• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Konservasi Hutan Kerangas di Lokasi Penelitian

C. Hasil dan Pembahasan

1) Status Konservasi Hutan Kerangas di Lokasi Penelitian

1.1.1. Deskripsi Singkat Hutan Kerangas Desa Guntung Ujung

Hutan lindung kerangas yang terdapat di desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan merupakan hutan lindung yang termasuk dalam wilayah pengelolaan Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Lokasi permukiman terdekat dari hutan lindung tersebut adalah desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut. Penetapan Hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 672/Kpts-II/1991 dan Kepmenhut nomor 434/Kpts-II/1996 dengan total luas 2.250 ha yang terbagi menjadi dua blok hutan lindung, yaitu blok 1 seluas 960 ha termasuk wilayah Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar (Desa Guntung Ujung) dan blok 2 seluas 1290 ha termasuk wilayah Kecamatan Liang Anggang Banjarbaru.

Berdasarkan hasil interpretasi data biofisik lapangan, pembentukan hutan kerangas yang terdapat di lokasi penelitian merupakan perkembangan dari teras pantai dan teras sungai Barito. Bruenig (1974) mengemukakan bahwa hutan kerangas terbentuk dari perkembangan hutan pantai berpasir yang pada phase tektonik terangkat lemah ke daratan dan berkembang menjadi hutan kerangas. Hutan kerangas yang menjadi lokasi penelitian berupa hutan kerangas terbuka (hanya tertutup oleh semai/pancang) dan hutan kerangas tertutup berupa tegakan murni dari tingkat pohon jenis merapat (Combretocarpus rotundatus). Hutan kerangas di Liang Anggang terdiri dari dua formasi tanah yaitu hutan kerangas yang berada di atas permukaan tanah jenis humus podsol yang kaya akan fraksi pasir (pasir kuarsa) tetapi sedikit liat dan lempung, dan hutan kerangas yang berkembang di tanah humus podsol yang relatif lebih besar kandungan liat lempung (liat berlumpur) dengan drainase tergenang.

1.1.2. Perkembangan sejarah hutan kerangas Desa Guntung Ujung a. Era sebelum tahun 1950-an

Hutan kerangas yang menjadi lokasi utama penelitian merupakan bagian wilayah Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Berdasarkan hasil inventarisasi lapangan dari sisa tunggak, sisa-sisa pohon rebah, pohon tertimbun, dan anakan tingkat pancang/semai, serta informasi yang dikumpulkan

dari masyarakat, hutan kerangas di lokasi ini dulunya terdiri dari pohon-pohon berdiameter besar dari jenis belangiran (Shorea belangeran), bati-bati (Adina minutiflora), nipa/irat (Cratoxylon arborescens), bintangur (Callophylum sp.), alaban (Vitex pubescens) dan merapat (Combretocarpus rotundatus). Jenis-jenis lain yang banyak terdapat dan berdiameter lebih kecil adalah palawan (Tristaniopsis obovata) dan galam (Melaleuca cajuputi).

Desa terdekat dan berbatasan dengan hutan kerangas adalah desa Guntung Ujung. Luas Desa Guntung Ujung 18,42 km2 dengan total jumlah penduduk sebesar 1.442 jiwa atau 435 KK. Mata pencaharian utama penduduk desa Guntung Ujung adalah petani sawah yang mencapai ± 95% dari jumlah penduduk.

Desa Guntung Ujung merupakan pemekaran dari Desa Guntung Papuyu yang terpisah sejak tahun 1983. Terdapat 3 Rukun Tetangga (RT) di desa Guntung Ujung, yaitu RT 01, RT 02 dan RT 03. Wilayah RT 01 dan RT 02 merupakan bagian dari Guntung Ujung yang lebih dahulu terbentuk, yaitu sekitar tahun 1850-an. Pembentukan RT 01 dan RT 02 awalnya dari membuka tipe hutan rawa yang sebagian besar dibuka untuk pembuatan persawahan dan sebagian kecil untuk permukiman. RT 01 dan RT 02 didominasi oleh penduduk dari suku Banjar (± 95 %). Tata letak RT 01 dan RT 02 berada di sepanjang jalan utama desa yang menghubungkan sebagian wilayah kecamatan Gambut dan Kecamatan Beruntung Baru Kabupaten Banjar dengan Kecamatan Kurau Kabupaten Tanah Bumbu.

