• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI

• Produksi susu tertinggi

PERMASALAHAN

• Berasal dari daerah beriklim sedang dipelihara di daerah tropis

• Sensitif terhadap suhu dan kelembaban tinggi

• Di tropis dipelihara secara sederhana pada peternakan rakyat PENGAMATAN Reproduksi Generasi Induk, F1, F2 dan F3 PENGAMATAN Produksi susu generasi Induk, F1, F2 dan F3 ANALISA HUBUNGAN Masa kosong, masa laktasi, masa kering

terhadap produksi susu pada

laktasi berjalan

Efisiensi Reproduksi dan Produksi susu sapi FH

Dimanfaatkan sebagai petunjuk

strategi peningkatan produktivitas masa datang secara nasional, intensif dan berkelanjutan.

10

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Sapi Friesian Holstein

Sapi Friesian Holstein adalah bangsa sapi perah yang berasal dari Belanda dari propinsi Belanda Utara dan propinsi Friesland Barat, di Amerika disebut Holstein dan di Eropa sering disebut Friesian (Schmidt et al. 1988). Gertenbach (2005) menyatakan bahwa sapi FH berasal dari Nederland (Belanda). Menurut Ensminger (1971) bangsa sapi Friesian Holstein berasal dari Netherland dan Jerman Utara.

Sapi FH memiliki produksi susu tertinggi dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainnya dengan persentase kadar lemak susu paling rendah yaitu 3.65% (Schmidt et al. 1988). Sapi FH mempunyai produksi susu tinggi dengan kadar lemak susu relatif rendah Gertenbach (2005). Menurut Schmidt et al. (1988) produksi susu satu laktasi sapi FH adalah 7245 kg, sedangkan sapi Milking Shorthorn, Jersey dan Ayrshire berturut-turut adalah 5126 kg, 4957 kg dan 5685 kg. Sapi FH di Inggris mempunyai produksi susu satu laktasi 7609-8548 kg (Albarrant et al. 2008). Hal yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Blakely dan Bade (1991) yaitu rata-rata produksi susu sapi FH per tahun adalah 5750-6250 kg dengan kadar lemak susu 3.7%. Menurut Webster (1993) sapi FH mempunyai ambing lebih besar daripada bangsa sapi Shorthorn dan ambing besar untuk produksi susu lebih banyak.

Menurut Ensminger (1971) berat badan sapi FH betina dewasa 1500 lb (750 kg) dan berat badan sapi FH jantan 2200 lb (1100 kg). Sapi FH mempunyai bobot badan induk betina 675 kg (Blakely & Bade 1991). Sapi FH betina dewasa mempunyai bobot badan 550-650 kg dan jantan mencapai 1000 kg (Gertenbach 2005). Menurut Webster (1993) sapi FH mempunyai bobot badan lebih berat dan bentuk badan lebih lebar daripada bangsa sapi Shorthorn dimana badan besar berguna untuk makan yang lebih banyak.

Sapi FH mempunyai warna bulu hitam dan putih (Ensminger 1971; Blakely & Bade 1991). Menurut Schmidt et al. (1988) bangsa sapi FH murni mempunyai warna rambut atau bulu hitam dan putih (black and white) atau

11 merah dan putih dengan batas-batas warna yang jelas. Sapi Friesian Holstein menurut Gertenbach (2005) berwarna hitam atau putih atau merah dan putih.

Sapi FH telah dipelihara diberbagai negara yang beriklim sedang atau dipelihara di negara tropis dan subtropis. Negara-negara yang termasuk beriklim sedang antara lain adalah Amerika serikat. Menurut Blakely dan Bade (1991) sapi perah FH adalah bangsa sapi perah yang sangat menonjol di Amerika Serikat dan jumlahnya cukup banyak. Sapi FH di Amerika Serikat memproduksi susu rata-rata sekitar 7245 kg per laktasi (Schmidt et al. 1988). Negara lain yang tergolong temperate adalah Inggris dan menurut Albarrant et al. (2008) sapi FH di Inggris mempunyai produksi susu untuk satu laktasi 7609-8548 kg.

