• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2. Sifat Kelembagaan

Salah satu sifat kelembagaan yang utama adalah menyangkut kepemilikan (owners) karena berkaitan dengan tingkat kebocoran wilayah yang terjadi. Faktor pemilihan lahan juga berpengaruh terhadap persyaratan dalam penerimaan tenaga kerja walaupun hal ini tidak secara nyata. Namun, sering terlihat bahwa pemilik yang berasal dari luar daerah

misalnya warga negara Indonesia atau warga negara asing dalam mengambil keputusan atau kebijakan akan berbeda jika dibandingkan dengan pemilik yang berasal dari daerah setempat.

Menentukan sektor-sektor unggulan memerlukan beragam pertimbangan, tergantung pilihan yang ditawarkan. Menurut Arief (1993), sektor unggulan adalah sektor yang memenuhi kriteria: (1) mempunyai keterkaitan dan ke belakang yang relatif tinggi; (2) menghasilkan output bruto yang yang relatif tinggi sehingga menghasilkan permintaan akhir yang juga relatif tinggi; (3) mampu menghasilkan penerimaan bersih devisa relatif tinggi; (4) mampu menciptakan lapangan kerja yang relatif tinggi.

Menurut Tanea (2009), sektor unggulan pada dasarnya bisa dilihat dari 4 ragam keunggulan, yaitu: (1) keunggulan komparatif, (2) keunggulan kompetitif, (3) keunggulan pengganda, (4) keunggulan keterkaitan. Dia menjelaskan bahwa suatu sektor bisa unggul secara komparatif maupun kompetitif secara ekonomi dalam wilayahnya, namun jika sifatnya enclave maka keunggulan ini tidak lengkap karena tidak memperhitungkan dampak penggandaan yang dihasilkan sektor tersebut.

Lebih lanjut lagi, Tarigan (2004) mengatakan bahwa pendekatan sektoral saja tidak akan mampu melihat adanya kemungkinan tumpang tindih dalam penggunaan lahan, perubahan struktur ruang, perubahan pergerakan arus orang dan barang. Sedangkan pendekatan regional (kewilayahan) saja juga tidak cukup karena analisanya akan bersifat makro wilayah sehingga tidak cukup detail untuk membahas sektor per sektor apalagi komoditi per komoditi, misalnya komoditi apa yang dikembangkan (luas, pasar, input, perilaku pesaing).

Hal senada diungkapkan oleh Riyadi (2002) bahwa pengembangan wilayah berbeda dengan pembangunan sektoral karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada isu (permasalahan) pokok secara saling terkait, sementara pembangunan sektoral untuk mengembangkan sektor tertentu tanpa memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lainnya.

19

2.5 Keterkaitan dan Interaksi Wilayah serta Pembangunan yang Berimbang

Setiap wilayah mempunyai potensi dan kekuarangannya masing-masing secara khas dalam bentuk beragam sumberdaya seperti sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya ekonomi, dan teknologi. Untuk memenuhi kebutuhan ini, wilayah seringkali harus memenuhinya dari wilayah lainnya. Oleh karena itu wilayah berinteraksi satu dengan yang lainnya karena adanya keterkaitan permintaan dan penawaran.

Menurut Preston (1975), keterkaitan dicerminkan oleh perpindahan orang dan migrasi, aliran barang, aliran jasa, aliran energi, financial transfer (dapat melalui trade, taxes dan state disbursements), transfer aset (property right dan

state investment) dan informasi. Adapun menurut Rondinelli (1985), keterkaitan dapat dikelompokkan menjadi hubungan fisik, ekonomi, teknologi, population movement, sosial, service delivery dan berbagai hubungan-hubungan politik.

Bendavid-Val (1991) mengelompokkan keterkaitan antar wilayah atas keterkaitan transportasi, komunikasi, natural resources, ekonomi, sosial, pelayanan umum, dan institusi.

