• Tidak ada hasil yang ditemukan

SRI merupakan model pertanian yang menekankan pada pengolahan sistem pertanian yang ramah lingkungan dan mulai dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Fr. Henri de Laulanie, S.J. yang datang dari Prancis sejak tahun 1961. Henri menghabiskan waktu selama 34 tahun bekerja bersama petani Madagaskar, mengamati dan bereksperimen, dalam rangka meningkatkan sistem pertanian, terutama produksi padi yang menjadi makanan pokok di Madagaskar. Henri merekomendasikan perubahan yang sederhana dan murah pada praktik penanaman, seperti tanam bibit muda pada jarak yang lebar, penanaman bibit dilakukan pada saat 10-15 hari setelah benih disebar dengan jarak 25 x 25 cm (Stoop dan Kassam 2006:1), selain itu menghemat air, namun produktivitas tetap tinggi dan menguntungkan petani. Menurut Uphoff (2003:5), SRI dapat menghemat penggunaan air (25-50%), penggunaan benih (80-90%), penurunan biaya produksi (10-20%), dan peningkatan produktivitas padi (50-100%) bahkan lebih.

Metode ini dikenal juga dengan nama Metode Madagaskar, SRI didasari pemahaman bahwa padi mempunyai potensi untuk menghasilkan lebih banyak batang dan biji daripada yang diamati sekarang. Uphoff dan Fernandes (2003:6) menyebutkan bahwa SRI didasari pengetahuan bahwa potensi pertumbuhan tanaman padi dapat diwujudkan dengan pemindahan lebih awal dan menciptakan kondisi untuk pertumbuhan terbaik (jarak jauh, kelembaban, tanah yang aktif dan sehat dari segi biologis, serta keadaan tanah aerobic selama masa pertumbuhan). SRI mulai dikembangkan di Madagaskar sebagai respon atas menurunnya kesuburan lahan, langka dan tingginya harga pupuk kimia, serta suplai air yang terus berkurang. Pada tahun 1990 dibentuk Association Tefy Sains (ATS), sebuah lembaga swadaya masyarakat Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institut for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerjasama dengan ATS untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafama National Park di Madagaskar Timur yang didukung oleh US Agency for International Development.

Hasil metode SRI di Madagaskar sangat memuaskan, pada beberapa tanah tak subur produksi normalnya dua ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari delapan ton/ha, beberapa petani memperoleh 10-15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha. Panen SRI di Srilanka dapat menghasilkan panen sampai 17 ton/ha dan di Kuba percobaan metode SRI pada satu hektar tanah mendapatkan hasil 9.5 ton/ha dibanding 6,6 ton/ha yang biasanya diperoleh, musim berikutnya, 11,2 ton/ha (Uphoff dan Fernandes, 2003:10). Menurut Mutakin (2009:15), metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode yang biasa dipakai petani.

Berdasarkan sistem pertanian ini membuat perkembangan meluas ke berbagai negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara dan telah berkembang sampai ke-39 negara (Suryanata, 2007:3). SRI menyebar ke negara lain melalui bantuan CIIFAD khususnya dari Prof. Norman Uphoff, dan Nanjing Agricultural University China dan Agency for Agricultural Reseach and Development (Bilad, 2009:6). Pengembangan SRI juga dilakukan melalui uji coba di berbagai negara di kawasan Asia, termasuk Asia Selatan seperti India, Bangladesh dan Srilanka, maupun Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, dan Indonesia. Kegiatan validasi pengaruh SRI pada tahun 2006 dilaksanakan di 20 negara meliputi: Bangladesh, Benin, Cambodja, Cuba, Gambia, Guinea, India, Laos, Mali, Mozambique, Myanmar, Nepal, Pakistan, Peru, Filipina, Senegal, Sierra Leone, Srilanka, Thailand, dan Vietnam. Uji coba tersebut menghasilkan perkembangan yang positif (Anugrah et al. 2008:21).

