• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.5 Simulasi Penebangan

Simulasi penebangan menggunakan DST Metode IV pada 3 plot contoh dengan kondisi ST awal yang berbeda namun memiliki tahun tebang yang sama (masing- masing termasuk ST tipe I, II dan IX menurut Muhdin et al. 2008), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : (1) penebangan dilakukan apabila jumlah pohon berdiameter 50 cm ke atas telah mencapai sedikitnya 25 pohon (dasar perhitungan diuraikan pada Lampiran 15); (2) mortalitas akibat penebangan pohon berdiameter 50 cm ke atas

terhadap pohon-pohon pada KD yang lebih kecil diperhitungkan dengan menggunakan proporsi (terhadap total jumlah pohon per ha) kerusakan tegakan tinggal menurut Elias (1998), yaitu : KD 11-20 cm sebesar 14,61%; KD 21-30 cm sebesar 4,77%; KD 31-40 cm sebesar 1,31%; dan KD 41-50 cm sebesar 0,44%. Hasil simulasi menunjukan bahwa jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai ST siap tebang pada rotasi tebang I beragam untuk setiap plot (Tabel 12). Keragaman tersebut diduga disebabkan jumlah pohon dan struktur tegakan awal yang juga beragam.

Tabel 12 Simulasi penentuan rotasi tebang dengan batas dbh pohon ditebang 50 cm up Kondisi tegakan awal Plot 1 (ST tipe 1) Plot 2 (ST tipe 5) Plot 3 (ST tipe 9)

Jumlah pohon 10 cm up 172 273 427

Jumlah pohon 10-19,9 cm 74 156 314

Jumlah pohon 20-49,9 cm 83 96 101

Jumlah pohon 50 cm up 15 21 12

Luas bidang dasar (m2/ha) 12,6 15,5 16,4

Waktu mencapai steady state (thn) 213 195 195

Mencapai rotasi tebang I (thn) 72 48 54

Intensitas tebangan 50 cm up 40% 60% 100% 40% 60% 100% 40% 60% 100%

Mencapai rotasi tebang II (thn) 44 54 63 54 60 69 36 48 63

Mencapai rotasi tebang III (thn) 57 57 66 51 57 63 60 60 66

Mencapai rotasi tebang IV (thn) 51 57 66 54 57 66 48 57 66

Mencapai rotasi tebang V (thn) 54 57 66 51 57 66 54 57 66

Mencapai rotasi tebang VI (thn) 51 57 54 57 51 57

Mencapai rotasi tebang VII (thn) 54

Catatan : jangka waktu simulasi dalam rentang waktu ± 350 tahun dan intensitas penebangan merupakan persentase terhadap jumlah pohon layak tebang.

Plot 1 yang termasuk ST tipe 1 (Nokecil kkecil), memerlukan waktu 213 tahun untuk

mencapai ST kondisi tunak. Plot 2 yang termasuk ST tipe 2 (Nokecil ksedang) dan plot 3

yang termasuk ST tipe 9 (Nobesar kbesar), memerlukan yang sama 195 tahun untuk

mencapai ST kondisi tunak. Plot 2 secara keseluruhan memiliki jumlah pohon yang lebih sedikit dibanding plot 3, jumlah pohon berdiameter kecil juga lebih sedikit namun memiliki jumlah pohon berdiameter besar yang lebih banyak, sedangkan plot 3 secara keseluruhan memiliki jumlah pohon yang lebih banyak dibanding plot 2, jumlah pohon berdiameter kecil juga lebih banyak namun memiliki jumlah pohon berdiameter besar yang lebih sedikit. Kedua plot yang berbeda karakteristik tegakannya tersebut ternyata memerlukan waktu yang sama untuk mencapai ST kondisi tunak (steady state). Hal itu menunjukan bahwa waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi ST tertentu sangat tergantung kepada jumlah pohon yang ada pada setiap tingkat pertumbuhan pohonnya atau dengan kata lain, selain tergantung dari jumlah pohon keseluruhan, juga dipengaruhi oleh tipe ST-nya.

47

Jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai ST siap tebang pada rotasi tebang berikutnya sangat tergantung pada intensitas penebangan sesuai preskripsi pengaturan hasil yang ditetapkan, semakin besar intensitas penebangan maka semakin panjang juga jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai ST siap tebang pada rotasi tebang berikutnya tersebut. Dalam jangka panjang (dengan asumsi adanya kesamaan dal hal kualitas tempat tumbuh dan kemampuan pemulihan tegakan setelah mendapat gangguan), ST dengan tipe yang berbeda namun pada intensitas penebangan yang sama akan mengarah kepada rotasi tebang yang juga sama.

Tabel 13 Simulasi penentuan rotasi tebang dengan batas dbh pohon ditebang 40 cm up Kondisi tegakan awal Plot 1 (ST tipe 1) Plot 2 (ST tipe 5) Plot 3 (ST tipe 9)

Jumlah pohon 10 cm up 172 273 427

Jumlah pohon 10-19,9 cm 74 156 314

Jumlah pohon 20-39,9 cm 75 87 84

Jumlah pohon 40 cm up 23 30 29

Luas bidang dasar (m2/ha) 12,6 15,5 16,4

Waktu mencapai steady state (thn) 213 195 195

Mencapai rotasi tebang I (thn) 48 27 24

Intensitas tebangan 40 cm up 40% 60% 100% 40% 60% 100% 40% 60% 100%

Mencapai rotasi tebang II (thn) 42 48 57 48 51 60 42 48 57

Mencapai rotasi tebang III (thn) 42 48 54 42 48 54 42 48 54

Mencapai rotasi tebang IV (thn) 42 48 54 42 48 54 42 48 54

Mencapai rotasi tebang V (thn) 42 48 54 42 48 54 42 48 54

Mencapai rotasi tebang VI (thn) 42 48 54 42 48 54 42 48 54

Mencapai rotasi tebang VII (thn) 42 48 42 48 54 42 48 54

Mencapai rotasi tebang VIII (thn) 42 42 42

Catatan : jangka waktu simulasi dalam rentang waktu ± 350 tahun dan intensitas penebangan merupakan persentase terhadap jumlah pohon layak tebang.

