• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4. Telaah Kualitas Kimia Sungai Ciliwung

Hasil pengukuran kualitas kimia dari sungai Ciliwung meliputi: pH air, Oksigen terlarut, COD, amonium, nitrat, ortofosfat, kesadahan, C dan N di seston, merkuri di air, sedimen dan terakumulasi dalam tubuh larva Trichoptera lebih rinci dijelaskan dalam sub bab 4.4.1 hingga 4.4.9.

4.4.1 pH air

Potential of Hydrogen (pH) merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen (H+) yang menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan suatu zat. Nilai pH dalam air berpengaruh penting pada normalnya fungsi fisiologi dalam organisme akuatik terutama dalam mengatur pertukaran ion dengan air dan respirasi (Robertson-Bryan 2004).

52

Hasil pengukuran pH air secara langsung di lapangan menunjukkan nilai pH setelah Stasiun 2 (6,8) cenderung menurun secara signifikan (H = 24,86, p = 0,0001) pada stasiun 4 (6,09). Nilai pH terlihat meningkat kembali hingga stasiun 6 (6,95) (Gambar 17).

Gambar 17. Hasil pengukuran pH air di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

Nilai pH di air antara 6,5-9 secara umum masih mendukung bagi kehidupan sebagaian besar hewan akuatik maupun hidup secara normal dalam jangka waktu yang relatif panjang (Robertson-Bryan 2004). Kehidupan makrozoobentos umumnya mampu hidup secara normal ketika nilai pH berkisar antara 6-7 (BPLHD 2006). Larva Trichoptera Hydropsyche betteni dan

Brachycentrus americanus masih mampu bertahan hidup dengan rendahnya nilai pH (Mackay & Wiggins 1979). Pada kondisi yang ekstrim, larva Trichoptera masih dapat mentoleransi hingga nilai pH 2,4. Nilai pH yang ekstrim basa (11,5-12) beberapa larva Trichoptera masih mampu bertahan hidup, namun emergence

hewan tersebut cenderung menurun (Robertson-Bryan 2004).

4.4.2 DO dan COD

Hasil pengukuran DO (konsentrasi oksigen terlarut) di Sungai Ciliwung dari mulai Stasiun 1 hingga 6 cenderung menurun secara signifikan (H = 37,48, p = 0,0000). Penurunan secara signifikan terjadi terutama di stasiun 5 hingga 6. Namun sebaliknya untuk parameter COD (oksigen yang tersedia untuk oksidasi semua bahan organik secara kimiawi menjadi karbon dioksida dan air) meningkat

secara sigifikan (H = 43,72, p = 0,000) khususnya di stasiun 3 hingga 6 (5,1-36,22 mg/l) (Gambar 18).

Gambar 18. Konsentrasi DO dan COD di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

Meningkatnya COD dan menurunnya DO di perairan terjadi karena adanya peningkatan beban organik di perairan yang menyebabkan berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut akibat proses respirasi mikroba aerob dalam merombak bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana. Oksigen terlarut dapat meningkat ketika ada kontak secara langsung antara udara bebas dengan air hasil dari turbulensi yang terhalang oleh batuan di dasar sungai. Oleh sebab itu pengkuran nilai DO sangat berfluktuasi tergantung dari adanya turbulensi maupun suhu air di lingkungannya. Secara umum kondisi DO lebih dari 4 mg/l masih memenuhi syarat untuk kehidupan biota akuatik untuk hidup secara layak. Konsentrasi DO kurang dari nilai tersebut dapat dikategorikan mengalami tercemar berat oleh bahan organik (BPLHD 2006). Shakla & Srivastava (1992)

54

memberikan batas minimum DO pada kehidupan larva Trichoptera yaitu sebesar 5-6 mg/l.

Berdasarkan PP 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air nilai parameter COD di Stasiun Katulampa (27,91 mg/l) dan Cibinong (36,22 mg/l) berpotensi menimbulkan gangguan bagi sebagian besar biota akuatik. Oleh sebab itu di dua stasiun tersebut sudah masuk dalam kelas mutu air golongan III (pertanian dan perkebunan).

