• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDUDUKAN NADZIR SEBAGAI PENGELOLA

E. Sanksi Pelanggaran Peraturan Perwakafan Tanah Milik

Kitab jinayah atau hukum pidana dalam Islam tidak menyinggung secara

khusus tentang adanya ancaman pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan dalam pelaksanaan perwakafan tanah. Berbagai kitab fiqh islam menempatkan pembahasan menegenai perwakafan ini dalam rumpun yang berbeda. Misalnya T.M Hasbi Ash- Shiddieqy memasukkannya dalam bagian ibadah (di antara zakat dan puasa),

sedangkan Asy-Syaukaniy dan Ash-Shan’aniy melekatkan diantara pembahasan

100Elsi Kartika Sari, Pengantar Hukum Zakat dan wakaf, PT. Grasindo, Jakarta, 2006, hal. 75 101Ibid. hal. 77

masalah-masalah muamalah (hukum perdata). 102 Akan tetapi, tentu harus ada

peraturan yang mengatur tentang ketentuan khusus mengenai sanksi pidana sebagai penguat dan jaminan agar peraturan yang dimaksud dilaksanakan sebagaimana mestinya. Maka ketentuan khusus mengenai sanksi pidana dan administrasi terhadap pelanggaran yang dilakukan dalam pelaksanaan perwakafan tanah dapat ditemukan dalam hukum positif negara kita.

Terdapat 2 (dua) pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 yang mengatur ketentuan pidana pelanggaran peraturan perwakafan tanah milik, yaitu Pasal 14 dan pasal 15. Dikemukakan dalam Pasal 14 Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1977, bahwa:

Barang siapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 5, pasal 6 ayat (3), Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11, dihukum dengan hukuman kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah)

Sementara itu, dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 ditentukan sebagai berikut:

Apabila perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 14, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum Badan Hukum, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggung jawab dalam perbuatan atau kelalaian itu atau terhadap kedua-duanya.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 14 Peraturan pemerintah Nomor 28 tahun 1977 diketahui, bahwa terdapat suatu perbuatan yang dikualifikasikan sebagai suatu

“tindak pidana” peraturan perwakafan tanah milik, dimana perbuatan-perbuatan tersebut melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam berbagai pasal dalam peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, yaitu:

1. Mewakafkan tanah dengan tidak dihadapkan pejabat pembuat akta ikrar wakaf

atau tidak menuangkannya dalam suatu akta ikrar wakaf dengan disaksikan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi (Pasal 5);

2. Nadzir tidak mendaftarkan diri pada Kantor Urusan Agama setempat untuk

mendapatkan pengesahan dari pejabat yang berwenang sebagai nadzir (Pasal 6 ayat (3));

3. Nadzir melalaikan kewajibannya dalam mengurus dan mengawasi kekayaan

wakaf serta hasil-hasilnya dan membuat laporan secara berkala atas kekayaan wakaf dan hasilnya (Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2);

4. Melaksanakan perwakafan tanah milik secara tidak sesuai dengan ketentuan

tatacara perwakafan tanah milik yang berlaku (Pasal 9)

5. Tidak melaksanakan atau melakukan pendaftaran wakaf tanah milik yang

bersangkutan (Pasal 10)

6. Melakukan perubahan perwakafan tanah milik tanpa mendapatkan persetujuan

tertulis dari pejabat yang berwenang (Pasal 11).103

Kemudian diketahui pula dari ketentuan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, bahwa bila perbuatan pelanggaran peraturan perwakafan tanah milik dimaksud diatas dilakukan oleh atau atas nama badan Hukum, maka

tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tata tertip dijatuhkan, baik terhadap:

1. Badan hukum;

2. Mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan pelanggaran peraturan

perwakafan tanah milik, atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin badan hukum yang bersangkutan atau mereka yang bertindak sebagai penanggung dalam perbuatan atau kelalaian memenuhi ketentuan peraturan perwakafan tanah milik;

3. Bersama-sama badan hukum dan mereka yang memberi perintah melakukan

perbuatan pelanggaran peraturan perwakafan tanah milik atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggung jawab dalam perbuatan atau kelalaian memenuhi ketentuan peraturan perwakafan tanah milik.