Sapi FH akan menampilkan produktivitas yang optimal apabila dipelihara di lokasi dengan suhu yang nyaman atau pada kisaran suhu termonetral. Menurut Payne (1990), sapi FH mempunyai kisaran suhu termonetral yang rendah, sehingga lebih toleran terhadap perubahan suhu rendah dibandingkan dengan perubahan suhu tinggi. Suhu nyaman sapi perah dewasa menurut Schimdt, (1971) adalah berkisar antara 4.4 - 21.1ºC. Menurut McDowell (1974) suhu nyaman sapi perah antara 13 - 18ºC dengan kelembaban 55- 65% dan menurut Yousef (1985) suhu tersebut antara 4 - 25º

Sapi Friesian Holstein asal daerah iklim sedang, suhu nyaman untuk berproduksi susu adalah 5

C.

º

C hingga 20º C dengan produksi optimal pada suhu sekitar 10º C (Payne, 1990). Suhu lingkungan dan kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan sapi laktasi menurunkan performans (West et al. 1991). Suhu kritis sapi FH adalah 27ºC (McDowell 1972), sedangkan menurut Yousef (1985) adalah 25 º

Indonesia merupakan negara tropis dan berada dalam lintasan garis equator, mempunyai suhu dan kelembaban yang tinggi. Sapi FH yang dipelihara di Indonesia akan mempunyai produksi susu lebih rendah dari sapi FH di daerah temperate. Menurut Sudarwati et al. (1995) sapi FH di daerah Batu Kabupaten Malang Jawa Timur memproduksi susu 4140-6181 liter selama satu laktasi. Produksi susu lengkap pada peternakan di BBPT-SP Cikole Lembang Jawa Barat menurut Anggraeni et al. (2008b) adalah berkisar 4083-5240 kg pada periode laktasi pertama sampai ke empat.

12 Sapi-sapi FH yang dipelihara di daerah tropis, bobot badan sapi dewasa lebih kecil 18 sampai 30 persen dibandingkan bila dipelihara di daerah beriklim sedang, karena adanya tropical degeneration (McDowell 1972). Rata-rata bobot lahir anak sapi FH adalah sebesar 41.4 kg. Bobot lahir anak sapi betina yang lahir dari induk kelahiran ke tiga atau ke empat lebih tinggi 7-8% dari pada anak sapi betina yang lahir pada kelahiran pertama (Kertz et al. 1997). Bobot lahir anak sapi FH adalah 42 kg (Blakely & Bade 1991).

Menurut Lawrence dan Fowler (2002) bobot lahir yang besar biasanya diasosiasikan dengan kemampuan bertahan hidup yang lebih baik. Pertumbuhan akan berlangsung cepat sejak lahir sampai dengan pubertas (umur 9-10 bulan) dengan bobot badan saat umur 9-10 bulan adalah 200.5 ± 37.7 kg, sementara bobot badan umur 11-12 bulan adalah 295 ± 49.3 kg (Anggraeni et al. 2008a)

Pengaruh Iklim terhadap Ternak

Menurut Williamson dan Payne (1993), produksi ternak dipengaruhi oleh iklim dengan dua cara yaitu pengaruh secara langsung dan tidak langsung. Iklim berpengaruh langsung pada ternak yaitu melalui perilaku merumput, konsumsi dan penggunaan pakan. Pengaruh tidak langsung pada ternak terutama pada kuantitas dan kualitas pakan yang tersedia bagi ternak, timbulnya penyakit dan parasit. Collier (1985) menyatakan bahwa secara langsung iklim dapat mempengaruhi sistem homeostasis tubuh, sedangkan secara tak langsung iklim berpengaruh pada kualitas dan ketersediaan pakan.

Indonesia beriklim tropika, yaitu tipe iklim yang daerahnya berada disekitar equator. Daerah tropika adalah wilayah dengan lokasinya berkisar antara 23.5º LU dan 23.5º LS (Handoko 1995). Secara umum wilayah tropika merupakan daerah yang relatif lebih panas dengan suhu rata-rata tahunan terendah adalah 18º

Daerah beriklim tropis basah seperti di Indonesia, lama dan intensitas penyinaran matahari menyebabkan peningkatan suhu udara, akibatnya ternak C. Pada kondisi demikian, maka produktivitas sapi-sapi yang berasal dari daerah beriklim sedang akan lebih rendah. Menurut Lakitan (1994), iklim tropika basah memiliki karakteristik utama dengan curah hujan, kelembaban udara, dan suhu rata-rata yang tinggi.

