• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDUDUKAN NADZIR SEBAGAI PENGELOLA

D. Tanah Wakaf Yang Dikuasai Nadzir di Kecamatan

Pengelolaan tanah wakaf yang dikuasai nadzir juga terjadi di kecamatan Kota Banda Aceh Provinsi Aceh. Kasus tersebut terjadi di Tahun 2005. Pada saat itu Pemerintah Aceh melakukan pelepasan hak atas tanah di sekitar wilayah Lueng Bata untuk pelebaran jalan. Salah satu tanah yang terkena pelebaran jalan adalah tanah wakaf Mesjid Jami’ Lueng Bata.

93Rahmat Djatmika, Wakaf dan Masyarakat Serta Aplikasinya (Aspek-aspek Fundamental).

Pelepasan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti

rugi atas dasar musyawarah.94 Pelepasan hak atas tanah boleh dilakukan apabila

mendapat persetujuan dan kesepakatan dari pihak pemegang hak baik mengenai tehnik pelaksanaannya maupun mengenai besar dan bentuk ganti rugi yang akan diberikan kepada pemilik atau pemegang hak atas tanah tersebut.

Pada saat terjadi pelepasan hak atas tanah wakaf Masjid Jami’ Mukim Lueng Bata, di tahun 2005 tersebut ternyata belum memperoleh persetujuan dari semua nadzir tanah wakaf tersebut. tanah wakaf Masjid Jami’ ini diurus oleh nadzir perseorang. Seperti yang diketahui syarat dari nadzir perseorangan adalah harus merupakan suatu kelompok yang terdiri dari paling sedikit 3 (tiga) orang dan salah seorangnya diangkat menjadi ketua. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf.

Salah satu nadzir Tgk. Sofyan Yatim, yang pada saat itu selaku salah seorang nadzir juga sebagai Imum Syik Mesjid Jami’ Lueng Bata tanpa sepengetahuan nadzir lain, yaitu Tgk. Hasballah Hanafiyah, Tgk. H. Abdullah Ali, Tgk. Harun Kechik Leumiek, Drs. H. Zubir Raden menyetuji dan menerima uang ganti rugi pelepasan hak tanah wakaf tersebut, sebesar Rp. 115.155.000,- (seratus lima belas juta seratus lima puluh lima ribu rupiah). Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 49 Peraturan

94 Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan, Perpres No.

Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf. Yang mana memuat tentang ketentuan mengenai penukaran harta benda wakaf yaitu :

1. Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali

dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan BWI.

2. Izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat

diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan

umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip Syariah;

b. harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf;

atau

c. pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan

mendesak.

3. Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin

pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan jika:

a. harta benda penukar memiliki sertipikat atau bukti kepemilikan sah sesuai

dengan Peraturan Perundang-undangan;dan

b. nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya sama dengan

4. Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur:

a. Pemerintah daerah kabupaten/kota; b. Kantor pertanahan kabupaten/kota;

c. Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota; d. Kantor Departemen Agama kabupaten/kota; dan e. Nadzir tanah wakaf yang bersangkutan.

Tidak melalui persetujuan dan tanpa diketahui nadzir lain menerima sendiri uang ganti rugi pelepasan hak tanah wakaf Masjid Jami’ Mukim Lueng Bata jelas merupakan salah satu bentuk penguasaan tanah wakaf oleh nadzir dalam pengelolaan tanah wakaf.

Pada saat diketahui kasus tersebut, kemudian nadzir-nadzir lain menggugat Tgk. Sofyan Yatim Ke Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh dengan Nomor perkara Perdata No 37/Pdt G/2005/Msy-Bna. Kasus tersebut akhirnya diselesaikan secara damai oleh para penggugat dan tergugat melalui musyawarah dan mufakat.

