• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SITUASI POLITIK-BUDAYA DI INDONESIA 1960-1965:

C. Target Lekra

Pemerintah berusaha menghentikan pengaruh budaya populer yang datang dari Koes Bersaudara. Pemerintah menyadari hal tersebut dan menjadikan Lekra sebagai benteng untuk melindungi kebudayaan rakyat serta melarang keras segala bentuk kebudayaan yang mewakili imperialisme, termasuk musik. Keterlibatan Lekra, yang memiliki peran sebagai intelektual, telah melebihi batas, karena intelektual tidak berfungsi sebagai hakim ataupun berhak untuk menghakimi.53

Berdasarkan sentimen-sentimen dan kepentingan-kepentingan politik di atas, pemerintah memberikan reaksi negatif terhadap budaya populer. Upaya Pemerintah melalui Lekra, berakibat fatal bagi musisi-musisi pop karena pemerintah menggunakan hukum dan pernyataan-pernyataan resminya untuk membangun

soal apakah Amerika mereka bersifat khayal karena memang itulah intinya –memiliki “daya

sihir” karena “sifat khayalnya”.”ibid.,hlm 69.

52ibid. 53

Menurut David Swartz, hak dari kaum intelektual adalah untuk menganalisa, bukan menghakimi. David Swartz, 1997, Culture & Power, Amerika Serikat: hlm. 221.

anggapan publik. Bahkan, untuk Koes Bersaudara, pemerintah menggunakan penjara sebagai reaksi mereka atas ketenaran grup musik tersebut. Koes Bersaudara dipenjara tanpa melalui proses hukum.54 Hal ini cukup untuk membuktikan bahwa Soekarno adalah seorang presiden yang memimpin pemerintahan secara diktator.

Lekra sebagai suatu organisasi seni non-pemerintah yang mendukung Soekarno, melalui Lembaga Musik Indonesia (LMI), salah satu anak lembaga Lekra, mengambil sikap tegas terhadap musik yang dianggap ilegal oleh Manipol karena dianggap mewakili semangat imperialis. Menurut LMI55, Koes Bersaudara adalah salah satu yang harus dilarang.56 Lekra kemudian menjadi sebuah lembaga intelektual, yang di dalam beberapa kesempatan mengecam Koes Bersaudara.

54

Steven Farram, 2007, op.cit., hlm. 262.

55

LMI adalah salah satu dari enam lembaga di dalam Lekra. Lembaga ini dibentuk kemudian setelah Lembaga Seni Rupa (Lesrupa), Lembaga Sastra (Lestra), Lembaga Film Indonesia (LFI), dan Senidrama. Selengkapnya lihat, Roma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, 2008, op.cit., hlm. 38.

56

Lebih spesifik lagi, yaitu pernyataan Sudharnoto, salah seorang petinggi Lembaga Musik Indonesia (LMI), pada Konferensi LMI tahun 1964 yang menganggap music

populer Amerika sebagai ‘musuh’, “We must be more vigilant, more tenacious, and more persevering in opposing imperialist culture, especially US imperialist culture, which in reality continues to threaten us in every shape and way. Crazy songs and whiny songs have appeared these days as a result of the vicious attacks of American imperialist culture in the

form of reproducing the ‘dive-rhythm-music’ ala Elvys Presley and ‘sex dream’ songs ala Tommy Sands. They spread this decadent musical bait in step with their attacks on our People in politics, the economy, and in step as well with their press that immorally desires to tarnish the good name/character of our Great Leader of the Revolution, Bung Karno […]

(Kita harus lebih waspada, lebih ngotot, dan lebih tekun dalam melawan budaya imperialis, khususnya budaya imperialis Amerika Serikat, di mana dalam kenyataannya terus-menerus mengancam kita dalam segala bentuk dan cara. Lagu gila-gilaan dan lagu-lagu cengeng sudah muncul saat ini sebagai hasil dari serangan jahat dari budaya imperialis Amerika Serikat dalam bentuk reproduksi kembali musik Elvis dan musik yang mengimpikan seks a la Tommy Sands. Mereka menyebarkan musik dekadensi sebagai langkah serangan mereka terhadap rakyat kita secara politikekonomi, and sebagai langkah yang dilakukan oleh media mereka yang secara tidak bermoral menodai nama baik dari Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno) Jennifer Lindsay, dkk., 2012, op.cit., hlm. 439.

