• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.6 Strategi Keberlanjutan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

5.6 Strategi Keberlanjutan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Selat Bali

Dalam menganalisis strategi keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Selat Bali menggunakan pendekatan analisis hirarki proses. Seluruh data skor yang diperoleh dari masing-masing partisipan/expert disajikan dalam Lampiran 16. Dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison), data- data dalam lampiran tersebut merupakan data yang telah melalui tahap analisis consistency rasio (CR) yang merupakan rasio dari consistency index terhadap index angka teracak. Apabila CR < 1 maka skor yang diberikan oleh partisipan dapat dinyatakan nilai dapat dipakai dalam penelitian ini atau dapat dinyatakan "konsisten". Selama proses brainstorming dengan partisipan agar efektif maka secara langsung serta memberikan arahan apabila partisipan memberikan skor yang tidak konsisten, hal ini diatasi dengan bantuan desain logika berbasis microsoft excel.

Dalam penelitian ini diperoleh 2 struktur hirarki yang berasal dari perhitungan ranking berdasarkan geomean prioritas (RGBP) dan ranking berdasarkan geomean masing-masing skor (RBGS) seperti yang disajikan dalam Lampiran 17. Pengembangan teknik perhitungan ini hanya ada perbedaan sedikit pada penentuan ranking prioritas pada ranking 3-5 sedangkan ranking 1-2 hampir sama antara dua teknik perhitungan tersebut. Namun dalam penelitian ini, yang banyak digunakan pada teknik kedua yakni RBGS seperti dalam yang disajikan dalam Gambar 5.31.

129

Pada level dua yakni komponen/dimensi yang diprioritaskan berturut- turut: ekonomi, ekologi, etik, sosial dan teknologi. Level tiga yakni sub komponen yang diprioritaskan berturut-turut pengembangan ekonomi rakyat, penataan sosial dan kelembagaan, dan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya. Level empat yakni stakeholders yang diprioritaskan berturut-turut pemerintah, masyarakat nelayan, swasta, perguruan tinggi, dan LSM. Level lima yakni alternatif strategi yang diprioritaskan berturut-turut: peningkatan kesejahteraan nelayan, pelestarian sumberdaya, penegakan hukum, menjamin kebutuhan rakyat dan industri, peningkatan kemampuan armada dan alat tangkap, dan peningkatan pendapatan

Pembangunan Perikanan Berkelanjutan 1,00 Ekologi 0,23 (2) Ekonomi 0,33 (1) Sosial 0,18 (4) Teknologi 0,07 (5) Etik 0,19 (3) Pengembangan Ekonomi Rakyat 0,36 (1) Eksplorasidan Eksploitasi Sumberdaya 0,30 (3)

Penataan Sosial dan Kelembagaan 0,34 (2) Pemerintah 0,41 (1) Swasta 0,12 (3) Masyarakat Nelayan 0,24 (2) LSM 0,11 (5) Perguruan Tinggi 0,12 (4) Pelestarian Sumberdaya 0,29 (2) Peningkatan PAD 0,05 (6) Peningkatan Kesejahteraan Nelayan 0,32 (1) Peningkatan Kemampuan Armada dan Alat Tangkap 0,09 (5) Menjamin Kebutuhan Rakyat dan Industri 0,12 (4) Penegakan Hukum 0,13 (3)

Gambar 5.31 Diagram hirarki, nilai bobot prioritas dan ranking berdasarkan geomean skor (RBGS)

130 asli daerah. Berikut ini dijabarkan prioritas utama dalam pembangunan perikanan berkelanjutan dari masing-masing level:

A. Dimensi/komponen Pembangunan Perikanan berkelanjutan

Pilihan prioritas utama dalam dimensi pembangunan perikanan berkelanjutan berurut-urut adalah dimensi ekonomi, ekologi, etik, sosial, dan teknologi (lihat Gambar 5.32). Perekonomiam daerah kerja Muncar berbasis pada sektor perikanan yang utamanya ikan lemuru mampu menggerakkan roda perekonomian wilayah dan memiliki daya tarik investasi cukup tinggi.