RT 03 (diberi nama Handil Jawa) merupakan bagian dari wilayah desa yang berbatasan langsung dengan hutan kerangas. Pemberian istilah handil Jawa pada awalnya merupakan bentuk penjelasan terhadap wilayah di tengah hutan yang dihuni oleh orang Jawa. Handil Jawa terbentuk sekitar tahun 1946 yang awalnya terdiri dari 17 KK suku Jawa. Mereka membuka wilayah ekoton hutan kerangas dan hutan rawa untuk membuat permukiman dan membuka hutan rawa untuk persawahan. Pembukaan permukiman baru tersebut berdampak pada terbukanya akses menuju hutan kerangas. Pada masa itu hutan kerangas menjadi sumber kayu dan pangan tambahan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Letak RT 03 tidak searah dengan RT 01 dan RT 02, karena posisinya memotong jalan utama desa dan menjorok sekitar ± 1 km ke arah kawasan hutan kerangas.

b. Era tahun 1950-1970

Perkembangan sejarah hutan kerangas desa Guntung Ujung selanjutnya adalah pada tahun 1957, ketika itu gerombolan Kahar Muzakar yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar menggunakan hutan kerangas sebagai markas gerombolan. Beberapa penduduk dari Handil Jawa Tengah pada saat itu terpaksa meninggalkan perkampungan karena adanya intimidasi dari gerombolan yang memasuki kampung untuk memaksa penduduk menyerahkan harta benda yang dimiliki, sebagian lain memilih tetap bertahan di Handil Jawa. Setelah lebih satu tahun (awal tahun 1959) barulah gerombolan tersebut dapat ditumpas oleh pihak pemerintah.

Lokasi tempat penyerbuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) terhadap gerombolan Kahar Muzakar di wilayah hutan kerangas tersebut berupa kolam yang dikenal dengan sebutan ―telaga darah‖. Beberapa keterangan dari penduduk menyatakan bahwa lokasi tersebut masih dianggap penduduk

setempat sebagai kawasan ―anker‖ dan dianggap berkesan mistik dan sakral

bagi masyarakat. Areal telaga darah berdekatan dengan izin Kuasa Penambangan (KP) untuk bahan galian pasir-batu dan berada di luar kawasan hutan lindung. Lokasinya didominasi tingkat pertumbuhan pancang dan semai dari jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di hutan kerangas.

Penambangan intan secara tradisional di kawasan hutan kerangas Liang Anggang sudah berlangsung cukup lama (sekitar tahun 1959). Selanjutnya penambangan intan tersebut berkembang dengan tambahan hasil galian berupa

pasir dan koral sejak digunakannya ―mesin sedot‖ dalam pertambangan intan.

Proses pemungutan besar-besaran terhadap pohon-pohon hutan kerangas terjadi pada tahun 1966. Pihak pemerintah pada saat itu membebankan pada tahanan eks Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mempekerjakan para tahanan tersebut menebang pohon dan mengolahnya menjadi kayu gergajian baik berupa papan maupun balok. Pada saat itu menurut keterangan penduduk, terdapat 83 orang tahanan yang dikerahkan untuk menebang kayu dan menghasilkan kayu olahan untuk diberikan kepada pemerintah dan sebagian kecil kayu olahan disumbangkan pemerintah kepada penduduk setempat. Kejadian tersebut berlangsung sampai tahun 1968. Sejak saat itu hutan kerangas Desa Guntung Ujung dan sekitarnya menjadi salah satu kawasan penghasil kayu.

