• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.11. Tekanan Penduduk dan Persepsi Masyarakat

Manusia dalam lingkungan hidup alami, merupakan unsur lingkungan yang mempunyai kedudukan yang sama dengan makhluk lainnya, baik terhadap unsur biotik maupun abiotik. Semua unsur-unsur lingkungan hidup alami, bersama-sama bertanggungjawab dan berfungsi menopang kehidupan yang ada di bumi. Manusia yang merupakan bagian integral dari ekosistem perlu menjalin hubungan yang selaras, serasi dan seimbang dengan unsur-unsur lingkungan hidup lainnya agar tercapai kesejahteraan dalam hidupnya (Soerjani et al. 1987). Hubungan manusia dengan lingkungannya selalu dilakukan secara timbal balik dalam arti bahwa semakin baik sikap manusia dan perlakuannya terhadap lingkungan, maka semakin meningkat pula lingkungan tersebut dalam mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Zen (1980) menyatakan bahwa agar manusia dapat hidup selaras dan serasi dengan alam, maka manusia harus belajar menghormati alam. Sebenarnya manusia dengan lingkungannya berada dalam satu sistem dan masing- masing unsur saling

tergantung untuk melaksanakan fungsinya. Kedua tidak dapat berdiri sendiri, namun merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.

Demikian pula interaksi antara masyarakat dengan kawasan hutan telah berlangsung cukup lama, karena hutan merupakan sumberdaya yang telah memberikan banyak manfaat untuk menopang kehidupan masyarakat. Hutan dan masyarakat sejak awal peradaban ditandai oleh adanya hubungan saling ketergantungan karena hutan merupakan sumber bahan kehidupan dasar manusia seperti kebutuhan akan air, energi, makanan (karbohidrat, protein, vitamin, mineral), udara bersih dan perlindungan. Sejak dahulu hutan merupakan salah satu sumberdaya tumpuan hidup manusia, dan hutan juga merupakan sumber bahan bangunan dan sekaligus sebagai tempat tinggal, sehingga hutan memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan. Menurut Mubiyarto (1993), masyarakat yang tinggal di sekitar hutan memandang hutan yang ada di sekitarnya selain sebagai sumber kehidupan, juga hutan dapat dimanfaatkan sebagai lahan atau cadangan lahan dalam berladang/berkebun.

Semakin besarnya jumlah manusia, maka akan menyebabkan semakin bertambah pula eksploitasi akan sumberdaya alam khususnya terhadap sumberdaya hutan sehingga persediaan sumberdaya lahan hutan semakin berkurang. Menurut Seymour dan Fisher (1987), aspek kelangkaan luas lahan hutan sebagai akibat tekanan penduduk terhadap sumberdaya hutan baik secara ekonomi, sosial, dan ekologi, nampaknya masih terkait erat dengan tingginya permintaan akan sumberdaya lahan di pedesaan. Kondisi tersebut, selain menyebabkan berkurangnya sejumlah hasil hutan yang merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat, juga akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada hutan sebagai akibat pembukaan hutan oleh masyarakat.

Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang memiliki tingkat ketergantungan terhadap hasil hutan, berkurangnya hasil hutan dan kerusakan hutan dapat menimbulkan perubahan yang mendasar dalam kehidupannya, seperti perubahan dalam kehidupan sosial ekonominya. Menurut Hadi (1994), perubahan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang kurang baik akan menyebabkan kemiskinan sehingga akan menyebabkan berbagai masalah terhadap hutan, yaitu di antaranya menyempitnya luas kawasan

hutan sebagai akibat penyerobotan areal hutan untuk keperluan pertanian atau perladangan, dan hutan menjadi rusak atau gundul karena terjadinya perambahan hutan dan penebangan liar guna keperluan untuk mendapatkan kayu bakar atau hasil hutan lainnya guna dijual untuk menambah penghasilan.

