• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis biplot dipergunakan untuk mengetahui korelasi dan keragaman data, yang selanjutnya dipergunakan untuk melihat kelayakan data diuji dengan analisis SEM. Gambar 6 menunjukkan bahwa hasil analisis biplot sebesar 71,46 persen data yang tergambarkan dalam dua dimensi, yaitu demensi satu dan demensi dua. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka data memenuhi kelayakan untuk diuji dengan analisis SEM, karena (jumlah sub peubah x jumlah responden

= 14.000 buah) yang tergambar dalam biplot ≥ 70 persen (Kutha 2010). Hasil

analisis biplot peningkatan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Analisis Biplot Peningkatan Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis

Kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri berpengaruh secara nyata terhadap keberlanjutan sistem agroforestri. Faktor-faktor penentu kinerja yang berpengaruh nyata terhadap kinerja petani melalui motivasi petani petani, kesempatan yang dimiliki petani dan kemampuan petani. Dukungan penyuluhan

Standardize

Object 's Label Automatic

Variable's Label Automatic

AspectRatio 1 StretchH 1 2 1 1 2 1 1 0.5 2 0.5 View Numerical Results in Cell View Tables in Cell About 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1213 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 2930 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 6162 636465 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127128129 130131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154155 156157 158 159 160 161 162163164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196197198 199 200 201 202 203 204 205 206 207208 209 210 211 212 213214 215 216 217 218 219 220 221 222223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327328 329 330331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354355 356 357 358 359 360 361 362 363 364 365 366 367 368 369 370 371 372 373 374 375 376 377 378 379 380 381 382 383 384 385 386 387 388 389 390 391 392 393 394 395 396397 398 399 400 V1 V2 V3V4 V5 V6 V7 V8 V9 V10 V11V12 V13 V14 V15 V16V17 V18 V19 V20 V21V22 V23 V24 V25 V26 V27 V28 V29 V30 V31 V32 V33 V34 V35 V36 V37 V38 V39 V40 V41 V42 V43 10 0 10 20 30 40 50 30 20 10 0 D1 D2 Symmetric Biplot GF 71.46 BIPLOT NUMERICS

berpengaruh secara nyata terhadap motivasi petani dan kesempatan yang dimiliki petani, tetapi tidak berpengaruh terhadap kemampuan petani. Analisis SEM peningkatan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis selengkapnya disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Analisis SEM Peningkatan Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem

Agroforestri di Lahan Kritis (Standardized).

Hasil analisis SEM pada Gambar 7 tersebut, diperoleh berdasarkan hasil

analisis confirmatory factor analysis (CFA) yang nilai koefisien bobot faktornya

(loading factors) lebih dari 0,50 atau (cut-off) dengan nilai P-value lebih kecil

atau sama dengan 0,05 (Hair et al. 2006; Ghozali 2004; diacu dalam Kusnendi

2007). Hasil pengukuran CFA selengkapnya, disajikan pada Lampiran 2. Hasil uji

kesesuaian model mengindikasikan hybrid model yang fit dengan data, hal

tersebut tercermin dari: nilai P-value = 0,0672 > 0,05; RMSEA = 0,0691 < 0,08;

dan nilai CFI = 0,9454 > 0,90.

Pengaruh langsung dan tidak langsung antar peubah yang membentuk kinerja petani melalui faktor-faktor penentu kinerja dan keberlanjutannya, diidentifikasi melalui dekomposisi pengaruh antar peubah. Hasil dekomposisi pengaruh antar peubah selengkapnya disajikan pada Tabel 41.

Tabel 41. Dekomposisi Antar Peubah Peningkatan Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis

Pengaruh Antar Peubah

Pengaruh

Total R2

Langsung

Pengaruh Tidak Langsung Melalui Peubah Bebas  Peubah Terikat X2 Y1 Y2 Y3 X2  Y1 0,51 - - - - 0,51 0,26 X2  Y2 0,38 - - - - 0,38 0,14 X2  Y4 - - 0,30 0,18 - 0,48 - Y1  Y4 0,59 - - - - 0,59 0,73 Y2 0,48 - - - - 0,48 Y3 0,41 - - - - 0,41 Y4  Y5 0,54 - - - - 0,54 0,29 Keterangan: X2 = Dukungan Penyuluhan Y1 = Motivasi Petani Y2 = Kesempatan Petani Y3 = Kemampuan Petani Y4 = Kinerja Petani

Y5 = Keberlanjutan Sistem Agroforestri

Berdasarkan pada Gambar 7 dan Tabel 41, maka dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut:

