• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Stress Kerja

Stress kerja merupakan keadaan emosional yang timbul karena adanya ketidaksesuaian antara tingkat permintaan dengan kemampuan individu untuk mengatasi stress kerja yang dihadapinya. Hal ini bersifat subjektif dan selalu ada pada setiap individu yang tidak mampu mengatasi tuntutan yang terdapat di lingkungan kerja (Kroemer & Grandjeai, 1997). Stress yang diterima setiap individu berbeda tergantung dengan persepsi setiap individu yang mengalaminya. Stress kerja dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian antara permintaan dan tekanan tetapi dapat juga diartikan sebagai ketidaksesuaian dengan pengetahuan dan kemampuan. Situasi seperti ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan individu untuk menghadapi tekanan pekerjaan tetapi juga pengetahuan dan kemampuan individu yang tidak digunakan dengan baik sehingga memicu timbulnya masalah bagi diri mereka (WHO, 2003).

Menurut OSHA, individu akan merasakan stress ketika terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dengan sumber daya yang dimilikinya. Secara umum, kondisi stress merupakan gangguan yang bersifat psikologis

13 tetapi juga dapat berdampak pada fisiologi individu. Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya stress kerja, antara lain kurangnya kontrol terhadap pekerjaan, ketidaksesuaian permintaan terhadap pekerja, dan kurangnya dukungan dari rekan kerja dan manajemen. Reaksi setiap individu dalam mengatasi stress berbeda-beda. Bagi beberapa individu merupakan sebuah hal yang mungkin untuk mengatasi permintaan pekerjaan yang tinggi tetapi hal ini belum tentu dapat terjadi pada individu lainnya. Sehingga kemampuan untuk menghadapi keadaan stress sangat tergantung pada evaluasi yang bersifat subjektif (OSHA, 2014).

Pekerjaan yang sehat seharusnya mampu menyesuaikan antara tekanan kerja dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki individu, kemampuan mengontrol pekerjaan dan adanya dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Hal ini dikarenakan ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan kemampuan individu dapat menimbulkan terjadinya kondisi stress yang merugikan baik bagi pekerja maupun perusahaan. Di Eropa, stress berada pada urutan kedua sebagai masalah kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan. Pada tahun 2005, dilaporkan bahwa sekitar 22 persen pekerja di Eropa terkena dampak stress akibat kerja dan sejumlah pekerja lainnya mengalami kondisi yang berhubungan dengan stress akibat pekerjaan (WHO, 2003).

Berdasarkan konsep yang dikemukakan Cox, Griffiths dan Rial-Gonzales (2000) bahwa stress kerja memiliki hubungan yang kuat dengan kejadian masalah kesehatan. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara bahaya fisik dan psikososial yang menghasilkan gangguan kesehatan baik pada individu maupun level organisasi. Pada individu, bahaya fisik dan psikososial dapat

14 berdampak pada fisik, mental, dan kesehatan sosial. Sedangkan pada level organisasi dapat berdampak pada tingginya angka absenteisme, menurunnya produktivitas, rendahnya kepuasan kerja dan turnover pekerja. Selain itu, bahaya paparan fisik dan psikososial juga dapat berdampak pada kondisi psikologis individu baik secara langsung maupun tidak langsung (WHO, 2010). Berikut ini adalah mekanisme terjadinya stress kerja menurut Cox, Griffiths dan Rial-Gonzales (2000).

Sumber: Adaptasi dari Cox, Griffiths & Rial-Gonzales (2000) dalam WHO (2010) Bagan 2.1 Lingkungan Kerja Psikososial

Lingkungan Sosial dan Konteks Organisasi Desain dan Manajemen Pekerjaan

Lingkungan Fisik Lingkungan Psikososial

Pengalaman dengan Kondisi Stress

15 2.2.1 Stress Akut

Stress akut merupakan dampak yang timbul akibat adanya sumber stress yang bersifat jangka pendek. Biasanya sumber stress tersebut seringkali terdapat di aktivitas yang dilakukan individu kemudian dengan cepat menghilang. Stress akut bisa berdampak positif jika terjadi dalam pajanan yang rendah dan ditanggapi sebagai suatu hal yang menantang oleh individu yang menerimanya. Akan tetapi, apabila stress akut ini terjadi dalam pajanan yang tinggi maka akan berdampak negatif bagi individu yang merasakannya (Olpin & Hesson, 2010).

