• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2.2. Uraian Teoritis

2.2.3. Televisi sebagai Representasi Budaya Massa

Komunikasi massa menurut Tan dan Wright merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan

secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu. Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh Gerbner. Gerbner mengemukakan bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan atau bulanan (Ardianto dan Erdiana, 2004: 3-4).

Komunikasi massa adalah proses komunikasi dengan massa yang dilakukan melalui media, yakni media massa seperti surat kabar, majalah, buku, radio dan televisi. Seluruh proses komunikasi media melibatkan di dalamnya pelbagai aspek perbedaan latar belakang budaya, mulai dari pengelola (organisasi media), saluran atau media massa, pesan-pesan, hingga kepada khalayak sasaran maupun dampak. (Liliweri, 2011: 218)

Komunikasi massa terjadi ketika sejumlah orang mengirimkan pesan kepada audiens yang besar yang bersifat anonymous dan heterogen melalui penggunaan media komunikasi khusus. Studi komunikasi massa mempelajari pemanfaatan media oleh audiens, dan menjelaskan efek media terhadap human interaction dalam konteks komunikasi, dan unit analisis komunikasi massa antara lain pesan, media, dan audiens. (Liliweri, 2011: 219)

Joseph A. Devito merumuskan bahwa komunikasi massa yaitu: pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan atau visual. Komunikasi massa atau barangkali akan lebih mudah atau lebih logis bila di defenisikan menurut bentuknya; televisi, radio, surat kabar, majalah, film, buku dan film. Sedangkan menurut Jay Black dan Fredrick C. Whitney disebutkan bahwa komunikasi massa adalah sebuah proses dimana pesan-pesan yang diproduksi secara massal/tidak sedikit

itu disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas, anonim, dan heterogen (Nurudin, 2004: 10).

Pengertian massa dalam komunikasi massa tidak sekadar orang banyak di suatu lokasi yang sama. Menurut Berlo (1996), massa diartikan sebagai “semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa atau orang-orang pada ujung lain dari saluran.” Massa mengandung pengertian yang banyak, tetapi mereka tidak harus berada di suatu lokasi tertentu yang sama. Mereka dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi yang dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesan-pesan komunikasi yang sama (Wiryanto, 2000: 3). Pesan-pesan dalam komunikasi massa bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak, dan selintas. Meskipun khalayak ada kalanya menyampaikan pesan kepada lembaga (dalam bentuk saran-saran yang sering tertunda), proses komunikasi didominasi oleh lembaga, karena lembaga yang menentukan agendanya. (Mulyana, 2008: 84)

Seperti yang dikatakan oleh Severin dan Tankard, Jr., komunikasi massa itu adalah keterampilan, seni, dan ilmu, dikaitkan dengan pendapat Devito bahwa komunikasi massa itu ditujukan kepada massa dengan melalui media massa dibandingkan dengan jenis-jenis komunikasi lainnya, maka komunikasi massa mempuntai ciri-ciri khusus yang disebabkan oleh sifat-sifat komponennya. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut: (Effendy, 2007: 21)

1. Komunikasi massa berlangsung satu arah. Ini berarti bahwa tidak terdapat arus

balik dari komunikan kepada komunikator.

2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga. Media massa sebagai

saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi. Oleh karena itu, komunikatornya melembaga atau dalam bahasa asing disebut institutionalized communicator atau organized communicator.

3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum. Pesan yang disebarkan melalui

media massa bersifat umum (public) karena ditunjukkan kepada umum dan mengenai kepentingan umum.

4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan. Ciri lain dari media

massa adalah kemampuannya untuk menimbulkan keserempakan (simultaneity) pada pihak khalayak dalam menerima pesan-pesan yang disebarkan. Pesan yang disiarkan melalui media massa akan diterima oleh masyarakat secara serempak.

5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen. Komunikasi atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen. Dalam keberadaannya secara terpencar-pencar, di mana manusia satu sama lainnya tidak saling mengenal dan tidak memiliki kontak pribadi.

McQuail (dalam Pawito, 2008: 17-18) menyatakan bahwa ada empat subbidang kajian komunikasi massa yang oleh McQuail disebut sebagai perspektif. Keempat bidang kajian ini terbangun dari persilangan antara sumbu media-masyarakat dengan sumbu kebudayaan-material yang kemudian meliputi:

a. Media-cultralist perspective, lebih menitikberatkan persoalan isi dan

penerimaan isi (pesan-pesan media) oleh khalayak.

b. Media-materialist perspective, berkenaan dengan persoalan ekonomi politik

media.

c. Social culturalist persepective, lebih menekankan pada pengaruh faktor-faktor sosial terhadap produksi dan penerimaan isi atau pesan-pesan media dalam kehidupan masyarakat.

d. Social-materialist perspective, yang lebih melihat media massa sebagai

cerminan dari kondisi-kondisi ekonomi dan material masyarakat.

