• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

3.5. Teknik Analisis Data

3.5.1. Teknik Analisis Data untuk Tujuan (1): Kelayakan Finansial dan Ekonomi Jagung Transgenik dan Asumsi-asumsi yang Dipakai

Analisis usahatani (analisis input-output) untuk menghitung penerimaan, laba usahatani, dan kelayakan finansial dilakukan dengan pembandingan antara with dan without adopsi teknologi benih transgenik. Kelayakan finansial didefinisikan sebagai kemampuan menghasilkan laba atau hasil untuk pengelolaan usahatani minimum sebesar 20 persen dari biaya total (Simatupang, 2002). Laba finansial usahatani dihitung sebagai selisih antara penerimaan dan biaya total dengan rumus sebagai berikut:

RMF = TR – TC (1) TR = P.Q (2) TC = CT + CN (3) CT = Σ Ri. Xi (4) CN = Σ Wj. Zj (5) R/C = TR/TC (6) QB = TC/P (7) dimana:

RMF = laba atau penerimaan manajemen finansial (Rp/ha) TR = penerimaan usahatani (Rp/ha)

TC = biaya total (Rp/ha)

P = harga jagung yang diterima petani (Rp/kg) Q = produktifitas jagung (kg/ha)

CT = biaya input tradeable (Rp/ha) CN = biaya input non-tradeable (Rp/ha) Ri = harga input tradeable (Rp/unit) Xi = kuantitas input tradeable (unit/ha) Wj = biaya input non-tradeable (Rp/ha) Zj = kuantitas input non-tradeable (unit/ha) R/C = rasio penerimaan terhadap biaya QB = titik impas produktivitas (kg/ha)

Usahatani jagung dikatakan layak secara finansial apabila tingkat labanya setidak-tidaknya 20 persen, yakni rasio penerimaan terhadap biaya R/C = 1,20 atau nilainya setara dengan tingkat upah harian. Waktu yang dicurahkan petani jagung selama satu musim dianggap 90 hari sehingga penerimaan finansial harian minimum sama dengan RMF/90 (Simatupang, 2002).

Analisis yang sama dilakukan antara with dan without adopsi benih jagung transgenik mempertimbangkan kinerja dan nilai yang diberikan oleh produk benih melalui analisis simulasi variabel (Hareau, 2002) yakni: (1). penggunaan variabel input per hektar (biaya produksi); (2). harga benih transgenik vs. harga benih konvensional, dan (3). tingkat produktivitas. Analisis dilakukan untuk setiap variabel ini dengan kemungkinan perubahan biaya, produktifitas dan harga premium benih transgenik. Simulasi peningkatan produktifitas atau penurunan biaya dalam usahatani didasarkan pada asumsi-asumsi yang diuraikan berikut ini.

Secara garis budidaya jagung transgenik sama dengan budidaya jagung hibrida mulai dari pengolahan lahan hingga panen dan pascapanen. Namun dalam simulasi ex-ante ini, asumsi-asumsi tentang penggunaan input benih dan harganya serta harga panen tertera pada Tabel 14. Untuk harga benih dibuat simulasi dalam dua tingkat harga yakni tidak berubah dan peningkatan 50% dari harga rata-rata benih hibrida.

Tabel 14. Asumsi penggunaan agro-input pada usahatani jagung hibrida dan jagung transgenik di wilayah penelitian

Keterangan Jawa Timur Lampung

1 Harga benih hibrida (Rp/kg) 36.608 31.805

2 Harga benih transgenik (Rp/kg) - Skenario tidak berubah

- Premium 50%

36.608 54.912

31.805 47.708 3 Harga output panen (Rp/kg) untuk hibrida

sama dengan transgenik 1834,8 1756,6

4 Jumlah benih (kg/ha) untuk hibrida sama

dengan transgenik 23,0 18,8

Disamping angka-angka pada Tabel 14, perubahan-perubahan yang diperkirakan akan terjadi adalah dalam hal penggunaan herbisida meningkat pada adopsi benih RR, penggunaan insektisida menurun pada adopsi benih Bt,