13 yang dipelihara akan menerima panas yang semakin besar (Payne 1990). Pengaruh yang timbul akibat peningkatan suhu tubuh pada keadaan cekaman panas antara lain : 1) penurunan nafsu makan, 2) peningkatan konsumsi minum, 3) penurunan anabolisme (sintesis di dalam tubuh) dan peningkatan katabolisme (perombakan di dalam tubuh), 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan, 5) peningkatan laju respirasi, 6) peningkatan temperatur tubuh, dan 7) peningkatan denyut jantung (McDowell 1972) serta 8) perubahan tingkah laku (Ingram & Dauncey 1985).

Sapi mengalami stress panas akan mengalami perubahan antara lain terjadi kenaikan suhu tubuh, respirasi meningkat diatas 70-80 kali dalam satu menit dan terjadi kenaikan kebutuhan energi untuk hidup pokok (Chase 2010). Kenaikan suhu tubuh, THI (Temperature Humidity Indeks) dan suhu rektal hingga diatas suhu kritis akan menurunkan konsumsi bahan kering, produksi susu dan efisiensi produksi susu (West 2003). Ternak berada di dalam lingkungan bersuhu tinggi terkena cekaman panas karena mendapatkan tambahan panas dari luar dan merasa tidak nyaman, sedangkan bila suhu lingkungan dingin terjadi sebaliknya (Djojosoebagio 1985).

Suhu udara yang tinggi menyebabkan cekaman panas dan berakibat pula terhadap proses metabolisme dan hormonal di dalam tubuh terutama hormon bersifat calorigenic yaitu hormon yang mampu memacu metabolisme untuk menghasilkan panas (Ganong 1983). Sapi FH mengalami cekaman panas akan terjadi perubahan secara fisiologi yaitu akan mengganggu saluran pencernaan, keadaan asam dan basa di dalam darah dan ketidakseimbangan hormon di dalam darah (West 2003; Pszczola et al. 2009).

Daerah termonetral (comfort zone) bagi hewan atau ternak merupakan kisaran suhu udara yang paling sesuai untuk kehidupannya, dimana terjadi metabolisme basal dan hanya terjadi mekanisme pengaturan panas secara sensible dengan menggunakan energi yang paling sedikit. Kisaran suhu udara tersebut tidak menyebabkan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh (Yousef 1985). Juga dijelaskan oleh Yousef (1985) bahwa daerah termonetral terdiri atas 3 sub daerah, yaitu daerah optimum, daerah dingin dan daerah hangat. Daerah

14 optimum merupakan daerah yang paling optimum untuk menampilkan produktivitas ternak (sapi perah dewasa berkisar antara 0ºC dan 16º

Manajemen strategi untuk menurunkan efek cekaman panas adalah modifikasi lingkungan fisik untuk kandang dan atap, perbaikan genetik untuk ternak yang toleransi terhadap panas, dan perbaikan nutrisi (West 2003). Menurut Chase (2010) hal-hal yang disarankan untuk melawan stress panas dari segi pakan adalah (1) memilih pakan yang mudah dicerna dan yang rendah produksi panas, (2) penambahan lemak 5-5,5% dari konsumsi bahan kering, (3) penambahan buffer dan menaikkan mineral kalium dan magnesium.

C).

Faktor-faktor Efisiensi Reproduksi

Pada umumnya gangguan reproduksi pada ternak disebabkan oleh faktor genetik, manajemen pengelolaan yang kurang baik dan lingkungan yang kurang serasi (Hardjopranoto 1995). Menurut Yousef (1985), iklim memiliki efek mengganggu reproduksi dan pada suhu lingkungan diatas suhu kritis yaitu diatas 21º

Unsur iklim yang paling mempengaruhi reproduksi adalah suhu, kelembaban dan lamanya penyinaran (Payne 1990). Kondisi pemeliharaan di daerah panas (tropis) dengan manajemen pemeliharaan kurang mendukung memperlihatkan kecenderungan penurunan keseluruhan kinerja sapi perah (Anggraeni et al. 2000).