Dalam musyawarah dan mufakat tersebut telah dihasilkan beberapa kesepakatan sebagai berikut:

1. Bahwa pihak tergugat (Drs. Tgk. Sofyan Yatim, selaku Imum Syik Mesjid

Jami’ Lueng Bata) menyatakan bersedia menyerahkan uang hasil ganti rugi tanah wakaf kepada pihak penggugat (nadzir tanah wakaf Mesjid Jami’ Lueng

Bata) sebesar Rp Rp. 115.155.000,- (seratus lima belas juta seratus lima puluh lima ribu rupiah);

2. Bahwa pihak penggugat menyatakan bersedia mengadakan musyawarah

dengan perangkat nadzir, pengurus Masjid Jami’ Mukim Lueng Bata. Imum Mukim Lueng Bata serta para Geuchik dan imum Menasah Gampong dalam wilayah Mukim Lueng Bata dalam pendaftaran dan penggunaan uang ganti rugi tanah wakaf tersebut;

3. Bahwa dengan terjadinya peradamaian ini, maka pihak penggugat akan

mencabut berkas perkara di Mahkamah Syar’iyah dan kemudian perkara

dianggap selesai.95

Setelah perjanjian tertanggal 14 Agustus 2005 tesebut dibacakan pada kedua belah pihak, maka penggugat dan tergugat menerangkan bahwa mereka menerima dan menyetujui perjanjian tersebut diatas.

Berdasarkan akta perdamaian No. 37/Pdt.G/2005/Mas-BNA kemudian Mahkamah Syari’ah setelah mendengar kedua belah pihak berpekara, dengan memperhatikan dalil-dalil Hukum Syara’ dan ketentuan pasal 154 RB.g dan peraturan yang berlaku sehubungan dengan perkara tersebut diatas , MENGADILI:

1. Menyatakan telah tercapai perdamaian antara penggugat dan tergugat;

2. Menghukum penggugat dan tergugat untuk mentaati isi perdamaian yang telah

disepakati bersama sebagaimana disebut diatas;

3. Menghukum kedua belah pihak untuk membayar biaya perkara masing- masing separuhnya:

Penggugat Rp. 135. 000, - (seratus tiga puluh lima ribu rupiah)

Tergugat Rp. 135. 000, - (seratus tiga puluh lima ribu rupiah). Secara tanggung menanggung;

Demikianlah diputuskan pada hari selasa tanggal 30 Agustus 2005 Masehi, yang diputuskan oleh: Drs. Marzuki Yoesoef, S.H, sebagai ketua majelis, Dra. Hj. Rosmawardani, S.H, Drs. Idris Abdullah, S.H, masing- masing sebagai hakim anggota, putusan tersebut di ucapkan pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis tersebut dihadapan hakim-hakim anggota yang turut bersidang, serta dibantu oleh Muhammad, sebagai panitera pengganti dengan dihadiri kedua belah pihak yang berpekara.

Jika orang yang membangun tanpa ada protes penduduk setempat sebagian jalan untuk masjid karena masjid itu sempit dan ini tidak membahayakan orang-orang yang lewat, hukumnya boleh. Sebab, keduanya untuk umat Islam, demikian juga sebaliknya. Yaitu, menjadikan bagian dari masjid untuk jalan, maka setiap orang boleh lewat disitu bahkan orang kafir, kercuali orang junub, orang haid, dan binatang. Pemimpin boleh menjadikan jalan untuk masjid bukan sebaliknya, karena shalat

boleh dijalan sementara masjid tidak boleh dijadikan jalan.96

Jika wakaf itu berupa perkarangan selain masjid, pendapat yang dipegang adalah hakim boleh menggantinya karena darurat tanpa melihat syarat orang yang wakaf. Pergantian ini dengan enam syarat:

1. Barang yang diwakafkan tidak bisa dimanfaatkan sama sekali. Artinya

menjadi tidak bermanfaat.

2. Tidak ada hasil wakaf yang bisa digunakan untuk memperbaikinya.

3. Penjualan itu tidak dengan penipuan yang keji

4. Hendaklah orang yang mengganti adalah hakim yang shaleh. Yaitu orang

yang mempunyai ilmu dan amal, supaya pengantian itu tidak menyebabkan batalnya wakaf-wakaf orang muslim, sebagaimana yang biasa terjadi pada zaman akhir-akhir ini.

5. Yang diganti adalah perkarangan bukan dirham dan dinar, supaya tidak

dimakan oleh para pengawas. Sebab, sedikit sekali pengawas yang membelinya sebagai ganti. Sebagian ulama yang lain membolehkan penggantian dalam bentuk uang, selama yang mengganti adalah hakin saleh.

