BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
B. Hasil Analisis Penelitian
4. Subjek IV
a. Deskripsi subjek SW
Subjek SW laki-laki yang berasal dari Jawa berusia 41 tahun. SW berprofesi sebagai seorang Pegawai Negri Sipil. SW mengajar di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan Negri di Yogyakarta. Pendidikan terakhir SW adalah Strata 1. SW berstatus menikah dengan istri yang juga bekerja. Istri SW juga berprofesi sama sebagai seorang guru. Pendidikan terakhir istri SW adalah Strata 1. Subjek berdomisil di daerah Turi, Yogyakarta. SW beragama Islam.
Sebelum bertemu dengan SW, istri belum bekerja. Setelah membangun kehidupan keluarga baru dengan SW, istri bekerja sebagai guru. istri bekerja pada mulanya karena SW berpendapat istrinya sudah mengenyam pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi. Selain itu, alasan bahwa SW dan istri baru memulai kehidupan keluarga maka istri bekerja
“Ketika istri bekerja satu memang awalnya dia sudah lulus artinya dia
sudah mengenyam pendidikan untuk menjadi seorang guru, atahu kemudian ada peluang ketika itu posisi kan mungkin tidak nyaman seorang istri hanya berada di rumah ketika rumah tangga baru. Kemudian okelah gak pa-pa melamar pekerjaan” (SW)
b. Pengalaman tentang istri bekerja Tabel 8 Subjek IV SW
Peran seorang istri Istri berperan mendukung karir suami
Istri berperan dalam kelancaran dan keharmonisan keluarga
Istri itu melayani suami
Istri mengasuh anak dan mengurus urusan rumah tangga
Istri itu mengalah untuk mengurus rumah tangga Istri itu mendampingi suami
Pandangan mengenai peran istri yang bekerja
Istri itu tidak wajib bekerja
Istri bekerja itu karena sudah menempuh pendidikan tinggi
Istri bekerja itu menimbulkan dampak pada kurangnya waktu untuk anak.
Istri bekerja itu urusan rumah tangga terbengkalai Peran istri yang bekerja menambah ekonomi
Istri bekerja itu tidak sesuai dengan keinginan suami Peran istri itu berkurang
Istri bekerja itu bersaing dengan suami Perasaan memiliki istri
bekerja
Merasa tidak setuju apabila pasangan juga bekerja karena suami yang wajib mencari nafkah
Suami dan istri memiliki fungsi dan tanggung Jawab berbeda
Merasa tidak nyaman apabila istri bekerja Keinginan untuk dilayani oleh istri Merasa istri menjadi pesaing
Menginginkan istri fokus kepada keluarga Merasa keluarga menjadi kurang harmonis Menghadapi situasi istri
bekerja
Memberiii batasan kepada pasangan untuk mengurangi jam pekerjaan.
Suami tidak ikut mengurus urusan rumah tangga Suami memimpin istri
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa seorang istri memiliki peran bagi SW. Istri berperan dalam mendukung karir suami. Selain itu, istri
juga berperan dalam kelancaran dan keharmonisan keluarga. Istri juga berperan mengasuh anak dan mengurus urusan rumah tangga.
“peran seorang istri terutama di dalam kesuksesan seorang suami.
Karena ketika dalam satu rumah tangga otomatis kerjasama berdua ini tidak dapat dipisahkan. Menurut saya istri itu sangat berperan di dalam kelancaran dan keharmonisan keluarga, terutama dalam mendukung karir seorang suami” (SW)
“Kemudian paling tidak istri juga membantu mencukupkan aktivitas
yang di rumah. Artinya mengantar anak, menyiapkan sarapan dan lain sebagainya” (SW)
Ketika suami dan istri sama-sama bekerja maka urusan rumah tangga menjadi kurang terurus. Dalam hal ini, bagi SW istri sudah seharusnya mengalah demi mengurus rumah tangga.
“ketika dua-duanya berebut untuk berangkat lebih awal gitukan susah, masih harus, harus ada yang mengalah untuk, dalam hal ini urusannya dengan rumah tangga, istri ini yang lebih mengalah” (SW)
SW juga beranggapan bahwa istri itu berperan sebagai pendamping suami. Istri juga memiliki tugas melayani suami.
“Keinginannya ya semua suami ketika, apa namanya, istri itu punya waktu yang cukup begitu ya, untuk memberiiikan pelayanan kepada suami. Ya diantaranya mungkin urusan-urusan rumah tangga, rumah itu misalnya. Kemudian juga makanan, kemudian juga hal-hal yang lain. Ya mungkin sampai pada kebutuhan apa namanya batin gitu ya” (SW)
“Kalau menurut saya ya kodrat seorang wanita prinsipnya karena dia
bertanggung Jawab sebagai pendamping suami gitu ya” (SW)
Memiliki istri yang bekerja bagi SW memiliki peran tersendiri. Menurut SW istri bekerja itu tidak wajib melainkan kewajiban untuk mencari nafkah adalah suami.