Menurut Suryanata (2007:5), usahatani padi sawah metode SRI merupakan usahatani padi sawah irigasi secara intensif dan efisien dalam pengelolaan tanah, tanaman, dan air melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal serta berbasis pada kaidah ramah lingkungan dan berkelanjutan. Budidaya padi metode SRI disebut pertanian ramah lingkungan, karena sangat mendukung terhadap pemulihan kesehatan lingkungan dan kesehatan pengguna produknya (Mutakin, 2009:17). SRI juga dapat dijadikan sebagai pertanian organik, karena mulai dari pengolahan lahan, pemupukan hingga penanggulangan serangan OPT menggunakan bahan organik (Reijntjes et.al. 2008:8).

Berdasarkan pengertian tersebut, usahatani padi sawah metode SRI merupakan teknologi usahatani yang menekankan pada efisiensi input luar, mengurangi penggunaan bahan kimia, memperhatikan keseimbangan lingkungan dan penyediaan hasil produksi secara kontinyu dengan kuantitas dan kualitas mencukupi yang sesuai dengan konsep pertanian berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah, sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam (Reijntes et al. 2008:14).

Prinsip utama usahatani padi sawah metode SRI sesuai dengan konsep yang ada di pertanian organik dikarenakan sistem produksi pertanaman yang berdasarkan daur ulang hara secara hayati (Sutanto, 2000:5). Menurut Bilad (2009:7), prinsip utama usahatani padi sawah metode SRI adalah: penanaman bibit muda (8-12 hari setelah berkecambah), jarak penanaman yang lebar (minimal 25 x 25 cm, satu bibit per-titik), menghindari “trauma” pada bibit saat penanaman, penanaman padi secara dangkal, manajemen air (tanah dijaga terairi dengan baik, tidak terus menerus direndam dan penuh, hanya lembab), meningkatkan aerasi tanah dengan pembajakan mekanis, dan menjaga keseimbangan biologis tanah.

SRI mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1997 dan telah diujicobakan di beberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan. Hasil penerapan gagasan SRI di beberapa lokasi penelitian menunjukkan bahwa budidaya pada model SRI telah meningkatkan hasil dibanding budidaya padi model konvensional. Menurut Uphoff (2005:19), keberhasilan penerapan SRI di Indonesia apabila dilihat dari budidayanya, dengan model SRI tanaman padi lebih cepat panen sekitar tujuh hari dari model konvensional.

Diperkirakan + 60 persen lahan sawah di Pulau Jawa telah mengalami degradasi kesuburan tanah (fisika, kimia, dan biologi) yang diindikasikan oleh rendahnya kandungan bahan organik (dibawah 1%). Dampak dari rendahnya kandungan bahan organik (BO) ini antara lain tanah menjadi keras dan liat sehingga sulit diolah, respon terhadap pemupukan rendah, tidak responif terhadap

unsur hara tertentu, tanah menjadi masam, penggunaan air irigasi menjadi tidak efisien serta produktivitas tanaman cenderung levelling-off dan semakin susah untuk ditingkatkan. Hal ini disebabkan oleh kesuburan tanah yang semakin menurun karena cara-cara pengelolaan lahan sawah yang kurang tepat sehingga sawah semakin tandus sementara pemberian pupuk buatan yang terus-menerus, bahan organik yang berupa jerami padi tidak dikembalikan ke lahan, tetapi dibuang/dibakar sehingga mengakibatkan lahan sawah menjadi miskin beberapa unsur hara yang dibutuhkan tanaman serta memburuknya sifat fisik lahan (Deptan 2007:6).

Pemakaian pestisida yang cenderung berlebihan dan tidak terkontrol mengakibatkan: (1) Keseimbangan alam terganggu, (2) Musuh alami hama menjadi punah sehingga banyak hama dan penyakit tanaman semakin tumbuh berkembang dengan pesat, dan (3) Adanya residu pestisida pada hasil panen (Deptan 2007:6).