0.23 0.33 0.18 0.07 0.19 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 Bobot Relatif Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi Etik Dimens i

Gambar 5.32. Prioritas utama dimensi pembangunan perikanan berkelanjutan (level 2)

Seperti yang telah diuraikan dalam analisis sebelumnya bahwa dimensi ekonomi dalam analisis Rapfish dan MCA menunjukkan konstribusi terhadap tingkat keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan relatif paling rendah dibandingkan dimensi lainnya. Maka para expert menilai perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk lebih mengupayakan pengembangan dimensi ekonomi yang berbasis kelestarian. Karena dalam kenyataanya sektor perikanan menjadi peran strategis dalam perekonomian wilayah yakni:

1. Sebagai penggerak aktivitas ekonomi wilayah yang meliputi seluruh aktivitas sistem bisnis perikanan yang terdiri 4 sub sistem yakni (a) upstream side industry fisheries (industri hulu) yakni industri yang memasok kebutuhan sarana produksi perikanan yang meliputi industri alat

131 tangkap, industri perahu, industri pakan, dan industri motor penggerak, industri pembenihan (hatchery) (b) onfarm side industry fisheries yakni industri yang bergerak dalam penangkapan dan budidaya perikanan, (c) downstream side industry fisheries (industri hilir) yakni industri lanjutan yang mengolah hasil perikanan yang meliputi industri pembekuan, pemindangan, penepungan, pengalengan, pengasinan, pengasapan, kerupuk, terasi dan lain-lain, (d) supporting side industry fisheries (industri pendukung) yakni industri yang mendukung aktivitas perikanan antara lain perbankan, asuransi, transportasi, bengkel perawatan mesin dan perahu, dan koperasi. Seluruh sub sistem tersebut bergerak dan bersinergi menghasilkan produk dan jasa yang mampu memberikan nilai tambah terhadap hasil perikanan.

2. Sebagai sektor penyedia lapangan kerja, dimana jumlah tenaga kerja yang bergerak di sektor perikanan sebanyak 26.345 orang atau 1,7% dari total penduduk Kabupaten Banyuwangi dengan rincian sebagai berikut pembudidaya ikan sebanyak 23,3%, nelayan 71,4% dan nelayan perairan umum 5,3%. Beragamnya lapangan kerja yang ada di daerah kerja Muncar mulai dari ABK perahu purse seine, buruh bongkar muat, dan buruh pabrik sampai dengan pedagang antar kota. Upah buruh yang bergerak di industri pengolahan rata-rata melebihi UMR tahun 2007 yakni Rp 567.500 per bulan atau Rp 18.916,67 per hari (8 jam kerja), sedangkan upah yang diterima oleh buruh pabrik rata-rata > Rp 25.000 per hari. Sistem kerja industri pengolahan kebanyakan sistem borongan. Dalam industri pemindangan bahkan ongkos borongan lebih tinggi dimana tenaga kerja laki-laki bisa mencapai Rp 75.000- 100.000 per hari (10-12 jam kerja) yang jenis pekerjaannya mulai pengangkutan, perebusan/pengukusan, sampai dengan produk naik ke kendaraan untuk dipasarkan. Sedangkan tenaga kerja wanita antara Rp 40.000-50.000 (8-10 jam kerja) yang jenis pekerjaan hanya menata ikan dalam keranjang.

3. Memberikan konstribusi sektor perikanan terhadap PDRB Kabupaten Banyuwangi ternyata cukup besar, dimana pada tahun 2004 mencapai Rp 185 milyar (3%) pada harga konstan tahun 2000.