4.4.3 Amonium (NH4+)

Konsentrasi amonium di Sungai Ciliwung selama penelitian disajikan dalam Gambar 19. Pada stasiun 4 hingga 6 (0,92 mg/l) menunjukkan peningkatan konsentrasi amonium yang signifikan (H = 42.12, p = 0,000). Amonium dapat menunjukkan pengaruh toksik secara akut pada organisme makrozoobentos air tawar ketika konsentrasinya > 0,53 mg/l (US-EPA 1986). Didasarkan pada guideline US-EPA 1986, maka di stasiun 5 dan 6 konsentrasi amoniumnya relatif tinggi hingga > 0,53 mg/l berpotensi menimbulkan gangguan bagi kehidupan organisme makrozoobentos di Sungai Ciliwung.

Gambar 19. Konsentrasi amonium di air pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

Amonia (NH3) yang terlarut dalam air umumnya ada dalam dua bentuk kesetimbangan molekul yaitu amonia dan ion amonium (NH4+). Umumnya ion amonium dilepaskan dari bahan organik yang mengandung protein dan urea, atau

produk sintesis dalam proses industri. Ion tersebut merupakan bentuk toksik dari amonia (NH3). Hooda et al. (2000) menunjukkan adanya korelasi negatif antara konsentrasi amonium di perairan dengan nilai indeks biological monitoring working party (BMWP).

4.4.4 Nitrogen Nitrat (N-NO3)

Ion nitrat terbentuk karena oksidasi secara sempurna dari ion amonium oleh mikroba dalam air. Air yang teroksigenasi secara alami, ion nitrit dapat secara cepat teroksidasi menjadi nitrat. Hasil analisis nitrogen-nitrat dari Sungai Ciliwung terlihat cenderung meningkat secara signifikan (H = 41,59, p = 0,000) di stasiun 4 hingga 6 (8,57 mg/l) (Gambar 20).

Gambar 20. Konsentrasi nitrogen-nitrat di air pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi

Nilai Lethal Concentration (LC50) dari nitrogen-nitrat diketahui pada ikan

salmon chinook sebesar 1310 mg/l dengan waktu pemaparan 96 jam, sedangkan pada ikan Salmo gairdneri sebesar 1360 mg/l (US-EPA 1986). Pada larva chironomid Chironomus dilutus mempunyai nilai LC50 48 jam dari nitrogen-nitrat sebesar 278 mg/l dan LC50 96 jam dari nympha Plecoptera Amphinemura delosa

sebesar 456 mg/l (US-EPA 2010). Ditinjau dari data toksisitas tersebut diatas, maka konsentrasi nitrogen-nitrat di Sungai Ciliwung masih mendukung kehidupan biota akuatik secara normal. Difusi sumber nitrogen (amonium, nitrit, nitrat) ke perairan umumnya berasal dari pupuk, limbah peternakan, pelindihan sampah atau

56

dari asap kendaraan bermotor, dan mineralisasi bahan organik dari tanah (US-EPA 1986).

4.4.5 Ortofosfat (O-PO4)

Fosfor sebagai fosfat merupakan salah satu nutrien utama yang dibutuhkan oleh tanaman, alga, dan makhluk hidup lainnya guna mendukung kehidupan. Masuknya fosfor sebagai fosfat ke perairan umumnya dihasilkan dari aktivitas antropogenik antara lain: ekskresi dari manusia, penggunaan deterjen, limbah industri dan peternakan, maupun aktivitas urban lainnya. Secara alami fosfor dihasilkan dari proses pelapukan batuan, maupun hasil perombakan serasah (US-EPA 1986). Kelebihan fosfor dapat mempengaruhi komunitas makrozoobentos melalui eutrofikasi. Ion amonium dan fosfor bersama-sama dapat mengakibatkan efek merugikan pada populasi makrozoobentos dan keanekaragamannya melalui pengkayaan nutrien (Hooda et al. 2000).