Lebih lanjut Hadi (1994) menjelaskan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan hutan yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan, kerusakan hutan akan memberikan dampak dalam kehidupan sosial ekonomi mereka seperti perubahan mata pencaharian, pendapatan, dan pola hidupnya. Adapun dampak langsung maupun tidak langsung yang ditimbulkannya adalah hilangnya sumber kehidupan atau mata pencaharian penduduk di sekitar hutan; terjadinya perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat terutama dalam sikap dan pola kehidupan; lapangan pekerjaan akan semakin sempit; produksi dan pendapatan industri perkayuan menurun; dan terganggunya fungsi hidrologis hutan. Menurut Soekmadi (1987), ada beberapa faktor yang menyebabkan terganggunya interaksi antara masyarakat dengan kawasan hutan, yaitu tingkat pendapatan masyarakat di sekitar hutan yang rendah; tingkat pendidikan masyarakat yang rendah; dan laju pertambahan penduduk yang tinggi.

Yuadji (1981) menyatakan bahwa faktor jumlah penduduk dan sosial ekonomi masyarakat berpengaruh langsung terhadap kemampuan daya dukung suatu kawasan. Demikian pula dinamika sistem sosial ekonomi dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh kondisi ekosistem atau lingkungan tempat masyarakat tersebut berinteraksi serta masukan dari sistem lain di luar sistem sosial-ekonomi dan budayanya. Keterkaitan atau interaksi antara masyarakat dengan kawasan hutan telah berlangsung lama, maka dalam pertimbangan kemanfaatan sumberdaya hutan, baik untuk kepentingan pelestarian maupun untuk kebutuhan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di sekitar hutan, karakterisasi sistem sosial serta tipe-tipe ekonomi yang mendasari dan yang timbul dari aktivitas interaksinya sangat diperlukan sebagai pertimbangan mendasar dalam kebijakan pengelolaan (Tatuh 1988).

Dengan adanya pertumbuhan penduduk, luas lahan pertanian makin lama makin kecil sehingga akhirnya tidak cukup lagi untuk keperluan hidupnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya para petani dan anggota keluarganya

mencari pendapatan tambahan dengan berburuh, berdagang dan lain usaha. Cara lain lagi ialah dengan memperluas lahan garapannya, seiring dengan merambah lahan kehutanan atau lahan negara. Alternatif lain ialah bermigrasi ke kota. Gaya yang mendorong penduduk desa untuk memperluas lahan garapannya atau untuk bermigrasi guna mencari sumber pendapatan baru merupakan kriteria dari tekanan penduduk (Soemarwoto 1992).

Meningkatnya jumlah penduduk menjadi tantangan bagi kelestarian Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) karena bertambahnya penduduk akan mengakibatkan bertambahnya lahan yang akan digarap guna mencukupi kebutuhan pangan serta meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemukiman. Semuanya itu membawa dampak pada lingkungan di sekitar TNKS (Barlian 2000). Dalam upaya pelestarian lingkungan TNKS diperlukan peranserta masyarakat. Murray (1967) dalam Barlian 2000) menyatakan peranserta masyarakat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan penghasilan. Menurut Harun (1995), peranserta masyarakat dipengaruhi banyak faktor, antara lain: pengembangan organisasi sosial, pendidikan dan tingkat pengetahuan, serta tingkat kesadaran masyarakat terhadap lingkungan.

Peran serta mengandung arti ”keikutsertaan” (Westra 1980). Khairuddin (1992) mengartikan peran serta sebagai “ambil bagian dalam suatu tahap atau suatu proses”. Davis (1989) dalam Barlian (2000), menyatakan bahwa peranserta adalah keterlibatan mental, fisik, dan emosional orang dalam mencapai tujuan. Dengan demikian perenserta adalah keterlibatan fisik, pikiran dan perasaan dari masyarakat untuk memberikan kontribusinya dalam hal perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan pelestarian lingkungan.

Dokumen terkait