• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Teori Perilaku

Notoatmodjo (1993) mendefinisikan perilaku manusia sebagai hasil refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebagainya. Namun demikian, pada realitasnya sulit dibedakan gejala kejiwaan yang menentukan perilaku seseorang, apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, diantaranya adalah faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio budaya masyarakat, dan sebagainya. Perilaku merupakan respon dari seseorang terhadap stimulus yang berasal dari luar atau dalam dirinya dan perilaku seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang obyek tersebut melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono, 1997).

Beberapa teori yang sering digunakan untuk menganalisis perilaku kesehatan individu maupun suatu kelompok masyarakat yaitu teori aksi Weber dan teori adopsi inovasi Rogers.

1.Teori Weber

Dalam teori aksi yang dikenal sebagai teori bertindak, Max Weber berpendapat bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman, dan penafsiran atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu. Teori ini dikembangkan oleh Talcott dan Parsons, yang menyatakan bahwa aksi merupakan respon mekanik terhadap suatu stimulus

bukan perilaku, sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif. Menurut Parsons yang utama bukanlah tindakan individu, melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntun dan mengatur perilaku.

Gambar 1. (A) Teori aksi Weber dan (B) Parsons (Sarwono,1997)

PERILAKU INDIVIDU Sistem Sosial Sistem Budaya Sistem Kepribadian TINDAKAN INDIVIDU A. B. Pengalaman Persepsi Pemahaman Penafsiran Stimulus

Kondisi objektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Parsons melihat bahwa tindakan individu dan kelompok dipengaruhi oleh tiga sistem, yaitu sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian dari masing-masing individu. Keterkaitan individu dengan sistem sosialnya melalui status dan perannya. Individu menduduki suatu tempat tertentu dalam setiap sistem sosial dan bertindak sesuai dengan norma atau aturan yang dibuat oleh sistem aturan tersebut dan perilaku individu ditentukan pula oleh tipe kepribadiannya (Sarwono,1997). 2. Teori adopsi inovasi Rogers

Menurut teori inovasi Rogers, implisit dalam proses perubahan perilaku adalah adanya suatu gagasan baru yang diperkenalkan kepada individu dan yang

diharapkan untuk diterima oleh individu tersebut. Teori ini dikenal sebagai

innovation decisions prosess. Proses ini terdiri dari lima tahap, yaitu mengetahui atau menyadari tentang adanya ide baru (awareness), menaruh perhatian terhadap ide tersebut (interest), memberikan penilaian (evaluation), mencoba memakainya (trial), dan apabila menyukainya maka setuju untuk menerima ide atau hal baru tersebut (adaption).

Dari pengalaman di lapangan serta penelitian mengenai penerapan teori ini ternyata membuat Rogers menyimpulkan bahwa proses adopsi ini tidak berhenti setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Situasi ini kelak dapat berubah lagi sebagai akibat dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, Rogers mengubah teori itu dan membagi proses pembuatan keputusan menjadi empat tahap, yaitu: a.tahap knowledge

Mula-mula individu menerima informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan suatu ide baru, ini menimbulkan minat untuk mengenal lebih jauh tentang objek atau topik tersebut.

b.tahap persusion

Oleh petugas kesehatan, tahap knowledge tersebut digunakan untuk membujuk atau meningkatkan motivasi individu guna bersedia menerima objek atau topik yang dianjurkan tersebut.

c. tahap decision

Tergantung pada hasil persuasi petugas atau pendidik kesehatan dan pertimbangan pribadi individu maka dalam tahap decision dibuatlah keputusan untuk menerima atau justru menolak ide tersebut.

d. tahap confirmation

Pada tahap penguatan ini, individu akan meminta dukungan dari lingkungan atas keputusan yang telah diambil tersebut. Bila lingkungan memberikan dukungan positif maka perilaku yang baru tersebut tetap dipertahankan, sedangkan bila ada keberatan dan kritik dari lingkungan terutama dari kelompok acuannya, maka biasanya adopsi itu tidak jadi dipertahankan dan individu tersebut kembali lagi pada perilaku semula. Sebaliknya suatu penolakan pun akan dapat berubah menjadi adopsi apabila lingkungannya justru memberikan dukungan agar individu menerima ide baru tersebut. Tidak setiap orang mempunyai kecepatan yang sama dalam hal mengadopsi sesuatu yang baru, hal ini dapat dilihat dalam gambar 2 di bawah ini (Sarwono,1997).