Dari aspek pengelolaan air, usahatani sawah pada umumnya dilakukan dengan penggenangan secara terus-menerus; di lain pihak kesediaan air semakin terbatas. Untuk itu diperlukan peningkatan efisiensi penggunaan air melalui usahatani hemat air. Usahatani padi sawah metode SRI merupakan teknologi usahatani ramah lingkungan, efisiensi input melalui pemberdayaan petani dan kearifan lokal (Deptan 2007:7).

SRI dikembangkan pertama kali di Madagaskar sejak tahun 1980-an. SRI menggunakan lebih sedikit input produksi. SRI menggunakan lebih sedikit benih, air irigasi, pupuk kimia, dan pestisida tetapi lebih banyak menggunakan input dari bahan-bahan organik sehingga tanaman padi tumbuh dengan volume akar yang banyak dan dalam, tangkai yang kuat dan butir padi yang dihasilkan lebih bernas (Ikisan 2000: 1)

Terdapat enam prinsip dasar SRI. Pertama, menggunakan bibit semaian yang lebih muda. Bibit siap ditanam umur 8-12 hari sejak benih disemaikan. Dengan menanam bibit lebih muda maka potensi tumbuhnya tangkai dan akar tanaman akan semakin banyak dan kokoh (Gambar 1).

Gambar 1. Bibit padi siap ditanam pada SRI.

Kedua, memerlukan kecermatan dalam memindahkan bibit. Kecermatan yang dimaksud adalah hati hati dalam memindahkan semaian untuk mengurangi ”trauma” tanaman pada lingkungan yang baru. Dengan demikian potensi tumbuhnya akar dan tangkai akan semakin baik (Gambar 2).

Gambar 2. Pemindahan bibit pada SRI.

Ketiga, manajemen air yang baik. Dengan pemberian air secara reguler dapat menyimpan (memelihara lengas tanah) dan kondisi tanah anaerob dan aerob dapat bertukar setiap saat. Hal ini akan potensi untuk pertumbuhan akar sehingga tanaman mampu memperoleh banyak bahan nutrisi yang bervariasi dari lahan (Gambar 3).

Gambar 3. Pengelolaan air pada SRI.

Keempat, menggunakan pupuk organik. Pupuk kompos digunakan sebagai ganti atau sebagai tambahan terhadap pupuk kimia. Diperlukan 10 ton/ha kompos untuk tanaman padi dengan SRI. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman oleh karena kesehatan dan struktur lahan yang lebih baik dan lebih banyak suplai hara yang seimbang.

Kelima, menggunakan jarak tanam yang lebih lebar. Jarak tanam yang digunakan adalah 25 x 25 cm bahkan bisa lebih. Tanaman padi ditanam dengan pola bujur sangkar bukan pola baris. Sehingga tanaman padi tidak bersaing untuk mendapatkan makanan dengan sesama sehingga potensi pertumbuhan akan lebih baik (Gambar 4).

Keenam, memerlukan pengendalian gulma. Penyiangan pertama kali dilakukan 10 hari setelah benih ditanam. Penyiangan yang baik bertujuan untuk menghindarkan persaingan tanaman padi dengan gulma dalam mendapatkan makanan, memberikan peluang masuknya oksigen ke dalam tanah, mikroba tanah dapat bekerja dengan baik untuk menghasilkan N. Dengan demikian akar dengan mudah mendapatkan unsur N yang diperlukan tanaman (Gambar 5).

Gambar 5. Diperlukan pengendalian gulma lebih cermat pada SRI.

Hasil pengujian di India (Ikisan 2000: 3) dengan teknologi SRI menunjukkan bahwa terjadi peningkatan produksi sebesar 2,5 ton/ha dibandingkan dengan teknologi konvensional yang biasa dilakukan petani India. Biaya yang dikeluarkan untuk produksi juga lebih murah. Benih yang diperlukan hanya 2 kg/ha, berbeda dengan teknologi konvesional yang mencapai 15-20 kg/ha.