Stress akut biasanya tidak terjadi dalam jangka waktu yang panjang sehingga tidak berisiko menimbulkan kerusakan pada tubuh dan pikiran. Stress akut biasanya hanya berupa reaksi singkat tubuh terhadap sumber stress yang datang. Stress akut dapat memicu terjadinya gangguan fisiologis, emosional, dan psikologis. Akan tetapi, gangguan yang terjadi akibat stress akut tersebut masih dapat diatasi apabila dikontrol dengan baik (Hiriyappa, 2013). Berikut ini adalah gangguan kesehatan akibat stress akut:

16 Tabel 2.1 Gejala Stress Akut

Fisiologis Psikologis Perilaku

a. Wajah terasa panas b. Sakit kepala c. Nyeri dada d. Mulut kering e. Napas pendek f. Tekanan darah tinggi g. Nyeri otot h. Sembelit atau diare i. Kelelahan j. Insomnia k. Mudah sakit l. Gangguan pencernaan m. Jantung berdebar cepat n. Rahang kaku o. Berkeringat banyak p. Nafsu makan menurun/bertamb ah q. Tangan gemetar a. Nafsu makan menurun b. Sedih berkepanjangan c. Sulit berkonsentrasi d. Merasa tertekan e. Pesimis f. Merasa selalu gagal g. Selalu merasa ketakutan h. Gelisah ketika tidur i. Merasa kesepian j. Mudah menangis k. Merasa orang-orang tidak ramah l. Tidak dapat menikmati hidup m. Berbicara lebih sedikit n. Merasa tidak disukai orang-orang a. Tidak sabar b. Suka berdebat c. Menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja d. Penggunaan alkohol/obat-obatan e. Merokok f. Mengabaikan tanggung jawab Sumber: NIOSH

Stress akut merupakan reaksi kompleks yang terjadi di antara ketiga perubahan di atas. Perubahan baik secara fisiologis, psikologis, dan perilaku tersebut akan mendapatkan reaksi dari tubuh yang dapat

17 berkembang menjadi munculnya suatu penyakit yang berkaitan dengan stress. Hal ini dapat terjadi apabila stress akut tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama dan individu tidak dapat mengendalikannya (Perlmutter & Villoldo, 2011).

2.2.2 Stress Kronis

Stress kronis merupakan salah satu bentuk stress yang terjadi dalam jangka waktu yang lama dan sulit dikendalikan. Stress kronis ini terjadi karena adanya situasi mengganggu yang sangat sulit untuk diatasi. Sehingga stress kronis ini lama kelamaan akan menimbulkan kerusakan bagi tubuh, pikiran dan kehidupan individu yang merasakannya (Olpin & Hesson, 2010) .

Di negara berkembang, menurut Cox et al (2000), stress yang berhubungan dengan pekerjaan merupakan salah satu tantangan terbesar bagi kesehatan pekerja dan kesehatan organisasi pekerjaan itu sendiri. Hasil survei yang dilakukan oleh European Foundation for the Improvement of Working Conditions pada tahun 2000 menemukan bahwa sekitar 28 % pekerja melaporkan penyakit atau masalah kesehatan yang berhubungan dengan stress terutama stress kronis. Hal ini menunjukkan bahwa stress merupakan permasalahan yang saat ini dihadapi oleh para pekerja di dunia (Flin, O'Connor, & Crichton, 2008).

Stress kronis bersifat seperti racun yang membunuh seseorang secara perlahan. Dampak stress kronis yang dialami seseorang secara perlahan akan merusak kesehatan tubuhnya. Ketika hal ini terjadi maka akan muncul sejumlah penyakit dalam tubuh individu (Hiriyappa, 2013).

18 Menurut NIOSH, beberapa penyakit yang berkaitan dengan stress kronis, antara lain diabetes, hernia, tuberculosis, asma, darah tinggi, penyakit jantung, rematik, epilepsi, glukoma, paralysis, gangguan ginjal, gangguan pernapasan, stroke, anemia, gangguan hati atau pancreas, gangguan kelenjar tiroid, insomnia, gastritis, colitis, ulkus lambung, sakit punggung, dan alergi.

Stress kronis terjadi akibat perkembangan stress akut yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak mudah menemukan hubungan antara stress akut dengan stress kronis. Hal ini dikarenakan sulitnya menentukan penyebab awal munculnya dampak dari stress kronis tersebut dimana stress akut yang menyebabkan terjadinya stress kronis atau kondisi lain yang menyebabkan terjadinya stress kronis tersebut (Praag, Kloet, & Os, 2004).

Dokumen terkait