penggunaan tenaga kerja penyiangan yang berkurang pada benih RR dan RR+Bt. Karena angka-angka dari tiap-tiap perubahan yang diperkirakan tidak tersedia pada survei 125 responden petani dalam penelitian ini, maka angka-angka yang dimasukkan dalam simulasi merujuk pada hasil percobaan dan data yang diperoleh dari Filipina negara terdekat yang sudah mengadopsi jagung transgenik sejak tahun 2002. Subandi et al. (2003) pernah melakukan ujicoba petak kecil untuk jenis jagung transgenik RR di Indonesia. Pada Tabel 15 disajikan keragaan benih jagung transgenik berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan. Keragaan dan sifat tersebut akan memberikan manfaat yang dapat dikuantifikasi dalam bentuk rupiah. Walaupun terdapat juga manfaat lain yang tidak dapat dirupiahkan (non-tangible) seperti fleksibilitas dalam penyiangan, mudah dilakukan, dan tidak merusak tanaman, dalam penelitian ini hanya variabel yang dapat dirupiahkan yang dipakai dalam simulasi.

Tabel 15. Keragaan benih jagung transgenik berdasarkan percobaan yang pernah dilakukan di Indonesia dan data yang diperoleh dari Filipina.

Keragaan jenis benih transgenik vs. non-transgenik Sumber Hasil (produktifitas) pada tingkat komersialisasi

 jagung Bt di Filipina lebih tinggi 21% dibanding non-Bt Efisiensi biaya pada tahap komersialisasi

 jagung Bt di Filipina lebih tinggi 14-23% dibanding non-Bt, berupa pengurangan penggunaan insektisida

Gonzales (2005)

Hasil (produktifitas) pada tahap ujicoba di Indonesia - jagung RR lebih tinggi 10-16% dibanding non-RR Efisiensi biaya pda tahap komersialsisasi

- jagung RR lebih hemat Rp 938,000 – 1,160,000 per ha dibanding non-RR berupa pengurangan tenaga kerja dalam penyiapan lahan dan penyiangan

Subandi, et al. (2003)

Hasil (produktifitas) pada tingkat komersialisasi di Filipina  jagung RR+Bt lebih tinggi 16% dibanding non-RR+Bt Efisiensi biaya pada tahap komersialisasi

 jagung RR+Bt lebih tinggi 14-23% dibanding non-RR+Bt, berupa pengurangan penggunaan input insektisida

Samson (2008)

Gonzales (2005)

Asumsi untuk manfaat dengan penggunaan benih jagung Bt

Berdasarkan Tabel 15 untuk simulasi manfaat adopsi benih Bt, kenaikan produktifitas 5% dan penghematan biaya 14% dianggap realistis digunakan dalam simulasi. Peningkatan produktiftas akibat teknologi benih Bt akan nyata bilamana serangan hama penggerek batang dan penggerek tongkol cukup besar. Perbedaan hasil antara Bt dan non-Bt bisa tidak signifikan kalau serangannya sangat kecil. Tingkat serangan hama penggerek sangat tergantung pada dinamika populasi hama yang dipengaruhi banyak faktor seperti musim, lokasi, pola tanam dan cara pengendalian hama yang dilakukan selama ini.

Asumsi untuk manfaat dengan penggunaan benih jagung RR

Sedangkan untuk benih jagung RR peningkatan produktiftas diambil angka 13%. Penghematan biaya penyiangan dengan benih transgenik RR adalah sekitar nominal Rp 500.000/ha, yakni sekitar 50% dari efisiensi biaya yang potensial diberikan oleh teknologi berdasarkan hasil percobaan. Selebihnya adalah penghematan pada kegiatan penyiapan lahan sebelum tanam yaitu dengan penerapan tanpa olah tanah.

Dalam hal penggunaan tenaga kerja dan input produksi relatif berbeda diantara kedua varietas jagung tersebut. Perbedaannya terletak pada karakteristik jagung transgenik yang tahan herbisida (jagung transgenik RR), sedangkan jagung hibrida biasa tidak tahan herbisida. Memang saat ini banyak petani yang melakukan penyiangan gulma tidak lagi dilakukan secara manual, melainkan dengan menggunakan herbisida sistemik atau kontak secara hati-hati walaupun petani mengetahui bahwa jagung hibrida yang mereka tanam saat ini belum tahan herbisida. Simulasi penghematan tenaga kerja dengan jagung transgenik RR digunakan oleh petani terjadi pada kegiatan penyiangan tanaman jagung dari kompetisi gulma seperti tampak pada ilustrasi Gambar 13. Penghematan tenaga kerja yang sangat besar terjadi pada kegiatan penyiangan yakni dapat mencapai penghematan 30-40 HOK dalam satu musim tanam. Akan tetapi ada peningkatan penggunaan herbisida karena penyiangan dilakukan secara kimiawi menggunakan herbisida. Setidaknya ada penambahan sebanyak 3 liter/ha.