Pada SRI, umur delapan hingga 12 hari semaian siap ditanam ketika baru tumbuh dua tangkai daun. Tujuannya adalah saat benih tumbuh lebih memungkinkan untuk menghasilkan rumpun yang lebih banyak dan pertumbuhan akar yang lebih banyak. Ketika 30 cabang setiap tanaman tumbuh, bukan tidak mungkin anakan ini akan bertambah hingga mencapai 50 cabang baru.

Pengairan harus dikelola dengan baik dalam metode SRI. Irigasi berkala dilakukan untuk menjaga tanah tetap basah. Aktivitas “setting dan keringkan” harus dilakukan untuk memberikan kondisi aerobik dan anaerobik bagi biota tanah untuk menyalurkan nutrisi yang diperlukan oleh tanaman. Ini bertujuan

untuk menghindari kemerosotan akar, di mana pada umumnya terjadi saat penggenangan berlanjut. Kondisi air yang tidak menggenang, yang dikombinasikan dengan penyiangan mekanik, akan menyebabkan aerasi di dalam tanah akan lancar sehingga pertumbuhan akar akan semakin kokoh. Akar yang kokoh dan banyak memudahkan untuk menyalurkan unsur hara yang diperlukan tanaman.

SRI banyak memberikan manfaat kepada petani padi. Pada SRI Jerami lebih tinggi dan butir padi lebih bernas, menghemat waktu hingga 10 hari, sedikit bahkan tidak sama sekali memakai bahan kimia, lebih hemat air dibandingkan dengan metode konvensional, sedikit butir padi yang kosong, butir lebih berat tanpa perubahan ukuran, meningkatkan ketahanan tanaman dari angin ribut, lahan semakin sehat karena terjadi aktifitas biologis dalam tanah, adalah sebagian kecil dari manfaat selain peningkatan hasil yang lebih baik.

Perbandingan SRI dengan metoda konvensional dapat lebih meyakinkan petani padi yang ingin mencoba beralih dari sistem konvensional ke SRI. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan SRI dan metode konvensional

No Metode Konvensional Metode SRI

1. 50 kg benih per ha 15 kg per ha

2. Umur 25 – 30 hari baru ditanam Umur 7-12 hari sudah ditanam 3. Jumlah anakan maksimal 26 batang Jumlah anakan maksimal 56 batang 4. 3 bahkan lebih bibit yang ditaman Hanya satu bibit padi yang ditanam 5. Menggunakan pupuk NPK Dapat murni organik, anorganik maupun

gabungan organik dan anorganik 6 Penggenangan berlanjut Tanah macak-macak (kondisi lembab) Sumber: Ikisan, 2000

Subak

Dinyatakan oleh Geertz (Suyatna, 1982:51) bahwa orang yang memiliki tanah persawahan dalam satu aliran sungai, terikat dalam satu ikatan kelompok yang ada hubungannya dengan air untuk persawahan. Ketua kelompoknya disebut Kelihan Subak. Warga banjar dalam satu banjar kemungkinan terikat oleh beberapa subak. Bahkan satu orang kemungkinan terikat oleh beberapa subak

karena subak sangat tegas berpegangan pada daerah persawahan yang dialiri oleh satu aliran sungai, sehingga subaknyapun berbeda jika orang mempunyai sawah dengan lokasi aliran sungai berbeda.