6. Hendaklah hakim tidak menjualnya kepada orang yang tidak diterima

kesaksiannya, tiak pula orang yang sedang mempunyai utang, karena dikhawatirkan ada kecurigaan dan pilih kasih.

Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka penjualan wakaf menjadi batal bukan rusak. Jika penjualan penguasa sah, pewakafan barang yang dijual menjadi

batal, sementara sisanya tetap menjadi sedia kala.97

Walaupun dalam kasus diatas, telah terjadi perdamaian antara sesama nadzir tersebut akan tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadi lagi penguasaan tanah wakaf Masjid Jami’ oleh nadzir. mengingat luasnya tanah wakaf Masjid Jami’ tersebut. Untuk itu perlu ada pergantian nadzir setiap lima tahun sekali. Menurut Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Lueng Bata, Drs. H. Nurdin Ali, di kecamtan Lueng Bata sudah tidak dibenarkan lagi adanya pengelolaan tanah seumur hidup oleh nadzir. Hal ini menghindari penyelewengan pengelolaan tanah wakaf. Tanah wakaf Masjid Jami’ itu sendiri saat ini sudah tidak dikelola oleh pengurus lama, sekarang nadzir Masjid Jami’ dikelola oleh Drs. A. Rahman, selaku ketua nadzir. dan tahun ini juga akan ada pergantian nadzir. Menurut Kepala KUA Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh, Drs. H. Nurdin Ali memang tidak tertutup kemungkinan bahwa pengelolaan tanah wakaf ada yang tidak sesuai dengan ikrar wakaf, hal itu dilakukan nadzir untuk meningkatkan produksi pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf itu

sendiri.98 Hal ini jelas tidak sesuai dengan Pasal 42 UU No. 41 Tahun 2004 tentang

wakaf, dimana dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa Nadzir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan dan, fungsi dan peruntukannya. Akan tetapi dalam pasal 43 menyatakan:

97Ibid, hal. 327

98Hasil wawancara dengan Drs. H. Nurdin Ali, Kepala KUA Kecamatan Lueng Bata Kota

1. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh nadzir sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip Syariah.

2. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan secara produktif.

3. Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud

pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin Syariah.

Selanjutnya dalam pasal 44 ditegaskan, bahwa:

1. Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nadzir dilarang

melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia.

2. Izin sebgaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta

benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.

Perubahan peruntukan tanah wakaf saat ini di desa Lueng Bata belum ada yang memperoleh izin dari Badan Wakaf Indonesia, biasanya hal tersebut hanya dibicarakan ditingakat KUA, Nadzir, Kepala Desa dan Baitul Mal.

Bagi masyarakat Aceh yang mayoritas pemeluk agama Islam, wakaf merupakan salah satu ibadah yang mempunyai dimensi sosial di dalam Agama Islam. Praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efesien, menyebabkan beberapa tanah wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, seperti halnya terlantar atau beralih fungsi penggunaan dan

pemanfaatannya. Keadaan demikian itu tidak hanya karena kelalaian atau ketidak mampuan nadzir yakni orang yang mengurus harta benda wakaf, dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, sesuai dengan ketentuan Pasal 4 dan 5 Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Akan tetapi kurang perhatiannya masyarakat terhadap tanah-tanah wakaf menambah terabainya tujuan, fungsi dan peruntukan tanah wakaf. Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya dan wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Namun kebanyakan masyarakat umum tidak perduli dengan keberadaan tanah wakaf, kecuali apabila mulai terendus kasus-kasus, baru masyarakat mulai perhatian.

Dari data yang diperoleh melalui Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Lueng Bata, diketahui terdapat 72 tanah wakaf yang tersebar di 8 Desa. Sebahagian besar tanah wakaf digunakan untuk sarana ibadah dan sebagian besar lain hanya tanah kosong. Selain kasus tersebut diatas, dari hasil pengamatan di lapangan, tahun 2012 ada dua kasus penguasaan tanah wakaf oleh nadzir di Kecamatan Lueng Bata. Salah satu kasus tersebut terdapat di desa Lueng Bata , dimana tanah wakaf yang pada mulanya di ikrarkan oleh wakif untuk sarana ibadah telah berahli fungsi menjadi sarana kegiatan usaha atau perekonomian yang penggunaannya tidak mempunyai izin dari pihak desa yang bertanggung jawab terhadap tanah wakaf. Hal ini disebabkan wakaf tersebut merupakan wakaf lama yang sampai saat ini belum memiliki sertipikat tanah wakafnya.