(1) Dukungan penyuluhan tidak secara langsung berpengaruh terhadap

kemampuan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri dan secara tidak langsung memengaruhi kinerja petani melalui motivasi dan kesempatan petani. Hal ini terjadi karena: (a) Petani lebih mampu atau terampil dibandingkan dengan penyuluh, sebab salah bentuk sistem agroforestri tersebut telah dilaksanakan petani sejak lama yaitu tumpang sari. Lemahnya kemampuan penyuluh tersebut tercermin dari Tabel 33 yang menunjukkan bahwa tingkat kompetensi rendah, pemilihan pendekatan metode dan materi penyuluhan tidak sesuai, fasilitas penyuluhan kurang tersedia serta intensitas penyuluhan jarang dilaksanakan; dan (b) Sistem agroforestri sesuai dengan kebutuhan petani sekitar hutan. Melalui penerapan sistem agroforestri, petani dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hasil tanaman semusim, kebutuhan masa depan dan tabungan dari tanaman keras, serta dapat mengakomodasi budaya petani sekitar hutan.

(2) Faktor penentu kinerja yaitu: motivasi petani, kesempatan petani dan kemampuan petani berpengaruh secara nyata terhadap kinerja. Hasil ini mendukung teori kinerja Robbins (2003) yang menyatakan bahwa kinerja

ditentukan oleh kemampuan (ability), motivasi (motivation) dan kesempatan

(opportunity), atau f kinerja = AxMxO. Besar pengaruh faktor penentu

kinerja terhadap kinerja petani sekitar hutan secara bersama-sama sebesar 73,3 persen. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa terdapat faktor lain yang tidak diperhitungkan dalam penelitian mendukung kinerja petani sekitar hutan sebesar 26,7 persen.

(3) Faktor lain tersebut diduga adalah faktor lingkungan. Hal ini terjadi karena

suasana lingkungan kerja petani yang kondusif, tidak ada gangguan atau ancaman, menyebabkan petani dapat bekerja secara tenteram dan tenang. Kondisi tersebut, terlihat dari keberlanjutan penerapan sistem agroforestri yang disebabkan oleh kinerja petani, kontribusinya tidak berasal dari aspek lingkungan tetapi berasal dari aspek ekonomi dan aspek sosial.

(4) Dukungan penyuluhan berpengaruh positif secara nyata terhadap motivasi

dan kesempatan petani. Rendahnya dukungan penyuluhan terhadap faktor penentu kinerja petani sekitar hutan, menyebabkan lemahnya motivasi petani dan rendahnya kesempatan yang dimiliki oleh petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Akibatnya, hal tersebut menyebabkan rendahnya kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri.

(5) Strategi penyuluhan dalam peningkatan kinerja petani sekitar hutan

khususnya untuk meningkatkan motivasi dan kesempatan petani dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis, melalui: (a) Penguatan dukungan kelembagaan dan intensitas penyuluhan; dan (b) Mengembangkan hubungan kemitraan atau kerjasama penyuluhan dengan lembaga-lembaga lokal yang melaksanakan fungsi penyuluhan.

Untuk kepentingan pembahasan, Gambar 7 dipecah menjadi tiga bagian yaitu: (1) Pengaruh kinerja petani terhadap keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri (Gambar 8); (2) Pengaruh faktor penentu kinerja petani terhadap kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri (Gambar 9); dan (3) Pengaruh

dukungan penyuluhan terhadap faktor penentu kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri (Gambar 10).

Pengaruh Kinerja Petani terhadap Keberlanjutan Penerapan Sistem Agroforestri

Kinerja petani berpengaruh nyata terhadap keberlanjutan penerapan sistem agroforestri di lahan kritis. Indikator yang berpotensi membentuk kinerja petani yang berpengaruh terhadap keberlanjutan penerapan sistem agroforestri di lahan kritis, adalah: (1) Persentase luas lahan yang ditanami; (2) Persentase tegakan yang tumbuh sehat; dan (3) Tingkat pendapatan petani. Pengaruh kinerja petani terhadap keberlanjutan penerapan sistem agroforestri di lahan kritis selangkapnya, disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Model Pengaruh Kinerja Petani terhadap Keberlanjutan Penerapan

Sistem Agroforestri di Lahan Kritis.