Pengetahuan Pertimbangan

Keputusan

Diterima Ditolak

(adopsi)

Tetap Ditolak Tetap Ditolak

diadopsi ditolak

Penguatan

Proses pembentukan atau perubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor dari dalam, maupun dari luar individu (Sarwono, 1997). Menurut Dharmmesta dan Handoko (2000), Faktor-faktor lingkungan ekstern yang mempengaruhi perilaku konsumen, meliputi kebudayaan, kelas sosial, kelompok-kelompok sosial, kelompok-kelompok referensi, dan keluarga, sedangkan faktor intern yang berpengaruh pada perilaku konsumen, meliputi motivasi, pengamatan, belajar, kepribadian, dan konsep diri, serta sikap. Faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku :

1. motivasi

Motivasi adalah suatu dorongan kebutuhan, dan keinginan individu yang diarahkan pada tujuan untuk memperoleh kepuasan. Sumber yang mendorong terciptanya suatu kebutuhan tersebut dapat berasal dari dalam orang itu sendiri atau dari lingkungannya sekitar (Dharmmesta dan Handoko, 2000), sedangkan menurut Sarwono (1997) motivasi adalah dorongan yang bertindak untuk memuaskan suatu kebutuhan, dorongan ini diwujudkan dalam bentuk tindakan atau perilaku. Motivasi timbul karena adanya suatu kebutuhan atau keinginan yang harus dipenuhi. Keinginan itu akan mendorong individu untuk melakukan suatu tindakan agar tujuan tercapai. Motivasi yang rendah biasanya menghasilkan suatu tindakan yang kurang kuat, dan pengetahuan yang diketahui cukup tinggi. 2. pengetahuan

Pengetahuan adalah sebagai unsur-unsur yang mengisi akal dan alami jiwa seseorang yang sadar, yang secara nyata terkandung didalam otaknya. Pengetahuan akan menimbulkan suatu gambaran, persepsi, konsep, dan fantasi,

terhadap segala hal yang diterima dari lingkungannya melalui panca indranya (Dharmmesta dan Handoko, 2000).

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu, dan penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku, ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Berdasarkan pengalaman, dan penelitian terlebih dahulu bukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

B. Kegemukan

1. Definisi kegemukan

Kegemukan didefinisikan sebagai terdapatnya lemak tubuh dalam jumlah abnormal, yang mengakibatkan kegemukan dan overweight pada keadaan tinggi badan, dan jumlah otot tertentu. Kegemukan dapat mencetuskan resistensi insulin dan hiperinsulinemia, yang akhirnya bisa memicu terjadinya diabetes, dan juga meningkatkan risiko akan hipertensi (Tjay dan Raharja, 2002).

Kegemukan sendiri ada 2 macam, yaitu overweight dan obesitas.

Overweight adalah penumpukan jaringan lemak tubuh yang abnormal dengan batasan berat badan antara 10-20% dari berat badan normal. Sementara obesitas

atau kegemukan didefinisikan sebagai penumpukan jaringan lemak tubuh yang abnormal, dengan batasan berat badan di atas 20% dari berat badan normal (Anonim,2006).

