• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

D. Tata Cara Penelitian

5. Sterilisasi dan penanaman eksplan

Menciptakan dan memelihara kondisi aseptik merupakan pekerjaan yang paling berat dalam kultur jaringan. Spora dari bakteri dan jamur yang ada di sekitar kita dapat jatuh atau terbawa sampai pada eksplan karena adanya pergerakan udara. Akhirnya spora dan jamur akan tumbuh dan berkembang, dan dalam beberapa hari akan tumbuh menjadi koloni mikrobial sehingga objek kultur dikatakan terkontaminasi (Katuuk, 1989).

Media kultur jaringan merupakan sumber makanan yang baik untuk

bakteri dan fungi, dan semua prosedur in vitro harus memuat pencegahan

terhadap kontaminasi mikroba (Wetherell, 1982). Ada beberapa teknik sterilisasi yang biasa digunakan dalam kultur jaringan tanaman, yaitu:

a. Sterilisasi panas basah

Cara sterilisasi panas basah adalah dengan menggunakan uap air. Alat yang digunakan untuk sterilisasi ini adalah autoklaf. Hampir semua

mikroba akan mati setelah diberi uap air dengan suhu 121˚C selama 10-15

menit. Cara sterilisasi ini dapat digunakan untuk mensterilkan media kultur, air, alat/instrumen, peralatan gelas serta peralatan plastik yang tahan akan suhu panas. Lama sterilisasi ada aturannya, untuk mensterilkan media 20-75 ml dibutuhkan waktu 15-20 menit, media 75-500 ml dibutuhkan waktu 20-25 menit, media 500-5000 ml dibutuhkan waktu

25-35 menit, yang semuanya dilakukan pada suhu 121˚C; sedangkan untuk

mensterilkan peralatan gelas dibutuhkan waktu 30 menit dengan suhu 130˚C (Katuuk, 1989).

b. Sterilisasi panas kering

Cara sterilisasi panas kering adalah dengan menggunakan suhu tinggi dan dalam kondisi kering. Alat yang digunakan untuk sterilisasi ini adalah oven. Oven digunakan untuk mensterilkan alat-alat yang tidak mudah terbakar, antara lain: alat-alat gelas dan alat-alat dari logam. Namun dalam keadaan tertentu dimana suhu tidak terlalu panas, alat dapat dibungkus dengan kertas kemudian disterilkan. Namun bukan berarti semua alat dari bahan logam harus disterilkan dengan cara ini. Alat-alat seperti pisau serta scalpel tidak dapat disterilkan dengan cara ini sebab dapat merusak ketajaman pisau /alat (Katuuk, 1989).

Lama pemanasan tergantung pada suhu. Biasanya sterilisasi untuk

suhu 160˚C, memerlukan waktu 45 menit; 170˚C selama 18 menit; 180˚C

selama 7,5 menit, dan 190˚C selama 1,5 menit. Suhu harus terus dikontrol,

sebab pada suhu 170˚C, kertas mulai hancur. Setelah selesai proses

sterilisasi, alat/instrumen dikeluarkan dan dibawa ke ruang transfer, dan dapat disterilkan lagi dengan menggunakan sinar ultraviolet (Katuuk, 1989).

c. Sterilisasi dengan memakai nyala

Alat/instrumen yang sudah disterilkan dengan oven, dikeluarkan dari bungkusnya, dicelupkan dalam etanol 70% dan dilewatkan pada nyala lampu spiritus. Setiap beberapa saat instrument harus dicelupkan ke dalam etanol kemudian dibakar. Perlakuan ini berjalan terus selama kegiatan inokulasi yang berlangsung di dalam kotak transfer (LAF) (Katuuk,1989).

d. Sterilisasi dengan bahan kimia

Sterilisasi dengan bahan kimia merupakan pembasmian mikroba dengan memakai bahan kimia. Biasanya bahan kimia dipakai untuk mensterilkan permukaan saja, yang meliputi material tanaman dapat disterilkan dengan menggunakan natrium hipoklorit, perak nitrat atau air brom; sedangkan instrumen, tangan pekerja, serta ruang atau kotak transfer dapat disterilkan dengan menggunakan alkohol 70% (Katuuk, 1989).

