• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNOLOGI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGA

Peningkatan jumlah penduduk berdampak pada semakin meningkatnya permintaan akan kebutuhan manusia terutama pangan. Semakin intensif dan ekstensifnya penggunaan lahan pertanian membuat banyak lahan pertanian terdegradasi, sehingga timbul kesan bahwa pertanian itu eksploitatif terhadap lahan dan mengabaikan pelestarian lingkungan.

Hasil penelitian Abbas (1997), Mulyana (1998), dan Cahyono (2001) menunjukkan bahwa pembukaan areal padi mulai mengarah ke lereng-lereng DAS hulu dan lahan marjinal. Begitu pula dengan tanaman palawija, hortikultura, tembakau, dan tanaman bernilai ekonomis tinggi lainnya. Misal, kentang di Dieng Wonosobo, Tembakau di Temanggung yang sangat menguntungkan secara ekonomi (Kurnia, 2000), meskipun menyebabkan erosi (Donie, 2002). Akibatnya, terjadi penggundulan hutan, penebangan pohon, dan pemanfaatan lahan secara intensif.

Untuk memaksimalkan keuntungan dan pendapatan, maka upaya konservasi diminimalkan oleh pengusaha dan petani. Menurut Arifin (1996) dan Cahyono (2002), petani mau mengadopsi suatu teknologi konservasi hanya jika terdapat manfaat ekonomis dari kegiatan tersebut. Petani dengan pendapatan rendah, mungkin sadar bahwa teknologi konservasi akan bermanfaat dan mengurangi erosi, tetapi mereka tidak mampu untuk menerapkan teknologi konservasi tersebut. Sebaliknya bagi petani di lereng bukit yang cenderung erosi akan enggan untuk mengadopsi teknologi konservasi jika penghasilan dari usaha taninya tidak terpengaruh oleh erosi yang terjadi. Oleh karena itu, kebijakan konservasi tanah perlu diintegrasikan dengan kebijakan pangan dan pertanian secara keseluruhan.

Pertanian sering dianggap eksploitatif akibat dari pelaksanaan konservasi tanah yang belum merupakan bagian dari pengelolaan lahan maupun pengelolaan tanaman. Untuk itu, maka sistem pertanian harus merupakan bagian dari pengelolaan lahan dalam satuan DAS. Pertanian merupakan suatu sistem yang menggunakan input produksi (lahan, tenaga kerja, modal, dan manajemen) melalui sebuah proses alam dan menghasilkan produk pertanian. Hal ini identik dengan pengelolaan DAS yang dapat dianggap pula sebagai sebuah sistem produksi.

Pengelolaan DAS dapat dilihat sebagai sebuah sistem perencanaan produksi yang menggunakan pengelolaan input dengan input alam untuk menghasilkan output berupa barang dan jasa, dengan konsekuensi efek pada sistem alam di on-site dan off site (Gambar 1). Dari sisi ekonomi, sistem pengelolaan DAS adalah suatu cara proses produksi dengan mengeluarkan biaya untuk input dan pengelolaan serta mendapat manfaat ekonomi dari output yang dihasilkan. Gambar 1 juga menunjukkan prinsip dasar analisis manfaat biaya.

Pengelolaan DAS dapat menghasilkan dampak positif berupa produksi pertanian, hasil hutan, peternakan, rekreasi, air dan sebagainya. Selain itu pengelolaan DAS dapat pula menghasilkan efek negatif berupa erosi, sedimentasi, kehilangan unsur hara, longsor, dan sebagainya. Penurunan pada dampak negatif pengelolaan DAS akan meningkatkan output. Apabila dampak positif yang dapat diperoleh dari pengelolaan DAS lebih besar dibandingkan dengan dampak negatifnya, maka pengelolaan DAS tersebut memberikan manfaat bersih yang positif. Jadi,

tujuan pengelolaan DAS adalah untuk memaksimumkan manfaat sosial ekonomi bersih pada kegiatan penggunaan lahan di dalam DAS.

Gambar 1. Sistem Pengelolaan DAS secara umum

Manfaat bersih dari pengelolaan DAS akan berkelanjutan apabila disertai dengan kegiatan konservasi tanah. Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Konservasi tanah bukan berarti penundaan atau pelarangan penggunaan tanah, tetapi menyesuaikan jenis penggunaannya dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai

dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tanah berfungsi secara lestari. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, sehingga usaha untuk mengkonservasi tanah juga merupakan konservasi air.

Selain penerapan teknologi dalam pengelolaan SDA dan implementasi praktek konservasi, pengelolaan DAS juga mencakup kelembagaan para pihak yang terkait dalam pengelolaan SDA. Kelembagaan tidak hanya menyangkut organisasi tetapi juga aturan main antar-organisasi, kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam organisasi dan jejaring kerja antar-organisasi. Persoalan kelembagaan inilah yang sekarang menjadi lebih dominan daripada penerapan teknologi, mengingat adanya perubahan tatanan politik. Tumpang tindihnya kewenangan dan tidak adanya jejaring kerja yang baik membuat pengelolaan SDA tidak efisien bahkan cenderung bersifat eksploitatif.