Kasus lain terdapat di Desa Blang Cut, Kecamatan Lueng Bata. Salah satu nadzir Desa Blang Cut, Tgk Sulaiman Saman, memberikan keterangan bahwasannya ada tanah wakaf yang dibangun rumah sewa, dimana orang yang memanfaatkan tanah wakaf tersebut, tidak lain adalah salah satu dari anak wakif sekaligus nadzir tanah wakaf tersebut. Penggunaan tanah wakaf tersebut awalnya digunakan sebagai kegiatan pengajian keluarga yang digunakan oleh anak dari keluarga si wakif sudah cukup lama, dengan meninggalnya orang tua dari anak si wakif, pasca gempa bumi dan tsunami di Aceh, selanjutnya anak kandung dari orang tua anak si wakif merubah fungsi tanah wakaf tersebut membangun rumah sewa. hal ini jelas tidak sesuai dengan tujuan dari si wakif yang mewakafkan tanah tersebut yakni untuk keperluan keagamaan. Selain itu, hasil dari penyewaan rumah juga tidak pernah ada laporan kepada nadzir lain, biaya sewa hingga kini tidak jelas penggunaannya.

Hal terssebut jelas bertentangan dengan Pasal 40 UU No.41 tahun 2004, dan untuk itu, si pelaku bisa dikenakan ketentuan pidana dan sanksi administrasi, hal ini sesuai dengan pasal 67, yang menyatakan:

1. Setiap orang yang dengan sengaja menjamin, menghibahkan, menjual,

mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.0000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

2. Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000, 00 (empat ratus juta rupiah).

3. Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas

hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan /atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000, 00 (tiga ratus juta rupiah).

Satria Effendi sebagaimana yang dikutip oleh Prof. H. Muchsin mengatakan bahwa berdasarkan informasi hukum yang diterima antara tahun 1991-1998, terdapat variasi sengketa wakaf, yaitu sebagai berikut.

1. Penggugat mendakwa adanya ikrar wakaf dari pemilik sebidang kebun untuk

kepentingan meunasah, sedangkan ahli waris dari pemilik kebun itu tidak mengakui adanya ikrar wakaf dari orang tuanya.

2. Dakwaan adanya penukaran tanah wakaf oleh pihak tertentu.

3. Gugatan pembatalan wakaf karena telah disalahgunakan oleh pihak nadzir

pada hal-hal yang tidak sejalan dengan maksud pihak yang berwakaf.

4. Pihak tergugat tidak secara tegas mengikari adanya ikrar wakaf dari pihak

orang tuanya.

Selain hal-hal diatas, sengketa wakaf dapat juga terjadi disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu sebagai berikut:

1. Kedangkalan pemahaman sebagian umat Islam tentang kedudukan dan arti harta wakaf, baik bagi wakif maupun masyarakat, sementara wakaf mempunyai dimensi, ibadah dan sosial.

2. Harga tanah yang semakin melambung dapat menjadi pemicu timbulnya

masalah wakaf.

3. Sewaktu melakukan ikrar wakaf, pihak wakif tidak memperhitungkan kondisi

ekonomi pihak ahli waris yang ditinggalkan, sehingga seluruh hartanya atau sebahagian besarnya diwakafkan. Akibatnya, terjadi pengingkaran oleh ahli warisnya.

4. Kondisi ekonomi pihak nadzir yang tidak menguntungkan sehingga

mendorong untuk menyalahgunakan harta wakaf.

5. Kondisi nadzir yang tidak memahami bahwa penggunaan harta wakaf harus

sesuai dengan tujuan pihak wakif.

6. Pihak yang berwakaf tidak secara tegas memberitahukan anak atau ahli

warisnya bahwa tanah tertentu telah diwakafkan kepada pihak tertentu.