Banyak jenis bahan pencuci yang bisa digunakan untuk sterilisasi material tanaman. Jenis dan lama sterilisasi tergantung pada kepekaan material tanaman. Terlalu lamanya proses sterilisasi dengan konsentrasi bahan pencuci yang tinggi, akan mematikan mikroba sekaligus merusak jaringan tanaman yang disterilkan. Di samping itu, bahan pencuci hendaknya bersifat lebih mudah larut. Bila tidak demikian, sisa zat pencuci ini akan tetap pada material tanaman, yang dapat mengganggu pertumbuhan eksplan (Katuuk, 1989).

e. Sterilisasi dengan cahaya

Ruang dan kotak transfer sulit disterilkan hanya dengan menggosok dengan alkohol atau bahan kimia pada permukaan. Untuk itu digunakan lampu germisidal dengan sinar ultraviolet. Ada laboratorium yang sudah memasangnya di langit-langit atau pada tempat lain dengan tujuan semua bagian terkena cahaya. Kelemahan menggunakan sinar ultraviolet adalah pada tempat-tempat yang tidak terkena cahaya, proses sterilisasi tidak

terjadi. Selain itu, sinar ultraviolet hanya mampu mematikan bentuk fertilisasi bakteri dan jamur, bukan bentuk spora (Katuuk, 1989).

6. Penanaman eksplan

Penanaman eksplan dilakukan di dalam laminar air flow (LAF)

dengan kondisi aseptis. Sebelum bekerja di dalam LAF, semua perhiasan tangan harus dilepas dan tangan dibasuh dengan alkohol 70%. Saat menanam eksplan, pekerja harus menggunakan masker penutup mulut dan hidung (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Eksplan ditanam ke dalam media dengan sedikit ditekan agar eksplan bersinggungan dengan media. Selanjutnya wadah ditutup dengan alumunium foil atau parafin untuk mencegah penguapan. Media yang berisi eksplan

diinkubasikan dalam ruangan dengan suhu 25˚C (Dixon, 1985).

7. Subkultur

Subkultur adalah usaha untuk mengganti media tanam kultur jaringan dengan media yang baru, sehingga kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kalus dapat terpenuhi (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Subkultur pada media padat dilakukan dengan meletakkan kalus yang sudah terbentuk di atas cawan petri dan membelah-belahnya lagi menjadi bagian-bagian kecil dengan menggunakan skalpel dan pinset. Potongan-potongan kalus tersebut segera dimasukkan kembali ke dalam wadah yang berisi media baru dengan komposisi media yang sama dengan media lama dan diinkubasikan kembali. Seluruh proses ini dilakukan dalam kondisi aseptis (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

8. Pertumbuhan kalus

Ada 3 tahapan perkembangan dan pertumbuhan kalus, mulai dari waktu subkultur atau penaburan inokulum, yaitu induksi pembelahan sel, pembelahan sel aktif dan tahap pembelahan sel lambat atau sel berhenti membelah. Laju pertumbuhan kalus umumnya ditetapkan secara kuantitatif dengan parameter indeks pertumbuhan bobot kalus basah. Pertambahan bobot kalus basah merupakan selisih antara bobot kalus basah pada periode tertentu dikurangi bobot kalus mula-mula atau bobot inokulum. Selanjutnya dari kurva pertumbuhan kalus yang menyatakan hubungan antara pertumbuhan bobot kalus basah dengan umur dapat diketahui fase-fase pertumbuhan kalus antara lain:

a. Fase lag, yaitu fase belum terjadinya pertumbuhan secara nyata, keadaan

ini terjadi selama beberapa waktu setelah kalus disubkultur, serta merupakan waktu adaptasi kalus dengan media yang baru. Pada fase ini pertambahan bobot kalus hanya sedikit dan terlihat hampir mendatar pada kurva.

b. Fase eksponensial, yaitu fase mulai terjadinya pertumbuhan kalus.