Berdasarkan hasil analisis pengaruh kinerja petani terhadap keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis, diestimasi menghasilkan model persamaan struktural sebagai berikut:

Berdasarkan Gambar 8 dan Persamaan 1, Hipotesis 1 yaitu: tingkat keberlanjutan penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis secara nyata dipengaruhi oleh kinerja petani, diterima. Hal ini terbukti dari Gambar 8 yang menunjukkan bahwa pengaruh kinerja petani terhadap keberlanjutan penerapan sistem agroforestri sebesar 0,54 atau 29,2 persen; pada tingkat kesalahan 5 persen. Sisanya sebesar 70,8 persen merupakan peubah lain yang belum terjelaskan dalam model penelitian ini.

Pengaruh kinerja petani sekitar hutan terhadap keberlanjutan penerapan sistem agroforestri ternyata positif, namun kurang optimal karena kontribusinya

kecil sebesar 29,2 persen. Kurang optimalnya kinerja petani sekitar hutan terhadap keberlanjutan penerapan sistem agroforestri tersebut, karena rendahnya tingkat kinerja petani. Hal ini terlihat bahwa tidak semua indikator merefleksikan kinerja petani, tetapi hanya tiga indikator yang merefleksikan kinerja petani sekitar hutan, yaitu: persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri, persentase tegakan yang tumbuh sehat dan tingkat pendapatan. Ketiga indikator inilah, yang berkontribusi positif terhadap keberlanjutan sistem agroforestri pada aspek ekonomi dan aspek sosial.

Persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri merupakan indikator terbesar pertama yang merefleksikan kinerja petani. Peningkatan kinerja sekitar hutan yang dicirikan oleh peningkatan persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri tersebut terjadi karena petani memiliki kesempatan

untuk mengelola lahan yang lebih luas melalui cara sewa, sakap dan pesanggem.

Lahan yang disewa petani, umumnya adalah lahan-lahan persawahan yang ditanami dengan tanaman semusim, selanjutnya lahan sakap diperoleh petani dari masyarakat yang merantau atau menjadi TKI dan lahan tersebut ditanami dengan

tanaman semusim dengan pola bagi hasil. Lahan pesanggem diperoleh petani

melalui kegiatan kelompok tani hutan dengan pola LMDH. Melalui pola ini, petani mendapatkan kesempatan untuk mengelola lahan milik Perhutani, dengan menanam tanaman semusim yang dipadukan dengan tanaman jati. Bertambahnya luas lahan yang dikelola oleh petani tersebut, berpengaruh terhadap pengelolaan lahan miliknya, di mana, lahan tersebut tidak hanya ditanami dengan tanaman semusim, tetapi juga ditanami dengan tanaman keras. Kondisi ini yang

menyebabkan petani dapat “sustainable” secara sosial maupun ekonomi.

Peningkatan kinerja petani sekitar hutan yang direfleksikan oleh peningkatan persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri yang menyebabkan keberlanjutan aspek ekonomi dan sosial sistem agroforestri terlihat melalui pengakuan atas pengetahuan tradisional petani. Pengetahuan tradisional petani dalam melaksanakan sistem agroforestri selaras dengan umur petani, karena melalui tumpang sari mereka telah mengenal dan melakukan hal tersebut sejak masa remaja sampai dengan saat ini. Pengalaman tumpang sari ini diperoleh petani secara mandiri dari pengalaman yang dilakukan sehari-hari dan atas

bimbingan oleh orang tuanya pada masa itu. Praktek tumpang sari tersebut mereka terapkan di lahan pekarangan rumah, tegalan atau ladang. Dicermati lebih lanjut, praktek tumpang sari di pekarangan rumah merupakan salah satu bentuk sistem agroforestri yang menyerupai kebun campuran, karena pada lahan tersebut ditanami dengan berbagai jenis tanaman semusim seperti apotik hidup, sayur- sayuran, pepaya dan pisang yang dipadukan dengan tanaman keras seperti jati, mahoni, mangga, rambutan dan kelapa. Selain itu, petani juga menggunakan lahan pekarangan rumah untuk memelihara hewan ternak seperti kambing dan sapi. Fenomena ini banyak ditemukan di Pegunungan Kendeng. Pengakuan atas pengetahuan tradisional petani melalui tumpang sari tersebut, menyebabkan peningkatan persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri, sehingga dapat menjamin keberlanjutan sistem agroforestri baik dari aspek ekonomi maupun aspek sosial.