132 Dengan demikian posisi sektor perikanan dalam perekonomian wilayah sangat strategis untuk dikembangkan. Sehingga sejak tahun 1985-an sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat, hal ini dilihat dari perkembangan jumlah armada dan industri pengolahan yang sebagian besar berbasis di daerah kerja Muncar. Namun demikian, dampaknya juga timbul permasalahan-permasalahan yang cukup krusial antara lain:

1. Eksplotasi dan eksplorasi sumberdaya ikan selama ini hanya berada di perairan Selat Bali saja. Berdasarkan perhitungan optimalisasi di depan bahwa eksploitasi sumberdaya ikan sudah melampaui carrying capacity atau terjadi over exploitation. Hal ini terjadi karena sudah menjadi budaya dan kebiasaan masyarakat nelayan Muncar hanya one day trip. Nelayan Muncar dan Pengambengan hanya bisa dan mampu berlayar dalam jarak tempuh penangkapan kurang dari 12 mil atau hanya ada di sekitar Selat Bali saja. Perburuan ikan tangkap paling jauh hanya sampai ke perairan Bukit-Bali atau daerah Uluwatu. Salah satu persepsi nelayan yang kurang ramah lingkungan yakni selama ikan masih banyak ditemukan di laut maka akan menangkap sebanyak-banyaknya karena khawatir besok hari tidak dijumpai lagi, sehingga tidak jarang nelayan dalam satu hari bisa 2-3 trip penangkapan.

2. Ekploitasi sumberdaya perikanan yang merusak lingkungan dengan penggunaan bahan-bahan terlarang yakni: penggunaan Potassium dan bahan peledak. Sampai saat ini, cara tersebut masih marak di tengah laut walaupun sudah sering dilakukan penindakan dan penyuluhan yang diberikan oleh dinas dan lembaga terkait. Biasanya nelayan pengebom beroperasi di Senggrong, Tanjung Angguk dan Karang Ente. Yang dieksploitasi biasanya ikan hias, ikan karang dan pengambilan batu karang untuk bahan bangunan. Sebenarnya tahun 2001 telah dilakukan kesepakatan-kesepakatan antara nelayan sero, nelayan purse seine, nelayan payang/ijo-ijo, nelayan bagan, nelayan Gillnet, nelayan pengebom, yang menghasilkan salah satu item yang secara tegas menolak ”operasional penggunaaan Potassium dan bahan peledak”. Pernyataan tersebut didasarkan pada kenyataan yang dialami nelayan dimana hasil tangkapan

133 khususnya lemuru mengalami penurunan yang drastis, hal ini diduga disebabkan semakin maraknya operasional penangkapan yang tidak ramah lingkungan.

3. Terjadinya konflik sosial antara nelayan andon dengan nelayan setempat. Kegiatan penangkapan nelayan andon sebenarnya sudah diatur dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 9 Tahun 1983 mekanisme operasional nelayan andon. Nelayan andon adalah nelayan yang berpindah tempat baik dalam kegiatan operasi penangkapan maupun pemasaran hasil tangkapan pada wilayah serta waktu-waktu tertentu. Dalam pasal 4 ayat 3 bahwa nelayan andon dilarang menggunakan alat tangkap purse seine untuk mengadakan penangkapan ikan di perairan Selat Bali. Konflik yang sering terjadi antara nelayan andon dengan nelayan lokal disebabkan oleh beberapa hal antara lain: a. Dianggap telah melanggar Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur

Nomor 9 Tahun 1983 yang melarang masuknya nelayan andon ke perairan Selat Bali

b. Nelayan lokal yang menggunakan teknologi two-boat system kalah bersaing dengan nelayan andon/tubanan yang menggunakan one-boat system. Disamping itu, nelayan andon telah menerapkan teknologi alat tangkap yang lebih unggul misalnya menggunakan lampu perangkap kapasitas tinggi, sementara nelayan lokal hanya menggunakan petromak. Sehingga kemampuan perahu yang dimiliki nelayan setempat jauh tertinggal dibandingkan dengan nelayan andon. Sementara sumberdaya ikan yang menjadi rebutan perburuan, ketersediaannya dari waktu ke waktu cenderung mengalami deplesi.

B. Sub komponen Pembangunan Perikanan berkelanjutan

Sub komponen yang menjadi prioritas utama dalam pembangunan perikanan berkelanjutan berurut-urut adalah pengembangan ekonomi rakyat (PER), penataan sosial dan kelembagaan (PSK), dan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya (EES) (lihat Gambar 5.33). Pilihan prioritas utama sub

134 komponen ditempati pengembangan ekonomi rakyat, hal ini sejalan dengan paradigma pembangunan ekonomi kerakyatan.