Pertambahan bobot kalus mulai terlihat nyata dan diikuti fase linier dimana pertumbuhan kalus terus menaik secara eksponensial seperti garis lurus ke atas dan berhenti.

c. Fase stasioner, yaitu fase saat pertumbuhan kalus sama dengan kematian

sel-sel kalus. Pada fase ini, kalus tidak dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama. Sel-sel mulai mati, media pertumbuhan kelebihan muatan dan

nutrien telah habis digunakan, sehingga kematian sel menjadi lebih cepat (George dan Sherrington, 1984).

C. Glikosida Jantung

Glikosida jantung banyak ditemukan dalam keluarga tumbuhan yang tidak berkaitan satu sama lain seperti Apocynaceae, Liliaceae, Moraceae, dan Ranunculaceae (Robinson, 1995); juga banyak ditemukan pada anggota suku

Scrophulariaceae, Digitalis, Nerium, Asclepiadaceae, dan Asclepis (Harborne,

1987). Tumbuhan yang mengandung senyawa ini biasanya digunakan sebagai racun panah dan siksaan pada zaman prasejarah. Contoh glikosida yang bermanfaat dalam pengobatan misalnya glisirizin, glikosida asam gliserisat,

yang terkandung dalam akar Glycyrrhiza glabra sebagai komponen aktif

utama (Robinson, 1995).

Sumber utama kardenolida ialah genus Digitalis dan Strophantus.

Digitalis mempunyai efek langsung pada jantung yaitu memberi kekuatan bila jantung melemah. Glikosida jantung biasanya mempunyai sifat peluruh air seni (diuretik) yang berakibat menurunkan tekanan darah dan mengobati bengkak. Keberadaan senyawa ini dalam tumbuhan mungkin memberi perlindungan kepada tumbuhan tersebut dari gangguan beberapa serangga (Robinson, 1995).

Isolasi glikosida jantung murni dalam tanaman sulit dilakukan karena glikosida jantung merupakan suatu glikosida yang memiliki kepolaran yang tinggi. Berdasarkan polaritasnya, glikosida jantung dapat diekstrak dengan

menggunakan pelarut yang polar antara lain: etanol, etil asetat, campuran etanol dan air serta campuran etanol dan kloroform (Samuelsson, 1999).

Glikosida jantung diklasifikasikan sebagai steroid (sterol), karena

memiliki inti cyclopentanoperhydrophenanthrene, sebuah cincin lakton α-β

yang tidak jenuh (dengan sisi 5 atau 6) pada C17, sebuah β-oriented hydroxyl

pada C14, sebuah penggabungan cis dari cincin C dan D pada C13-C14 dan

tambahan satu atau lebih gula pada C3, biasanya deoksiheksometilosa. Cincin

lakton tidak jenuh bersisi 5 (pentagonal) pada C17 menggolongkan glikosida

tersebut sebagai kardenolida, sedangkan cincin lakton tidak jenuh bersisi 6 (heksagonal) pada posisi yang sama menggolongkan glikosida tersebut sebagai bufadienolida (Farnsworth, 1966).

H H H OH CH3 CH3 HO O O H O O H H OH CH3 CH3 HO bufadienolida kardenolida Gambar 1. Struktur dasar bufadienolida dan kardenolida

Identifikasi glikosida jantung dapat dilakukan dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) secara kualitatif. Reaksi identifikasi terhadap glikosida jantung dapat dilakukan menggunakan uji dengan pereaksi Baljet (2,4,6-trinitrophenol), uji dengan pereaksi Kedde (3,5-dinitrobenzoic acid), uji

(sodium nitroprusside) dimana pereaksi tersebut akan bereaksi dengan grup

metilen aktif yang ditemukan dalam cincin lakton tidak jenuh. Pereaksi ini

akan memberikan warna oranye, ungu, biru, dan violet, yang menunjukkan adanya glikosida jantung (Farnsworth, 1966).

D. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pemisahan fisikokimia (Stahl, 1969). Pada dasarnya semua kromatografi menggunakan dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Pemisahan-pemisahan tergantung pada gerakan relatif dari dua fase ini. Kromatografi dapat digolongkan berdasarkan sifat-sifat fase diam, yang dapat berupa zat padat atau zat cair. Apabila fase diam berupa zat padat maka cara tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan, sedangkan untuk fase diam yang berupa cairan dikenal sebagai kromatografi partisi (Sastrohamidjojo, 2001).

