• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI LANDASAN TEORI

D. Teori Perilaku Konsumen

Dalam Dharmmesta dan Handoko (2000), disebutkan beberapa teori perilaku konsumen antara lain :

1. Teori Ekonomi Mikro

Menurut teori ini, konsumen akan berusaha mendapatkan kepuasan maksimal, dan konsumen akan meneruskan pembeliannya terhadap suatu produk untuk jangka waktu yang lama, bila ia telah mendapat kepuasan dari produk yang sama yang telah dikonsumsinya.

a. Bahwa konsumen selalu mencoba memaksimumkan keputusannya dalam batas-batas kemampuan finansialnya.

b. Bahwa ia mempunyai kemampuan tentang beberapa alternatif sumber

untuk memuaskan kebutuhannya.

c. Bahwa ia selalu bertindak dengan rasional. 2. Teori Psikologis

Teori psikologis ini mendasarkan diri pada faktor-faktor psikologis individu yang selalu dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lingkungan. Pada pokoknya teori ini merupakan penerapan dari teori-teori bidang psikologi dalam menganalisa perilaku konsumen.

Tujuan mempelajari bidang psikologi ini adalah :

a. Mengumpulkan fakta-fakta perilaku manusia dan mempelajari

hukum-hukum perilaku tersebut.

b. Psikologi berusaha untuk meramalkan manusia.

c. Psikologi bertujuan untuk mengontrol perilaku manusia.

Bidang psikologi ini sangat kompleks dalam meneliti perilaku manusia, karena proses mental tidak dapat diamati secara langsung. Rangsangan-rangsangan (stimuli) merupakan input untuk suatu kegiatan manusia, dan perilaku adalah output atau hasilnya.

3. Teori Belajar

Teori ini didasarkan pada empat komponen kelompok, yaitu: drive

(dorongan), cue (petunjuk), response (tanggapan), dan reinforcement

(penguatan).

Menurut teori ini, proses belajar merupakan tanggapan dari seseorang (atau binatang) terhadap suatu rangsangan yang dihadapinya. Rangsangan tersebut diulang-ulang sampai mendapat tanggapan yang sama dan benar secara terus-menerus. Akhirnya akan muncul suatu kebiasaan dan perilaku tertentu.

b. Cognitive Theory (Teori Kesadaran)

Pada teori kesadaran, proses belajar dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti : sikap, keyakinan, pengalaman masa lalu, dan kesadaran untuk mencapai tujuan atau kesadaran untuk mengorganisir nilai. Para teori kesadaran lebih menekankan pada proses pemikiran seseorang karena sangat mennetukan dalam pembentukan perilakunya.

c. Gestalt dan Field Theory (Teori Bentuk dan Bidang)

Gestalt theory ini memandang proses belajar dan perilaku secara keseluruhan. Proses pengamatan, pengalaman masa lalu, dan pengarahan tujuan merupakan variabel yang menentukan terhadap perilaku. Juga diasumsikan bahwa orang-orang berperilaku karena mempunyai suatu tujuan.

Field theory mengemukakan bahwa perilaku secara umum adalah hasil interaksi yang nampak antara individu dan lingkungan psikologis. Lingkungan psikologis adalah bagian dari ruang hidup, karena sifat-sifatnyanya tidak ditentukan oleh sifat-sifat lingkungan obyektif saja, tetapi juga oleh sifat-sifat pribadi.

4. Teori Psikoanalitis

Menurut Freud dalam Dharmmesta dan Handoko (2000), perilaku manusia dipengaruhi oleh adanya keinginan yang terpaksa dan adanya motif yang tersembunyi.

Perilaku manusia ini selalu merupakan hasil kerja sama dari ketiga aspek dalam struktur kepribadian manusia, yaitu :

a. Id

Adalah wadah dari dorongan-dorongan yang ada dalam diri manusia.

b. Ego

Adalah aspek psikologis dari kepribadian dan timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan.

c. Super ego

Merupakan aspek sosilogis dari kepribadian. Aspek ini dapat dianggap sebagai aspek moral dari kepribadian, yang menyalurkan dorongan-dorongan naluriahnya ke dalam tindakan-tindakan yang tidak bertentangan dengan norma sosial dan adat kebiasaan masyarakat. 5. Teori Sosiologis

Dalam teori ini yang disebut juga teori psikologi sosial, lebih menitikberatkan pada hubungan dan pengaruh antara individu-individu yang dikaitkan dengan perilaku mereka. Jadi, lebih mengutamakan perilaku kelompok, bukannya perilaku individu. Keinginan dan perilaku seseorang sebagian dibentuk oleh kelompok masyarakat dalam mana ia ingin menjadi anggota.

Teori sosiologis mengarahkan analisa perilaku pada kegiatan-kegiatan kelompok, seperti keluarga, teman sekerja, perkumpulan olah raga, dan

sebagainya. Banyak orang ingin meniru pola sosial kelompok masyarakat yang langsung berada di atas kelompok dalam mana mereka menjadi anggota. Perusahaan harus bisa menentukan mana di antara lapisan-lapisan sosial yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap permintaan akan produk yang dihasilkannya.