Ada beberapa pendapat tentang asal kata subak. Semua pendapat mengandung arti baik dan adil. Karena itu kiranya dapat disimpulkan bahwa pembentukan subak didasarkan atas maksud hati nurani yang baik guna kesejahteraan bersama bagi anggotanya. Grade (Suyatna, 1982:51) menunjukkan dua kewajiban utama subak yaitu pekaryan dan penyubaktian. Pekaryan merupakan kewajiban di luar keagamaan, antara lain membuat, memelihara dan memperbaiki bendungan, terowongan, saluran air, dan juga jalan subak. Penyubaktian merupakan kewajiban yang ada hubungannya dengan keagamaan, antara lain membuat sesajen dan sembahyang di pura subak.

Selanjutnya Grader (Suyatna, 1982:52) menunjukkan awig-awig sebagai peraturan subak. Di dalam awig tercantum hukuman atas pelanggaran awig-awig tersebut. Pelanggaran disampaikan kepada kelian subak, yang selanjutnya kelian subak menetapkan hukuman lewat pertemuan berikutnya. Umumnya disiplin pada subak sangat tinggi sehingga sangat jarang pemerintah ikut campur menangani permasalahan yang timbul. Umumnya pelanggaran yang timbul tentang keterlambatan datang pada suatu pekerjaan subak, sama sekali tidak datang, datang tanpa membawa alat yang dibutuhkan, serta pencurian air. Setiap pelanggaran ada hukumannya yang umumnya berupa denda.

Arya (Suyatna, 1982:52) menyatakan bahwa peraturan tentang waktu menanam juga dapat dijumpai di dalam subak. Peraturannya disebut kertamase, yaitu peraturan subak tentang penertiban penanaman di sawah menurut masa atau musim yang ditetapkan oleh subak tersebut.

Menurut Grade (Suyatna, 1982:52), sawah yang tidak ditanami tanpa alasan, dapat dikenakan denda. Dendanya menjadi dua kali lipat dan diberi peringatan, serta sawahnya tidak mendapatkan pembagian air jika terlambat membayar denda tersebut. Ada beberapa kelompok tani yang bertujuan mendapatkan upah di samping bertujuan saling membantu yaitu sekeha memule dan sekeha manyi. Mereka saling membantu antar anggota, dan mendapat upah jika pekerjaan datang dari luar anggota. Upahnya berupa uang dan makan atau

barang. Orang yang tidak memiliki sawah juga dapat menjadi anggota sekeha memule dan sekeha manyi.

Karakteristik Anggota Subak

Petani memiliki karakteristik yang beragam. Karakteristik tersebut dapat berupa karakter demografis, karakter sosial serta karakteristik kondisi ekonomi petani itu sendiri. Karakter-karakter tersebutlah yang membedakan tipe perilaku petani pada situasi tertentu. Berikut adalah sejumlah karakteristik yang diamati dalam penelitian ini.

Tingkat Subsistensi

Menurut Redfield (1983:106), tidak semua petani merasakan hal yang sama terhadap pekerjaannya, tergantung pada kepemilikan tanah, kondisi ekonomi, kondisi ekologi. Petani juga mengalami tekanan-tekanan kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga secara kritis perlu mencermati ciri-ciri khas petani dan nilai-nilai yang dianutnya spesifik menurut waktu dan lokasi (Wolf, 1983:79).

Scott (1983:74) juga menyebutkan bahwa pola pengambilan keputusan petani tergantung pada kondisi subsistensi petani, yang diasumsikan petani berada dalam kondisi yang rawan terhadap krisis subsistensi. Sedikit saja kegagalan akan sangat membahayakan kelangsungan hidup petani, petani akan memilih menolak resiko dengan prinsip dahulukan selamat, dan melakukan strategi pembentukan pengaturan bersama dalam bentuk desa serta kecenderungan untuk mempertahankan ikatan patron-klien.

Wahono (1994;23) menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar merupakan hal penting yang diperjuangkan oleh petani miskin dibandingkan kebutuhan sosialnya. Petani miskin cenderung tidak mengalokasikan anggarannya terlalu banyak pada kebutuhan sosial. Upaya-upaya menjalin hubungan dengan petani lain, elit desa, atau pedagang, dan kegiatan sosial lainnya lebih banyak didasarkan pada alasan ekonomi yaitu selalu dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan dasarnya.