2. Faktor penyebab kegemukan

Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kelebihan berat badan atau kegemukan pada seseorang, diantaranya faktor genetika (bawaan), serta pola dan gaya hidup. Pola makan dan gaya hidup merupakan faktor yang memiliki peran penting dalam terjadinya kegemukan. Pola makan dan gaya hidup yang dimaksud antara lain yaitu pola intake (pemasukan) makanan, dan penggunaan energi yang tidak seimbang. Pola intake adalah keseimbangan zat-zat makanan yang dikonsumsi dalam tubuh, baik jumlah dan mutu gizinya. Penggunaan energi merupakan pengeluaran kalori dalam tubuh melalui aktivitas sehari-hari dan olah raga (Anonim, 2004). Faktor- faktor lain penyebab kegemukan :

a. kebiasaan makan yang buruk, seperti konsumsi makanan yang melebihi kebutuhan tubuh

b. kebiasaan ”mengemil”

c. adanya anggapan yang salah, yaitu bahwa anak yang gemuk adalah sehat; sehingga anak makan terus tanpa kontrol

d. gangguan hormonal, seperti kelainan hormon insulin dan tiroid. Kelainan ini menyebabkan gangguan metabolisme zat gizi di dalam tubuh, namun kelainan ini jarang ditemukan

e. faktor keturunan (genetik) f. faktor psikologi (stres)

3. Terapi kegemukan

Terapi kegemukan yang tepat pada dasarnya adalah mengatur pola makan, dan latihan fisik atau gerak badan. Upaya untuk mengatasi kegemukan dapat dilakukan dengan berbagai cara, tetapi perlu diingat bahwa untuk menurunkan berat badan harus memperhatikan faktor-faktor seperti dibawah ini agar nantinya tidak menimbulkan masalah baru bagi kesehatan.

a. kesadaran akan pentingnya penampilan maupun kesehatan membuat para penderita kegemukan berupaya menurunkan berat badan mereka, tapi sayangnya sebagian dari mereka menempuh cara yang kurang tepat untuk menurunkan berat badannya, seperti menjalankan diet ketat dengan kandungan kalori yang sangat rendah, sehingga melampaui batas aman dan membahayakan tubuh.

b. penggunaan mesin-mesin modern penurun berat badan dalam waktu yang sangat singkat dan tidak proporsional.

c. melakukan olah raga secara tidak teratur dan terukur.

d. minum pil dan obat-obatan penurun berat badan yang berdampak negatif bagi kesehatan.

Penatalaksanaan berat badan merupakan upaya yang harus dijalankan secara bersamaan dan terus menerus. Penerapan penatalaksanaan berat badan harus secara terpadu (holistik) dengan 4 konsep pendekatan, yaitu: perencanaan makan, aktivitas fisik/olahraga, perubahan perilaku dan pengobatan, hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Penurunan berat badan secara signifikan dapat dicapai dengan pendekatan holistik yang meliputi:

1) perencanaan makan pagi yang benar

Makan secara teratur tiga kali dalam sehari dengan komposisi yang tepat, yaitu karbohidrat 50%, protein 20 % dan lemak 30 % dari total kalori.

2) aktivitas fisik/olah raga

Dengan berolah raga, energi yang kita keluarkan akan meningkat, otot tubuh pun akan menjadi kencang dan secara psikologis orang yang rajin berolah raga biasanya juga lebih fit dan lebih percaya diri. Jenis olahraga yang dianjurkan adalah aerobik seperti jalan kaki, joging, ataupun berenang. Selain itu olahraga yang teratur akan menjadikan tubuh menjadi mesin pembakar lemak yang efektif.

3) perubahan tingkah laku

Perubahan tingkah laku yang dimaksudkan adalah menanamkan motivasi dan disiplin diri dalam usaha penurunan berat badan. Termasuk di sini adalah membiasakan diri merencanakan makan yang benar dan berolahraga sesuai yang dianjurkan serta menghindari makanan berlemak sebagai pelampiasan stres

4) pengobatan

Berkonsultasilah dengan dokter untuk mendapatkan pengobatan yang memungkinkan penurunan berat badan yang lebih efektif dan menjaga penurunan berat badan. Ada dua mekanisme kerja obat-obat penurun berat badan, yaitu golongan penekan nafsu makan yang bekerja di susunan syaraf pusat, dan penghambat penyerapan lemak yang bekerja secara lokal di usus.