c. Era tahun 1970-1990

Hutan kerangas pada tahun 1970-an masih merupakan penghasil kayu dan tambang emas dan intan bagi masyarakat hingga tahun 1990-an. Pada era ini (sekitar tahun 1980-an) pembagian tanah yang dipelopori oleh Kepala Desa saat itu sudah mulai dilakukan di hutan kerangas. Secara legal formal pembagian tanah ini diperkuat sejak diterbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT). Pengajuan SKT oleh pihak desa dimulai pada tahun 1989. Pihak desa kemudian mengajukan usul kepada pihak Kecamatan agar mendapatkan Surat Keterangan Tanah.

Respon masyarakat pada waktu itu tidak terlalu besar karena pada awalnya penduduk kurang tertarik terhadap lahan kerangas, karena menurut perspektif masyarakat pada waktu itu kerangas merupakan lahan tidak produktif untuk produksi pertanian. Penduduk desa umumnya pada waktu itu maksimal mendapatkan 1-2 ha tanah per KK yang letaknya tidak jauh dari permukiman dan persawahan. Pertimbangan keikutsertaan masyarakat pada saat itu untuk memiliki sebidang tanah hanya untuk simpanan tanah permukiman untuk anak cucu dan untuk rencana pengembangan ternak. Tidak terlalu besarnya penguasaan lahan pada saat itu karena terbatasnya kemampuan membuka dan membersihkan lahan. Upaya pembersihan dan atau pemanfaatan lahan memerlukan waktu 3 tahun (sebagai lahan yang diolah) agar terbit SKT.

d. Era tahun 1990-sekarang

Berkembangnya pertambangan intan tradisional yang berlangsung hingga tahun 1990-an menarik perhatian perusahaan multinasional PT. Aneka Tambang

dengan subkontraktor ―John Holland‖ untuk melakukan izin eksplorasi

pertambangan intan (dengan hasil ikutan emas) di hutan kerangas yang tidak termasuk dalam kawasan hutan lindung (Kepmenhut nomor 672/Kpts-II/91). Izin eksplorasi dan operasional pertambangan dimulai pada tahun 1991 dan berakhir tahun 1993. Walaupun hanya berlangsung tiga tahun kegiatan pertambangan ini telah meninggalkan lubang besar bekas galian tambang yang sampai saat ini dibiarkan terbuka dan tidak dikelola.

Penetapan sebagian kawasan hutan kerangas sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) nomor 672/Kpts-II/91 dan Kepmenhut nomor 434/Kpts-II/1996 tentang penetapan kelompok hutan Liang Anggang yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Banjar seluas 2.250 hektar sebagai kawasan hutan dengan fungsi hutan lindung.

Hutan lindung terbagi menjadi dua blok, blok I seluas 960 hektar berada di Kecamatan Gambut (Desa Guntung Ujung) dan blok II masuk wilayah Kecamatan Liang Anggang Banjarbaru seluas 1.290 ha. Penetapan sebagian kecil hutan kerangas sebagai hutan lindung bila ditinjau lebih lanjut merupakan pertentangan antara tinjauan manajemen dan tinjauan ekologi. Tinjauan ekologi mengidentifikasikan bahwa hutan yang ada merupakan tipe hutan kerangas yang status kawasannya perlu dikonservasi atau dilindungi, tetapi secara manajemen (manajemen tata ruang) hanya sebagian kecil yang ditetapkan sebagai hutan lindung dan sebagian besar berupa Area Penggunaan Lain (APL). Di luar kedua pertentangan tersebut, tinjauan manajemen itu sendiri tidak dipatuhi karena banyak kawasan di dalam hutan lindung yang dirusak dan digunakan untuk penggunaan lain dan tidak dipertahankan fungsi lindung hutannya.