C, angka kebuntingan (CR) akan menurun.

Menurut Hidayat et al. (2002) tatalaksana kesehatan reproduksi merupakan bidang yang penting dalam usaha ternak sapi perah. Kondisi atau penampilan reproduksi sapi perah dapat dilihat dari berbagai parameter sebagai indikator reproduksi seperti: (1) umur sapi dara saat berahi, kawin, bunting dan beranak pertama, (2) jarak waktu saat beranak sampai ke kawin (IB) pertama (service days), (3) jarak waktu saat beranak sampai terjadi kebuntingan (days open), (4) angka kebuntingan (CR), (5) jumlah kawin (IB) untuk mencapai satu kebuntingan (S/C), (6) jarak antar kelahiran (calving interval) dan (7) angka abortus, angka infertilitas dan angka gangguan reproduksi. Menurut Chase (2010) sapi perah mengalami stress panas akan terjadi penurunan penampilan

15 reproduksi berupa panjang dan intensitas estrus menurun, angka kebuntingan menurun, peningkatan resiko kematian embrio dan penurunan pertumbuhan janin.

Umur Kawin Pertama

Pubertas atau dewasa kelamin adalah umur atau dimana organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan mulai terjadi. Pada hewan betina ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi (Toelihere 1993). Menurut Tomaszewska et al. (1991) terjadinya pubertas secara lebih awal akan menguntungkan karena dapat mengurangi masa tidak produktif dan memperpanjang masa hidup produktif ternak. Menurut Hunter (1995), terjadinya pubertas dipengaruhi oleh faktor dari hewannya, diantaranya yaitu umur, bobot badan, ras dan genetik. Faktor yang juga sangat berpengaruh ialah faktor lingkungan yaitu suhu, musim dan iklim dan faktor lain yang mempunyai pengaruh besar terutama nutrisi pakan.

Rata-rata umur pubertas pada sapi dalam kondisi pakan normal ialah 9 bulan tapi dapat berkisar antara 5-15 bulan (Salisbury & Vandermark 1985). Umur pubertas sapi FH di Nigeria adalah 19.5 bulan sedangkan sapi FH persilangan dengan sapi lokal adalah 21.2 bulan (FAO 2011). Sapi dara FH yang memperoleh nutrisi pakan baik akan menampakkan tanda-tanda berahi pertama kali pada umur 8-9 bulan atau 3-4 bulan lebih dini daripada sapi dara yang diberi nutrisi pakan yang sedang (Hardjopranjoto 1995). Menurut Hunter (1995) umur sapi dara saat pubertas dapat beragam dari 8-18 bulan dengan bobot badan sekitar 260 kg.

Hewan betina muda tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan badannya memungkinkan untuk suatu kebuntingan dan kelahiran normal. Hal ini karena dewasa kelamin terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai. Sapi-sapi dara sebaiknya dikawinkan menurut ukuran dan berat badannya bukan menurut pertimbangan umur (Toelihere 1993). Menurut Hardjopranjoto (1995) tingkat nutrisi yang rendah baik segi kualitas maupun kuantitas akan menghambat umur berahi pertama dan pubertas akan tertunda. Nutrisi yang diberikan pada sapi dara berimbang dan mencukupi akan menyebabkan sapi dara dapat diinseminasi (dikawinkan) antara umur 13-15 bulan. Juga dikatakan oleh Hardjopranjoto

16 (1995) inseminasi atau konsepsi pada umur 13 bulan kurang bagus karena diduga akan meningkatkan masalah kesulitan dalam melahirkan dan produksi susu laktasi pertama yang rendah.

Sapi FH mengalami umur kawin pertama yang beragam pada setiap wilayah. Wilayah tropis mempunyai suhu dan kelembaban yang tinggi mempengaruhi kualitas pakan terutama hijauan sehingga pencapaian bobot badan siap kawin dicapai pada umur yang lebih lama. Menurut Sarwiyono et al. (1993) sapi-sapi FH di propinsi Jawa Timur dikawinkan pertama kali pada umur 18.0 bulan di wilayah Pujon, umur 23.4 bulan di wilayah Batu dan umur 21.3 bulan di wilayah Karang Ploso. Sapi FH di Lembang Jawa Barat mempunyai umur kawin pertama 18.9 bulan pada peternakan rakyat binaan koperasi Lembang (KPSBU) dan 20.9 bulan pada stasiun bibit (BPPT-SP) Cikole (Prihatin et al. 2007).