Komunikasi massa memiliki fungsi-fungsi penting terhadap masyarakat. Dominick (2001) membagi fungsi komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto dan Erdiana, 2004: 15):

1. Surveillance (pengawasan)

Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama, yaitu:

a. Fungsi pengawasan peringatan yaitu jenis pengawasan yang dilakukan oleh

media massa untuk menginformasikan berbagai hal terutama tentang ancaman kepada khalayak.

b. Fungsi pengawasan instrumental yaitu penyampaian atau penyebaran

informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari.

2. Interpretation (Penafsiran)

Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan. 3. Linkage (Pertalian)

Media massa mampu menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk suatu pertalian berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.

4. Transmission of values (Penyebaran nilai-nilai)

Media massa yang mewakili gambaran masyarakat dengan model peran yang diamati dan harapan untuk menirunya. Dalam hal ini, media massa memberikan nilai-nilai kepada masyarakat dan nilai-nilai ini yang suatu saat bisa diadopsi oleh masyarakat.

5. Entertainment (Hiburan)

Hampir semua media massa menjalankan fungsi hiburan. Walaupun ada beberapa media yang tidak memberikan fungsi tersebut tetapi memberikan fungsi informasi kepada masyarakat seperti majalah Tempo, Gatra dan lainnya. Fungsi dari media massa sebagai fungsi menghibur adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak.

Industri media massa memiliki kemampuan dalam menyediakan informasi dan hiburan. Akan tetapi, media massa juga dapat mempengaruhi institusi politik, sosial, dan budaya. Media massa secara aktif memengaruhi masyarakat serta mencerminkannya. Media massa sudah begitu memenuhi kebutuhan kita sehari-hari sehingga kita sering tidak sadar lagi dengan kehadirannya, apalagi dengan pengaruhnya. Media massa sering kali menganggap masyarakat sebagai komoditas semata. Akan tetapi, media massa menolong dalam mendefenisikan diri kita; membentuk realitas kita. (Baran, 2012: 5)

Budaya adalah suatu tingkah laku yang dipelajari oleh anggota suatu kelompok sosial. Penciptaan dan pemeliharaan budaya terjadi melalui komunikasi, termasuk komunikasi massa, yaitu ketika professional media memproduksi isi pesan yang kita lihat, baca, dengarkan, atau tonton, makna yang sedang dibagikan dan budaya sedang dikonstruksi dan dipelihara. (Baran, 2012: 11)

Sepanjang kehidupan komunikasi,kita sudah mempelajari hal-hal yang diharapkan oleh budaya dari kita. Akan tetapi, dampak budaya yang membatasi dapat berakibat negatif, seperti ketika kita tidak mau atau tidak dapat mengubah cara berpikir, bertindak, berperasaan, yang terpola dan berulang, atau kita mempercayakan “pembelajaran” kita kepada guru yang memiliki kepentingan yang berpusat pada diri sendiri, sempit, atau mungkin justru tidak sesuai dengan pemikiran kita. (Baran, 2012: 12)

Media tidak hanya menentukan standar daya tarik seseorang, namun media juga mengingatkan kita bahwa kita tidak harus merasa sedih jika kita tidak sesuai dengan suatu standar tertentu. Acara televisi seperti Nip/Tuck dan Dr.90210 menyampaikan kepada kita bahwa kecantikan bukanlah sesuatu yang kita butuhkan dalam hidup, tetapi komoditas yang dapat dibeli. Pesan dan jutaan pesan lainnya sampai kepada kita terutama lewat media, dan walaupun bukan berarti orang-orang yang memproduksi media ini mementingkan diri sendiri dan jahat, tidak dapat dipungkiri motivasi mereka adalah uang. Kontribusi mereka terhadap cara berpikir, berperasaan, dan bertindak dalam budaya sudah pasti buka pertimbangan utama mereka ketika mempersiapkan komunikasi ini. Budaya tidak hanya membatasi. Representasi media akan kecantikan wanita sering menemui perdebatan dan ketidaksepakatan yang merujuk pada fakta bahwa budaya juga dapat membebaskan. Hal ini dapat terjadi karena nilai budaya juga dapat dipertentangkan. (Baran, 2012: 14)

Media massa sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjuk pada bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Isi media bukan hanya pemberitaan, tetapi juga hal-hal lain di luar pemberitaan yaitu dengan merepresentasikan orang, kelompok, atau gagasan tertentu. Berikut tiga proses yang terjadi dalam representasi menurut Fiske. (Wibowo, 2013: 148)

Tabel 2.1: Tabel Proses Representasi Fiske LEVEL PERTAMA REALITAS

(Dalam bahas tulis seperti dokumen, wawancara, transkrip, dan sebagainya. Sedangkan dalam televisi seperti pakaian, make up, perilaku, gerak-gerik, ucapan, ekspresi, suara)

LEVEL KEDUA REPRESENTASI

(Elemen-elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Sedangkan dalam televisi seperti kamera, tata cahaya, editing, musik dan sebagainya.)

Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan di antaranya bagaimana objek digambarkan: karakter, narasi, setting, dialog, dan sebagainya.

LEVEL KETIGA IDEOLOGI

Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi, seperti individualism, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, kapitalisme dan sebagainya.

Sumber: Fiske, John. 1987. Television Culture. London and New York: Routledge, hlm 5. Pertama, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media massa dalam bentuk bahasa gambar. Ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu ditandakan dengan sesuatu yang lain. Kedua, representasi, dalam proses ini adalah realitas digambarkan dalam perangkat-perangkat teknis, seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lain-lain. Ketiga, tahap ideologis, dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan

diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat. (Wibowo, 2013: 149)

Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu akan mengalami proses seleksi. Tanda yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologis yang akan digunakan, sementara tanda-tanda lain diabaikan. Realitas dalam representasi media tersebut harus memasukkan atau mengeluarkan komponennya, dan juga melakukan pembatasan pada isu-isu tertentu sehingga mendapatkan realitas yang banyak. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada representasi realitas, terutama di media yang benar atau nyata sepenuhnya. (Wibowo, 2013: 149)

Televisi sebagai budaya adalah bagian penting dari dinamika sosial dimana struktur sosial mempertahankan dirinya dalam proses produksi dan reproduksi makna, kepopuleran, sebagai bagian dari struktur sosial. (Fiske, 2001: 1) Budaya televisi merupakan fenomena yang ada baik di layar ataupun saat off- screen, suka atau tidak suka, meskipun sebagian besar pemirsa, memahami bahwa "realitas" hidup di layar berbeda dari realitas kehidupan off-screen. (Fisherkeller 2002: 3)

Kebiasaan sehari-hari, ritual, dan kegiatan seperti makan malam keluarga, drama sekolah, menonton televisi, dan berkirim pesan email berperan dalam mengatur dan membentuk budaya masyarakat. Tetapi orang-orang tidak mempelajari semua budaya yang disajikan kepada mereka, dan individu yang berbeda tidak belajar dari budaya dengan cara yang sama. Belajar dalam budaya TV tidak berbeda. Individu dalam situasi yang berbeda memiliki akses ke berbagai jenis televisi, dan mereka membuat keputusan yang berbeda tentang apa yang harus melihat. Mereka juga berbeda dalam bagaimana mereka membuat berpartisipasi dalam ritual melihat dan bagaimana mereka menafsirkan pengalaman menonton mereka. (Fisherkeller, 2002: 13)

Terlepas dari cara kita melihat proses komunikasi massa, tidak dapat disangkal lagi bahwa manusia menghabiskan waktu yang sangat besar dalam kehidupannya untuk berinteraksi dengan media massa. (Baran, 2012: 21). Media ini merupakan

media yang dapat mendominasi komunikasi massa, karena sifatnya yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan khalayak. Televisi mempunyai kelebihan dari media massa lainnya yaitu bersifat audio visual (didengar dan dilihat), dapat menggambarkan kenyataan dan langsung dapat menyajikan peristiwa yang sedang terjadi ke setiap rumah para pemirsa di manapun mereka berada (Ardianto dan Erdiana, 2004: 40).

Menurut Skormis (Kuswandi, 1996:8) dalam bukunya “Television and Society: An Incuest and Agenda” dibandingkan dengan media lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan sebagainya). Televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar yang bisa bersifat informatif, hiburan, dan pendidikan, atau bahkan gabungan dari ketiga unsur tersebut. Informasi yang disampaikan oleh televisi, akan mudah dimengerti karena jelas terdengar secara audio dan terlihat secara visual.

Televisi merupakan hasil produk teknologi tinggi (hi-tech) yang menyampaikan isi pesan dalam bentuk audio visual gerak. Isi pesan audiovisual gerak memiliki kekuatan sangat tinggi dalam mempengaruhi mental, pola pikir, dan tindak individu. Jumlah individu ini menjadi relatif besar bisa isi audio visual gerak ini disajikan melalui televisi. Saat ini, berkat dukungan teknologi satelit komunikasi dan serat optik, siaran televisi dibawa oleh gelombang elektromagnetik, tidak mungkin lagi dihambat ruang dan waktu. Bahkan khalayak sasarannya tidak lagi bersifat lokal, nasional, dan regional, tetapi sudah bersifat internasional atau global (Baksin, 2006: 16).