0.3 0.36 0.34 0.26 0.28 0.3 0.32 0.34 0.36 Bobot Relatif EES PER PSK Sub Komp onen

Gambar 5.33 Prioritas utama sub komponen pembangunan perikanan berkelanjutan (level 3)

Basis pengembangan PER untuk daerah kerja Muncar dapat dikembangkan melalui beberapa alternatif kebijakan:

1. Memperkuat struktur kelembagaan ekonomi antara lain melalui: pemberdayaan koperasi simpan pinjam (KSP), kelompok usaha bersama (KUB), Lembaga Keuangan Masyarakat Pantai (LKMP) dan memberdayakan KUD Mina Blambangan yang telah ada. Kondisi saat ini lembaga-lembaga tersebut relatif kecil dan lamban perkembangannya. Langkah strategis yang dapat digunakan yakni pengembangan Business Development Services (BDS) perikanan yang memberikan bantuan layanan konsultasi dan pendampingan untuk perbaikan manajemen usaha dan pengembangan teknologi bidang perikanan. Dimana BDS sebagai fasilitator dan mediator diharapkan mampu memberikan layanan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan teknis manajemen usaha, sehingga ke depan mampu mengantarkan badan usaha koperasi, usaha mikro dan kecil dalam bidang perikanan menjadi lebih mandiri dan professional.

2. Mengembangkan diversifikasi usaha perikanan dengan tujuan

135 dapat mengembangkan usaha perikanan lainnya yang dapat menjadi sumber mata pencaharian alternatif. Misalnya pengembangan budidaya kerapu, udang barong dan lobster dalam sistem karamba jaring apung (KJA), budidaya rumput laut. Disamping itu, perlu dikembangkan industri kecil pengolahan berbahan baku perikanan misalnya agroindustri kerupuk ikan, nugget ikan, pengolahan rumput laut siap saji, dan lain-lain.

3. Menumbuhkan kesadaran etika bisnis yang professional di kalangan masyarakat perikanan. Berdasarkan pengalaman dan kajian lapang menunjukkan bahwa perbankan selama ini agak kesulitan menyalurkan kredit usaha kecil ke masyarakat perikanan, dimana alasan utama yakni karakter masyarakat perikanan yang kurang bisa dipercaya. Maka perlu ditumbuhkan norma-norma etika bisnis yang didasari oleh norma agama dan norma sosial positif agar supaya mampu diaplikasikan dalam dunia bisnis yang dijalankannya. Upaya tersebut perlu ditempuh untuk menciptakan atau merubah branch image (citra) masyarakat perikanan ke arah yang lebih baik.

4. Menumbuhkan jiwa/karakteristik wirausaha (enterpreneurship) di kalangan generasi muda nelayan. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa alternatif pola kegiatan antara lain: (a) pelatihan yang berkesinambungan dan terstruktur bagi juragan, nelayan, dan pengusaha kecil untuk menstimulir jiwa kewirausahaan, dan (b) disemininasi dalam kurikulum pendidikan muatan lokal dengan memasukkan materi kewirausahaan perikanan ( fisheries enterpreneuship).

C. Stakeholders yang berperanan dalam pembangunan perikanan berkelanjutan

Stakeholders yang sangat berperanan penting untuk mengantarkan pembangunan perikanan berkelanjutan di perairan Selat Bali untuk saat ini dan yang akan datang masih tetap memposisikan Pemerintah sebagai stakeholders utama (prioritas utama), selanjutnya diikuti masyarakat nelayan, swasta, perguruan tinggi, dan terakhir LSM ( lihat Gambar 5.34).