Umur

Menurut Padmowihardjo (1999:36-37), umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur itu adalah faktor psikologis dalam belajar. Semakin tinggi umur semakin menurun kerja otot, sehingga terkait dengan fungsi kerja indera yang semuanya memengaruhi daya belajar. Pada masa remaja, yaitu menjelang kedewasaan, perkembangan jauh lebih maju, walaupun tidak banyak terjadi perubahan intelektual.

Menurut Salkind (1985;31-32), menentukan umur kronologis sebagai ukuran perkembangan lebih mudah dilakukan. Walaupun dalam perkembangannya masih terdapat perdebatan apakah umur memang berpengaruh pada perkembangan dan pencapaian kemampuan tertentu sebagai wujud perkembangan di samping umur akan mencirikan suatu perkembangan tertentu. Menurut Schaie (Salkind ,1985:32), dari hasil penelitian yang ditemukan bahwa perbedaan umur menunjukkan perbedaan kematangan, perbedaan-perbedaan ini juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan interaksinya dengan individu sebagai diri yang bersangkutan. Terkait dengan perkembangan umur, kebutuhan-kebutuhan terhadap keterampilan tertentu berubah. Perbedaan umur menunjukkan perbedaan keterampilan yang dibutuhkan.

Soetrisno dkk. (1999:12) menyatakan bahwa umur rata-rata petani Indonesia yang cenderung tua dan hal itu sangat berpengaruh pada produktivitasnya, lagi pula petani yang berusia tua biasanya cenderung sangat konservatif dalam menerima inovasi teknologi.

Pendidikan

Menurut Ranaweera (1989:8), negara berbeda memberikan ragam pendidikan non formal yang berbeda. Terdapat beberapa negara misal Amerika Latin dan Filipina yang melaksanakan pendidikan non formal dalam kerangka pluralisme budaya. Terkait dengan konteks interaksi dengan lingkungan ini maka Klies (Sudjana, 2004:25) menyatakan bahwa pendidikan adalah sejumlah pengalaman yang dengan pengalaman itu, seseorang atau sekelompok orang dapat memahami sesuatu yang sebelumnya mereka tidak pahami.

Cara mendidik oleh keluarga atau masyarakat secara alamiah disebut sebagai pendidikan informal. Pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa secara bersistem melalui sekolah disebut sebagai pendidikan formal. Proses dan hasil dari kedua jenis pendidikan ini saling mendukung dan memperkuat dalam proses pencapaian kecakapan hidup untuk mengarungi kehidupan (DEPDIKNAS, 2004:7).

Menurut Nabung (2005:13), sistem pendidikan yang memadai apabila pertama, mampu melahirkan profesional yang cakap secara intelektual, emosional, dan sosial, tidak gagap dengan spesialisasi pilihannya. Kedua, mampu menyediakan peluang diajarkannya bidang-bidang pengetahuan umum. Ketiga, mampu membuka peluang bagi kelahiran kelompok diskusi lintas masalah.

Pendekatan pendidikan yang tepat akan memengaruhi kelanggengan individu dalam menyelesaikan proses belajarnya. Pendekatan formal pendidikan memberikan kesulitan bagi peserta yang ingin belajar tetapi tidak memiliki waktu ke dalam kelas. Kelompok yang tinggal di pedesaan, memiliki keterbatasan untuk mengakses pendidikan formal yang memadai. Pendidikan nonformal menjadi penting untuk menunjang kemampuan individu yang tidak dapat mengakses ke pendidikan formal (Ranaweera, 1989:8).