Jenis obat yang bekerja secara lokal di usus ini relatif aman untuk dikonsumsi dalam jangka panjang dan efek samping yang minimal

Dengan pendekatan holistik ini maka penurunan berat badan dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Namun lain halnya, jika penurunan berat badan tidak secara holistik, maka yang sering terjadi adalah seseorang tersebut akan mengalami sindroma yoyo, yaitu dimana berat tubuh dapat turun dengan cepat tetapi kemudian melonjak kembali dengan total timbangan yang lebih banyak (Anonim, 2006).

Gambar 3. Penatalaksanaan berat badan dengan pendekatan holistik

Prinsip terapi dari kegemukan dan obesitas adalah pengaturan pola makan (diet) yang sehat dan meningkatkan aktifitas fisik. Untuk itu, sebaiknya bagi penderita yang mengalami masalah ini, segera berkonsultasi kepada dokter, bahkan jika perlu seorang ahli gizi medik. Hal ini penting untuk menentukan diet dan aktifitas fisik yang sesuai dan aman untuk penderita obesitas ataupun

hal ini seringkali menyebabkan tubuh kekurangan nutrisi. Upaya untuk mengkonsumsi obat-obatan pelangsing tubuh yang dijual secara bebas tidaklah selalu aman (Wahyu, 2006).

Hal penting yang perlu diingat, jika ingin menurunkan berat badan, disarankan untuk tetap mengkonsumsi berbagai jenis asupan dengan komposisi gizi seimbang terdiri dari karbohidrat 50%, protein 20% dan lemak 30 % dari total kalori. Ini dikarenakan tubuh tetap memerlukan zat gizi tersebut untuk energi, metabolisme, dan memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak. Selain itu, tubuh juga memerlukan vitamin dan mineral untuk mengatur cairan, pembentukan sel darah, membantu proses metabolisme dan membentuk hormon/enzim yang tidak bisa diperoleh dari satu jenis asupan/makanan.

Sebagai panduan untuk memilih jenis asupan sesuai dengan nilai gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, piramida makanan yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI akan sangat membantu, jika diperhatikan, piramida makanan di bawah ini terdiri atas beberapa bagian, bagian tersebut berdasarkan banyak sedikitnya makanan yang harus dikonsumsi setiap hari.

i. Bagian paling bawah adalah kumpulan makanan yang mengandung karbohidrat dan serat seperti : nasi, mie, roti, sereal, sayuran-sayuran, dan sebagainya. Makanan jenis inilah yang dapat dikonsumsi lebih banyak, karena kalori yang berasal dari karbohidrat akan jauh mudah diubah menjadi energi atau tenaga ketimbang makanan yang berasal dari lemak, sementara sayur-sayuran akan sangat membantu untuk sistem pencernaan.

ii. Bagian tengah adalah makanan yang dapat dikonsumsi secara wajar seperti: ikan, ayam, telur ataupun susu. Sebaiknya jika mengkonsumsi ayam, buanglah kulitnya, sementara untuk susu carilah yang rendah lemak.

iii. Bagian yang paling atas adalah kumpulan makanan yang harus dihindari atau paling tidak makanan yang paling sedikit/jarang dikonsumsi seperti : mentega, minyak, dan gula, karena makanan ini kaya akan lemak.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar piramida makanan di bawah ini.

Gambar 4. Piramida makanan yang ditetapkan oleh DepKes. RI (2003)

4. Penentuan kelebihan berat badan a. Body Mass Index (BMI)

Body Mass Index (BMI) atau Indek Massa Tubuh (IMT) merupakan angka pengukuran massa tubuh, dan erat kaitannya dengan kandungan lemak tubuh.

Body Mass Index (BMI) menggunakan persamaan matematika berdasarkan tinggi dan berat badan seseorang. Body Mass Index (BMI) merupakan hasil bagi antara berat badan dalam kg, dengan tinggi badan dalam m2. Pada tabel klasifikasi BMI, tidak menunjukkan perbedaan antara kelebihan lemak tubuh, dan otot. Meskipun demikian, BMI lebih berkolerasi dengan pengukuran lemak tubuh. Nilai BMI yang didapat ini tidak akan berpengaruh terhadap umur, dan jenis kelamin seseorang (Anonim, 2005).