Televisi merupakan salah satu media yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat saat ini. Menurut R. Mar’at, acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi dan perasaan bagi penontonnya hal ini disebabkan oleh pengaruh psikologis televisi itu sendiri. Televisi seakan-akan menghipnotis pemirsa, sehingga mereka hanyut dalam keterlibatan akan kisah atau peristiwa yang disajikannya. (Effendy 2004: 122)

2.2.3.2.Reality Show

Program reality show adalah sebuah genre acara televisi yang menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar berlangsung tanpa skenario, dengan pemain umumnya khalayak biasa. (Totona, 2010: 3). Menurut Widyaningrum dan Christiatuti (dalam Musthofa, 2012: 5) Reality show adalah suatu acara yang menampilkan realties kehidupan seseorang yang bukan selebriti (orang awam), lalu disiarkan melalui jaringan TV, sehingga bisa dilihat masyarakat. Reality show tak sekedar mengekspose kehidupan orang, tetapi juga ajang kompetisi, bahkan menjahili orang.

Program reality show memang muncul di awal-awal tahun 2000 dan reality show masih banyak diproduksi dan ditayangkan di televisi termasuk dalam dunia pertelevisian Indonesia. Namun ketika ditanya darimana reality show ini berasal, pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Asal-usul fakta-fakta televisi populer merupakan hal yang rumit. Sebagai jenis program peranakan, reality show merupakan program yang sulit dikategorisasikan. Ada tiga dasar utama kaitannya dengan fakta-fakta televisi populer atau program-program televisi yang berdasarkan fakta yaitu tabloid journalism, documentary television, dan popular entertainment (Hill, 2008: 15).

Dalam penyajiannya acara reality show dapat diartikan sebagai gabungan rekaman asli dan plot. Disini penonton dan kamera menjadi pengamat pasif dalam mengikuti orang-orang yang sedang menjalani kegiatan sehari-hari mereka, baik yang professional maupun pribadi. Dalam hal ini produser menciptakan plot sehingga enak ditonton oleh pemirsa. Para kru dalam proses editing menggabungkan setiap kejadian sesuai dengan yang mereka inginkan sehingga akhirnya terbentuk cerita berdurasi 30 menit tiap episode. Acara televisi yang menyajikan realitas kehidupan sehari-hari. Adegan-adegan dalam acara tersebut memperlihatkan serangkaian kejadian nyata tanpa direkaya terlebih dahulu. Para pemain umumnya khalayak biasa. Genre ini sering dianggap sebagai dokumenter. (Musthofa, 2012: 5).

Program acara reality show di Indonesia mencoba menyajikan suatu situasi seperti konflik, persaingan, atau hubungan berdasarkan realitas yang sebenarnya. Dengan kata lain, program ini mencoba menyajikan suatu keadaan yang nyata (riil) dengan cara sealamiah mungkin tanpa rekayasa. Terdapat beberapa bentuk reality show, yaitu: (Morissan, 2008: 217- 218).

1. Hidden Camera atau kamera tersembunyi. Ini adalah program yang paling

realistis yang menunjukkan situasi yang dihadapai seseorang secara apa adanya. Kamera ditempatkan secara tersembunyi yang mengamati gerak-gerik atau tingkah laku subjek yang berada di tengah situasi yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

2. Competition show. Program ini melibatkan beberapa orang yang saling

bersaing dalam kompetisi yang berlangsung selama beberapa hari atau minggu untuk memmenangkan perlombaan, permainan (game), atau pertanyaan. Setiap peserta akan tersingkir satu per satu melalui pemungutan suara (voting), baik peserta sendiri ataupun audien. Pemenangnya adalah peserta yang paling akhir bertahan.

3. Relationship show. Seseorang kontestan harus memilih satu orang dari

sejumlah orang yang berminat untuk menjadi pasangannya. Para peminat harus bersaing untuk merebut perhatian kontestan agar tidak tersingkir dari permainan. Pada setiap episode ada satu peminat yang harus disingkirkan.

4. Fly on the wall. Program yang memperlihatkan kehidupan sehari-hari dari

seseorang mulai dari kegitan pribadi hingga aktivitas profesionalnya. Dalam hal ini kamera membuntuti ke mana saja orang yang bersangkutan pergi.

5. Mistik. Program yang terkait dengan hal-hal supranatural menyajikan

tayangan yang terkait dengan dunia gaib, paranormal, klenik, praktik spiritual magis, mistik, kontak dengan roh, dan lain-lain. Program mistik merupakan program yang paling diragukan realitasnya.

Dokumen terkait