Standar umur kawin pertama di wilayah temperate, antara lain di Jepang adalah pada umur 15-16 bulan dengan bobot badan 350-400 kg sehingga dicapai umur beranak pertama 25 bulan (Yamada 1992), sedangkan di Ontario USA pada umur 15 bulan (Murray 2009). Menurut Pirlo et al. (2000) faktor-faktor yang menyebabkan penundaan umur kawin pertama adalah (1) berahi yang terlambat, (2) kesalahan deteksi berahi, (3) kurangnya bobot badan dan (4) faktor lingkungan.

Umur Beranak Pertama

Umur beranak pertama adalah umur sapi saat mengalami beranak yang pertama kalinya. Menurut Pirlo et al. (2000) umur beranak pertama adalah faktor luar yang mempengaruhi produksi susu. Sapi-sapi yang beranak pada umur tiga tahun akan menghasilkan susu lebih banyak daripada sapi yang beranak pada umur dua tahun karena sapi pada umur dua tahun masih mengalami pertumbuhan sehingga sapi umur tiga tahun lebih besar tubuhnya.

Menurut Nilforoohan dan Edris (2004) dengan meningkatkan umur beranak pertama dari 21 bulan menjadi 24 bulan, produksi susu meningkat, namun penundaan lebih dari 24 bulan produksi susu akan menurun. Secara umum terdapat korelasi fenotipik negatif antara umur beranak pertama dan produksi susu laktasi pertama. Sapi FH yang mempunyai umur beranak pertama

17 pada saat 21 bulan akan terjadi efek negatif terhadap produksi susu dan kadar lemak. Vukasinovich et al. (2001) menyebutkan bahwa efek umur pertama kali beranak tidak berpengaruh besar pada masa hidup produktif sapi.

Losinger dan Heinrichs (1996) menyimpulkan bahwa waktu untuk mengawinkan sapi dara seharusnya berdasarkan bobot badan daripada umur, karena produksi susu akan menurun ketika umur beranak pertama lebih dari 27 bulan. Menurut Hoffman (1997) umur beranak pertama merupakan faktor yang penting untuk mengurangi biaya pemeliharaan sapi dara, sehingga dengan tidak menunda umur kawin dan beranak pertama dapat meningkatkan efisiensi biaya pemeliharaan.

Rataan umur beranak pertama pada sapi FH yang direkomendasikan menurut beberapa peneliti di daerah beriklim sedang beragam tetapi masih dibawah 30 bulan yaitu 22-24 bulan ( Hoffman 1997; Etterna & Santos 2004) dan 24 bulan (Ball & Peters 2007). Umur beranak pertama dari penelitian Heinrichs et al. (1994) di Amerika 25.9 bulan, Pirlo (1997) di Italia 26 bulan, Perez et al. (1999) 28.6 bulan serta Nilforoohan dan Edris (2004) 26.8 bulan. Umur beranak pertama sapi FH di Saudi Arabia adalah 21-29 bulan ( Ali et al. 2000).

Sapi FH di pulau Jawa mempunyai rataan umur beranak pertama lebih dari 30 bulan. Menurut Sudono et al. (2005) umur beranak pertama sapi FH pada peternakan di daerah Pengalengan, Lembang, Bogor dan Cirebon berturut-turut sebesar 32, 33, 36, dan 33 bulan. Umur beranak pertama di PT Taurus Dairy Farm Sukabumi adalah 32.97 bulan (Wicaksono 2004). Menurut Sarwiyono et al. (2003) sapi-sapi FH di propinsi Jawa Timur di wilayah Pujon, Batu dan Karang Ploso masing-masing beranak pertama pada umur 28.2 bulan, 32.8 bulan dan 30.8 bulan. Prihatin et al. (2007) menyatakan bahwa umur beranak pertama sapi FH di Lembang Jawa Barat adalah 31.9 bulan pada peternakan rakyat dan 33.9 bulan pada stasiun bibit BPPT-SP Cikole.