Relatif bersamaannya antara keluarnya Kepmenhut nomor 672/Kpts-II/91 dengan Surat Keterangan Tanah, merupakan cikal bakal terjadinya konflik kepemilikan lahan masyarakat dan hutan lindung. Perspektif baru muncul tentang lahan kerangas, seiring dengan dibukanya akses jalan baru (Jalan Padat Karya Desa yang selanjutnya dipelihara PT. Aneka Tambang) yang melintasi areal hutan kerangas maka lahan kerangas nilai ekonominya meningkat. Selanjutnya pada tahun berikutnya perkembangan pembangunan daerah dan pertumbuhan penduduk yang berasal dari Kab. Banjar, Kota Banjarbaru, Kota Banjarmasin dan Kab.Tanah Laut menciptakan perspektif baru untuk pengembangan permukiman dan pusat perekonomian di lahan-lahan kerangas. Akibatnya tanah-tanah yang berada di hutan kerangas banyak dijual sebagai tanah kavling untuk kepentingan permukiman dan kepentingan lainnya. Pengkavlingan tanah sudah berlangsung sejak tahun 1995-an sampai sekarang.

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, pengkavlingan tanah di hutan kerangas yang terjadi pada tahun 1995-an dimotori oleh beberapa aparat desa saat itu yang memobilisasi masyarakat setempat untuk mencaplok hutan lindung (masing-masing KK hanya mendapatkan luasan lahan relatif kecil). Selanjutnya terjadi diskonektivitas informasi dalam masyarakat lokal (pandangan kurang bermanfaatnya lahan, biaya sertifikasi lahan yang mahal) sehingga lahan dijual kembali karena dirasa tidak bermanfaat. Beberapa individu berhasil memanfaatkan situasi tersebut, mereka akhirnya mendapatkan porsi lahan lebih luas lalu menjual lahan sebagai tanah kavlingan kepada non-penduduk setempat, baik yang berasal dari Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten

Banjar, Kabupaten Tanah Laut, sampai wilayah Kabupaten Tapin dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan bahkan Kalimantan Tengah. Kegiatan ini juga yang sekarang menjadi cikal bakal tumpang tindih kepemilikan tanah baik di luar kawasan hutan lindung dan dalam kawasan hutan lindung.

Pengkavlingan tanah ini juga yang menjadi pemicu kebakaran berulang di hutan kerangas. Pembakaran relatif dilakukan dengan sengaja untuk pembersihan lahan di tanah-tanah kavling. Kebakaran berulang menjadi faktor terbesar yang menyebabkan kerusakan lahan/tanah dan sumberdaya hayati hutan kerangas. Kebakaran berulang yang relatif berlangsung setiap tahun mengakibatkan meningkatnya penyakit inspeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di kalangan masyarakat dan meningkatnya intensitas dan frekuensi serangan hama hutan seperti babi hutan dan kera ke lahan permukiman dan pertanian penduduk di sekitar hutan kerangas sebagai akibat dari rusaknya habitat.

Pemanfaatan hutan kerangas sebagai penghasil kayu sudah mulai menurun sejak tahun 1990-an. Pemanenan kayu yang ada sekarang terbatas pada jenis merapat (Combretocarpus rotundatus) untuk kayu pertukangan dan jenis galam (Melaleuca cajuputi) untuk kayu bakar. Beberapa kelompok

masyarakat memungut kayu ―Galih‖ (istilah untuk sisa kayu yang tertimbun

tanah) untuk keperluan sendiri. Masyarakat juga menggunakan hutan kerangas sebagai sumber hasil hutan non kayu untuk bahan pengobatan dan jamu. Jenis rambuhatap (Baeckea frutescens), buah dan daun galam (Melaleuca cajuputi) merupakan komoditas yang dipanen masyarakat untuk dijual sebagai bahan jamu atau pengobatan tradisional.