Pengelolaan DAS yang baik membutuhkan adanya jejaring kerja yang baik antar institusi pengelola SDA di DAS dalam suatu kerangka kerja yang disepakati bersama. Konsensus akan kerangka kerja tersebut perlu dibangun dari seluruh pihak yang terkait. Namun pengalaman juga menunjukkan bahwa konsensus sulit diharapkan untuk dapat terjadi secara alamiah, tetapi di banyak kasus dibutuhkan suatu tekanan dari salah satu pihak yang dominan. Yang penting dalam hal ini adalah, apabila konsensus kerangka kerja telah disepakati, semua pihak perlu meng- implementasikan secara konsisten sesuai tugas dan fungsi masing-masing.

PENUTUP

Teknologi pengelolaan DAS sering disederhanakan dengan praktek konservasi tanah dan air. Pengertian ini perlu dikembalikan lagi pada pendekatan pengelolaan DAS sebagai upaya pengelolaan SDA dalam suatu ekosistem. Teknologi pengelolaan DAS ke depan sudah seharusnya menjadi bagian kebutuhan masyarakat yang berada dalam suatu DAS.

Pengembangan teknologi pertanian harus merupakan bagian dari pengelolaan DAS yang memadukan produksi dan konservasi. Untuk itu konservasi lahan harus menjadi suatu kebutuhan (need) bagi petani dalam berusaha tani dalam bingkai DAS. Dengan penerapan teknologi dalam konteks pengelolaan SDA di DAS akan diperoleh penyelenggaraan pengelolaan DAS yang baik. Untuk itu diperlukan kontribusi dari banyak pihak dalam suatu kerangka kerja pengelolaan DAS yang disepakati. Keberhasilan pengelolaan DAS tidak semata-mata dipengaruhi oleh teknologi, tetapi juga oleh partisipasi masyarakat, kelembagaan, kebijakan, dan akses masyarakat dalam mengelola SDA yang ada dalam DAS.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, S. 1997. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Sekretariat Badan Pengendali Bimas. Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.

Arifin, B. 1996. Kontroversi Program Konservasi Lahan. Jurnal Sosio Ekonomika 2 (3): 9-18. Arsjad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Press. Bogor.

Cahyono, S.A. 2001. Analisis Penawaran dan Permintaan Beras di Propinsi Lampung dan Kaitannya dengan Pasar Beras Domestik dan Internasional. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Cahyono, S.A. 2002. Konservasi tanah dalam konteks kebijakan. Info DAS 13: 14-26. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.

Ditjen RRL (Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan). 1999. Luas Lahan Kritis di Indonesia dan Statistik dalam Angka. Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Donie, S. 2002. Prilaku bertani masyarakat Dieng, kelestarian daerah aliran sungai dan solusinya. hlm. 121-132 dalam Prosiding Ekspose Hasil Penelitan dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Wonosobo, 9 September 2002.

Forest Watch Indonesia. 2001. Potret Kehutanan Indonesia. Forest Watch Indonesia, Bogor. Goldammer, J.G., W. Schindelle, B. Seibert, A.A. Hoffmann, and H. Abberger. 1999. Impacts of fire on dipterocarp forest ecosystems in South East Asia. pp. 15-39. In Proceeding 3rd International Symposium on Asia Tropical ForestManagement, Impact of Fire and Human Activities in the Tropic. Samarinda, 20-23 September 1999.

Kananto, W. Hatmoko, dan Widayati. 1998. Konsumsi dan produksi air Pulau Jawa. hlm. 82-123 dalam Prosiding Seminar Sehari Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan Pembangunan. Perum Perhutani-Yayasan IMTEK. Jakarta, 23 September 1998.

Kurnia, U. 2000. Penerapan Teknik Konervasi Tanah pada Lahan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi. hlm. 47-58 dalam Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan DAS. Bogor, 2-3 September 1999. Alternatif Teknologi Konservasi Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas: Suatu Analisis Simulasi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Priyono, C.N.S dan S. A. Cahyono. 2003. Status dan strategi pengembangan pengelolaan DAS di masa depan di Indonesia. Alami 8(1):1-5.

Priyono, C.N.S, Mastur dan S. Donie. 2000. DAS merupakan unit pengelolaan sumber daya alam yang lestari dan berkeadilan. hlm. 66-79 dalam Prosiding Ekspose Hasil Penelitian BTP DAS Surakarta, Pengelolaan DAS dalam Kaitannya dengan Otonomi Daerah. Surakarta, 21 November 2000.

Soenarno. 2000. Daerah Banjir di Indonesia Bertambah. Harian Kompas tanggal 24 Oktober 2000. Jakarta. 19 hlm.

The World Bank. 1990. Indonesia: Sustainable Development of Forest, Land and Water. A World Bank Country Report. Washington.

Sumber:

Dokumen terkait