Segala situasi hakekatnya dapat menjadi proses pembelajaran yang kategori pendidikan disebut sebagai pendidikan informal. Pendidikan informal adalah sebutan untuk proses pendidikan seumur hidup bagi setiap orang dalam mencari dan menghimpunkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan pengertian diperoleh dari pengalaman sehari-hari dan pengaruh lingkungan. Pendidikan informal tidak terorganisasi, tidak tersistem, dan tersebar sepanjang hidupnya (Combs dan Ahmed, 1985:9-10). Dalam pendidikan informal ini termasuk di dalamnya adalah proses-proses yang terjadi dalam keluarga, kelompok-kelompok kepemudaan, maupun sistem sosial lainnya (Joesoef, 2004:73-78).

Luas Lahan Usahatani

Menurut Kasryno dkk. (1986:14), dalam banyak hal hubungan yang terjalin antara petani dengan sumberdaya pertanian di desa sangatlah penting. Sumberdaya pertanian paling penting adalah lahan pertanian. Mempelajari pola pemilikan lahan di desa, akan segera dapat diketahui potensi usaha pertanian di

desa yang bisa dijadikan dasar dalam pengembangan dan perbaikan taraf hidup petani. Menurut Tjakrawiralaksana dan Soeriaatmadja (1983:7), lahan merupakan pencerminan dari faktor-faktor alam yang berada di atas dan di dalam permukaan bumi. Berfungsi sebagai (1) tempat diselenggarakan kegiatan produksi pertanian seperti bercocok tanam dan memelihara ternak atau ikan, dan (2) tempat pemukiman keluarga tani yang melakukan aktivitas dan berinteraksi sehari-hari.

Hernanto (1993:46) menyatakan bahwa luas lahan usahatani dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu (1) sempit dengan luas lahan < 0,5 ha, (2) sedang dengan luas lahan antara 0,5 sampai 2 ha, dan (3) luas dengan luas lahan > 2 ha. Tohir (1983:115) mengemukakan bahwa luas lahan yang sangat sempit dengan pengelolaan cara tradisional dapat menimbulkan (1) kemiskinan, (2) kurang mampu memproduksi bahan makanan pokok khususnya beras, (3) ketimpangan dalam penggunaan teknologi, (4) bertambahnya jumlah pengangguran, dan (5) ketimpangan dalam penggunaan sumber daya alam. Menurut Lionberger dan Gwin (1984:15), keterbatasan lahan yang dimiliki petani akan memberikan pengaruh pada kekurang efisienan pengelolaan pertanian. Mengingat selain lahan sebagai sarana produksi, lahan juga merupakan barang yang harus dikeluarkan pajaknya. Perlu pemikiran ke arah kebijaksanaan lahan pertanian yang proporsional.

Modal dan Akses Pada Kredit Usahatani

Petani Indonesia pada umumnya adalah petani gurem dengan modal uang dan barang terbatas serta kepemilikan lahan yang sempit. Dengan modal terbatas dan tingkat pendidikan yang masih rendah, berhadapan dengan lingkungan tropika yang penuh risiko seperti banyaknya hama, tidak menentunya curah hujan dan sebagainya, membuat para petani harus lebih berhati-hati dalam menerima inovasi atau upaya-upaya pembaharuan. Karena apabila mereka gagal memanfaatkan inovasi berarti seluruh keluarga mereka akan menderita (Mosher, 1987:179).

Kredit di pedesaan terdapat dua segmen terpisah, yaitu pasar kredit formal dan kredit informal. Lembaga keuangan formal jarang dimanfaatkan petani untuk membiayai usahatani padi, mengingat petani umumnya tidak memiliki jaminan yang memadai (Rachman dkk. 2011:1).

Badan-badan efisien, yang memberikan kredit produksi kepada petani dapat merupakan faktor pelancar penting bagi pembangunan pertanian. Untuk memproduksi lebih banyak, petani harus lebih banyak mengeluarkan uang untuk bibit unggul, pestisida, pupuk, dan alat-alat. Pengeluaran-pengeluaran seperti itu

Dokumen terkait