• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Penulisan Kitab Suci Tipitaka

Bab VIII Tipitaka

A. Sejarah Penulisan Kitab Suci Tipitaka

Jika bicara tentang sejarah penu-lisan kitab suci Tipitaka (kitab suci agama Buddha), maka tidak terlepas dengan peristiwa Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya). Adapun hal yang melatarbelakangi Sidang Agung Sangha yaitu menyangkut kehidupan Bhikkhu Subhaddha.

Setelah Buddha wafat (543 SM), seorang Bhikkhu tua yang bernama Subhaddha berkata: ”Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi” (Vinaya Pitaka II,284). Setelah mendengar kata-kata itu Maha Kassapa hera memutus-kan untuk mengadamemutus-kan Sidang Agung Sangha I di Rajagaha dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha. Lima ratus orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Buddha yang telah dibabarkan sela-ma ini dan menyusunnya secara sistesela-matis. Bhikkhu Ananda, siswa terdekat Bud-dha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali khotbah-khotbah Buddha (Dhamma) dan Yang Ariya Upali mengulang peraturan-peraturan kedisiplinan (Vinaya). Dalam Pesamuan Agung I inilah dikumpulkan seluruh ajaran Buddha yang dikenal dengan sebutan Dhamma dan Vinaya.

Hasil Sidang Sangha I yaitu Sangha tidak menetapkan hal-hal yang perlu diha-pus dan hal-hal yang harus dilaksanakan, juga tidak akan menambah yang telah ada. Dalam sidang ini juga dibahas kesalahan Yang Ariya Ananda dan pengucilan Bhikkhu Chana.

Pada mulanya ajaran Buddha ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma dan Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Buddha Gotama menyelenggarakan Sidang Agung Sangha II (443 SM) dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali. Sidang ini dipimpin oleh Bhikkhu Yasa hera, Revata hera, dan Subhakami hera dan dihadiri oleh 700 Arahat. Dalam Sidang Agung Sangha II ini, kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma dan Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut heravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar

Sumber:

Gambar 8.1 Kitab suci Tipitaka

diunduh

dari

heravãda dan Mahayana.

Hasil Sidang Agung Sangha II yaitu membahas kesalahan Bhikkhu Vajjiputtaka yang melanggar Pacittiya. Sekelompok Bhikkhu Vajjiputtaka akhirnya memisah-kan diri dengan menamamemisah-kan diri sebagai Mahasangika dan mengadamemisah-kan sidang sendiri. Kelompok yang masih sejalan dengan Dhamma-Vinaya dikenal dengan nama Sthaviravada.

Sumber : www.buddhistteachings.org

Gambar 8.2 Seorang Bhikkhu yang sedang menerima kitab suci

Sidang Agung Sangha III (249 SM) diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Buddha wafat di bawah pemerintahan Kaisar Ashoka Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebaran ajaran Buddha ke seluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud menyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk menyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain. Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini seratus orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.

Hasil Sidang Agung Sangha III yaitu, Sangha dibersihkan dari bhikkhu-bhik-khu yang ceroboh. Ajaran Abhidhamma (Katthavatthu Pakarana) diulang oleh Tissa sehingga lengkaplah Tipitaka (Vinaya, Sutta, dan Abhidhamma); serta Raja

diunduh

dari

Asoka melakukan misionari Buddhis dengan menyebarkan sekte Vibhajjavadin (subsekte Sthaviravada) ke Sembilan Negara termasuk Srilanka dengan mengirim putranya yaitu Bhikkhu Mahinda hera, kemudian putrinya yang bernama Sang-hamitta.

Sidang Agung Sangha IV (83 SM) diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Bud-dha wafat. Pada kesempatan itu kitab suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya di atas daun lontar.

Perlu dicatat pula bahwa pada abad pertama Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok heravãda. Bertitik tolak pada Pesamuan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian menyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sanskerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).

Selanjutnya Sidang Agung Sangha V diadakan di Mandalay (Burma) pada per-mulaan abad 25 sesudah Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Ke-jadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Tipitaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay.

Sidang Agung Sangha VI diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penerjemahan kitab suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa ba-hasa Barat.

Sumber: wp_tipitaka - aanatmawa.blogspot.com.jpg

Gambar 8.3 Kitab suci

diunduh

dari

Dengan demikian, Agama Buddha mazhab heravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan peng-hayatan dan pembabaran Dhamma-Vinaya pada kemurnian kitab suci Tipitaka (Pali) sehingga tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara heravãda di Indone-sia dengan heravada di hailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain. Sampai abad ketiga setelah Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah men-jadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, heravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Ma-zhab yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah maMa-zhab heravãda (aja-ran para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab heravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, hailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.

Dokumen terkait