Kromatografi lapis tipis termasuk ke dalam kromatografi serapan. Prinsip dari kromatografi serapan adalah kecepatan bergerak dari suatu komponen tergantung pada berapa besarnya komponen tersebut tertahan oleh fase diam (Sastrohamidjojo, 2001).

Fase diam yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis adalah bahan penyerap atau adsorben (Stahl, 1969). Fase diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penjerap (kromatografi cair-padat) atau berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair (kromatografi cair-cair)

pemilihan bahan penyerap adalah ukuran partikel dan homogenitas partikel penyerap. Kedua sifat ini sangat berpengaruh pada gaya adhesi. Besar partikel yang biasa digunakan adalah 1-25 mikron. Fase diam yang umum dan paling

banyak digunakan adalah silika gel yang dicampur dengan CaSO4 untuk

menambah daya lengket partikel silika gel pada pendukung (pelat). Adsorben lain yang juga biasa digunakan adalah alumina, kieselguhr, celite, serbuk selulosa, serbuk poliamida, kanji dan sephadex (Mulja dan Suharman, 1995). Fase diam yang digunakan untuk analisis secara kromatografi lapis tipis untuk glikosida jantung adalah silika gel GF 254 (Wagner, 1984).

Fase gerak adalah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Fase ini bergerak dalam fase diam karena adanya gaya kapiler. Fase gerak yang digunakan adalah pelarut bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan sistem pelarut multi-komponen harus berupa campuran sesederhana mungkin terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1969). Ada beberapa macam pilihan fase gerak untuk glikosida jantung, yaitu etil asetat-metanol-air (100:13,5:10 v/v); etil asetat-metanol-etanol-air (81:11:4:8

v

/v); metiletil keton-toluena-air-asam asetat glasial (40:5:3:2,5:1 v/v); dan kloroform-metanol-air (65:35:10 v/v) (Wagner, 1984).

Campuran yang dipisahkan berupa larutan yang ditotolkan berupa bercak. Setelah itu pelat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak). Pemisahan terjadi selama pengembangan. Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus dideteksi (Stahl, 1969).

Identifikasi dari senyawa yang terpisah (bercak/noda) pada lapisan tipis dapat dilakukan dengan tanpa pereaksi kimia dan disemprot dengan reagen. Identifikasi senyawa glikosida jantung dapat dilakukan dengan tanpa pereaksi kimia yaitu dengan menggunakan sinar ultraviolet 254 dan 365 nm, sedangkan reagen penyemprot yang digunakan untuk identifikasi senyawa

glikosida jantung adalah reagen Kedde, Legal, Baljet, Raymond, antimony

(III) chloride, chloramine-trichloroacetic acid/CTA, sulphuric acid (Wagner, 1984) dan vanillin-phosporic acid (Jork et al., 1990).

Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka Rf atau hRf. Harga Rf didefinisikan sebagai perbandingan jarak antara senyawa dari titik awal dengan jarak tepi muka pelarut dari awal.

Rf = an pengembang jarak an pengembang awal dari bercak jarak

Harga Rf yang diperoleh pada KLT tidak tetap jika dibandingkan dengan kromatografi kertas sehingga perlu dibuat kromatogram zat pembanding kimia, lebih baik dengan kadar yang berbeda-beda. Perkiraan identifikasi diperoleh dengan pengamatan dua bercak dengan harga Rf dan ukuran yang hampir sama. Angka Rf berkisar antara 0,01 – 1,00 dan hanya dapat ditentukan dengan dua desimal. hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berkisar antara 0 – 100 (Harborne, 1984; Stahl, 1969).

E. Landasan Teori

Selama ini kamboja jepang digunakan sebagai tanaman hias dan secara tradisional digunakan untuk membantu proses kelahiran. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan Melero et al (2000), kamboja jepang mempunyai kandungan senyawa glikosida yang mirip digitalis sehingga mempunyai kemungkinan dapat digunakan sebagai obat jantung.