Fenomena yang sama juga terjadi apabila penebangan dilakukan secara proporsional dengan batas diameter pohon layak tebang minimal 40 cm. Dalam simulasi ini, tegakan mencapai keadaan siap tebang apabila jumlah pohon dengan diameter 40 cm ke atas berjumlah minimal 40 pohon (dasar perhitungan diuraikan pada Lampiran 15). Setelah mencapai kondisi tegakan layak tebang, penebangan dengan intensitas yang sama memerlukan waktu pemulihan yang lebih pendek dibanding penebangan dengan batas diameter 50 cm (Tabel 13). Waktu pemulihan yang lebih pendek tersebut terjadi karena untuk mencapai jumlah pohon minimal 40 pohon setelah penebangan dengan batas diameter 40 cm ke atas lebih cepat dibanding waktu untuk mencapai jumlah pohon minimal 25 pohon setelah penebangan dengan batas diameter 50 cm ke atas. Hal itu menunjukan bahwa pertumbuhan pohon-pohon berdiameter besar cenderung lebih lambat.

Tabel 14 Rotasi dan volume tebangan dengan batas dbh pohon ditebang 50 cm up Kondisi tegakan awal Plot 1 (ST tipe 1) Plot 2 (ST tipe 5) Plot 3 (ST tipe 9)

Mencapai rotasi tebang I (thn) 72 48 54

Intensitas tebangan Dbh 50 cm up 40% 60% 100% 40% 60% 100% 40% 60% 100%

Mencapai rotasi tebang II (thn) 44 54 63 54 60 69 36 48 63

Mencapai rotasi tebang III (thn) 57 57 66 51 57 63 60 60 66

Mencapai rotasi tebang IV dst. (thn) 54 57 66 54 57 66 54 57 66

Vol. tebangan Dbh 50 cm up (m3 ha-1) 44 66 111 44 66 111 44 66 111

Tabel 15 Rotasi dan volume tebangan dengan batas dbh pohon ditebang 40 cm up Kondisi tegakan awal Plot 1 (ST tipe 1) Plot 2 (ST tipe 5) Plot 3 (ST tipe 9)

Mencapai rotasi tebang I (thn) 48 27 24

Intensitas tebangan Dbh 40 cm up 40% 60% 100% 40% 60% 100% 40% 60% 100%

Mencapai rotasi tebang II (thn) 42 48 57 48 51 60 42 48 57

Mencapai rotasi tebang III dst. (thn) 42 48 54 42 48 54 42 48 54

Vol. tebangan Dbh 40 cm up (m3 ha-1) 52 79 123 52 79 123 52 79 123

Penurunan batas diameter pohon yang ditebang dengan kriteria seperti yang telah diuraikan di muka, selain memperpendek rotasi tebang juga meningkatkan volume hasil tebangan (Tabel 14 dan 15). Namun demikian penurunan batas ukuran diameter pohon yang ditebang harus ditentukan secara cermat dengan memperhatikan nilai kayu dan persyaratan teknis (ukuran diameter) dari industri yang memerlukan kayu hasil tebangan tersebut. Selain itu tingkat kerusakan tegakan tinggal harus diperhitungkan secara lebih teliti, karena secara umum semakin banyak pohon yang ditebang, maka pohon-pohon yang mati karena dampak penebangan kemungkinan besar juga akan semakin banyak. Karena itu pengaruh penurunan batas diameter pohon ditebang ini, masih perlu kajian lebih lanjut sebelum dijadikan sebagai rujukan untuk operasional di lapangan.

Penebangan dalam pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon, pada prinsipnya adalah menurunkan kurva struktur tegakan bukan memotong kurva, artinya penebangan dilakukan secara proporsional pada semua kelas diameter, tidak hanya menebang semua pohon dengan batas diameter minimal tertentu. Hal ini sejalan dengan prinsip dari Metode pengaturaN Hasil dengan Intensitas Penebangan Berimbang yang disingkat MNH-IPB (Suhendang et al. 1995). Sebagai contoh pada Gambar 6 adalah penurunan kurva ST akibat penebangan dengan batas minimal diameter pohon ditebang 50 cm skenario plot 2 dengan IP 60% pada Tabel 12. Sehubungan dengan itu maka dalam perhitungan dan pemanfataan hasil panen kayu seyogyanya juga memperhatikan jumlah pohon atau volume kayu dari semua pohon yang ditebang dan ikut tertebang pada semua KD, sehingga dengan demikian limbah penebangan bisa berkurang. Untuk penerapan metode ini maka kompartemenisasi areal pengelolaan hutan dalam bentuk

49

petak-petak yang memiliki keseragaman dalam hal tipe hutan, komposisi jenis dan kondisi ST mutlak diperlukan (Suhendang 1999).

0 25 50 75 100 15‐ 19 20‐ 24 25‐ 29 30‐ 34 35‐ 39 40‐ 44 45‐ 49 50‐ 54 55‐ 59 60up Kelas Diameter (cm) Ju m lah   poh o n   pe r   Ha Sebelum Setelah

Gambar 6 Struktur tegakan sebelum dan setelah penebangan.

Dokumen terkait