136 0.41 0.12 0.24 0.11 0.12 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 Bobot Relatif Pemerintah Swasta Masnel LSM PT Stakeh old er

Gambar 5.34 Prioritas utama stakeholders pembangunan perikanan berkelanjutan (level 4)

Peran pemerintah sangat dibutuhkan sebagai fasilitator, regulator, dan mediator untuk mengoptimalkan seluruh sumberdaya alam dan sumberdaya manusia perikanan berbasis pada keberlanjutan sehingga mampu menjadikan sektor perikanan sebagai sektor andalan dan strategis. Peran tersebut dapat berjalan lancar apabila seluruh stakeholders yang berperan dalam pembangunan perikanan tersebut mengambil peran secara aktif yang didasari atas kesadaran dan motivasi untuk menyelamatkan sumberdaya yang ada di perairan Selat Bali. Dengan didukung perangkat dasar hukum yang kuat, pemerintah dapat menempatkan masing-masing stakeholders sesuai peran dan fungsi yang harus dijalankan. Misalnya untuk menekan kebiasaan nelayan yang biasa menangkap ikan lemuru ukuran kecil (sempenit), pihak pengusaha industri pengolahan harus sepakat dan secara tegas menolak untuk dijadikan bahan baku tepung ikan. Sehingga diperlukan kesadaran, kejujuran, dan kerbukaan antara nelayan dan pengusaha. Rintisan untuk menumbuhkan norma-norma positif yang mengikat seluruh stakeholders perlu dilakukan identifikasi sampai dengan dilakukannya kesepakatan masyarakat perikanan atas norma-norma tersebut untuk dijadikan norma bersama sebagai perwujudan kearifan lokal.

137 Fasilitasi yang telah dilakukan pemerintah dalam konservasi sumberdaya ikan yang berkelanjutan antara lain:

1. Penetapan Laut Lindung (fish sanctuary) seluas 264 hektar di Teluk Papang yang dituangkan dalam Perda Kabupaten Banyuwangi No. 35 tahun 2003 tanggal 17 Desember 2003 seluas 264 hektar.

2. Reboisasi hutan bakau seluas 40 hektar di Wringin Putih, Muncar. 3. Reservat kepiting bakau di Kayu Aking, Muncar.

4. Restocking lobster dan kerapu di Kayu Aking, Muncar.

5. Terumbu karang buatan (artificial reefs) di Kayu Aking, Muncar.

Laut lindung merupakan cara pengaturan dan tindakan pengelolaan yang dilakukan dengan mendirikan perlindungan areal laut tertentu. Diharapkan kegiatan ini menunjang tercapainya tujuan konservasi dan pengelolaan seperti perlindungan, pemanfaatan yang bertanggungjawab, rehabilitasi, terhadap kekayaan sumberdaya laut dan pelestariannya. Sehingga penetapan laut lindung sebenarnya merupakan program yang sangat ideal, namun dalam perjalanannya tidak berlanjut atau terbengkalai. Hal ini sebagai akibat dari kurangnya kesadaran masyarakat lokal secara meluas tentang pentingnya pelestarian sumberdaya ikan. Disamping itu juga kurang didukungnya aparat dinas terkait yang profesional dalam mengelola fasilitas yang sudah ada serta hanya berorientasi sistem proyek belaka artinya setelah pekerjaan proyek selesai maka telah usai juga tanggung jawabnya. Memang berdasarkan kenyataan di lapangan menujukkan bahwa sampai saat ini proyek-proyek pemberdayaan sumberdaya ikan masih berpola top down program. Untuk itu, ke depan harus dengan konsisten mampu memadukan antara kemauan pemerintah/pejabat dengan kepentingan masyarakat lokal dalam suatu wadah konsep pengelolan sumberdaya perikanan partisipatif. Di wilayah Muncar sudah dibentuk PSBK "Sentosa Lestari" yakni pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas yang mempunyai peran menangani isu-isu strategis yang meliputi membuat rencana kerja rehabilitasi hutan bakau, pengelolaan kebersihan lingkungan, pelestarian habitat dengan pengelolaan daerah suaka ikan, pengaturan wilayah penangkapan ikan, dan penyelesaian konflik antar kelompok nelayan. Isu-isu ideal tersebut berlangsung selama masa proyek,

138 namun pasca proyek maka selesai juga kegiatannya sehingga nampaknya berdasarkan pernyataan dari pelaksana PSBK bahwa tingkat keberhasilannya masih jauh dari sempurna. Salah satu bukti yakni seluruh perangkat komunikasi, rambu-rambu laut, dan peralatan lainnya sudah raib sehingga program tersebut hanya tinggal papan nama saja. Namun demikian upaya konservasi dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan diharapkan memberikan dampak sosial dan dampak kepemimpinan ke depan. Dampak sosial tersebut antara lain:

1. Lesson learn dalam pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan yakni proses pembelajaran untuk seluruh stakeholders yang berperan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan.