Dengan adanya ketentuan pidana dimaksud, pelaksanaan perwakafan tanah sudah ditentukan secara pasti dimana penyimpangan terhadap ketentuan perwakafan tanah tersebut sudah dapat dituntut sebagai tindak pidana. Berbeda dengan ketentuan pidana dalam berbagai peraturan pidana lainnya yang selalu membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran, tidak pidana mengenai perwakafan tanah milik ini tidak ditentukan apakah termasuk kejahatan atau pelanggaran. Namun demikian, dari ketententuan dalam Pasal 14 Peraturan pemerintah Nomor 28 tahun 1977 dapat

diketahui bahwa perbuatan pelanggaran perwakafan tanah milik sebagaimana diatur

dalam PP No.28 Tahun 1977 dikategorikan sebagai tindak pidana pelanggaran.104

Menurut ketentuan dalam Pasal 17 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978, bahwa pengadilan agama yang mewilayahi tanah wakaf berkewajiban memeriksa dan meyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah menurut Syari’at Islam, yang antara lain mengenai:

1. Wakaf, wakif, Nadzir, ikrar dan saksi;

2. Bayyinah (alat bukti administrasi tanah wakaf)

3. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil wakaf.105

Pengadilan Agama atau Mahkamah Sayr’iyah memeriksa dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan berpedoman pada tata cara penyelesaian perkara pada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’iyah.

Pasal 62 UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf yang mengatur penyelesaian sengketa wakaf menyatakan:

1. Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk

mencapai mufakat.

2. Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan.

Maksud dari ketentuan tersebut adalah dalam pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf, bila terjadi suatu perselisihan maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai kata mufakat. Apabila

104 Ibid., hal 104

penyelesaian tidak berhasil melalui musyawarah maka dapat menggunakan bantuan pihak ketiga, yaitu mediasi, arbitrase, syariah atau pengadilan agama dan/atau Mahkamah Syar’iyah.

Mediasi dalam hal ini adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan.

BAB IV

PENGAWASAN PENGELOLAAN TANAH WAKAF

A. Pengawasan dan Pengamanan Tanah Wakaf

Supaya perwakafan tanah milik benar-benar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, tentunya diperlukan pengawasan dan bimbingan terhadap pengelola tanah wakaf. Pengawasan terhadap harta benda wakaf dilakukan oleh unit-unit organisasi Departemen Agama secara hirarki sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Agama tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, yang tertuang pada Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 pasal 14.

“Pengawasan dan bimbingan perwakafan tanah dilakukan oleh unit-unit organisasi Departemen Agama secara hirarki sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Agama tentang susunan organisasi dan tata kerja Departemen Agama.”

Unit-unit organisasi Derpatemen agama secara hirarki sebagaimana yang dimaksud adalah Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan, Kantor wilayah Departemen Agama Kabupaten/Kota, Kantor Departemen Agama Propinsi dan Departemen Agama Pusat, sesuai dengan susunan organisasi dan tata kerja departemen tersebut.

Menurut Kompilasi Hukum Islam Buku ke III, Pasal 227 juga menegaskan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nadzir dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan Agama yang mewilayahinya.

