RTH
Sumber: PERMEN PU No. 05/PRT/M/2008
Gambar 2.4 menjelaskan bagaimana bentuk RTNH yang dapat digunakan sebagai ruang publik.
Gambar 2.4 Penyediaan RTNH di Kawasan Perkotaan Sumber: PERMEN PU No.12/PRT/M/2009
Ruang terbuka non-hijau merupakan ruang yang secara fisik bukan berbentuk gedung dan tidak dominan ditumbuhi tanaman ataupun permukaan berpori, dapat berupa perkerasan atau badan air ataupun kondisi tertentu lainnya (misalnya :Badan lumpur, pasir, gurun, cadas, kapur, dan lain sebagainya). Secara defenitif, ruang terbuka non-hijau dapat dibagi menjadi ruang terbuka perkerasan (paved), ruang terbuka biru (badan air) serta Ruang terbuka kondisi tertentu lainnya (Permen-PU Nomor 12/PRT/M/2009).
Ruang terbuka hijau (RTH) kota dari tahun ke tahun mengalami kesan yang sangat negatif, karena luas RTH dari tahun ke tahun yang semakin menurun. Selama 30 tahun terakhir terbuka hijau di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya dan Semarang cenderung terus menyusut
Lebih jauh perancangan dan pengembangan ruang publik merupakan hal yang signifikan untuk kota maupun perkotaan karena:
1. Ruang publik merupakan konstruksi sosial dari ruang.
Ruang disekitar kita baik ruang tempat bermukim hingga ruang yang kita kunjungi ketika berpergian, merupakan bagian dari realitas sosial. Perilaku spasial yang ditentukan dan menentukan ruang sekitar kita merupakan bagian yang terintegrasi dengan eksistensi sosial kita.
2. Ruang publik menciptakan batasan spasial.
Pembentukan batasan spasial menjadi prasyarat utama dalam perancangan kota (Cullen, 1971). Sebagai nodal dan landmark, ruang publik berguna untuk menavigasi kota (Lynch, 1960). Jalan dan ruang terbuka seperti lapangan menjadi huruf-huruf yang akan digunakan untuk membaca dan
merancang ruang perkotaan (Krier, 1979). Menciptakan batasan ruang-ruang yang hidup dan aktif dilihat sebagai kondisi yang penting untuk keberhasilan penyediaan ruang publik. Hal ini menjadi sangat penting bagi perancangan kota untuk menciptakan ruang publik positif, dimana ruang dibatasi oleh bangunan, bukan dibatasi oleh apa yang tertinggal dari suatu pembangunan (Alexander et al, 1987).
3. Adanya reintegrasi dari pembagian sosio-spasial.
Ruang publik menjadi mediator antara ruang privat yang mendominasi wilayah kota dan memainkan peran penting dalam pembagian sosiospasial. Tanpa adanya proses mediasi, maka pergerakan spasial di dalam kota menjadi sangat terbatas. Sama seperti kondisi yang berkembang di abad pertengahan di kota-kota Mediterania dimana permukiman dipisahkan oleh dinding dan gerbang. Kondisi saat ini pun memperlihatkan banyaknya permukiman yang dijaga keamanannya serta jaringan jalan yang ada banyak dikotak-kotakkan dan dibatasi aksesnya. 4. Adanya integrasi kota menuju fragmentasi fungsional.
Pada jaman modern, integrasi fungsional kota cenderung menghilang dan memudar. Perkembangan ukuran ruang kota telah membawa pada spesialisasi ruang, dimana terjadi pemisahan hubungan simbolis dan fungsional dari lingkungan publik dan privat. Teknologi transportasi telah memungkinkan masyarakat untuk hidup dan bekerja di luar kota serta ruang pusat kota dapat dihindari dari tingginya jumlah penduduk. Kemampuan untuk menjangkau seluruh ruang perkotaan telah mengurangi
kontak fisik antara penduduk kota dan lingkungan terbangunnya, seperti yang telah berlangsung sepanjang sejarah (Sennett, 1994). Ruang publik kota cenderung menjadi ruang residual yang digunakan untuk parkir kendaraan atau untuk kegiatan pariwisata dan perdagangan. Lebih lanjut, sejumlah tempat di kota dibuka untuk publik dan dilihat sebagai milik publik, seperti restoran, museum, perpustakaan, dan bioskop. Tempat-tempat ini memegang peranan yang penting dan signifikan. Dengan cara yang sama seperti pusat perbelanjaan berfokus pada perdagangan dan restoran memiliki fungsi tertentu serta jam operasional yang dibatasi oleh aturan tersendiri.