2. Terjadi proses instutisionaliasi pengelolaan berbasis kurikulum lokal artinya terjadi upaya strategis dari lembaga pendidikan formal dan informal untuk mengintrodusir pengetahuan dasar pengelolaan sumberdaya berkelanjutan dalam kurikulum muatan lokal.

3. Adanya perubahan secara mendasar dalam pola kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang selama ini hanya bersifat ekploitasi dan eksplorasi semata ke arah kebijakan yang berbasis konservasi dan keberlanjutan.

Dampak kepemimpinan dari kegiatan ini adalah: yakni mampu mencetak kader pemimpin, tenaga pendidik dan pemimpin yang sadar pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan. PSBK merupakan rezim derivatif yang berasal dari rezim pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat (PSPBM). Dengan kelebihan dan keunggulan PSBK, pada kenyataannya masih belum berjalan sesuai dengan formula yang ideal. Kelemahannya antara lain: tidak mampu mengatasi masalah-masalah interkomunitas, bersifat lokal mudah dipengaruhi faktor eksternal, dan sulit mencapai skala ekonomi, dan tingginya institusionalisasi. Sedangkan keuntungannya adalah sesuai dengan aspirasi dan budaya lokal, diterima masyarakat lokal, pengawasan dilakukan dengan mudah.

Sejalan dengan era otonomi daerah yang memiliki 3 misi utama yakni desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan yang tertuang dalam

139 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Alasan pentingnya desentraliasasi pengelolaan sumberdaya perikanan antara lain: (a) kekurangan personel, (b) kekurangan dana, (c) kekurangan fasilitas, (d) rendahnya legitimasi pemerintah pusat yang berkaitan langsung dengan masyarakat, (e) kurangnya pemahaman pemerintah pusat terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat, (f) lambatnya proses transfomasi kebijakan yang diambil di tingkat pusat ke dalam bentuk kebijakan aplikatif di tingkat daerah otonom. Pada dasarnya masing-masing rezim pengelolaan memiliki kelebihan dan keunggulan, rezim yang berlaku dan efisien adalah yang spesifik lokasinya dan memiliki batas-batas yang jelas seperti batas fisik, geografis, sosial, budaya, administratif, dan ekonomi. Rezim yang sesuai dengan wilayah dan karakteristik masyarakat Muncar tidak dapat hanya satu jenis rezim PSPBM/PSBK saja, akan tetapi bisa dikombinasi dengan rezim ko-manajemen sehingga menjadi rezim baru sebagai derivasi dari keduanya. Penulis mengamati apabila dikembangkan pola kolaborasi keduanya sebagai upaya penguatan Capacity Building derivasi kombinasi rezim PSPBM dengan ko- manajemen. Rezim ko-manajemen merupakan rezim derivatif PSPBM dan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah. Dalam rezim ko- manajemen ini terjadi pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan. Inti ko-manajemen mengisyaratkan adanya kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat lokal. Dalam era otonomi daerah tentunya hubungan pelaku pembangunan perikanan di Selat Bali, utamanya hubungan antara pemerintah Kabupaten Banyuwangi dapat bersinergi dengan masyarakat nelayan Muncar, disamping itu juga hubungan antara nelayan dengan kelompok-kelompok masyarakat nelayan yang sudah terbentuk. Diharapkan seluruh stakeholders yang bermain dalam pengelolaan sumberdaya perikanan mampu mengoptimasi tujuan bersama, sehingga dapat menentukan visi jangka panjang dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Namun demikian tentunya untuk mencapai rezim kolaborasi berarti apa yang sudah dijalankan selama ini dikembangkan ke arah ko-manajemen yakni penguatan peran pemerintah dan masyarakat lokal

