• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Keagenan (Agency Theory)

TELAAH PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

2.1. Telalah Pustaka

2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori dasar (grand theory) yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keagenan (agency theory). Teori keagenan menyatakan bahwa antara manajemen dan pemilik mempunyai kepentingan yang berbeda (Jensen dan Meckling, 1976). Perusahaan yang memisahkan fungsi pengelolaan dan kepemilikan akan rentan terhadap konflik keagenan (Lambert, 2001). Dalam model keagenan dirancang sebuah sistem yang melibatkan kedua belah pihak, sehingga diperlukan kontrak kerja antara pemilik (principal) dan manajemen (agent). Dalam kesepakatan tersebut diharapkan dapat memaksimumkan utilitas principal, dan dapat memuaskan serta menjamin agen untuk menerima reward dari hasil aktivitas pengelolaan perusahaan. Perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen terletak pada maksimalisasi manfaat (utility) pemilik (principal) dengan kendala (constraint) manfaat (utility) dan insentif yang akan diterima oleh manajemen (agent). Karena kepentingan yang

berbeda sering muncul konflik kepentingan antara pemegang saham/ pemilik (principal) dengan manajemen (agent).

Pada dasarnya agency theory merupakan model yang digunakan untuk memformulasikan permasalahan (conflict) antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal). Model principal-agent dapat digambarkan dalam gambar 2.1 sebagai berikut (Lambert, 2001):

Gambar 2.1:

Model Principal-Agent

|………|………|………|

Contract s(x,y) Agent selects Performance measures Agent is paid s(x,y) Agreed Upon action (a) (x,y,etc.) observed Principal keeps x-s(x,y)

Pada gambar tersebut “s” merupakan fungsi kompensasi yang akan dijadikan dasar dan bentuk fungsi yang menghubungkan pengukuran kinerja dengan kompensasi agen; “y” menunjukkan vector pengukuran kinerja berdasarkan kontrak. Berdasarkan kontrak tersebut agen akan menyeleksi dan atau melakukan aktivitas (action “a”) yang meliputi kebijakan operasional (operation decisions), kebijakan pendanaan (financing decision), dan kebijakan investasi (investment decisions). Sedangkan “x” menunjukkan

“outcome” atau hasil yang diperoleh perusahaan, dan selanjutnya digunakan sebagai dasar pengukuran kinerja dan kompensasi agen.

Kinerja perusahaan yang telah dicapai oleh pihak manajemen diinformasikan kepada pihak pemilik (principal) dalam bentuk laporan keuangan. Dalam sistem desentralisasi, manajemen mempunyai informasi yang superior dibandingkan dengan pemilik, karena manajemen telah menerima pendelegasian untuk pengambilan keputusan/ kebijakan perusahaan. Ketika pemilik tidak dapat memonitor secara sempurna aktivitas manajemen, maka secara potensial manajemen dapat menentukan kebijakan

yang mengarah pada peningkatan level kompensasinya. Pada model hubungan principal-agent, seluruh tindakan (actions) telah didelegasikan oleh pemilik (principal) kepada manajer (agent). Rajan dan Saouma (2006) menunjukkan bahwa arus informasi hubungan antara principal-agent dapat digambarkan pada gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2:

Model Hubungan Principal-Agent (Urutan Arus Informasi)

Time Line

0 1 2 3

|………|………..……|…….…..…..|……..………|……….|

s contract contract efforts π compensation

revealed menu offered selected chosen realized made by owner by manager

Berdasarkan gambar 2.2 tersebut, maka urutan arus informasi dapat

dijelaskan berikut. Pertama, pada periode nol (time 0) manajer menerima sinyal, s dan pada periode satu (time 1) pemilik menawarkan kepada manajer satu menu kontrak. Jika manajer setuju, maka manajer mengkomunikasikan pilihan kontraknya kepada pemilik; sebaliknya jika manajer menolak, maka hubungan berakhir. Kedua, pada periode dua (time 2), manajer memilih level aktivitas (effort) dan konsekuensinya dengan profit yang dihasilkan (π). Ketiga, pada periode tiga (time 3), pemilik membayar kompensasi kepada manajer berdasarkan kontrak yang telah disepakati.