Gambar 13. Ilustrasi cara penyiangan gulma (cara manual dan kimiawi).

Asumsi untuk manfaat dengan penggunaan benih jagung RR+Bt

Untuk benih jagung RR+Bt peningkatan produktiftas diambil angka 16% karena merupakan kombinasi dua transgenik Bt dan RR digabung dalam satu produk benih. Penghematan biaya 14% untuk pengendalian hama dianggap realistis. Penghematan biaya penyiangan dianggap sama dengan benih transgenik RR adalah sekitar nominal Rp 500.000/ha.

Potensi nilai manfaat suatu prospek atau kandidat pilihan produk teknologi yang tersedia selain dilakukan dengan pendekatan with dan without adopsi pada tingkat usahatani, juga dilakukan analisis manfaat secara makro. Kajian potensi manfaat ekonomi dari pengembangan komoditas jagung transgenik dilakukan dengan asumsi laju adopsi sigmoid secara konservatif dan agresif (Gambar 14). Pengaruh terhadap produksi nasional dilihat dalam kurun 10 tahun ke depan. Disamping itu dihitung potensial substistusi impor dan penghematan devisa negara. Kemudian secara kualitatif dan kuantitatif juga dihitung kemungkinan potensi kerugian bilamana tidak terjadi adopsi.

Laju adopsi dari introduksi teknologi pada asumsi 2 tingkat adopsi maksimum dimana adopsi maksimum 85% dari pertanaman jagung hibrida akan tercapai bilamana: lisensi terbuka varietas dari pemilik register varietas ke pihak-

pihak lain, sistem distribusi terbuka, pasar komoditas berkembang horisontal & vertikal. Sedangkan adopsi maksimum 36% dari luas pertanaman jagung hirbida bilamana: tidak ada lisensi varietas, sistem distribusi relatif tertutup, pasar komoditas berkembang konvensional.

Dalam perhitungan produksi jagung dilakukan asumsi dan faktor-faktor dasar dalam penghitungan skenario produksi. Adopsi varietas jagung transgenik dimulai tahun 2009. Areal pertanaman jagung setelah tahun 2008 dianggap flat pada 3,8 juta hektar karena kecil kemungkinan untuk perluasan areal. Pertumbuhan hibridisasi bertambah 5% per tahun sesudah tahun 2006 dan seterusnya mengingat harga komoditas yang menjanjikan. Asumsi adopsi varietas transgenik dilakukan oleh petani hibrida, sangat kecil kemungkinan areal non- hibrida melompat ke adopsi transgenik dimana petani cenderung mengadopsi varietas dengan hasil yang terbaik.

Tahun ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Asumsi maksimum

adopsi 85% areal hibrida 2% 15% 30% 55% 70% 80% 85% 85% 85% 85% Asumsi maksimum

adopsi 35% areal hibrida 2% 7% 18% 30% 34% 35% 35% 35% 35% 35%

Gambar 14. Kurva sigmoid persentase adopsi dari luas pertanaman jagung hibrida (agresif- max 85%) dan konservatif (max 35%)

0% 20% 40% 60% 80% 100% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 %adopsi dari luas hibrida

Tahun setelah adopsi

3.5.2. Teknik Analisis Data untuk Tujuan (2): Kebersediaan Petani Membayar Benih Jagung Transgenik

Teknik CVM digunakan karena secara langsung menanyakan petani seberapa besar keinginan untuk membayar (WTP) guna memperoleh benih jagung transgenik. Keragaan benih transgenik dan manfaatnya dijelaskan kepada petani secara verbal dan visual menggunakan gambar bantu.