Persentase tegakan yang tumbuh sehat merupakan indikator terbesar kedua yang merefleksikan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Semakin meningkat kinerja petani sekitar hutan yang ditunjukkan oleh persentase tegakan yang tumbuh sehat, semakin meningkat keberlanjutan sistem agroforestri yang dirasakan oleh petani. Tegakan yang tumbuh sehat, dapat terwujud apabila petani mempunyai pengalaman bertani dan keterampilan yang memadai. Melalui pengalaman dan keterampilan yang dimiliki tersebut petani dapat menyiapkan lahan, memilih jenis tanaman, melakukan penanaman dan melakukan pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan tanaman. Kegiatan ini, jika dilakukan sesuai dengan teknik budidaya tanaman maka akan berdampak pada meningkatnya daya tumbuh tanaman sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh petani, baik dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

Ditinjau dari aspek sosial, keberlanjutan yang disebabkan oleh peningkatan kinerja petani sekitar hutan yang direfleksikan oleh peningkatan persentase tegakan yang tumbuh sehat dapat dilihat melalui pengalaman petani. Tingginya pengalaman petani dalam bertani dan melaksanakan kegiatan agroforestri, memberikan kontribusi yang besar terhadap tumbuhnya tegakan yang sehat. Kondisi tersebut terjadi karena dengan ketelitian, kejelian, dan kecermatan mereka dapat menyiapkan lahan secara baik, memilih dan menentukan jenis

benih/bibit yang sesuai dengan kondisi lahannya, serta mampu memelihara tanaman secara tepat. Pengalaman dan keterampilan petani tersebut diperoleh secara otodidak, karena mereka pada umumnya berpendidikan rendah dan tidak pernah mengikuti pelatihan tentang pengelolaan lahan kritis dengan sistem agroforestri. Pengalaman dan keterampilan tersebut teruji dengan sendirinya, sejalan dengan bertambahnya waktu melalui praktek-praktek yang telah mengalami berbagai macam kegagalan dan keberhasilan. Melalui berbagai peristiwa tersebut, petani mendapatkan pengalaman dan kemampuan, sehingga mampu mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri.

Ditinjau dari aspek ekonomi, keberlanjutan yang disebabkan oleh peningkatan kinerja petani sekitar hutan direfleksikan oleh peningkatan persentase tegakan yang tumbuh sehat, tercermin melalui penyediaan lapangan kerja yang dibutuhkan oleh petani gurem atau buruh tani. Berbagai jenis lapangan kerja dalam penerapan sistem agroforestri agar tegakan tumbuh sehat antara lain: menyiapkan lahan, penanaman dan pemeliharaan tanaman. Berbagai jenis pekerjaan tersebut pada prakteknya tidak dikerjakan oleh petani sendiri, tetapi diupahkan kepada petani gurem atau buruh tani. Kondisi ini dilakukan petani karena kekuatan fisiknya berkurang dan di sisi lain terdapat tenaga buruh yang juga membutuhkan pekerjaan. Keterlibatan buruh tani dalam pekerjaan tersebut, menyebabkan mereka memiliki sumber ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga taraf hidupnya meningkat. Hal ini sejalan dengan pendapat

Hairiah et al. (2003) yang menyatakan bahwa nilai ekonomi sistem agroforestri

dapat meningkatkan taraf kehidupan petani dan komunitas di sekitarnya.

Tingkat pendapatan petani merupakan indikator terbesar ketiga yang merefleksikan kinerja petani sekitar hutan. Semakin meningkat kinerja petani sekitar hutan yang ditunjukkan dengan tingkat pendapatan, semakin meningkat keberlanjutan sistem agroforestri yang dirasakan petani. Petani yang mempunyai pendapatan tinggi dari hasil sistem agroforestri mempunyai kesempatan untuk mengembangkan usaha agroforestri, baik melalui penganekaragaman jenis tanaman yang ditaman maupun pengolahan hasil sistem agroforestri. Usaha tersebut dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi petani yang lainnya. Terciptanya lapangan kerja dalam sistem agroforestri tersebut banyak menyerap

tenaga kerja dan bahan baku yang berkesinambungan. Hal tersebut jika dilakukan secara terencana maka akan menjaga keberlanjutan sistem agroforestri, baik dari aspek ekonomi maupun aspek sosial.