Model hubungan principal-agent diharapkan dapat memaksimumkan utilitas principal, dan dapat memuaskan serta menjamin agen untuk menerima reward dari hasil aktivitas pengelolaan

perusahaan. Ketika pemilik tidak dapat memonitor secara sempurna aktivitas manajemen, maka secara potensial

manajemen dapat menentukan kebijakan yang mengarah pada peningkatan level kompensasinya. Rajan dan Saouma (2006) menyatakan bahwa besarnya kompensasi yang diterima oleh pihak manajemen (agent) tergantung pada besarnya laba/

profit (π) yang dihasilkan sesuai dengan kontrak yang telah disepakati dengan pihak pemilik (owner). Besarnya laba yang diinformasikan melalui laporan keuangan, tidak terlepas dari kebijakan akuntansi yang dibuat oleh manajemen. Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa besarnya kompensasi yang diterima oleh pihak manajemen (agent) tergantung pada besarnya laba/ profit (π) yang dihasilkan sesuai dengan kontrak yang telah disepakati dengan pihak pemilik.

Scott (2000) menyatakan bahwa

“earnings management is the choice by a manager of accounting policies so as to achive some specific objective”.

Berdasarkan pernyataan tersebut menunjukkan bahwa manajemen laba merupakan pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer untuk berbagai tujuan spesifik. Kebijakan akuntansi

dikelompokkan ke dalam dua kategori.

Pertama, pilihan kebijakan akuntansi itu sendiri, seperti straight-line versus declining-balance amortization, atau kebijakan untuk pengukuran revenue; dan kedua akrual diskresi, seperti provisi kerugian kredit, biaya jaminan, nilai persediaan, waktu dan jumlah pos luar biasa. Ada dua cara untuk melihat perilaku manajemen laba. Pertama, perilaku opportunistic manajemen untuk memaksimumkan utilitas mereka

mengenai kompensasi, debt contract, dan political cost; dan kedua, manajemen laba dari perspektif efficient contracting.

Healy (1985) menyatakan bahwa ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendeteksi perilaku manajemen me-manage laba. Pertama, mengontrol jenis

akrual, dimana akrual secara luas didefinisikan sebagai porsi item

penerimaan dan pengeluaran (revenue and expenses) pada laporan laba-rugi yang tidak direpresentasikan oleh arus kas; dan kedua, perubahan kebijakan akuntansi.

Manajemen melakukan peningkatan laba melalui kebijakan akrual dapat dideteksi dari empat items akrual yaitu:

biaya amortisasi, peningkatan net accounts receivable, peningkatan inventory, dan penurunan accounts payble and accrual liabilities. Biaya amortisasi merupakan akrual non-diskresi, diasumsikan bahwa kebijakan mengenai amortisasi adalah given. Peningkatan piutang dagang diasumsikan berasal dari penurunan penyisihan piutang (allowance for doubtful account) yang merupakan hasil dari estimasi yang kurang konservatif. Hal ini merupakan akrual diskresi, karena manajemen secara fleksibel dapat

mengendalikan jumlah penyisihan piutang tersebut; atau karena kebijakan kredit dan pencatatan saldo piutang pada awal dan akhir periode. Namun, jika peningkatan piutang disebabkan oleh peningkatan volume bisnis, maka akrual tersebut merupakan akrual non-diskresi. Demikian pula peningkatan inventory yang tidak disebabkan oleh perubahan volume merupakan akrual diskresi. Penurunan utang dagang dan kewajiban akrual juga merupakan akrual diskresi, dengan asumsi bahwa penurunan ini berasal dari

manajemen yang lebih optimistic menjamin klaim terhadap produknya.

Selanjutnya, Healy menyatakan bahwa akrual diskresi digunakan sebagai proxy total akrual. Asumsi yang digunakan adalah akrual non-diskresi relatif kecil terhadap akrual diskresi, sehingga total akrual tinggi mengandung akrual diskresi tinggi. Total akrual dapat dihitung dengan dua cara. Pertama, menghitung perubahan setiap akun neraca yang merupakan

subyek akrual; dan kedua, menghitung perbedaan antara net income dan cash flow.