Setelah tabulasi hasil jawaban responden yang mengindikasikan WTP benih transgenik, tahap selanjutnya adalah menghitung nilai tengah rataan dan/atau median serta nilai tengah kisaran WTP yang ditanyakan dalam payment card. Kurva lelang diperoleh dengan terlebih dahulu memplotkan nilai tengah kisaran WTP terhadap frekuensi atau proporsi petani yang memilih kisaran harga tersebut. Langkah berikutnya adalah menemukan hubungan regresi WTP sebagai variabel bebas dan frekuensi/jumlah responden sebagai variabel dependen, dalam hal ini jumlah peminat akan benih transgenik merupakan fungsi dari tingkat harga dengan rumus: D = ƒ ( WTP ) dimana D adalah minat atau indikasi permintaan terhadap benih transgenik dan WTP adalah tingkat harga premium di atas harga rata-rata benih jagung hibrida yang saat ini dibayar oleh petani jagung. Tahap terakhir dalam CVM adalah analisis sensitivitas dengan melakukan pembahasan fungsi/kurva nilai WTP rataan dipengaruhi variasi faktor tingkat pendidikan, indeks pertanaman, dan luas total pertanaman jagung.

3.5.3. Teknik Analisis Data untuk Tujuan (3): Indeks Keberlanjutan Usahatani

Analisis keberlanjutan usahatani yang dianalisis dalam penelitian ini dibatasi ruang lingkupnya pada indikator-indikator pragmatis dan operasional pada level usahatani yang kiranya merupakan bagian integral dari upaya mata pencaharian rumah tangga petani. Fokus pada indikator yang praktis dan operasional akan memudahkan diambilnya tindakan-tindakan perbaikan pada tingkat usahatani oleh petani itu sendiri. Merujuk pada Miranda (2001), kajian keberlanjutan menekankan pemecahan masalah pada tingkat lokal. Jika petani mempraktekkan cara-cara berkelanjutan pada tingkat usahatani maka secara holistik akan dicapai agregat keberlanjutan pertanian yang diharapkan. Untuk

melihat pengaruh atau dampak dari kemungkinan adopsi benih transgenik terhadap keberlanjutan usahatani, terlebih dahulu perlu diketahui keadaan atau kinerja usahatani jagung saat ini. Indikator operasional yang diukur digunakan untuk menilai apakah introduksi transgenik mampu memperbaiki atau setidak- tidaknya mempertahankan indeks keberlanjutan, mengingat bahwa adopsi teknologi berpotensi dapat mengurangi penggunaan input pestisida, meningkatkan pendapatan usahatani dan menghemat alokasi tenaga kerja untuk kegiatan usahatani, namun di sisi lain faktor risiko teknologi dan harga premium yang harus dibayar juga mempengaruhi penerimaan petani akan teknologi baru ini.

Dalam penelitian ini, kriteria ekologis menggunakan indikator proxy dimana berdasarkan aplikasi jumlah dan jenis penggunaan pupuk dan pestisida akan memberikan dampak lingkungan yang buruk jika digunakan berlebihan, misalnya dalam berupa pencemaran air tanah, residu pestisida, dan pengaruh buruk bagi kesehatan petani. Demikian juga usahatani yang dilakukan pada lahan miring berpotensi besar menimbulkan erosi tanah. Selengkapnya indikator yang dapat diukur dalam penelitian disajikan pada Gambar 15. Metode yang digunakan dalam menganalisis bobot indikator dan kriteria dalam penentuan agregat indeks keberlanjutan adalah MAVT.

Gambar 15. Hirarki kriteria dan indikator-indikatornya yang digunakan dalam metode MAVT untuk penentuan indeks keberlanjutan usahatani

Agregat Indeks Keberlanjutan Usahatani

Dimensi Ekologisterdiri dari indikator: Pupuk, Kesuburan relatif , Kemiringan lahan, Kompos, Herbisida, dan Insektisida

Dimensi Ekonomiterdiri dari indikator: Produktifitas, Biaya total, Rasio B/C dan Keuntungan

Dimensi Sosialterdiri dari indikator: Luas panen, Kontribusi jagung, Pendidikan, dan Afiliasi kelompok

Dengan teknik MAVT, langkah-langkah yang dilakukan dalam pemberian nilai skor, pembobotan dan agregasi mengacu pada teknik yang dikemukakan dalam Marimin (2004), Azapagic dan Perdan (2005), dan Zhen dan Routray (2005):

(1) Pembandingan intra-kriteria dan pemberian nilai skor. Nilai skor alternatif an atau vk(an) mencerminkan kinerja terhadap indikator Ik yang disajikan dalam matriks seperti tertera pada Tabel 16.