Rendahnya kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri direfleksikan oleh rendahnya tingkat pendapatan petani. Hal ini disebabkan oleh kelemahan petani dalam mengembangkan pemasaran hasil agroforestri. Selama ini, petani menjual hasil sistem agroforestri dalam bentuk barang mentah, belum dilakukan pengolahan menjadi produk jadi atau produk setengah jadi, sehingga harga jual dari hasil tersebut menjadi rendah. Penyebab selanjutnya adalah tidak berperannya kelompok dalam pemasaran. Petani menjual hasil sistem agroforestri secara sendiri-sendiri, sehingga daya tawar dari calon pembeli rendah. Penyebab yang lain adalah kuatnya dominasi tengkulak/ pemborong dalam penjualan hasil sistem agroforestri. Kondisi tersebut terjadi karena petani kurang menguasai jalur pemasaran hasil agroforestri, sehingga hal tersebut dimanfaatkan para tengkulak/pemborong untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Pengaruh Faktor-faktor Penentu Kinerja terhadap Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri

Kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri dipengaruhi secara nyata oleh faktor-faktor penentu kinerja melalui motivasi petani, kesempatan yang dimiliki petani dan kemampuan petani. Indikator yang berpotensi membentuk motivasi yang berpengaruh terhadap kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri adalah tingkat pengakuan atas keberhasilan pengelolaan lahan kritis, intensitas hubungan sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar. Indikator yang berpotensi membentuk kesempatan petani yang berpengaruh terhadap kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri yaitu: kepastian pasar, pengaruh kepemimpinan lokal dan peran institusi lokal. Indikator yang berpotensi membentuk kemampuan petani dalam penerapan sistem agroforestri yaitu: penyiapan lahan, pengembangan pemasaran, kerjasama dan penanaman. Model pengaruh faktor-faktor penentu kinerja terhadap kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis selengkapnya disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Model Pengaruh Faktor-faktor Penentu Kinerja terhadap Kinerja

Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis.

Analisis SEM pada Gambar 9, diestimasi menghasilkan model persamaan struktural, sebagai berikut:

Berdasarkan pada Gambar 9 dan Persamaan 2, Hipotesis 2 yaitu: kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis secara nyata dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu kinerja petani yaitu: motivasi petani, kesempatan petani dan kemampuan petani, diterima. Hal ini tercermin dari besar koefisien pengaruh faktor-faktor penentu kinerja petani terhadap kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri secara berurutan sebagai berikut: motivasi petani (0,59 atau 34,8 persen); kesempatan petani (0,48 atau 23,0 persen); dan kemampuan petani (0,41 atau 16,8 persen). Secara bersama-sama atau simultan, ketiga faktor penentu kinerja tersebut berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri sebesar 73,3 persen; pada tingkat kesalahan 5 persen. Sisanya sebesar 26,7 persen merupakan peubah lain yang belum terjelaskan dalam model penelitian ini.

Ketiga faktor penentu kinerja petani, yang memiliki pengaruh terkuat terhadap kinerja petani sekitar hutan adalah motivasi petani, sedangkan dua yang lain secara berurutan yaitu kesempatan petani dan kemampuan petani. Mengacu pada hasil temuan ini diharapkan perencanaan penyuluhan ke depan, untuk

meningkatkan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri agar mencapai hasil kerja yang optimal harus memperhatikan motivasi petani dan kesempatan yang tersedia bagi petani.

Motivasi Petani

Motivasi petani merupakan faktor pertama yang memberikan pengaruh terkuat terhadap kinerja petani sekitar hutan, yang direfleksikan oleh: tingkat pemenuhan kebutuhan dasar, intensitas hubungan sosial, dan tingkat pengakuan atas keberhasilan dalam mengelola lahan kritis.

Hal ini berarti bahwa motivasi petani akan meningkatkan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Semakin tinggi motivasi petani dapat memenuhi kebutuhan dasar, intensitas hubungan sosial, dan tingkat pengakuan atas keberhasilan dalam pengelolaan lahan kritis, maka akan semakin tinggi tingkat kinerja petani sekitar hutan. Meningkatnya motivasi petani untuk tetap bekerja, tentu memiliki tujuan yang akan dicapai dan berbeda-beda antara tujuan petani satu dengan petani yang lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, petani terdorong bertindak dan berpikir secara konsisten. Sumardjo (2008),

menyatakan bahwa motives adalah sesuatu di mana seseorang secara konsisten

berpikir sehingga ia melakukan tindakan.

Pada praktek sistem agroforestri, motivasi petani untuk mendapatkan pengakuan atas keberhasilan dalam mengelola lahan kritis, mempunyai pengaruh terbesar pertama terhadap kinerja petani sekitar hutan. Pengaruh pengakuan atas keberhasilan petani dalam mengelola lahan kritis, berpotensi untuk meningkatkan kinerja petani sekitar hutan, melalui peningkatan pendapatan, luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri dan tegakan yang tumbuh sehat.