Pelaksanaan teknik kultur jaringan ini berdasarkan teori sel seperti yang dikemukaan oleh Schleiden dan Schwann, yaitu bahwa sel merupakan satuan struktural, fungsional, dan hereditas terkecil dari makhluk hidup sehingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi suatu individu yang normal. Sel juga mempunyai kemampuan totipotensi, yaitu kemampuan setiap sel, dari mana saja sel tersebut diambil, yang apabila ditumbuhkan pada lingkungan yang sesuai akan tumbuh dan berkembang menjadi tanaman lengkap yang baru yang mempunyai kandungan kimia yang sama dengan tanaman asalnya.

Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Apabila eksplan ditanam dalam media cocok, pertumbuhannya pun akan optimum. Media tumbuh yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Woody Plant Medium (WPM) karena

menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) media WPM cocok sebagai media kultur untuk membudidayakan tanaman berkayu.

Laju pertumbuhan kalus umumnya ditetapkan secara kuantitatif dengan parameter indeks pertumbuhan bobot kalus basah. Kurva pertumbuhan kalus dapat menunjukkan fase-fase pertumbuhan kalus, yaitu fase lag (fase penyesuaian), fase eksponensial (fase pertumbuhan optimum), dan fase stasioner (fase penurunan).

Teknik kultur jaringan ini diharapkan dapat menghasilkan metabolit sekunder, yaitu glikosida jantung, dari tanaman kamboja jepang yang mempunyai profil KLT yang mirip dengan profil KLT pada tanaman induknya dan kultur kalusnya memiliki profil pertumbuhan sigmoidal yang fase stasionernya menghasilkan kandungan glikosida jantung yang optimum.

F. Hipotesis

1. Daun tanaman kamboja jepang dapat membentuk kalus dengan variasi

penambahan zat pengatur tumbuh asam 2,4-Diklorofenoksiasetat dan 6-furfurylaminopurine pada media WPM.

2. Kultur kalus yang dihasilkan melalui teknik kultur jaringan ini memiliki

pertumbuhan sigmoidal yang fase stasionernya menghasilkan kandungan glikosida jantung yang optimum.

3. Ekstrak kalus daun tanaman kamboja jepang memiliki profil KLT yang

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel utama

a. Variabel bebas : waktu pemanenan (hari ke-) dan variasi konsentrasi 2,4-D

dan FAP.

b. Variabel tergantung: profil pertumbuhan kultur kalus dan susut

pengeringan kalus (%).

2. Variabel pengacau terkendali

a. Subyek uji : daun yang digunakan sebagai eksplan adalah daun segar dan

sehat yang terletak pada nomor 3-5 dari ujung batang atau cabang dengan ukuran eksplan 0,5 - 1,0 cm.

b. Bahan uji dan cara kerja penanaman berupa:

i. Media agar jenis WPM dengan sterilisasi tetap terjaga.

ii. Sterilitas, suhu, kelembaban dan intesitas cahaya dalam ruang inkubator.

3. Variabel pengacau tidak terkendali

a. Keadaan patologis pada daun tanaman yang tidak tampak.

b. Kandungan senyawa kimia lain yang terkandung dalam kamboja jepang yang dapat mempengaruhi hasil kromatogram.

4. Definisi Operasional

a. Daun yang digunakan sebagai eksplan dalam penelitian ini adalah daun

yang segar dan sehat, terletak pada nomor 3-5 dari ujung batang atau cabang.

b. Waktu inisiasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh eksplan untuk

membentuk kalus dihitung mulai dari saat penanaman eksplan sampai hari pertama kalus mulai terbentuk berupa bintik putih dari tepi irisan daun eksplan.

c. Subkultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan kalus dengan memindahkan

kalus ke dalam media baru sehingga kalus tidak kekurangan nutrisi.

d. Bobot kalus basah awal adalah hasil pengurangan antara bobot botol +

media + kalus dengan bobot botol + media pada saat subkultur.

e. Bobot kalus basah akhir adalah bobot kalus yang ditimbang pada saat

pemanenan.