7. Nadzirnya bukan hukum, melainkan bersifat pribadi, sehingga lebih leluasa

dan sekehendak hati menyalahgunakan benda wakaf tanpa control.99

Di Aceh, terutama Kecamatan Lueng Bata terjadinya penguasaan tanah atau penyalahgunaan tanah wakaf oleh nadzir disebabkan beberapa faktor, yaitu:

1. Tanah wakaf belum terdaftar

99 Surwardi K. Lubis, dkk, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.

Tanah wakaf yang sampai saat ini belum didaftarkan merupakan salah satu masalah yang timbul terjadinya penyalahgunaan fungsi dari tanah wakaf, hal ini disebabkan masih banyak tanah wakaf di kecamatan Lueng Bata yang belum memiliki sertipikat atas tanah wakaf hal ini di sebabkan atas beberapa hal antara lain:

a. Kurangnya pemahaman dari pengurus-pengurus tanah wakaf terhadap pentingnya sertipikat ikrar wakaf.

b. Sebahagian surat-surat bukti hak tentang tanah itu tidak ada lagi.

c. Kurangnya tenaga khusus untuk menekuni pendaftaran tanah di kecamatan. d. Adanya anggapan bahwa tanpa sertipikat pun, kedudukan tanah wakaf

cukup kuat dan kepastian hukumnya terjamin.

2. Tidak ada pelaporan yang jelas

Nadzir tidak aktif melaporkan kegiatan pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf, membuat hasil produksi tanah wakaf, bisa dipergunakan semaunya nadzir. hal ini juga didukung oleh kurangnya pengawasan KUA terhadap nadzir.

3. Ketidakpedulian masyarakat terhadap keberadaan tanah wakaf, terutama tanah

wakaf kosong atau belum dimanfaatkan. Sehingga tanah wakaf tersebut rentan dimanfaatkan atau berubah fungsi menjadi milik perorangan khususnya digunakan oleh keluarga atau anak dari si wakif.

Adanya rehabilitasi dan rekontruksi di Aceh pasca gempa bumi dan tsunami, memberikan sebuah perubahan yang drastis terhadap perkembangan ekonomi. Dengan berkembangnya ekonomi di Aceh khususnya Kota Banda Aceh selaku Ibukota Provinsi Aceh, menyebabkan sulitnya masyarakat mendapatkan tempat melakukan kegiatan usahanya, berbagai cara pun dilakukan untuk mengadakan tempat lokasi berdagang yang ada, dengan semakin kecilnya ruang tersebut, mengakibatkan beberapa orang memanfaatkan atau mengambil tanah yang tidak ditempati digunakan dan mencari kelengahan pengurusan terhadap tanah wakaf tersebut.

Untuk mengatasi terlalu bebasnya nadzir dalam menguasai tanah wakaf secara fisik, maka pengawasan terhadap nadzir harus diperketat, yakni dengan meminta laporan tahunan pelaksanaan tugas nadzir, selain itu perlu adanya pergantian kepengurusan pengelola tanah wakaf atau nadzir selama 5 (lima) tahun sekali.

Menurut iman Syafi”I, wakaf adalah suatu ibadah yang disyariatkan. Wakaf

telah berlaku sah bilamana wakif telah menyatakan dengan perkataan waqaftu (telah

saya wakafkan), sekalipun tanpa diputuskan hakim. Oleh karena itu, harta yang diwakafkan oleh wakif tidak mempunyai hak kepemilikan lagi. Hal ini dikarenakan kepemilikannya telah berpindah kepada Allah SWT dan tidak juga menjadi milik

penerima wakaf (maukuf‘alaih), akan tetapi tetap boleh mengambil manfaatnya.

Menurut ulama Syafi’iyah, wakaf itu mengikat dan kerenanya tidak bisa ditarik kembali atau diperjualbelikan, digadaikan, dan di wariskan oleh wakif. Dalam Pasal 225 Kompilasi Hukum Islam dikatakan bahwa pada dasarnya benda yang telah

diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain daripada yang

dimaksud dalam ikrar wakaf.100

Perubahan terhadap benda yang diwakafkan dapat dilakukan menurut Hukum

Islam dengan jalan Isthisan, yaitu suatu cara menentukan hukum dengan jalan

menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial yang menghendaki. Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya, wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekuang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. Setiap perubahan atau ditukar harta benda wakaf peruntukannya maka nadzir wajib mendaftarkan kembali kepada instansi yang berwenang atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.101 Artinya jangankan untuk menguasai tanah wakaf,

merubah peruntukan wakaf saja perlu dilarang, kalaupun dibolehkan harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.