Pengakuan atas keberhasilan petani sekitar dalam mengelola lahan kritis, memiliki nilai yang strategis. Dalam jangka pendek, bertambahnya luas lahan yang tertanami dengan berbagai jenis tanaman semusim dan tanaman keras bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pendapatan. Sedangkan dalam jangka panjang dapat mencegah terjadinya banjir dan ancaman penggalian

batu padas atau karst. Petani akan merasa tenang dalam mengelola lahan dengan

meningkat dan ancaman penggalian padas (karst) terhadap lahan-lahan petani tidak terjadi.

Pengakuan atas keberhasilan petani dalam mengelola lahan kritis merupakan proses hasil belajar yang termasuk dalam kegiatan penyuluhan dan menjadi pendorong yang efektif dalam perubahan perilaku. van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa pengakuan merupakan bentuk penghargaan sebagai sarana perubahan perilaku dalam belajar. Oleh karena itu, bila peningkatan kinerja petani sekitar hutan dipandang sebagai bentuk perubahan perilaku hasil belajar dari pengalaman, maka pengakuan atas keberhasilan petani dalam mengelola lahan kritis dapat dipandang sebagai penghargaan yang pantas diterima petani dari hasil jerih payahnya.

Salah satu bentuk penghargaan atau pengakuan atas keberhasilan petani dalam mengelola lahan kritis tersebut, pada tahun 2009 Kecamatan Kayen ditetapkan sebagai lokasi pencanangan penanaman sejuta pohon oleh pemerintah Kabupaten Pati. Penghargaan tersebut menjadi pendorong bagi petani sekitar

hutan karena mereka merasa “dimanusiakan”. Selain pengakuan dari pemerintah,

pengakuan juga datang dari masyarakat luas. Bentuk pengakuan tersebut ditandai dengan meningkatnya kembali para pengunjung di gua-gua Pegunungan Kendeng untuk berwisata dan melakukan ritual.

Intensitas hubungan sosial merupakan indikator kedua yang merefleksikan motivasi petani yang berpengaruh terhadap kinerja sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri. Intensitas hubungan sosial mendorong terjadinya peningkatan kinerja petani sekitar hutan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri, persentase tegakan tumbuh sehat dan tingkat pendapatan petani.

Terciptanya intensitas hubungan sosial tidak hanya ditandai dengan kumpul-kumpul semata, tetapi melakukan diskusi dan tukar pendapat, sehingga terjadi pertukaran informasi yang dibutuhkan petani. Biasanya, petani membahas harga benih jagung, harga bibit jati unggul, harga pupuk, harga ternak dan harga penjual hasil sistem agroforestri.

Diskusi dengan pengurus kelompok tani menjadi sarana untuk melakukan proses pembelajaran bersama, sehingga mendorong terjadi perubahan perilaku

terutama pada ranah keterampilan. Proses pembelajaran tersebut ditandai dengan terjadinya adopsi inovasi sistem penanaman jagung tanpa olah tanah (TOT). Proses adaopsi inovasi tersebut mendapat tanggapan positif dari para petani, hal ini ditunjukkan oleh semua petani menerapkan teknologi penanaman jagung tersebut. Rogers (2003) menyatakan bahwa keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi tergantung dari sumber daya yang dimiliki dan nilai kapasitas diri petani.

Indikator ketiga dari motivasi petani yang berpotensi meningkatkan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri adalah tingkat pemenuhan kebutuhan dasar. Meningkatnya motivasi petani sekitar hutan direfleksikan oleh terpenuhinya tingkat kebutuhan dasar petani sekitar hutan, menyebabkan peningkatan kinerja petani sekitar hutan, yang dicerminkan oleh persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri, persentase tegakan tumbuh sehat dan tingkat pendapatan petani.

Pada praktek sistem agroforestri, tingkat pemenuhan kebutuhan dasar diperoleh melalui hasil panen tanaman semusim, tanaman keras dan ternak. Kebutuhan dasar yang dapat dipenuhi dari hasil sistem agroforestri antara lain: pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Sumber pemenuhan kebutuhan dasar tersebut berasal dari penjualan hasil panen tanaman semusim selain padi, karena padi sebagai bahan konsumsi pokok. Selain petani dapat memenuhi kebutuhan dasar, mereka juga mempunyai tabungan berupa pohon jati dan mahoni sebagai tabungan tegakan serta hewan ternak sebagai tabungan hidup. Hasil temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Hafidah (2005) yang menyatakan

Dokumen terkait