Jika keterkaitan antarwilayah ini tidak berimbang maka yang terjadi adalah disparitas wilayah dimana wilayah yang satu akan mendapatkan keuntungan (rent) yang lebih besar; wilayah lainnya akan terkuras habis (backwash effect). Lo (1981) menjelaskan bahwa keterkaitan wilayah yang tidak baik akan menyebabkan ketimpangan dan kemiskinan. Ada 3 hubungan dualistik dalam keterkaitan antarwilayah, yaitu:

1. Utara-selatan yang menggambarkan keterkaitan antar dua kutub utara-selatan (maju-berkembang) di belahan dunia

2. Perkotaan-perdesaan yang menggambarkan keterkaitan intrawilayah

3. Formal-informal yang menggambarkan keterkaitan antar- maupun intrawilayah yang menekankan pada aktivitas ekonominya

Menurut Lo (1981), ketiga hubungan ini tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor dominan yang terdapat di setiap wilayah, yaitu:

2. Karakteristik demografi: kepadatan penduduk, tingkat pertumbuhan penduduk, dan tingkat urbanisasi

3. Teknologi: tipe-tipe teknologi yang diadaptasi dan pembangunan sumberdaya manusia

4. Ideologi pembangunan: ideologi dalam pembangunan negara

Dalam konteks interaksi wilayah yang berimbang, Murty (2000), menjelaskan bahwa pembangunan wilayah yang berimbang merupakan suatu pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan kapabilitas dan kebutuhannya. Hal ini tidak berarti bahwa harus terjadi keseragaman pembangunan (perkembangan, industrialisasi, pola ekononomi, dan sebagainya) yang sama; tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki masing-masing wilayah.

Dalam konteks pengembangan wilayah, Mariani (2005) mengungkapkan bahwa masalah pembangunan (development) pada dasarnya adalah sisi lain dari masalah keterbelakangan (underdevelopment) yang umumnya menyebabkan ketimpangan wilayah.

2.6 Pengembangan Wilayah di Era Desentralisasi

Sejak diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Indonesia memulai era desentralisasi (otonomi daerah) yang secara signifikan menggeser orientasi pengembangan wilayah menjadi berbasis kewilayahan dengan memperhatikan lokalitas.

Menurut Wiranto (2008), dampak yang ditimbulkan desentralisasi terhadap kegiatan perencanaan adalah: (1) wewenang daerah dalam kegiatan perencanaan yang penuh, sehingga proses pengambilan keputusan terjadi ditingkat lokal, hubungan horisontal-internal menjadi kuat dibandingkan hubungan vertikal-eksternal; (2) peran lembaga perwakilan semakin besar dibandingkan dengan eksekutif, rasionalistas perencanaan melemah dibandingkan rasionalitas konstituen, metoda dan proses perencanaan berubah dari teknikal ke politikal dengan partisipasi penuh dari berbagai pihak berkepentingan melalui

21

forum-forum; dan (3) sumber pembiayaan dari pihak pemerintah propinsi dan pusat berkurang, sehingga kekuasaan alokasi sumberdaya berada di tingkat lokal.

Sesungguhnya suatu pengembangan wilayah harus mampu mendorong wilayah untuk tumbuh secara "mandiri" berdasarkan potensi-potensi sosial ekonomi serta karakteristik spesifik yang dimilikinya, tanpa harus memperlemah kesatuan nasional. Begitu pula interaksi ekonomi antarwilayah harus semakin menguat (Firman, 2008)

Dalam perspektif jangka panjang, suatu pengembangan wilayah harus menjadi suatu upaya untuk menumbuhkan perekonomian wilayah dan lokal (local economic development), sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri. Jelas bahwa insiatif pembangunan secara lokal dan regional memegang kunci yang sangat penting, dan pemerintah daerah serta organisasi lokal tidak bersifat pasif atau menunggu insiatif pemerintah pusat (Firman, 2008).

Terdapat dua pandangan yang menjiwai makna otonomi, yaitu: (1) legal self sufficiency dan (2) actual independence. Berdasarkan pada pemahaman otonomi daerah tersebut, maka pada hakekatnya otonomi daerah bagi pembangunan regional adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah, yang dalam penyelenggaraannya lebih memberikan tekanan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah (Cristanto, 2002).

Menurut Cristanto (2002), beberapa hal lain yang mendasari perubahan paradigma pembangunan regional adalah faktor-faktor internal dan eksternal yang diperkirakan dapat mempengaruhi jalannya pembangunan regional masa kini dan masa yang akan datang. Faktor-faktor yang dimaksud antara lain:

Dokumen terkait