Pola pertambangan intan dan pasir di hutan kerangas (di luar hutan lindung) sejak tahun 2003 mulai berubah menjadi izin Kuasa Pertambangan bahan galian pasir-liat-batu, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan pasir- liat-batu untuk pembuatan konstruksi jalan raya. Penggunaan alat berat untuk kegiatan penambangan meninggalkan lubang-lubang galian baru di hutan kerangas. Berdasarkan konfirmasi dari Dinas Pertambangan Kabupaten Banjar rencana pasca penambangan, lubang-lubang galian tersebut rencananya berdasarkan dokumen UKL-UPL (Upaya Kelola Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan) akan dibuat kolam budidaya air tawar. Hingga saat ini realisasi pembuatan kolam budidaya air tawar tersebut belum dilaksanakan. Berdasarkan peraturan, penambangan pasir-liat-batu sebenarnya dihentikan sementara karena belum keluarnya aturan dari Kementerian Energi, Sumberdaya Mineral

dan Batubara mengenai izin Kuasa Pertambangan. Tetapi secara illegal pertambangan masih berlangsung. Pertambangan tradisional masyarakat intan, emas dan pasir juga masih berlangsung dalam jumlah yang semakin mengecil. Pertambangan pasir, intan dan emas juga berada di luar kawasan hutan lindung. Manajemen tata ruang merupakan kolaborasi antara beberapa tinjauan atau kepentingan, baik tinjauan ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan politis yang diimplementasikan terhadap hutan kerangas. Pengelolaan intensif terhadap hutan lindung kerangas desa Guntung Ujung sampai saat ini masih belum dapat dilaksanakan. Dinas Kehutanan sebagai pihak yang berwenang menentukan pengelolaan dan Balai Pemetaan Kawasan Hutan (BPKH) Banjarbaru yang berwewenang dalam penetapan dan penatabatasan kawasan sampai saat ini masih belum bersinergi dengan baik, Sementara itu degradasi terus berlangsung. 1.2. Lokasi Referensi Penelitian

1.2.1. Tanjung Kalsel-Muara Kelanis Kalteng (referensi 1)

Hutan kerangas yang terdapat di Tanjung-Muara Kelanis merupakan hutan kerangas yang terdapat di perbatasan Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan dan Muara Kelanis Kabupaten Barito Selatan (Kalimantan Tengah). Tipe hutan kerangas terdiri dari kerangas kering dan kerangas basah. Koordinat penelitian terletak pada 02o 15,183‘ LS; 115o 03,087‘ BT dan 02o 12,579‘ LS; 115o 14,349‘ BT. ketinggian ±38 m dpl, topografi datar (kelerengan 0% - 2%).

Pembentukan hutan kerangas Tanjung-Muara Kelanis dipengaruhi oleh teras yang terbentuk dari sungai dan anak sungai Barito (sungai Kelanis. Penutupan vegetasi yang menjadi lokasi penelitian adalah hutan kerangas terbuka (terbuka tanpa penutupan vegetasi, dominasi tumbuhan tingkat pancang dan semai) dan hutan kerangas sekunder (tertutup kanopi hutan dari tegakan pohon, tiang, pancang dan semai). Hutan kerangas di lokasi ini terdiri dari dua tipe yaitu hutan kerangas pada tanah humus podsol yang tidak tergenang, dan humus podsol yang relatif kaya akan fraksi lempung-liat dan berupa kawasan lumpur bergambut. Jenis eksotik yang mampu terintroduksi dalam hutan kerangas terutama kerangas tidak tergenang adalah Acacia mangium.

Berbagai uraian tentang kondisi terkini hutan kerangas baik dari lokasi penelitian utama dan referensi menunjukkan sebagian besar wilayah hutan kerangas adalah tidak terkelola dan terdegradasi. Fenomena ini menunjukkan kecenderungan status kawasan hutan kerangas semakin terancam dan keanekaragaman hayati di dalamnya semakin menurun.