Lekra mengambil tindakan dengan menolak musik ngak-ngik-ngok melalui kampanye yang di dalamnya Koes Bersaudara masuk daftar pengganyangan. Kampanye tersebut dimuat dalam Harian Rakjat 11 Juli 1965, dengan judul ‘Ambil tindakan hukum terhadap penjebar musik kontra-revolusioner’.57

Di dalam Harian Rakjat edisi hari itu, Pimpinan Pusat Lekra menyerukan langkah kulturil, politik, adminstratif untuk mencegah berkembangnya musik ngak- ngik-ngok dan rock’n’roll. Langkah-langkah tersebut pertama; Menjetop pemasukan piringan hitam, pita rekaman serta alat-alat penjebaran musik ngak-ngik-ngok, rokenrol, twist, beatles, dan sebangsanja, produk kebudajaan imperialis AS. Kedua; Melarang memperdjualbelikan, memperbanyak rekaman-rekaman musik-musik dekaden tersebut; Dan mengandjurkan toko-toko pendjual piringan dan pita rekaman untuk sukarela dan secara sadar membantu menjetop bojongan musik-musik dekaden tersebut. Ketiga; Kepada pemimpin-pemimpin dan pemain band-band jang biasanja

57 Jennifer Lindsay dkk., mengungkapkannya sebagai berikut, “

In reaction to what it saw as the increasing dissemination of imperialist songs, the Central Secretariat (Pimpinan Pusat) of LEKRA joined the call for cultural, political, and administrative steps to prevent

the spread of ‘ngak-ngik-ngok’ music, rock ‘n’ roll (including Indonesian rock ‘n’ roll like the group Koes Plus), the twist and the Beatles, along with Indian songs regarded as whiny

romanticism. LEKRA’s central leadership joined in the campaign against the sale, reproduction of recordings, as well as the imitation of types of music considered decadent.

(Dalam reaksi terhadap apa yang dilihat sebagai meningkatnya penyebaran lagu-lagu imperialis, Pimpinan Pusat Lekra ikut mengambi langkah kultural, politik, dan administratif, untuk mencegah menyebarnya musik ngak-ngik ngok, rock’n’roll (termasuk grup musik rock’n’roll Indonesia, Koes Plus), musik twist dan Beatles, bersama dengan lagu-lagu India ditolak karena dianggap sebagai lagu romantis cengeng. Pimpinan Pusat Lekra mendukung kampanye yang melarang penjualan, reproduksi rekaman, dan hal-hal yang meniru musik dekaden.)Perlu ditambahkan bahwa, semasa Lekra, Koes Plus masih bernama Koes Bersaudara. Nama Koes Plus baru digunakan setelah dirilisnya album To The So Called The Guilties pada tahun 1967. Kemudian benar-benar familiar setelah memasuki tahun 1970-an.

memainkan musik sebangsa ngak-ngik-ngok, beatles, dan twist, selekasnja meninggalkan musik-musik demikian dan merobah orientasinja kepada musik jang bersifat nasional dan kerakjatan. Keempat; tinggalkan sikap dan cara-cara menjiplak dari musik-musik imperialis jang dekaden, termasuk menjiplak musik dan lagu-lagu

India jang defaitis dan romantisme cengeng.”58

Kedekatan antara Lekra dengan Pemerintah menjauhkan lembaga tersebut dari kenyataan yang terjadi di masyarakat umum. Ketika kedua pihak tersebut sibuk dengan rencana besar mereka di dunia politik, budaya populer menyebar di masyarakat melalui media massa yang tidak pernah menutup pintunya bagi Amerika Serikat dan Inggris. Inilah yang menjadi titik lemah pemerintah sehingga mereka tidak pernah berhasil membendung arus budaya populer.

58

Harian Rakjat 11 Juli 1965 dalam Roma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, 2008, op. cit., hlm. 421.

Dokumen terkait