Hasil analisis fosfor sebagai fosfat (Gambar 21) menunjukkan peningkatan yang signifikan (H = 36,56, p = 0,000) mulai stasiun 4 hingga 6 (0,47 mg/l). Nilai LC50 dari ortofosfat pada ikan Lepomis macrochirus sebesar 0,105 mg/l selama 48 jam (US-EPA 1986). Didasarkan pada guideline US-EPA tahun 1986 menunjukkan konsentrasi ortofosfat di stasiun 4 (0,33 mg/l) hingga 6 (0,47 mg) berpotensi menimbulkan gangguan bagi kehidupan biota akuatik.

Gambar 21. Konsentrasi ortofosfat di air pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

4.4.6 Kesadahan.

Kesadahan air disebabkan adanya keberadaan ion metalik polivalen terutama kalsium dan magnesium yang terlarut dalam air. Di ekosistem air tawar kesadahan biasanya tersusun oleh unsur kalsium dan magnesium meskipun logam lainnya ada yaitu: besi, stronsium, dan mangan. Kesadahan umumnya dinyatakan/ setara dengan kalsium karbonat (CaCO3).

Hasil analisis kesadahan air menunjukkan dari Stasiun 1 (17,84 mg/l CaCO3) hingga 6 (30,7 mg/l CaCO3) cenderung meningkat namun tidak terlihat signifikan (H = 8,69, p = 0,12) (Gambar 22). Kategori kesadahan air dari Stasiun 1 hingga Cibinong termasuk dalam kesadahan lunak (soft). Rendahnya kesadahan ini mungkin erat kaitannya dengan rendahnya kandungan kapur atau mineral lainnya seperti magnesium yang menyusun batuan dasar sungai. Tingkat kesadahan yang rendah berpotensi untuk meningkatkan toksisitas dari beberapa logam berat ke biota akuatik. Kesadahan yang tinggi dalam air dapat membentuk logam hidroksida maupun karbonat yang dapat menurunkan toksisitas ion logam/ Me2+ (US-EPA 1986). Kesadahan dalam air mungkin erat kaitannya dengan masuknya buangan limbah industri, area pertanian, maupun rumah tangga ke Sungai Ciliwung.

Gambar 22. Hasil analisiskesadahan(mg/l setara CaCO3) di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

58

4.4.7 C dan N di Seston

Seston merupakan organisme hidup yang kecil (misalnya alga) dan partikel (materi tak hidup) yang mengapung di air dan berkontribusi terhadap turbiditas. Keberadaan seston ini penting artinya dalam ekosistem akuatik karena dapat berfungsi sebagai sumber makanan bagi biota perairan khususnya yang bertipe filtering collector misalnya larva hydropsychid (Hoffsten 1999).

Hasil analisis konsentrasi C dan N di seston dari stasiun 1 hingga 6 menunjukkan peningkatan yang signifikan (H = 44,23, p = 0,000) terjadi mulai dari stasiun 3 (C = 0,31; N = 0,05 mg/l) (Gambar 23). Kondisi ini sangat menguntungkan bagi larva Trichoptera khususnya yang bertipe filtering collector

seperti Cheumatopsyche sp. yang memanfaatkan seston sebagai makanannya sehingga mampu mendominasi perairan terutama di bagian hilir. Konsentrasi C dan N di seston yang semakin meningkat ke arah hilir biasanya erat kaitannya dengan masukan bahan bahan organik allochtonous ke perairan misalnya dari limbah rumah tangga, pertanian, peternakan di sekitar Sungai Ciliwung.

Gambar 23. Konsentrasi C dan N di seston di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

Kandungan gizi dari seston biasanya dilihat dari unsur C dan N-nya. Unsur C umumnya berfungsi sebagai sumber energi bagi makhluk hidup, sedangkan unsur N dalam seston biasanya mengindikasikan kandungan protein dan semakin mudahnya seston tersebut untuk dicerna. Hoffsten (1999)

menyebutkan distribusi longitudinal dari larva Trichoptera Hydropsyche siltalai

dan H. pellucidula di hulu Sungai Galvan berkorelasi kuat dengan kualitas seston dibandingkan dengan kuantitasnya.