Tabel 16. Matriks skor alternatif terhadap kriteria/indikator.

Alternatif (a)

Kriteria/ indikator ke-k (Ik)

I1 I2 ... Ik

Benih hibrida a1 v1(a1) v2(a1) ... vk(a1)

Benih RR a2 v1(a2) v2(a2) ... vk(a2)

Benih Bt a3 v1(a3) v2(a3) ... vk(a3)

Nilai skor disajikan dalam skala preferensi secara relatif terhadap skala 100. Kinerja alternatif diberikan skor relatif terhadap masing-masing kriteria yang ada dengan teknik CPI (composite performance index). Identifikasi kriteria tren positif (semakin tinggi nilainya semakin baik) dan tren negatif (semakin rendah nilainya semakin baik). Indikator tren positif antara lain adalah jumlah kompos, kesuburan relatif tanah, produktifitas, rasio penerimaan/biaya (R/C), keuntungan usahatani, luas lahan, kontribusi usahatani jagung terhadap pendapatan keluarga, tingkat pendidikan dan afiliasi kelompok. Indikator tren negatif: jumlah herbisida, jumlah insektisida, dosis pupuk, kemiringan lahan, biaya total dan harga benih. Nilai minimum ditransformasi ke 100, sedangkan nilai lainnya ditransformasi secara proporsional lebih rendah. Untuk herbisida dan insektisida, petani yang sama sekali tidak menggunakan pestisida diberikan indeks 100. Indikator jumlah pupuk dibuat sebagai indikatortren negatif dengan median dosis 661 kg/ha merupakan nilai 100. Apabila lebih besar dari median maka secara proporsional ditransformasi menjadi <100. Apabila lebih kecil dari median maka secara proporsional

adalah seperti pada Tabel 17. Pemberian nilai skor untuk berbagai indikator ini diharapkan memberi nilai relatif indikator pada tingkat usahatani, kabupaten/propinsi dan antar masukan jenis benih.

Tabel 17. Rumus pemberian nilai skor indikator-indikator

Kriteria Sifat indikator Rumus

SOSIAL

1. Tingkat pendi- dikan, Luas lahan 2. Afiliasi kelompok 3. Kontribusi jagung

1. Tren(+) dengan rerata diberi indeks 100 2. Kategorial sederhana 3. Tren(+) aditif 1. x/mean(x) . 100% 2. Ya = 100, Tidak = 50 3. x + 20%. EKONOMI 1. Produktifitas, Keuntungan, R/C 2. Biaya 1. Tren (+) 2. Tren (-) EKOLOGI 1. Pupuk 2. Kesuburan 3. Kemiringan 4. Kompos 5. Herbisida, insektisida

1. Tren (-) ideal dosis = indeks 100

2. Tren(+) rerata diberi indeks 100

3. Kategorial sederhana 4. Tren (+) dengan rerata

diberi indeks 100 5. Tren(-) dengan dosis 0

= indeks 100 1. Median(x)/x . 100% 2. x/mean(x) . 100% 3. Datar = 100, Miring = 50 4. x/mean(x) . 100% 5. Mean(x)/(x+(mean(x)). 100

(2) Pembandingan antar-kriteria dan pemberian bobot. Pembandingan antar- kriteria menetapkan tingkat kepentingan (relative importance) dari kriteria/indikator yang berbeda. Pembobotan dimensi ekologis, ekonomi dan sosial dibuat sama. Dalam jangka panjang prioritas untuk kriteria sosial, ekonomi dan ekologi menempati posisi yang sama (Zhen dan Routray, 2003), sehingga dalam penentuan indeks keberlanjutan dalam penelitian ini masing-masing kriteria memiliki bobot sebesar 0,333. Untuk indikator-indikator di bawah masing-masing kriteria tersebut juga diberikan pembobotan yang sama.