f. Bobot kalus kering adalah bobot kalus pada saat pemanenan dan sesudah

mengalami proses pengeringan dengan menggunakan oven pada suhu

40-500C, sampai diperoleh kalus dengan bobot konstan yaitu antara

penimbangan yang pertama dan berikutnya selama 1 jam tidak berbeda 0,5 mg.

g. Laju pertumbuhan kalus adalah laju pertumbuhan kalus yang ditandai adanya pertambahan berat kalus dari waktu ke waktu dengan memanen setiap 4 hari sekali sebanyak 3 botol selama 36 hari.

h. Profil pertumbuhan kalus adalah rasio antara pertumbuhan kalus (bobot

kalus basah akhir- bobot kalus basah awal) dengan waktu pemanenan serta rasio antara bobot kalus kering dengan waktu pemanenan.

i. Persen susut pengeringan adalah rerata bobot kalus basah dikurangi

dengan rerata bobot kalus kering lalu dibagi dengan rerata bobot kalus basah dikali dengan 100%.

j. Konsentrasi zat pengatur tumbuh, yaitu asam 2,4-Diklorofenoksiasetat

yang digunakan adalah 4 ppm dan 2 ppm yang terkandung dalam satu liter media. Sedangkan konsentrasi 6-furfurylaminopurine yang digunakan adalah 1 ppm.

C. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat penelitian

a. Alat yang digunakan dalam kultur jaringan tanaman:

1) Alat-alat gelas, Pyrex

2) Autoklaf, YX 400Z Shanghai Sanshen, Medical Inst, Co, LTD.

3) Oven, Marius Instrument, German.

4) Pemanas listrik, Ika Combimag, RCT, German.

5) Timbangan analitik, Scaltec.

7) Magnetic stirrer.

8) Pinset.

9) Skapel.

10)Kertas indikator pH.

11)Kertas saring.

12)Laminar air flow.

13)Lampu UV.

14)Inkubator, Heraeus Tamson, Holland.

15)Botol kultur.

16)Aluminium foil, Heavy-Duty, Diamond-Wrap.

17)Refrigerator, Sharp. 18)Sprayer.

19)Mortir & stamper.

b. Alat untuk penyarian : alat gelas (pyrex), kertas saring, dan waterbath

c. Alat untuk Kromatografi Lapis Tipis:

1) Bejana gelas.

2) Lempeng kaca.

3) Lemari asam.

4) Pipa kapiler.

5) Penyemprot bercak.

6) Lampu TL Day Light” 20 watt.

2. Bahan Penelitian

a. Bahan eksplan : daun yang segar dan sehat terletak no. 3-5 dari ujung

batang atau cabang tanaman kamboja jepang.

b. Bahan kimia

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Agar, Mkr Chemicals.

2) Garam anorganik (makronutrien) yang terdiri dari :

a) Kalsium nitrat-tetrahidrat (Ca(NO3)2.4H2O), Merck, Germany,

1.02121.0500.

b) Ammonium nitrat (NH4NO3), GPR, BDH, 1.01188.0500.

c) Kalsium klorida-dihidrat (CaCl2.2H2O), Merck, Germany, 1.02381.1000

d) Magnesium sulfat-heptahidrat (MgSO4.7H2O), Merck, Germany,

1.05886.0500

e) Kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4), Merck, Germany, 1.04873.0250.

3) Garam anorganik (mikronutrien) yang terdiri dari :

a) Mangan (II) sulfat tetrahidrat (MnSO4.4H2O), BDH limited Poole,

England, 10153.

b) Seng sulfat heptahidrat (ZnSO4.7H2O), Merck, Germany, 1.08883.0500

c) Asam borat (H3BO3), Merck, Germany, 1.00165.1000

d) Besi (II) sulfat heptahidrat (FeSO4.7H2O), Merck, Germany, 1.03965.0500

e) Natrium etilen diamin tetra asetat dihidrat (NaEDTA.2H2O), Merck,

Germany, 1.08418

a) Myo-inositol, Merck, Germany, 1.04728.0100

b) Tiamin hidroklorida, Brataco Chemica, Indonesia

c) Asam nikotinat, Calbiochem, US, 481918

d) Piridoksin hidroklorida, Brataco Chemica, Indonesia

5) Sumber karbon : sukrosa, Merck, Germany.