4.4.8 Bahan Organik Total (TOM) dan Status Pencemaran Sungai Ciliwung Kandungan bahan organik suatu perairan secara alami berasal dari sumber

autochtonous (misalnya: plankton, alga, mikroba, dan sebagainya) maupun

allochtonous (misalnya serasah) yang masuk ke perairan (US-EPA 1986). Adanya aktifitas antropogenik di sekitar sungai dapat meningkatkan kandungan bahan organik beberapa kali lipat di perairan. Hasil analisis TOM di Sungai Ciliwung menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan (H = 39,47, p = 0,000) terutama di stasiun 4 hingga 6 (11,77 mg/l) (Gambar 24).

Status pencemaran organik yang terjadi di Sungai Ciliwung dengan menggunakan indeks kimia dapat diketahui bahwa stasiun 1 dan 2 memiliki nilai indeks berkisar dari 90,02-91,75 dalam kategori belum mengalami pencemaran. Stasiun 3 dan 4 mimiliki nilai 89,25-74,29 dengan status perairan dalam kondisi tercemar ringan, dan stasiun 5 dan 6 dengan nilai sebesar 68,75-58,39 dalam kondisi tercemar sedang (Gambar 24).

Aktivitas antropogenik yang terjadi di Sungai Ciliwung dapat berpengaruh langsung pada menurunnya kualitas air sungai yang salah satunya disebabkan oleh bahan organik. Pengkayaan bahan organik di perairan dapat diindikasikan dengan meningkatnya beberapa variabel penting antara lain: TOM, COD, amonium, nitrat, ortofosfat, dan sebagainya. Hasil perhitungan dengan menggunakan indeks kimia dapat diketahui status mutu air Sungai Ciliwung akibat pencemaran organik dalam kategori belum tercemar (G. Mas) hingga tercemar sedang (Katulampa-Cibinong). Adanya pencemaran organik di Stasiun Katulampa hingga Cibinong disebabkan oleh tingginya masukan bahan organik yang berasal dari limbah rumah tangga, perkotaan, industri misalnya hasil samping ekstraksi tepung tapioka, peternakan, pelindihan sampah di bagian pinggir sungai, run-off dari area persawahan, maupun perkebunan. Diperkirakan beban pencemar BOD dan COD yang masuk ke sungai Ciliwung dalam sehari mencapai 290.230 kg/hari dan 60.842 kg/hari. Dengan kondisi demikian, maka status pencemaran sungai

60

tersebut oleh polusi bahan organik semakin berat dan potensi untuk terjadinya pemulihan kembali kualitas air akan menjadi semakin kecil (KLH 2011).

Gambar 24. Konsentrasi TOM di air dan indeks kimia pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

Status pencemaran yang terjadi di Sungai Ciliwung lebih bervariasi dari belum tercemar hingga tercemar sedang (Gambar 24). Kondisi ini berbeda dari hasil pemantauan yang telah dilakukan sebelumnya oleh KLH yang menetapkan sumber air di Gunung Putri (hulu) sebagai situs rujukan Sungai Ciliwung yang sudah masuk kategori tercemar berat. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan lokasi pengambilan sampel dan metode yang digunakan dalam menilai status mutu air. Pada penelitian ini, lokasi yang berfungsi sebagai situs rujukan (Gunung Mas) berada di dalam hutan yang termasuk dalam ekosistem running

water dengan sedikit/ belum mengalami gangguan oleh aktivitas antropogenik. Lokasi pemantauan yang dilakukan oleh KLH berada di Gunung Putri yang merupakan area wisata yang sumber airnya relatif tergenang (still water). Lokasi tersebut mungkin mendapat kontaminan organik dari kotoran hewan, perombakan bahan organik dari jatuhan ranting dan daun, runoff di sekitar lokasi pemantauan, maupun limbah dari pengunjung wisata. Indeks kimia hanya menunjukkan status pencemaran organiknya saja, sedangkan Pusarpedal (KLH) menggunakan indeks pencemaran dan Storet (KEPMENLH no 115 tahun 2001) yang didasarkan pada perbandingan dengan baku mutu yang cukup ketat dan banyak variabel selain pencemar organik.