(3) Agregasi nilai skor dan bobot untuk penentuan indeks dan pembandingan nilai indeks antar alternatif. Agregasi total nilai dihitung dengan rumus:

K k k n n

w

v

a

a

V

1

(

k

)

)

(

dimana V(an) = nilai skor total alternatif an

(vk an) = nilai skor performance an pada kriteria Ik

wk = bobot / tingkat kepentingan kriteria Ik

3.5.4. Teknik Analisis Data untuk Tujuan (4): Faktor-faktor Penentu Adopsi Benih Transgenik

Dengan menggunakan teknik AHP, bagian penelitian ini menghitung bobot faktor dan melakukan pemeringkatan terhadap bobot faktor penentu pilihan komoditi. Struktur analisis yang dimasukkan ke dalam perangkat lunak adalah seperti pada Gambar 10-11 yang dikemukakan sebelumnya. Pembandingan secara berpasangan dilakukan secara verbal atau numerik (Marimin, 2004) sesuai tingkat kepentingan (importance), preferensi, atau kemungkinan (likelihood) antara kriteria,aspek, indikator dan alternatif yang ada. Perangkat lunak yang digunakan adalah SuperDecision versi 1.6.0 yang di-download dari website: http://www.SuperDecision.com/. Pembandingan secara berpasangan dilakukan secara numerik sesuai dengan Tabel 18 menurut tingkat kepentigan, preferensi, atau likelihood dari kriteria, aspek, indikator, dan alternatif.

Tabel 18. Deskripsi pembandingan keterangan dengan scoring Nilai

Skor Keterangan

1 Kriteria sama pentingnya (EQUAL)

3 Kriteria yang satu agak penting dibanding yang lainnya (MODERATE) 5 Kriteria yang satu lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding lainnya

(STRONG)

7 Kriteria yang satu sangat penting dibanding yang lainnya (VERY STRONG) 9 Kriteria yang satu ekstrim pentingnya dibanding yang lainnya (EXTREME) 2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua penilaian diatas

Dari jawaban 6 responden dihitung rata-rata geometrik. Kemudian angka rata-rata tersebut dimasukkan ke dalam perangkat lunak SuperDecision untuk mendapatkan nilai skor/prioritas dan indeks inkonsistensi pada setiap matriks. Untuk struktur hirarki pengembangan terdapat 17 matriks, sedangkan untuk

struktur sukses adopsi terdapat 12 matriks. Nilai indeks yang diharapkan yakni di bawah 0,1. Jika hasil analisis dalam SuperDecision menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0,1 maka perlu revisi berdasarkan inconsistency report untuk memperbaiki nilai indeks seperti yang diinginkan yakni lebih kecil dari 0,1. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa dalam menyesuaikan nilai matriks dengan catatan tidak memaksakan perubahan angka terlalu jauh bedanya dengan nilai semula. Dengan kata lain tidak mengubah terlalu jauh terhadap kecenderungan prioritas/preferensi yang semula diperoleh.

Data matriks dan hasil penilaian prioritas serta nilai indeks inkonsistensi disajikan pada Lampiran 4 dan 5. Angka-angka prioritas masing-masing kriteria, sub-kriteria dan alternatif secara langsung dan tidak langsung menunjukkan posisi derajat kepentingan atau kelayakannya dibandingkan dengan variabel/faktor yang berada dalam satu level. Dengan menampilkan angka-angka prioritas pada masing-masing variabel dapat terpetakan baik kriteria/sub-kriteria/alternatif yang selayaknya mendapat perhatian untuk pengembangan lebih lanjut.

Dalam rangkaian analisis pengembangan dan sukses adopsi hanya satu matriks yang memiliki nilai indeks inkonsistensi di atas 0,1 yakni ditemukan pada analisis kriteria sosial (nilai inkonsistensi 0,1552). Dengan demikian dilakukan revisi matriks kriteria sosial, secara khusus revisi hubungan antara sub-kriteria sebaran manfaat vs. persepsi risiko kesehatan dari nilai 1.886 menjadi 1.2651 (tetap lebih favorable untuk sebaran manfaat). Dalam hal ini perubahan angka masih berada di antara dua nilai pembandingan berpasangan 1 (equal) – 3 (moderate). Dengan revisi ini indeks inkonsistensi berubah menjadi 0,0685.

3.5.5. Teknik Analisis Data untuk Tujuan (5): Kajian terhadap Regulasi Produk Rekayasa Genetika

Pendekatan rasionalis (the rationalist mode) yang dimodifikasi dari Weimer dan Vining (1998) dipakai untuk analisis masalah dan solusi kebijakan bagi adopsi benih transgenik seperti bagan Gambar 16. Metode ini dipadukan dengan gap analysis dan analisis kebutuhan sehingga diperoleh alternatif solusi kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan dalam pengembangan dan aplikasi/adopsi benih transgenik.