6) Zat pengatur tumbuh :

a) Asam 2,4-Diklorofenoksiasetat (2,4-D), Sigma, US, D-8407

b) Furfuryl Amino Purine (FAP), Merck, Germany, 1.24807.0250

7) Desinfektan

a) Natrium hipoklorida, Bayclin®, Johnson.

b) Alkohol 70% derajat kemurnian teknis.

c) Tween 80, Merck-Shouchard, Germany

8) Akuades

c. Bahan untuk penyarian: Metanol (J.T. Baker, Germany) dan Kloroform

(J.T. Baker, Germany)

d. Kromatografi Lapis Tipis :

a) Metanol, J.T. Baker, Germany

b) Etil asetat, J.T. Baker, Germany.

c) Kedde reagent, Merck, Germany.

d) Asam sulfat, Merck, Germany.

D. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tanaman

Determinasi tanaman kamboja jepang dilakukan di laboratorium Biologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma berdasarkan pustaka acuan (Anonim, 2006).

2. Pembuatan stok

a. Pembuatan larutan stok hara mikro

Disiapkan gelas piala dengan volume 500 ml yang telah diisi akuades 300 ml. Mangan (II) sulfat tetrahidrat sebanyak 2,23 mg, seng sulfat heptahidrat sebanyak 860 mg, asam borat sebanyak 620 mg, dimasukkan satu per satu ke dalam gelas piala tersebut, sambil diaduk dengan menggunakan magnetic stirer hingga jernih. Kemudian ditambahkan aquades hingga volume 500 ml. Tiap 1 liter media membutuhkan 5 ml stok hara mikro.

b. Pembuatan larutan stok besi

Stok untuk bahan ini terpisah dari unsur hara mikro lainnya, karena komponen natrium etilen diamin tetra asetat dan besi (II) sulfat heptahidrat sukar larut dalam akuades, maka perlu ditambahkan beberapa tetes HCl, kemudian dipanaskan. Disiapkan gelas piala dengan volume 500 ml yang telah diisi akuades 300 ml. Besi (II) sulfat heptahidrat sebanyak 0,278 g dan natrium etilen diamin tetra asetat dihidrat sebanyak 0,373 g dimasukkan ke dalam gelas piala tersebut, lalu ditambahkan beberapa tetes HCl sambil diaduk dengan menggunakan magnetis stirer hingga larut dan

agar cepat larut dibantu dengan pemanasan. Kemudian ditambahkan akuades hingga volume 500 ml. Perlu diperhatikan bahwa satu liter media dibutuhkan 5 ml larutan stok besi.

c. Pembuatan larutan stok vitamin dan asam amino

Dua ratus milliliter aquades dimasukkan ke dalam gelas piala dengan volume 500 ml, kemudian asam nikotinat sebanyak 0,05 g, piridoksin hidroklorida sebanyak 0,05 g, dan tiamin hidroklorida sebanyak 0,1 g dimasukkan satu per satu ke dalam gelas piala tersebut, sambil diaduk dengan menggunakan magnetic stirer hingga jernih. Kemudian ditambahkan aquades hingga volume 500 ml. Tiap satu liter media dibutuhkan 5 ml larutan stok vitamin dan asam amino.

d. Pembuatan larutan stok myo-inositol

Untuk membuat larutan myoinositol, diperlukan 10 g myo-inositol yang dilarutkan dalam 500 ml aquades dalam gelas piala sampai larut kemudian akuades ditambahkan sampai volume 1 liter. Dalam membuat satu liter media dibutuhkan larutan stok myoinositol sebanyak 10 ml.

e. Pembuatan larutan stok 2,4-D

Untuk membuat larutan stok 2,4-D (4 ppm), larutkan 2,4-D sebanyak 100 mg ke dalam 2-5 ml etanol, panaskan sebentar lalu tambahkan 100 ml

Dokumen terkait