Sesuai dengan PSAK No. 1 menyatakan bahwa “perusahaan harus menyusun laporan keuangan atas dasar akrual, kecuali laporan arus kas” (paragraf 19). Berdasarkan PSAK tersebut, nampak bahwa sebagian besar laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen kepada para pengguna (termasuk investor) didasarkan pada akrual. Beaver (2002) juga menunjukkan bahwa dalam manajemen akrual, perusahaan dapat melakukan manajemen laba melalui beberapa karakteriksik perusahaan (seperti: overstate earnings, loss avoidance, dan income smoothing).

Motivasi manajemen akrual dikelompokkan ke dalam motivasi opportunistic dan signaling. Motivasi opportunistic mendorong manajemen menyajikan laporan keuangan (khususnya laporan laba) lebih tinggi daripada yang sesungguhnya (Penman, 2003). Sedangkan pada motivasi signaling, manajemen cenderung me-manage akrual yang mengarah pada persistensi laba (Sloan, 1996; Dechow dan Dichev, 2002). Hal ini dapat dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas laporan keuangan melalui angka-angka akuntansi yang mengarah pada kualitas laba.

Motivasi opportunistic dapat dilakukan oleh manajemen melalui kebijakan aggressive accounting yang mengarah pada overstate earnings (earnings aggressiveness) dan earnings smoothing. Bhattacharya et al. (2003) menyatakan bahwa earnings

aggressiveness dan earnings smoothing akan menciptakan earnings opacity.

Apabila kebijakan manajemen didasari oleh motivasi signaling, maka manajemen melakukan kebijakan akrual yang

mengarah pada persistensi laba. Motivasi

signaling mendorong manajemen menyajikan laporan laba yang dapat mencerminkan laba sesungguhnya.

Beberapa literatur menyatakan bahwa signaling theory merupakan effect yang timbul dari pengumuman laporan keuangan yang ditangkap oleh para pemakai laporan keuangan (terutama investor). Signaling effect dihasilkan oleh informasi baru, dan bukan oleh issue yang terjadi (Penman, 2003).

Penelitian ini menggunakan agency theory (lebih khusus lagi motivasi

signaling), dengan alasan bahwa publikasi laporan keuangan tahunan yang disajikan oleh perusahaan, apakah dapat

memberikan sinyal pertumbuhan dividen (proxy dari cost of equity). Disamping itu, juga didasarkan pada alasan apakah publikasi laporan keuangan tahunan dapat memberikan sinyal terhadap aktivitas perdagangan saham. Atas dasar motivasi signaling, manajemen terdorong untuk menyajikan laporan laba yang mengarah pada persistensi laba. Persistensi laba merupakan laba yang dapat digunakan sebagai indikator future earnings.

Persistensi laba yang sustainable

dinyatakan sebagai laba yang mempunyai kualitas tinggi; sebaliknya jika laba unsustainable dinyatakan sebagai laba yang mempunyai kualitas jelek (Penman dan Zhang, 2002). Ketika para pemakai laporan keuangan (terutama investor) memandang laba perusahaan sustainable, maka expected dividend yield tumbuh secara stasioner (Fama dan French, 2002).

Persistensi laba didefinisikan sebagai laba yang dapat digunakan sebagai

pengukur laba itu sendiri. Artinya, laba saat ini dapat digunakan sebagai indikator laba periode mendatang (future earnings).

Laba yang semakin persisten menunjukkan laba semakin informatif; sebaliknya jika laba kurang persisten, maka laba menjadi kurang informatif (Tucker dan Zarowin,

2006). Persistensi laba sebagai salah satu pengukuran kualitas laba diukur dari slope coefficient regresi current earnings pada lagged earnings. Disamping persistensi laba, kualitas laba juga dapat diukur dari kualitas akrual dan smoothness (Dechow dan Dichev, 2002; Francis et al., 2004).

Francis menyatakan bahwa atribut-atribut laba berbasis akuntansi dapat digunakan sebagai pengukur kualitas laba. Sedikitnya ada tiga atribut laba yang mempunyai pengaruh kuat memberikan sinyal positif yaitu accruals quality, earnings

persistence, dan smoothness.