6. Teori Antropologis

Teori antropologis juga menekankan perilaku pembelian dari suatu kelompok masyarakat. Namun, kelompok-kelompok masyarakat yang lebih diutamakan dalam teori antropologis ini bukannya kelompok kecil seperti keluarga, tetapi kelompok besar atau kelompok yang ruang lingkupnya sangat luas, termasuk di dalamnya antara lain : kebudayaan (kultur), subkultur, dan kelas-kelas sosial.

Dengan menggunakan teori antropologis, manajemen dapat mempelajari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh faktor-faktor tersebut terhadap perilaku konsumen. Karena faktor-faktor tersebut memainkan peranan yang amat penting dalam pembentukan sikap, dan merupakan petunjuk penting mengenai nilai-nilai yang akan dianut oleh seorang konsumen.

7. Teori Kebudayaan Massa / Kebudayaan Pop

Budaya massa / budaya pop adalah sebuah norma, cara pikir, dan sudut

pandang baru (diluar budaya elite/budaya konservatif) dalam masyarakat

yang mengacu pada gaya hidup konsumtif yang berkembang pada suatu waktu, dan dapat berkembang serta ditinggalkan bersilih ganti. Sebuah kajian sosial masyarakat memandang bahwa ada perkembangan budaya massa dalam masyarakat yamg merupakan konsekuensi logis dari

perkembangan informasi yang sangat cepat masyarakat yang terbuaka, dan sejak dulu memang sudah bersinggungan dengan kebudayaan lain, baik yang datang kepada kita maupun yang kita datangi.

Budaya massa tidak dapat dilepaskan dari pola hiburan masyarakat. Selain itu istilah budaya massa (mass culture) sering disalingpertukarkan

dengan budaya populer (popular culture), begitu pula dengan hiburan

massa (mass entertainment). Walaupun budaya massa tidak hanya bersifat

hiburan, tetapi mencakup pula seluruh produk terpakai atau barang konsumsi (consumer goods) sebagai produk massal dan fashionable yang formatnya terstandarisasi dan penyebaran dan penggunaannya bersifat luas.

Lewat budaya massa / budaya pop, konsumen menggunakan produk kebudayaan untuk tujuan psikologis atau sosial. Secara sederhana produk budaya massa berfungsi untuk menghibur dan didukung oleh sistem massal dalam pendistribusiannya.

Masuk pada level konsumsi, yang dikonsumsi masyarakat pada level ini bukan lagi sesuatu berdasarkan nilai guna, nilai pakai, tetapi sesuatu yang kalau disebut dalam istilah teoritis adalah simbol. Di sini kemudian citra atau image menjadi sangat penting, ia berjalan seiring melesatnya kemajuan dunia informasi di mana informasi bukan lagi sekadar sebagai alat atau modal untuk berdagang, melainkan menjadi produk itu sendiri. Orang rela membayar, mengongkosi begitu mahal untuk kepentingan citra itu, dengan misalnya para orang kaya baca puisi, selain tentu saja membeli barang tertentu, makanan tertentu, baju tertentu, bergaya tertentu. Ini

merupakan gejala dari budaya tersebut, di mana orang ”dilatih” untuk berobsesi dengan persoalan gaya hidup.

Pentingnya citra atau image cukup mencolok manifestasinya dimana

kita semua percaya bisa melihat langsung di sekitar kita. Terjadi iklan secara besar-besaran, desain, aksesori toko, plaza yang bukan main. Kalau orang membikin toko baru, bukan mencari barang yang lebih murah untuk dijual untuk bisa bersaing dengan toko lain, tetapi pertama-tama desainnya harus bagus, aksesorinya menarik, lampunya gemerlap, dan seterusnya. E. Wacana Trading Up

Berangkat dari sebuah pernyataan Adam Smith dalam Silverstein (2005), kebebasan dan kemewahan adalah dua anugerah terbesar yang dapat

dimiliki seseorang, yang dirasa cocok dengan sikap konsumen trading up.

Pada kenyataannya sangat sulit bagi seseorang untuk mendapatkan keduanya, apalagi di tengah krisis seperti yang dialami bangsa kita saat ini. Akan tetapi, bagi produsen, mereka tidak boleh kehabisan akal dalam meningkatkan

revenue penjualannya. Selalu ada segmen konsumen potensial yang siap menggunakan produk yang ditawarkan.

Salah satu strategi yang mereka jalankan adalah dengan menjual produk-produk premium. Di Indonesia ini mungkin kelihatan paradoks, sebab mana mungkin menjual produk dengan harga mahal di tengah daya beli masyarakat yang kian menurun. Akan tetapi, tentu saja produk premium ini tidak ditawarkan secara massal alias komoditi, melainkan dalam jumlah terbatas pada segmen atas. Produk premium ini dijual tidal lagi sekadar fungsi, tetapi juga citra dan imaji penggunanya (self image). Melakukan peningkatan

teknis yang menghasilkan keuntungan fungsional yang berakibat pada daya tarik emosional bagi konsumen.

Banyak ahli berpendapat dan menyebut produk premium sebagai pasar jati diri di mana seseorang menyatakan diri (self) kepada orang lain melalui produk yang digunakan. Beberapa produsen mulai menciptakan produknya

untuk menjadikan konsumen mereka memiliki image yang diharapkan.

Dokumen terkait