Keterbatasan BMI tidak dapat digunakan bagi anak-anak yang dalam masa pertumbuhan, wanita hamil, orang yang sangat berotot, contohnya atlet. Body Mass Indeks (BMI) dapat digunakan untuk menentukan seberapa besar seseorang dapat terkena resiko penyakit tertentu yang disebabkan karena berat badannya. Seseorang dikatakan obesitas dan membutuhkan pengobatan bila mempunyai BMI di atas 30, dengan kata lain orang tersebut memiliki kelebihan berat badan sebanyak 20%.

Tabel I. Klasifikasi BMI menurut WHO (1998) BMI

(kg/m2)

Klasifikasi Resiko Penyakit Penyerta

< 18,5 Underweight

(kekurangan berat badan)

Rendah (tetapi resiko terhadap masalah-masalah klinis lain meningkat)

18,5 – 24,9 Normal Rata-rata ≥ 25 Overweight (kelebihan berat badan) 25-29,9 Pre-obesitas Meningkat 30 – 34,9 Obesitas I Sedang 35 – 39,9 Obesitas II Berbahaya ≥ 40 Obesitas III Sangat berbahaya

Untuk penduduk Asia, para ahli membuat klasifikasi BMI tersendiri seperti tabel dibawah ini.

Tabel II. Klasifikasi berat badan yang diusulkan berdasarkan BMI untuk penduduk dewasa Asia (IOTF, WHO, 2000)

BMI (kg/m2) Klasifikasi Resiko Penyakit Penyerta

< 18,5 Underweight

(kekurangan berat badan)

Rendah (tetapi resiko terhadap masalah-masalah klinis lain meningkat)

18,5 – 22,9 Normal Rata-rata ≥ 23 Overweight (kelebihan berat badan) 23 - 24,9 kg/m2 Pre-obesitas Meningkat 25 – 29,9 kg/m2 Obesitas I Sedang ≥ 30 kg/m2 Obesitas II Berbahaya b. Lingkar pinggang

Lingkar pinggang dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai jumlah lemak total dalam tubuh, dan lemak di rongga perut. Semakin besar lingkar pinggang, semakin besar pula resiko akan terkena penyakit diabetes, kolesterol tinggi, hipertensi, dan sesak nafas. Lingkar pinggang mudah di ukur dengan otot perut kendur (relaksasi) antara bagian bawah iga terendah dan bagian atas dari panggul (pelvis).

Alat untuk mengukur lingkar pinggang dinamai waist-hip ratio, bentuknya cukup unik, kecil, dan mudah dibawa. Waist-hip ratio merupakan perbandingan antara lingkar pinggang dan pangkal paha, yang dapat digunakan sebagai ukuran untuk menentukan pembagian lemak dalam tubuh. Waist-hip ratio (WHR) ini dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai timbunan lemak dalam tubuh, semakin tinggi ratio yang didapatkan, maka semakin banyak lemak yang tertimbun dalam tubuh, tetapi WHR ini tidak dapat memberikan informasi mengenai jumlah total lemak dalam tubuh. Kategori pengukuran dalam WHR, dikatakan mempunyai berat badan normal, jika perbandingan rationya adalah ≤ 1 untuk laki-laki, dan ≤ 0, 85 untuk perempuan. Lingkar pinggang normal untuk

laki-laki adalah 90 cm dan 80 cm untuk wanita di Asia, sedangkan di Eropa adalah lebih dari 102 cm untuk laki-laki dan 88 cm untuk wanita.