Nichols dan Wahlen (2004) menyatakan bahwa teori tentang angka laba akuntansi yang mengarah pada persistensi laba tergantung pada tiga asumsi. Pertama, teori mengasumsikan bahwa laba (atau lebih luas lagi laporan keuangan) memberikan informasi kepada para pemegang saham tentang

profitabilitas saat ini dan ekspektasi periode mendatang. Kedua, teori

mengasumsikan bahwa profitabilitas saat ini dan periode mendatang memberikan informasi kepada para pemegang saham tentang dividen saat ini dan periode mendatang. Ketiga, teori mengasumsikan bahwa harga saham sama dengan nilai sekarang (present value) dari ekspektasi dividen periode mendatang. Sementara, Tucker dan Zarowin (2006) menyatakan bahwa keinformasian laba (earnings informativeness) dipengaruhi oleh

interaksi antara income smoothing (IS) dan accrual quality (ACC). Perusahaan yang melaporkan laba lebih smooth akan memberikan informasi yang lebih kepada para pemegang saham. Interaksi antara IS dan ACC memberikan keinformasian laba yang lebih besar daripada interaksi IS dan CFO.

Beberapa literatur tersebut menunjukkan bahwa pengukuran

persistensi laba masih mixed. Berdasarkan

uraian tersebut nampak bahwa persistensi laba mempunyai hubungan yang

berlawanan arah dengan earnings opacity.

Apabila manajemen didorong oleh motivasi opportunistic dalam menyajikan laporan laba, maka laporan laba tersebut mengarah pada overstate earnings;

sehingga laba menjadi kabur (opaque) dalam arti laba akuntansi tidak dapat menggambarkan laba ekonomi yang sesungguhnya.

Kebijakan manajemen yang didasari oleh motivasi opportunistic cenderung melakukan manipulasi laba melalui berbagai macam dimensi, seperti dimensi-dimensi earning opacity: earnings aggressiveness, loss avoidance, dan earnings smoothing (Bhattacharya et al., 2003). Earnings aggressiveness adalah output dari kebijakan aggressive accounting dan merupakan cara terbaik yang digunakan oleh manajemen dalam memanipulasi laba, terutama dengan cara meningkatkan laba secara temporer (Penman, 2003). Kothari (2001) menyatakan bahwa dampak dari perusahaan yang melakukan aggressive accounting adalah nilai buku sekarang (current book value) aktiva dan laba lebih tinggi daripada nilai yang sesungguhnya.

Motivasi opportunistic juga mendorong perilaku manajemen untuk menyajikan laporan laba secara smooth.

Manajemen melakukan smoothing laba mempunyai harapan bahwa kompensasi (reward) yang diterima dapat memuaskan dan adanya jaminan kompensasi dalam jangka panjang. Sesuai dengan literatur income smoothing, manajemen lebih banyak menggunakan metode akuntansi untuk mengurangi fluktuasi laba daripada memaksimalkan atau meminimalkan laba (Moses, 1987). Tindakan ini dilakukan untuk menjaga stabilitas laporan laba dari waktu ke waktu dengan harapan kinerja perusahaan dipandang sustainable.

Income-smoothing didefinisikan sebagai “an attempt on the part of the firm’s management to reduce abnormal variations in earnings to the extent allowed under sound accounting and management principles” (Beidleman, 1973 dalam Tucker dan Zarowin, 2006).

Income smoothing diukur dari korelasi negatif antara perubahan discretionary accruals dan perubahan pre-discretionary income. Pengukuran ini mengasumsikan bahwa ada seri income yang di-manage pada awal periode (pre-managed income) dan manajer menggunakan discretionary accruals untuk membuat seri laporan laba yang smooth. Pada literatur lain,

smoothness juga didefinisikan sebagai rasio antara standar deviasi net income before extraordinary items dibagi total assets awal periode terhadap standar deviasi arus kas operasi dibagi total assets pada awal periode. Semakin besar

smoothness mengindikasikan laba kurang smooth (Francis et al., 2004).

Kebijakan aggressive accounting dan smoothing akan menyebabkan adanya perbedaan informasi antara pihak manajemen dan para pemegang saham (investor). Rajan dan Saouma (2006) menyatakan bahwa manajemen secara relatif mempunyai informasi privat yang lebih baik dibandingkan dengan pemilik/

investor. Manajemen lebih suka membatasi informasi privat kepada

pemilik/ investor; sementara investor lebih suka kualitas informasi yang dapat

memaksimumkan kemakmurannya.