“Kalau suami memang prinsipnya kan memang kepala keluarga jadi
sehingga dia wajib untuk mencari makan otomatis ketika menjadi PNS, harus menjadi PNS yang baik, artinya melakukan tugasnya semaksimal
mungkin. Kemudian seorang istri itu hukumnya tidak wajib untuk menjadi atahu untuk mencari nafkah” (SW)
Istri SW bekerja dikarenakan pada awal pernikahan mereka istri itu sudah menempuh jenjang pendidikan tinggi.
“Ketika istri bekerja satu memang awalnya dia sudah lulus artinya dia
sudah mengenyam pendidikan untuk menjadi seorang guru, atahu kemudian ada peluang ketika itu posisi kan mungkin tidak nyaman seorang istri hanya berada di rumah ketika rumah tangga baru. Kemudian okelah gak pa-pa melamar pekerjaan” (SW)
Ketika istri itu bekerja, dampak dirasakan pada waktu bersama anak yang kurang. Urusan rumah tangga juga menjadi kurang terurus.
“Saya bilang “lha ini dek, ini merupakan, sudah merupakan dampak.
Ternyata anak kita itu ada masalah-masalah ketika pendampingan kita itu
kurang.” Termasuk ketika dia menjadi obyek pelampiasan ketika harus
mengejar target dan sebagainya. Termasuk kemaren itukan sebenernya mau saya masukkan pondokan, dia tidak mau. Alasannya apa, alasannya tidak mau banyak atahu tidak mau kehilangan keluarga begitu. Tidak mau jauh
dari keluarga, nah gitu” (SW)
“Nah di antaranya itu kadang dia sepulang dari kerja misalnya
katakanlah rumah belum terurusi. Sehingga ya kondisi-kondisi seperti itu lah, ya kadang, minta maaf ya, makanan kadang istri belum sempet siapin
makanan” (SW)
SW menyatakan bahwa peran seorang istri yang bekerja adalah membantu perekonomian keluarga. Walaupun begitu hal tersebut tidak sesuai dengan keinginan dari dalam diri SW.
“…seorang istri itu tidak wajib mencari nafkah, namunkan
kenyataannya berbeda..” (SW)
Memiliki istri yang bekerja memberiiikan rasa tersendiri oleh subjek SW. SW merasa bahwa pada awal memiliki istri bekerja ia tidak setuju. Ia berpendapat bahwa walaupun antara laki-laki dan perempuan
saat ini sudah memiliki persamaan hak, tetapi bukan berarti fungsi dan tanggung Jawab antara laki-laki dan perempuan itu sama.
“..kalau dua-duanya itu aktif, itu memang saya tidak sepakat. Sehingga meskipun ada persamaan hak itu ya antara laki-laki dan perempuan itu menurut saya tetep tidak. Persamaan hak oke, tapi fungsi dan tanggung Jawab itu berbeda-beda” (SW)
Pemikiran awal ketika istri bekerja subjek SW adalah menerima kondisi tersebut dengan memberiii pemahaman tentang tanggung Jawab dan fungsi antara suami dan istri. Subjek memberiii batasan-batasan kepada istri yang bekerja agar tidak terjadi masalah.
“..ketika itu posisi kan mungkin tidak nyaman seorang istri hanya
berada di rumah ketika rumah tangga baru. Kemudian okelah gak pa-pa melamar pekerjaan. Nah kemudian setelah mendapat pekerjaan tentu saja dengan batasan-batasan tertentu, tentu saja ini gak bisa dipaksakan. Saya selalu memberiiikan pengertian kepada istri saya yang jelas dari sisi
seorang suami..” (SW)
Seiring dengan berjalannya kondisi istri yang bekerja subjek SW merasa tidak nyaman saat situasi istri bekerja berjalan. Ketidaknyaman yang dirasakan oleh subjek ini dikarenakan kondisi yang tidak sesuai dengan keinginan hati. Subjek lebih menginginkan istri memiliki tanggung Jawab sepenuhnya di rumah. Karena ketika istri bekerja, subjek merasa muncul permasalahan di dalam keluarga.
“Ya tidak nyaman, jadi meskipun istri itu dapat uang ya dapat gaji itu
tetapi merasa tidak nyaman dengan keinginan hati. Karena apa karena bukan itu yang diinginkan, jadi katakanlah penghasilannya cukup yang dari suami saja, kalau toh dibantu oleh istri ya sekedar saja. Tapi jangan sampai urusan keluarga itu menjadi kacau atahu terbengkalai begitu” (SW)
Selama situasi berjalan subjek SW berpandangan bahwa ia tidak akan mengalah dengan istri. Tidak ingin mengalah yang dimaksudkan oleh subjek adalah tugas dan tanggung Jawab untuk mencari penghasilan adalah suami dan bukannya istri. Apabila terjadi permasalahan berkaitan dengan urusan rumah tangga, maka istri yang seharusnya mengalahkan pekerjaannya untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
“..Misalnya ketika kasus kemaren ketika sudah punya anak satu ya.