Sapi FH dipelihara di negara-negara di Afrika yang tergolong tropis. Menurut FAO (2011) sapi FH di Nigeria mempunyai umur beranak pertama 29 bulan sedangkan di Uganda 40.1 bulan, tetapi sapi FH yang dikawin silang dengan sapi lokal di Nigeria mempunyai umur beranak pertama 31.9 bulan. Umur beranak pertama sapi FH di Kamerun adalah 30.9 bulan (Gwaza et al.

18 2007). Sapi FH dipelihara di Ethiopia mempunyai umur beranak yang semakin menurun yaitu 44.1 bulan pada tahun 1987 menjadi 34.6 bulan pada tahun 2007, tetapi saat musim kering mempunyai umur beranak pertama 41 bulan (Tadesse et al. 2010).

Interval KawinPertama Setelah Beranak

Service days adalah jarak waktu saat beranak sampai kawin (IB) pertama (Hidayat et al. 2002). Kesuburan tertinggi dicapai bila involusi uteri telah berlangsung 60-90 hari agar estrus kembali normal secara sempurna (Hafez 2000).

Menurut Salisbury dan Vandemark (1985) sebaiknya sapi dikawinkan paling sedikit 60-80 hari setelah kelahiran, karena sapi memerlukan minimum waktu 50-60 hari setelah kelahiran untuk mencapai involusi uteri yang sempurna. Uterus atau rahim sapi membutuhkan waktu 21-42 hari untuk involusi, namun secara histology, involusi benar-benar terjadi secara sempurna antara 50-60 hari setelah beranak. Menurut Sudono et al. (2005) sapi FH dapat dikawinkan kembali 40-60 hari setelah beranak

Interval atau jarak antara partus atau beranak ke berahi pertama adalah 45-103 hari, ovulasi pertama setelah beranak biasanya terjadi tanpa disertai gejala estrus dan berlangsung 35-45 hari setelah beranak (Toelihere 1993). Induk sapi umumnya akan berahi 30-35 hari setelah beranak, tetapi sebagian besar berahi diam (silent heat) dan siklus kedua 80% memperlihatkan berahi (Hoards 2006).

Sapi FH di daerah temperate mempunyai waktu untuk interval kawin pertama setelah beranak yang beragam. Menurut Ball dan Peters (2007) interval kawin pertama setelah beranak adalah 45-60 hari. Interval kawin pertama pada laktasi pertama adalah 85.8 hari dan pada laktasi ke dua 85.9 hari (Mitchell et al. 2005). Menurut Murray (2009) berahi pertama setelah beranak 40 hari dan interval kawin pertama setelah beranak 70 hari.

Norman et al. (2009) melakukan pengamatan pada sapi FH di Amerika dan melaporkan bahwa interval kawin pertama setelah beranak pada sapi FH mengalami penurunan yaitu 92 hari pada tahun 1996 menjadi 85 hari pada tahun 2007 dengan perbaikan manajemen. Menurut Tadesse et al. (2010) sapi FH di

19 Ethiopia mempunyai interval kawin pertama setelah beranak beragam disesuaikan dengan kondisinya. Berdasarkan tahun, maka tahun 2007 interval kawin pertama setelah beranak adalah 118 hari. Berdasarkan musimnya maka saat musim kering adalah 114 hari dan musim hujan adalah 117 hari. Interval kawin pertama setelah beranak pada kelahiran 1, 2 dan 3 adalah berturut-turut 157, 131 dan 117 hari.

Interval kawin pertama setelah beranak pada sapi FH di Lembang Jawa Barat adalah 143.9 hari pada peternakan rakyat anggota koperasi KPSBU dan 90.6 hari pada stasiun bibit BPPT-SP Cikole (Prihatin et al. 2007). Sapi-sapi FH di Jawa Timur mempunyai rataan interval kawin pertama setelah beranak adalah 47 hari di Pujon, 46 hari di Batu dan 71 hari di Karang Ploso (Sarwiyono et al. 1993). Nilai waktu interval kawin pertama setelah beranak tersebut berasal dari pengamatan sapi-sapi FH yang dipelihara oleh peternak dengan memeliharaan sapi berskala kecil.