140 sebagai pengambil keputusan utama. Peranan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tergantung pada kemampuan hal negosiasi, pengetahuan, pengalaman, dan legitimasi dari masyarakat yang mendukungnya, serta komitmennya selaku individu untuk mengutamakan kepentingan bersama. Disamping itu juga sangat tergantung dari kehendak pemerintah secara politis (political will) dalam menyelamatkan sumberdaya perikanan bersama-sama dengan masyarakat. Melihat kondisi riil pembangunan perikanan di Selat Bali, maka untuk ke depan, posisi pemerintah yang kuat masih sangat diperlukan tetapi ada kebijakan untuk menyerahkan sebagian urusan pengelolaan sumberdaya perikanan sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat nelayan Muncar. Dalam pelaksanaan rezim ini tentunya harus mampu melibatkan stakeholders lainnya bukan hanya nelayan tetapi juga bagaimana membagi tanggung jawab dan peran pengusaha perikanan, Perguruan Tinggi, LSM. Nikijuluw (2002) memamparkan beberapa model ko- manajemen yang telah dikembangkan di beberapa negara antara lain: ko- manajemen instruktif di Bangladesh (perairan umum) dan Zambia (Danau Kariba), ko-manajemen konsultatif di Malawi (Danau Malombe) dan Philipina (Teluk San-Miquel), ko-manajemen kooperatif di Philipina (Kawasan Lindung Laut, Pulau San-Salvador) dan Amerika Serikat (Dewan Pengelolaan Perikanan Pasifik), ko-manajemen advokatif di Denmark (Regulasi Waktu Penangkapan) dan Sri Langka (Perikanan Pukat Pantai), dan ko-manajemen informatif di Belanda (Organisasi Produsen Ikan Sebelah) dan Muzambik (Perikanan Pukat Pantai).

D. Alternatif Strategi Pembangunan Perikanan Berkelanjutan

Level ke lima yakni penentuan prioritas alternatif strategi pembangunan perikanan berkelanjutan berturut-urut adalah peningkatan kesejahteraan nelayan (pekesnel), pelestarian sumberdaya (pelsum), penegakan hukum (penhuk), menjamin kebutuhan rakyat dan industri (kebrakin), peningkatan kemampuan armada dan alat tangkap (pekearaltang), dan peningkatan PAD (lihat Gambar 5.35). Keseluruhan program pembangunan yang dilakukan

141

pemerintah bersama-sama stakeholders lainnya adalah bagaimana

meningkatkan kesejahteraan nelayan.

0.29 0.32 0.09 0.12 0.13 0.05 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 Bobot Relatif Pelsum Pekesnel Pekearaltang Kebrakin Penhuk PAD St rat egi

Gambar 5.35 Prioritas utama strategi pembangunan perikanan berkelanjutan (level 5)

Pembangunan fisik dari sarana perikanan, industri perikanan, dan lembaga perikanan lainnya, tingkat keberhasilan kesemuanya bermuara pada upaya peningkatan kesejahteraan nelayan. Kalau hanya fisik semata tentu tidak cukup dikatakan bahwa pembangunan perikanan berhasil, tetapi bagaimana perkembangan kesejahteraan masyarakat nelayan ikut bergerak dan meningkat sejalan dengan perkembangan roda perekonomian wilayah. Parameter peningkatan kesejahteraan nelayan antara lain: (1) peningkatan pendapatan keluarga, (2) pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi, (3) peningkatan pendidikan anggota keluarga, dan (4) peningkatan status kesehatan. Berdasarkan kajian-kajian Rapfish, CCRF, MCA, Optimalisasi Bio-ekonomi sumberdaya perikanan di perairan Selat Bali yang telah diuraikan dalam sub- bab sebelumnya bahwa isu utama yakni terjadinya “overfishing”. Sehingga upaya peningkatan kesejahteraan nelayan harus mampu bersinergi dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan yang didesain dalam beberapa bentuk strategi pengelolaannya antara lain:

1. Untuk peningkatan produksi/ekspansi, maka perlu mengembangkan wilayah tangkap (fishing ground) nelayan supaya melakukan penangkapan

142 di wilayah ZEE yang berada di sebelah Selatan paparan Jawa dan Bali. Hal ini mengingat nelayan Muncar dan Pengambengan selama ini hanya

Dokumen terkait