Kantor Urusan Agama (KUA) adalah unit kerja terdepan Depag yang melaksanakan sebagian tugas pemerintah di bidang Agama Islam, di wilayah Kecamatan (KMA No.517/2001 dan PMA No.11/2007). Dikatakan sebagai unit kerja terdepan, karena KUA secara langsung berhadapan dengan masyarakat. KUA tidak sekedar melakukan pengawasan dan pencatatan nikah/rujuk saja, tetapi juga melaksanakan tugas-tugas lainnya seperti mengurus dan membina tempat ibadah umat Islam, membina pengamalan agama Islam, zakat, wakaf, Baitul Mal dan ibadah sosial. Adapun yang menjadi tugas KUA tanah dalam Pelayanan bidang perwakafan tanah adalah secara intensif memberikan bimbingan, pengawasan dan pelayanan agar tanah wakaf yang ada dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin sehingga tepat guna dan tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena wakaf bukan semata-mata aset ummat, tetapi juga aset bangsa. Untuk itu perlu pengelolaan secara optimal dan profesional yang dilegitimasi dengan kekuatan hukum, sehingga tidak menimbulkan permasalahan seperti pembatalan, pengalihan status, diperjualbelikan dan lainnya. Fungsi pengawas wakaf, antara lain:

1. Kementerian wakaf mengawasi semua nadzir wakaf Islam. Karena itu dalam

kementerian ini perlu dibentuk lembaga pengawasan wakaf Islam.

2. Lembaga pengawas wakaf berhak mengoreksi kinerja para nadzir wakaf,

memantau kepengurusannya, keuangannya dan meminta kepada mereka laporan secara berkala dan lain sebagainya. Lebih dari itu, lembaga pengawas wakaf juga berhak mengeluarkan panduan pelaksanaan khusus menyangkut hak itu semua. Lembaga pengawas wakaf juga berhak menolak tidakan nadzir

yang tidak sesuai dengan misi wakaf dalam bentuk tulisan dan disertai alasan yang jelas.

3. Nadzir yang mengabaikan peringatan atau teguran dari lembaga pengawas

wakaf bisa dituntut ke Mahkamah Syariat, kalau ada, atau kepada majelis Islam Tertinggi untuk diproses secara layak. Jika terbukti bersalah, maka nadzir diajukan ke pengadilan pidana atau perdata dengan keputusan yang disertai alasan-alasan yang jelas.

4. Mahkamh Syariat atau majelis Islam Tertinggi behak memberhentikan nadzir

yang dipermasalahkan secara hukum oleh lembaga pengawas wakaf dengan keputusan pemberhentian yang disertai alasan-alasan yang jelas.

5. Apabila pendapatan wakaf produktif berkurang dari semestinya selama tiga

bulan berturut-turut, maka lembaga pengawas wakaf berhak memanggil nadzir, dan mengadakan pemantauan apakah berkurangnya pendapatan itu disebabkan oleh kesalahan manajemen, kelengahan atau tindakan yang ceroboh. Jika disebabkan salah satu diantara tiga sebab diatas, maka nadzir bisa diberhentikan dengan mengeluarkan surat pemberhentian disertai alasan- alasan yang jelas.

6. Lembaga pengawas wakaf atas nama kementerian wakaf membuat peraturan

bagi wakaf produktif meliputi peraturan pengelolaan internal wakaf, peraturan keuangan, peraturan penyaluran hasil wakaf. Peraturan ini sebelum

diberlakukan hendaknya diajukan ke Mahkamah Syariat atau majelis Islam

tertinggi untuk mendapatkan persetujuan secara tertulis.106

Pengawasan menurut Pasal 56 PP No. 42 Tahun 2006 ada dua jenis pengawasan, yaitu, pengawasan aktif dan pengawasan pasif. Pengawasan aktif dilakukan dengan melakukan pemeriksaan langsung terhadap nadzir atas pengelolaan wakaf, sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Sedangkan pengawasan pasif dilakukan dengan melakukan pengamatan atas berbagai laporan yang disampaikan nadzir berkaitan dengan pengelolaan wakaf. Dalam melaksanakan pengawasan, pemerintah dan masyarakat dapat meminta bantuan jasa akuntan publik.