1.2.2. Arboretum Nyaru Menteng Kota Palangkaraya (referensi 2)

Hutan kerangas yang terdapat di Palangkaraya Kalimantan Tengah merupakan wilayah dari Arboretum Nyaru Menteng yang dibangun tahun 1988 dan merupakan areal bekas HPH yang telah dieksploitasi sejak tahun 1974. Khusus untuk hutan kerangas, areal hutannya tidak dieksploitasi. Arboretum Nyaru Menteng dengan luas 65,2 Ha. Terletak di sebelah Timur jalan raya Tjilik Riwut Km 28 dari Palangkaraya menuju Kabupaten Katingan. Secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Tumbang Tahai Kecamatan Bukit Batu Kotamadya Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Berdasarkan letak garis lintang dan garis bujur, kawasan ini berada diantara 113° 46‘ - 113°48‘ BT

dan 2°0‘- 2° 02‘ LS. Ketinggian wilayah ini adalah ± 25 m dpl, topografi kawasan Arboretum Nyaru Menteng secara keseluruhan datar dengan kelerengan 0 - 2%. Pembentukan hutan kerangas Nyaru Menteng dipengaruhi oleh teras yang terbentuk dari sungai Kahayan. Hutan ini merupakan hutan kerangas old growth dan sebagian berbentuk hutan kerangas sekunder. Hutan kerangas ini tumbuh di atas tanah humus podsol yang relatif kering dan tidak tergenang.

Hutan kerangas ini pada awalnya termasuk dalam kawasan HPH yang masuk wilayah pengelolaan Kantor Cabang Dinas Kehutanan (KCDK) Kahayan. Sejak Tahun 1994 pengelolaan arboretum ini dilaksanakan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah, setelah mendapat pelimpahan kewenangan untuk mengelola arboretum dari Kantor Wilayah Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah melalui suratnya No. 3274/Kwl-5/I/1994 tanggal 9 Pebruari 1994. Pengelolaan di lapangan dilaksanakan oleh Seksi Konservasi Wilayah I Palangkaraya. Sebagian wilayah dari Arboretum Nyaru Menteng digunakan sebagai Pusat Reintroduksi Orang utan (Pongo pigmeus).

1.2.3. Pasir putih-Lenggana Kabupaten Kotawaringin Timur Kalteng (referensi 3) Hutan kerangas di Kabupaten Kotawaringin Timur yang menjadi lokasi penelitian secara administratif terletak di antara Kelurahan Pasir Putih dan Kelurahan Telawang. Titik pengamatan berada pada koordinat 02o 27,989‘ LS; 112o43,079‘ BT dan 02o 30,350‘ LS; 112o52,489‘ BT, ketinggian ± 16 m dpl, topografi secara keseluruhan datar dengan kelerengan 0% - 6%. Pembentukan hutan kerangas pada lokasi ini dipengaruhi oleh teras yang terbentuk dari sungai dan anak sungai Mentaya (sungai Lenggana), sungai dan anak sungai Seruyan (sungai Penyang). Penutupan vegetasi yang menjadi lokasi penelitian sebagian besar merupakan hutan kerangas terbuka (dominasi tumbuhan tingkat pancang

dan semai). Tipe hutan kerangas di lokasi ini merupakan hutan kerangas yang tumbuh pada medium dan deep humus podsol yang masih kaya akan pasir kuarsa dibandingkankan fraksi liat dan lempung.

Beberapa jenis tumbuhan tingkat pancang dan semai yang mendominasi adalah Melaleuca cajuputi, Shorea belangeran, Cratoxylon arborescens, Combretocarpus rotundatus, Ficus delteodea. Vitex pubescen dan Tristaniopsis obovata. Sebagian kecil lokasi lainnya berupa spot-spot hutan kerangas yang yang terdiri dari tumbuhan tingkat tiang jenis Shorea belangeran, Cratoxylon arborescens dan Combretocarpus rotundatus. Jenis eksotik yang mampu terintroduksi dalam hutan kerangas adalah Acacia mangium.

Dokumen terkait