Anak harus sudah sekolah SD, antar jemput antar jemput gitu. Kemudian hadir anak yang kedua, tambah repot. Akhirnya, nah itu yang jelas harus ada yang di pegang, bahwasanya kalau seorang suami tidak mungkin mengalahkan pekerjaan untuk keluarga, tapi kalau istri mengalahkan pekerjaan demi keluarga malah justru lebih mulia, itu saya pertegaskan”(SW)
Istri yang bekerja dianggap menjadi pesaing suami. SW merasa ada persaingan yang timbul ketika ia dan istri sama-sama harus menyelesaikan tanggung Jawab pekerjaannya. SW beranggapan bahwa posisi istri dan dirinya bukan lah sebagai pesaing. Menurut SW suami itu memiliki posisi memimpin istri.
“Kalau tidak hati-hati malah menjadi semacam pesaing, pesaing dengan
suami. Contohnya ya, pagi-pagi sama-sama ingin berangkat awal kerja sendiri-sendiri, itukan kayak menjadi bersaing, akhirnya anak mungkin harus dititipkan kepada neneknya atahu siapa gitu” (SW)
“sebagai pendamping suami memang kodratinya dipimpin ya mbak ya.
Dipimpin, bukan wanita yang memimpin gitu ya sehingga suami tentu saja lebih, dalam hal ini lebih dalam keluarga itu posisinya lebih berbeda tingkatan beban ya dalam hal ini, terutama punya tanggung Jawab mencari nafkah tadi” (SW)
SW menginginkan bahwa istri berfokus kepada keluarga. Itu dianggap sebagai tugas seorang istri. Hal ini mnyebabkan SW tidak mau
ikut terlihat dalam tugas-tugas rumah tangga. Ia lebih mendahulukan pekerjaannya demi memenuhi tanggung Jawabnya sebagai pemenuh kebutuhan keluarga.
“Kemudian menurut saya memang kalau seorang istri itu katakanlah
ada pilihan, pilihan pertama memang dia harus memilih keluarga. Baik itu mengatur keluarga, mengurus rumah tangga, kemudian juga terutama anak. Tetapi kalau dia punya waktu luang tidak terganggu gitu ya, nah itu boleh kemudian bekerja. Itu pun statusnya membantu suami, tetapi ketika yang dibantu justru tidak menghendaki ya mestinya tidak bekerja, mestinya di rumah” (SW)
Permasalahan yang dirasakan oleh subjek SW adalah kurangnya waktu untuk mengurus urusan rumah tangga, dan kurangnya waktu untuk pengasuhan anak. Perasaan yang muncul ketika menghadapi permasalahan adalah perasaan tidak puas. Subjek SW, merasa tidak puas ketika menghadapi permsalahan dari situasi istri bekerja. Ketidakpuasan ini timbul karena permasalahan yang dialami berkaitan dengan keluarga. Permasalahan yang dialami khususnya berdampak pada kurangnya waktu yang diberikan pada anak.
“..Selama ini saya sebetulnya juga tidak masalah, yang jelas itu tadi pengaturannya yang mungkin belum tepat saja. Itu yang baru saya rasakan karena anak-anak kan juga masih kecil-kecil, sehingga kan juga tahap demi tahap akhirnya merasakan, problem-problem itu baru muncul” (SW)
Dalam menghadapi masalah subjek SW kurang bisa menerima permasalahan yang ia alami. Subjek kurang bisa menerima apabila istri bekerja dan hal tersebut malah menimbulkan masalah di dalam keluarga.
“Secara pribadi memang ya kalau menurut saya ya wanita karir tidaklah salah, misalnya dia juga bagus dalam karirnya. Tetapi yang bermasalah itu ketika tidak sanggup lagi mengurusi keluarga. Anak mungkin
juga perhatiannya kurang, karena tidak hanya cukup diberi uang dan uang”
(SW)
Permasalahan yang dialami oleh subjek SW berkaitan dengan waktu mengurus rumah tangga dan anak yang kurang. Subjek memutuskan untuk memberiiikan batasan waktu kerja kepada istri. Batasan waktu ini dimaksudkan agar istri memiliki waktu yang cukup untuk menyelesaikan urusan rumah tangga dan pengasuhan anak.
“Ya gak pa-pa. tapi ya kadang ada masalah, dalam hal ini apa, misalnya istri gak bisa njemput. Akhirnya kemaren itukan saya minta, udah kalau bisa, nanti sampaikan ke pihak sekolah hal-hal yang tidak mungkin dilakukan, di antaranya jam-jam yang banyak, mungkin sudah komitmen tidak menerima jam-jam yang berlebih” (SW)
SW beranggapan apabila pasangan sumi istri itu berkarir, akan menimbulkan bahaya. Bahaya dari suami istri berkarir yang dikhawatirkan oleh SW adalah kontrol pada anak berkurang dan hal tersebut juga berdampak pada keharmonisan keluarga.
“Kalau menurut saya, bahayanya justru tidak harmonis ya, kemudian tidak harmonisnya itu katakanlah bisa jadi masalah pribadi atahu masalah keluarga ya. Kemudian juga karena istri juga sudah capek, sudah banyak tanggung Jawab dari pekerjaannya dan sebagainya. Kemudian saya melihat terutama ini ke anak, ke anak itu bisa kehilangan kontrol begitu ya. Bisa