Dilibatkannya masyarakat dalam pengawasan pengelolaan tanah wakaf setelah lahirnya UU No. 41 tahun 2004, pengawasan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi dapat juga dilakukan oleh masyarakat, sangatlah efektif. Hal ini dikarenakan, masyarakat lebih dekat dan lebih aktif berada disekitar tanah wakaf. Jadi masyarakat jauh lebih mengetahui, perkembangakan fungsi peruntukan tanah wakaf. Peran pemerintah yang memiliki akses birokrasi yang sangat luas dan otoritas dalam melindungi eksistensi dan pengembangan wakaf secara umum. Demikian juga masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan langsung terhadap pemanfaatan benda wakaf dapat mengawasi secara langsung terhadap jalannya pengelolaan wakaf.

Pengawasan yang bisa dilakukan oleh masyarakat bukan bersifat interventif (campur tangan menejemen), namun memantau, baik langsung maupun tidak langsung terhadap pola pengelolaan dan pemanfaatan wakaf itu sendiri. Sehingga

peran lembaga nadzir lebih terbuka dalam memberikan laporan terhadap kondisi dan perkembangan harta wakaf yang ada.

Untuk itu, agar pengawasan harta benda wakaf ini lebih bisa dipertanggungjawabkan, maka nadzir sebagai sebuah lembaga publik harus memilki:

a. Sistem akuntansi dan manajemen keuangan

Nadzir sebagai sebuah lembaga masyarakat dan ditugasi untuk mengelola benda untuk mengelola benda wakaf, terutama benda wakaf produktif perlu memiliki menajemen dan akuntansi yang sistematis. Sistem tersebut dimaksudkan agar pengawasan kegiatan dan keuangan dapat dilakukan secara efektif dan akurat.

b. Sistem audit yang transparan

Nadzir dapat di audit secara internal oleh Departemen Agama maupun eksternal oleh akuntan publik atau lembaga audit yang independen. Sasaran audit meliputi aspek kegiatan, keuangan, kinerja, peraturan-peraturan, tata kerja dan prinsip-prinsip ajaran Agama Islam.

Selain pengawasan tentu diperlukan juga pengamanan terhadap tanah wakaf. Pengamanan harta benda wakaf sangat penting dilakukan karena harta benda wakaf biasanya mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, khususnya wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Pengamanan tersebut meliputi:

Menyadari betapa pentingnya permasalahan wakaf di Indonesia, pemerintah bersama DPR RI telah menetapkan beberapa peraturan, antara lain: UU No. 5 tahun 1960 tentang UUPA, PP No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, PMA No. 1 tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, UU No.41 tahun 2004 tentang Wakaf, dan PP No. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.

b. Pengamanan dari segi administrasi

Pentingnya pengamanan administrasi untuk adanya kepastian hukum peruntukan tanah wakaf. Maka untuk itu diperlukan pejabat-pejabat pelaksana pembuatan Akta Ikrar Wakaf serta penyeragaman bentuk dan isinya. Oleh sebab itu telah lahir peraturan PMA No. 1 tahun 1978 pasal 5 menyebutkan bahwa PPAIW ditunjuk dari Kepala KUA setempat. Dalam PMA ini juga disebutkan tentang perlengkapan blanko Ikrar Wakaf dan Akta Ikrar Wakaf serta proses Ikrarnya. Ada pula IMA No.3 tahun 1987 serta Permenag RI No. 1 tahun 1978 pasal 12 untuk mengubah status dan penggunaan tanah wakaf.

c. Pengamanan dari segi fisik

Tanah wakaf sering kali diambil ahli oleh pihak lain/ahli waris wakif, terutama jika tanah tersebut terlantar atau belum dimanfaatkan. Agar tanah tersebut dapat digunakan secara optimal dan tahan lama maka diperlukan pengamanan dari segi fisik. Pengamanan secara fisik ini dapat dilakukan dengan cara, pemasangan papan nama, pemagaran tanah wakaf, pemagaran

tanah wakaf dan pemeliharaan. Pemeliharaan benda wakaf, dimaksudkan untuk menjaga keberadaan dan keutuhan serta fungsi dari wakaf itu sendiri, sehingga menjadi bermakna dan bermanfaat bagi umat.

B. Badan Wakaf Indonesia (BWI) Sebagai Pembina dan Pengawas Wakaf