4.4.9 Logam Merkuri

Konsentrasi logam merkuri di air mulai stasiun 1 (0,06 ppb) hingga stasiun 6 (2,34 ppb) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan (H = 44,96, p = 0,000) (Gambar 25). Peningkatan yang signifikan terjadi terutama di stasiun 3 hingga 6. Fenomena yang sama juga damati oleh Barata et al. (2005) yang menunjukkan kontaminasi logam di sungai umumnya lebih tinggi di bagian hilir dibandingkan dengan hulu.

Gambar 25. Konsentrasi logam merkuri di air pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

62

Konsentrasi logam merkuri di Sungai Ciliwung tergolong relatif tinggi dan patut untuk diwaspadai. Baku mutu US-EPA untuk logam merkuri guna melindungi kehidupan hewan akuatik dari pengaruh akut sebesar 2,4 ppb dan 0,0012 ppb untuk pengaruh kronis (Novotny & Olem 1994). Didasarkan pada konsentrasi tersebut, maka keberadaan logam merkuri di Sungai Ciliwung berpotensi menimbulkan gangguan bagi biota akuatik yang hidup di dalamnya. Berdasarkan PP No 82 tahun 2001 tentang Pengeloaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka di Stasiun Katulampa dan Cibinong telah melampaui kelayakan kelas mutu air golongan I dan II (0,001 ppm).

Kontaminasi logam merkuri di sedimen mulai stasiun 1 hingga 6 (Gambar 26) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan (H = 34,95, p = 0,000) hingga 12 kali lipat (stasiun 6). Peningkatan logam merkuri di sedimen terlihat signifikan terutama pada stasiun 3 hingga 6. Secara umum konsentrasi merkuri di sedimen (80,58 ppb) masih dibawah baku mutu yang dikeluarkan oleh Negara Canada (threshold effect level /TEL) yaitu sebesar 170 ppb, sehingga potensi logam tersebut di sedimen untuk menimbulkan toksisitas bagi biota akuatik relatif kecil (Burton 2002).

Gambar 26. Konsentrasi logam merkuri sedimen pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

Tingkat pencemaran logam merkuri di sedimen yang didasarkan pada rasio terhadap situs rujukan (Gambar 27)menunjukkan daerah situs rujukan tergolong

dalam kategori tercemar ringan (0.7-1). Stasiun 2 dalam kategori tercemar ringan hingga sedang (0,7-1,1). Stasiun 3 hingga 5 dalam kategori tercemar sedang hingga berat (1,8-2,8). Stasiun 6 sudah masuk dalam kategori tercemar berat (2,2-3,2).

Penggunaan indeks pencemaran logam hanya didasarkan pada rasio konsentrasi terhadap situs rujukan dan belum tentu mencerminkan tingkat

bioavailability maupun gangguan pada biota akuatik yang sebenarnya. Penggunaan indeks tersebut hanya menunjukkan sampai seberapa besar tingkat pengkayaan logam tersebut pada masing-masing stasiun pengamatan dibandingkan dengan konsentrasi latar belakangnya (background concentration). Gerhardt et al. (2004) yang menyebutkan peningkatan aktivitas antropogenik di ekosistem air tawar dapat meningkatkan konsentrasi logam beberapa kali lipat di atas konsentrasi latar belakangnya. Mwamburi (2003) menyebutkan kontaminasi logam merkuri di sedimen sebagian besar berasal dari buangan limbah industri dan perkotaan, emisi atmosfer, dan pelindihan bahan kimia dari lahan pertanian.