Masa Kosong (Days open)

Panjang masa kosong berbeda pada setiap ternak (Payne 1970). Sesudah partus hewan betina harus menghasilkan susu untuk anaknya dan menyiapkan uterus, ovarium dan organ kelamin lainnya dan sistem endokrin untuk memulai suatu siklus reproduksi normal dan untuk memulai kebuntingan baru (Toelihere 1985). Sapi pada laktasi pertama akan mengalami masa kosong 80 hari dan untuk laktasi berikutnya adalah 60 hari (Effendi et al. 2002). Menurut Mitchell et al. (2005) masa kosong laktasi pertama 140.3 hari dan pada laktasi ke dua 144.3 hari.

Days open adalah interval hari mulai dari beranak sampai dengan bunting (Gutierrez et al. 2008) atau jumlah hari dari beranak sampai bunting (DeVriest 2006). Lama masa kosong sapi perah yang ideal adalah 90 hari (Purwantara et al. 2001). Periode masa kosong adalah 85-115 hari setelah beranak (Izquierdo et al. 2008). Tidak ada masa kosong kurang dari 30 hari (Ali et al. 2000).

Salah satu ukuran yang menandakan adanya gangguan reproduksi pada suatu peternakan sapi khususnya sapi perah adalah masa kosong yang melebihi 120 hari (Hardjopranjoto 1995). Salah satu pengukuran kesuburan pada sapi

20 perah adalah masa kosong. Masa kosong sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain musim beranak, manajemen, banyaknya populasi, tingkat produksi susu, umur dan teknik inseminasi buatan (Oseni et al. 2003). Masa kosong sebagai deteksi awal kelainan reproduksi dan indikator efisiensi reproduksi (Izquierdo et al. 2008). Menurut Murray (2009) masa kosong yang baik adalah 100 hari dan dibutuhkan perbaikan apabila masa kosong lebih dari 120 hari.

Masa kosong pada sapi perah FH di PT Baru Adjak Lembang 137.77 hari dan di Taurus Dairy Farm 153 hari (Anggraeni 1995). Sapi FH di Rawa Seneng, Temanggung, Jawa Tengah mempunyai masa kosong 196 hari pada bulan Mei yaitu awal musim kemarau dan mempunyai masa kosong 120 hari pada bulan Oktober yaitu awal musim hujan (Toharmat et al. 2007). Menurut Anggraeni et al. (2008b) sapi FH di BBPT SP Cikole Jawa Barat mempunyai masa kosong 141 hari dan berdasarkan periode laktasinya mempunyai masa kosong 158 hari, 127 hari, 132 hari dan 110 hari pada periode laktasi 1, 2, 3 dan 4 secara berturut-turut. Musim panas (summer) di daerah temperate meningkatkan masa kosong yaitu 113 hari dibandingkan 103 hari pada musim semi (spring) dan musim gugur (fall) (Ray et al. 1992). Di USA sapi FH mempunyai masa kosong tertinggi untuk kelahiran bulan Maret dan terendah untuk kelahiran di bulan September (Oseni et al. 2003). Menurut Pszczola et al. (2009) sapi-sapi FH di USA mempunyai masa kosong terpanjang pada musim semi dan terpendek pada musim gugur dan pengaruh musim terhadap masa kosong, dipengaruhi oleh variasi suhu. Di Ethiopia Afrika, masa kosong sapi FH saat musim hujan yang panjang adalah 157 hari, musim kering 151 hari (Tadesse et al. 2010).

Menurut Lee et al. (2008) sapi-sapi FH yang mempunyai produksi susu lebih tinggi pada awal laktasi akan memiliki masa kosong lebih panjang. Peningkatan masa kosong akan mengurangi keuntungan karena biaya perkawinan akan naik, naiknya resiko sapi apkir dan biaya sapi pengganti dan mengurangi produksi susu (DeVriest 2006), dan persentase kebuntingan menurun apabila masa kosong naik dari 122 ke 166 hari.

Menururt Izquierdo et al. (2008) masa kosong dipengaruhi oleh banyak

Dokumen terkait