Perbedaan informasi antara manajemen dan pemilik (pemegang saham) dapat dikurangi dengan cara memperbaiki kualitas laporan keuangan.

Berdasarkan agency theory tersebut, nampak bahwa kebijakan akrual yang dilakukan oleh manajemen didasarkan pada motivasi opportunistic dan motivasi signaling. Pada motivasi opportunistic,

manajemen me-manage akrual melalui kebijakan aggressive accounting dan earnings smoothing. Kebijakan aggressive accounting akan menghasilkan nilai buku sekarang (current book value) aktiva dan laba lebih tinggi daripada nilai yang sesungguhnya. Kebijakan ini akan menciptakan laba tidak informatif (uninformative earnings), sehingga mengarah pada earnings opacity.

Kebijakan earnings smoothing juga akan mengarah pada earnings opacity, karena kebijakan ini akan menciptakan asimetri informasi antara manajemen dan pemilik (pemegang saham).

Secara relatif, manajemen

mempunyai informasi privat yang lebih daripada pemilik, karena pemilik telah mendelegasikan wewenangnya kepada manajemen untuk mengelola perusahaan.

Asimetri informasi tersebut dapat dikurangi dengan cara memperbaiki kualitas laporan keuangan. Atas dasar motivasi signaling, manajemen dapat memperbaiki kualitas laporan keuangan melalui angka-angka akuntansi yang mengarah pada persistensi laba. Perbaikan kualitas laporan keuangan melalui

persistensi laba akan berfungsi untuk mengurangi asimetri informasi antara manajemen dan pemilik. Dengan kata lain, persistensi laba berfungsi memperlemah hubungan terhadap earnings

aggressiveness dan earnings smoothing.

Mengacu pada agency theory, khususnya motivasi signaling maka dampak pemoderasi hubungan antara persistensi laba dan earnings opacity terhadap biaya modal dan aktivitas volume perdagangan saham dapat dijelaskan berikut. Pertama, persistensi laba dapat memberikan sinyal positif terhadap cost of equity berbasis dividend growth model.

Kedua, persistensi laba dapat menurunkan uninformative earnings yang disebabkan oleh earnings opacity (earnings

aggressiveness dan smoothing) terhadap cost of equity berbasis dividend growth model. Ketiga, persistensi laba dapat memberikan sinyal positif terhadap trading volume activity (TVA). Keempat, persistensi laba dapat menurunkan uninformative earnings yang disebabkan oleh earnings opacity (keagresifan laba dan smoothing) terhadap trading volume activity (TVA).

Fenomena di Indonesia menunjukkan bahwa pemegang saham mayoritas

mempunyai kepemilikan lebih dari 70%, sedangkan pemegang saham minoritas mempunyai kepemilikan kurang dari 30%

(ICMD, 2006). Sesuai dengan fenomena tersebut, maka problem agency yang terjadi pada pemegang saham mayoritas berhubungan dengan pertumbuhan dividen. Sementara problem agency pada pemegang saham minoritas berhubungan dengan aktivitas volume perdagangan.

Hartono (2003) juga menyatakan bahwa transaksi perdagangan saham di Indonesia sangat kecil, sehingga tergolong pasar yang transaksinya tipis (thin market).

Berdasarkan agency theory dan fenomena tersebut, maka motivasi manajemen yang didasari oleh signaling dapat dibedakan ke dalam dua kelompok.

Pertama, persistensi laba diasumsikan sebagai sinyal positif terhadap

pertumbuhan dividen bagi para pemegang saham mayoritas. Selanjutnya,

pertumbuhan dividen digunakan sebagai dasar penentuan biaya ekuitas (cost of equity). Demikian pula earnings aggressiveness dan earnings smoothing diasumsikan meningkatkan laba tahun berjalan, sehingga kemakmuran para pemegang saham mayoritas meningkat melalui peningkatan dividen. Kedua, persistensi laba diprediksikan berpengaruh positif; sedangkan earnings aggressivevess dan earnings smoothing diprediksikan berpengaruh negatif terhadap TVA. Sesuai

dengan fenomena di Indonesia menunjukkan bahwa transaksi

perdagangan saham tergolong tipis, maka diasumsikan bahwa pelaku pasar adalah para pemegang saham minoritas.