Gambar 27. Status pencemaran logam merkuri di sedimen pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

Beberapa alasan tentang penggunaan larva hydropsychid untuk studi

bioavailability logam merkuri di sungai didasarkan pada pendapat Barata et al.

64

ukurannya yang relatif besar (20-100 mg berat basah), kelimpahan yang tinggi di sungai yang sudah terpolusi, kemampuan yang baik untuk akumulasi logam, dan memegang peran kunci dalam transfer energi dari produsen ke hewan predator lainnya. Pada kondisi demikian, maka larva hydropsychid mampu menyebarkan kontaminan ke dalam jaring-jaring makanan ke tingkatan trofik yang lebih tinggi.

Hasil analisis logam merkuri yang terakumulasi di tubuh larva Trichoptera hydropsychid Cheumatopsyche sp. menunjukkan kecenderungan logam tersebut mampu meningkat secara signifikan (H = 44,52, p = 0,000) dari Stasiun 1 (0,13 ppm) hingga stasiun 6 (0,4 ppm) (Gambar 28). Hal yang sama juga diamati oleh Synder & Hendricks (1995) yang melakukan penelitian pada larva hydropsychid

Hydropsyche morosa di Sungai Virginia bagian selatan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kemampuan akumulasi yang tinggi dari larva tersebut dapat mencapai 1,20 ppm saat musim panas.

Gambar 28. Konsentrasi logam merkuri (ppm) di tubuh larva Trichoptera

Cheumatopsyche sp. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

Tingginya konsentrasi merkuri di perairan telah diketahui dapat menimbulkan gangguan pada larva hydropsychid berupa penghitaman warna/ nekrosis di bagian insang abdominalnya (Skinner & Bennett 2007). Kejadian nekrosis insang abdominal pada larva Cheumatopsyche sp. hanya ditemukan di Stasiun Cibinong dengan rerata persentase 4,17 % (1,47-11,84% dari kelimpahan total Cheumatopsyche yang ditemukan). Contoh bentuk kejadian nekrosis di insang abdominal larva Cheumatopsyche sp. disajikan dalam Gambar 29. Hasil

analisis korelasi antara jumlah individu larva Cheumatopsyche sp. yang mengalami nekrosis dengan konsentrasi logam merkuri yang terakumulasi di tubuh di stasiun 6 (Gambar 30) menunjukkan hubungan yang sangat kuat (r = 0,81).

Gambar 29. Nekrosis pada insang abdominal larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Cibinong. Tanda panah menunjukkan lokasi terjadinya nekrosis.

Hubungan antara abnormalitas insang makrozoobentos total dengan kontaminasi logam merkuri telah dipelajari oleh Skinner & Bennett (2007). Peneliti tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara akumulasi logam merkuri total (0,02 ppm) di makrozoobentos dengan kejadian abnormalitas insang abdominalnya yang mencapai 28%. Keberadaan logam merkuri yang terakumulasi di tubuh larva Trichoptera hydropsychid menunjukkan bioavailability logam tersebut di perairan yang berpotensi menimbulkan gangguan bagi larva tersebut untuk emergence menjadi dewasa. Pemaparan logam merkuri ke larva makrozoobentos mungkin berasal dari air sungai yang sudah terkontaminasi maupun melalui jalur makanan (Skinner & Bennett 2007). Aktivitas antropogenik yang diduga mampu meningkatkan konsentrasi merkuri di Sungai Ciliwung berasal dari difusi hasil pembakaran bahan bakar fosil, industri logam, dan perusahaan farmasi yang berada di bantaran Sungai Ciliwung. Pengaruh atmosferik juga mampu menyumbang kontaminasi logam tersebut ke perairan.

66 0.31 0.32 0.33 0.34 0.35 0.36 0.37 0.38 0.39 0.40 0.41 Konsentrasi Hg di tubuh (ppm) -2 0 2

Dokumen terkait