Gambar 16. Analisis masalah kebijakan dan sistem peraturan (dimodifikasi dari Weimer dan Vining, 1998).

Kajian terhadap status kebijakan dan regulasi bioteknologi pertanian di Indonesia (kondisi existing), serta kerangka dan kapasitas kelembagaan yang mendukung operasionalisasi dan implementasi suatu regulasi dilakukan dengan meilihat kesenjangan yang mungkin terdapat antara kondisi existing dengan kerangka kebijakan/regulasi yang diinginkan. Secara khusus dikaji proses pengembangan dan pelepasan suatu produk benih biotek sebelum dapat diadopsi oleh petani melalui tahapan-tahapan: pengujian keamanan lingkungan, pengujian keamanan pangan/pakan), pengujian multilokasi varietas dan perlindungan varietas. Untuk memudahkan analisis, tiap-tiap topik ini dibahas menurut payung sistem perundang-undangannya.

Analisis kebutuhan (need assessment) adalah cara sistematis untuk mengkaji kondisi saat ini dan kondisi yang seharusnya (Rouda dan Kusy Jr., 1995). Langkah-langkah dalam analisis kebutuhan adalah:

(1) Menyusun gap analysis dengan mengidentifikasi kondisi aktual saat ini dan kondisi yang diinginkan. Hasil dari tahap ini berupa daftar kebutuhan dari stakeholders dan peluang-peluang intervensi.

•Identifikasi dan kategorisasi subyek/topik sistim undang-undang (UU) dan kelembagaannya (wewenang/mandat)

•Pengumpulan data, teori, fakta yang relevan (terkait dengan teknologi rekayasa genetika)

Pengumpulan Informasi

•Kajian gejala atau sifat masalah terkait 'kegagalan' kelembagaan dan stakeholders terkait

•Analisis variabel kebijakan, penetapan tujuan dibuatnya UU/ peraturan dan kendala yang dihadapi

Analisis Masalah

•Penetapan kriteria/baku hirarki sistem UU/peraturan dan mandat implementasi masing-masing sistem (owner dari subyek/pokok UU dimaksud)

(2) Menentukan prioritas dan tingkat kepentingan yang paling menentukan serta dinilai kelayakannya berdasarkan cost effectiveness, peluang pelaksanaannya dari segi aspek hukum, penerimaan dan keterlibatan stakeholders, dan pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan keseluruhan.

(3) Mengidentifikasi sumber permasalahan berdasarkan prioritas yang telah disusun dan ditelaah peluang intervensi.

(4) Mengidentifikasi peluang penyelesaiannya: berdasarkan hasil kajian terhadap sumber permasalahan secara detil maka peluang penyelesaian dapat disusun.

Selain langkah formal tersebut di atas, dalam penelitian ini juga diidentifikasi lembaga/departemen yang memegang wewenang/mandat dari tiap- tiap payung UU yang dikaji. Untuk melengkapi analisis kebutuhan ini, terutama sebagai referensi bagi kondisi yang diinginkan, suatu benchmark analysis dilakukan dengan perbandingan terhadap regulasi di negara lain dengan mengambil contoh negara berkembang.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penilaian Kelayakan Ekonomi Adopsi Benih Jagung Transgenik

4.1.1. Karakteristik Petani Jagung Hibrida

Karakteristik petani jagung hibrida di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 19. Dari sisi umur, baik petani di Jawa Timur maupun Lampung tergolong usia produktif. Sebagian besar responden petani di Jawa Timur, tingkat pendidikannya SLTP dan SLTA bahkan sekitar 11% adalah lulusan perguruan tinggi. Sementara di Lampung, sebagian besar responden petani berpendidikan SD. Indeks pertanaman (IP) jagung yang umum dilakukan petani adalah 1 – 2 kali dalam setahun dengan rata-rata di Jawa Timur dan Lampung masing-masing 1,63 dan 1,51. Di Jawa Timur dan Lampung, berturut-turut 51% dan 63% petani melakukan IP 2 kali/tahun.

Dokumen terkait