c. Indeks broca

Perhitungan kelebihan berat badan dengan menggunakan indeks broca, dapat dihitung dengan menggunakan rumus, tinggi badan - 100 - 10% (tinggi badan - 100), rumus ini di gunakan untuk usia ≤ 30 tahun, sedangakan untuk usia > 30 tahun digunakan rumus, tinggi badan – 100, satuan tinggi badan yang digunakan adalah dalam centi meter (cm). Kategori pengukuran dalam indeks broca:

i. normal : 10% dari berat badan ideal ii. overweight : 10 - 20% dari berat badan ideal iii. obesitas : 20% dari berat badan ideal

e. Relative body weight

Relative body weight (RBW), merupakan perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan dikurangi seratus, perbandingan ini ditampilkan dalam bentuk persentase. Kategori pengukuran dalam RBW:

i. normal : 90-110% ii. gemuk : > 110% iii. kurus : < 90%

f. Mengukur komposisi lemak tubuh

Komposisi lemak tubuh dapat diukur dengan menggunakan alat skin told

atau body fat analyzer. Pengukuran lemak tubuh pada perempuan, dan laki-laki berbeda, untuk perempuan dikatakan obesitas jika komposisi lemak tubuhnya lebih dari 20% berat badan, sedangkan untuk laki-laki lebih dari 25% berat badan. 5. Risiko kegemukan

Risiko kegemukan dapat digolongkan menjadi dua yaitu psikososial dan medis. Risiko psikososial meliputi hambatan fisik, sosial dan psikologis. Orang gemuk mempunyai banyak kesulitan dalam melakukan aktivitas fisik sehingga mengurangi kesempatan untuk mengikuti berbagai kegiatan sosial. Pengeluaran biaya sehari-hari untuk pakaian dan makanan juga lebih banyak pada orang gemuk, walaupun masyarakat menganggap kegemukan sebagai suatu hal yang wajar, yakni pertanda kemakmuran, sebenarnya mereka kurang menyukai hal tersebut, pada orang yang bersangkutan dapat timbul rasa rendah diri, tertekan, serta keputusasaan (Noer, 1996).

Orang gemuk cenderung sering sakit, untuk 1ebih mengerti secara keseluruhan adanya hubungan antara risiko dan kegemukan, perlu diketahui kalainan metabolik yang mungkin timbul pada orang gemuk. Kelainan metabolik yang terjadi pada orang gemuk berhubungan dengan besarnya lapisan lemak, dan akan menjadi normal kembali dengan pengurangan berat badan. Kelainan metabolik tersebut umumnya berupa (Noer, 1996) :

a. resistensi terhadap insulin muncul pada jaringan lemak yang luas dan sel otot yang berdekatan dengan hipertrofi sel lemak tersebut. Sebagai

kompensasi akan dibentuk insulin yang lebih banyak (hiperinsulinisme). Kegemukan berhubungan dengan adanya kekurangan reseptor insulin pada otot, hati, monosit dan permukaan sel lemak. Hal ini akan memperberat resistensi terhadap insulin.

b. hiperglikemia yang terjadi merupakan konsekuensi kelainan tersebut, karena sel beta pankreas tidak dapat memenuhi kebutuhan insulin yang semakin meningkat.

c. regulasi growth hormone yang abnormal dimana tidak terjadi kenaikan kadar hormon tersebut pada keadaan kelaparan/puasa, hipoglikemia dan stimulasi oleh arginin.

d. akibat lain dari kurangnya pengaruh insulin adalah adanya mobilisasi lemak yang dapat dilihat dari adanya kenaikan kadar free fatty acid (FFA) dan gliserol. Pada orang gemuk tanpa komplikasi maka toleransi glukosa, kadar FFA dan gliserol masih normal.

e. aktivitas lipoprotein lipase yang meningkat pada sel lemak yang hipertropik, dapat menyebabkan tendensi untuk penimbunan lemak bagian endogen maupun eksogen pada jaringan lemak.

f. terdapatnya defisiensi glikofosfat dehidrogenase intra-mitokondrial yang secara teoritis dapat menyebabkan pengaruh pada lipogenesis.

g. hipertrigliseridemia yang terjadi mungkin berhubungan dengan resistensi terhadap insulin.

h. tampak adanya hubungan metabolisme antara kegemukan, kadar gula darah dan kadar lipid darah, yang erat kaitannya dengan tendensi dalam menimbulkan komplikasi aterosklerosis.

dari berbagai uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa kegemukan dapat mengancam kesehatan manusia, dan tidak memberikan keuntungan apapun.

Dokumen terkait