Telah dikemukakan bahwa peraturan perundang-undangan itu tidak jelas dan tidak pula lengkap. Oleh karena itu harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan atau
melengkapi peraturan perundang-undangan.69Dalam hal peraturan perundang-undangannya tidak
jelas, maka tersedialah metode interpretasi atau metode penafsiran.70
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah
dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.71 Oleh karena undang-undangnya tidak
lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penegakan dan pelaksanaan hukum sering
merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum.72 Dalam melakukan
penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap
atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.73
Menurut Prof. J.H.A. Logemann, dinyatakan bahwa:
“Dalam melakukan penafsiran hukum, seorang ahli hukum diwajibkan untuk mencari maksud dan kehendak pembuat undang-undang sedemikian rupa sehingga menyimpang dari apa yang dikendaki oleh pembuat undang-undang itu.”
69
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Ed 2, Cet. 5, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2007 (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo I), h. 56.
70Ibid.
71 H. Zainal Asikin,Pengantar Ilmu Hukum, Ed 1, Cet 2, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 95.
72 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Ed 5, Cet 4, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2008 (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo II), h. 162.
41
Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga oleh peneliti hukum, dan mereka yang berhubungan dengan kasus atau konflik dan peraturan-peraturan hukum. Yang akan diuraikan di sini adalah penafsiran oleh hakim, karena penafsirannya itu mempunyai wibawa
karena dituangkan dalam putusan.74
Metode penafsiran sejak semula dibagi menjadi 4, yaitu interpretasi gramatical, sistematis, historis, dan teleologis. Di samping itu dikenal interpretasi komparatif dan interpretasi antisipatif.75
1. Interpretasi Gramatikal
Hukum memerlukan bahasa. Hukum tak mungkin ada tanpa bahasa. Oleh karena itu bahasa merupakan sarana penting bagi hukum: peraturan perundang-undangan dituangkan dalam bentuk bahasa tertulis, putusan pengadilan disusun dalam bahasa yang logis sistematis, untuk
mengadakan perjanjianpun diperlukan bahasa.76
Untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang maka ketentuan undang-undang itu ditafsirkan atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari. Disini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa umum sehari-hari. Metode penemuan hukum ini disebut interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa dan merupakan penafsiran atau penjelasan undang-undang yang paling sederhana dibandingkan
dengan metode interpretasi yang lain.77
74Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit.
75 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h 57.
76 Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit.
42
Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) adalah suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti kata-kata (istilah) yang terdapat pada undang-undang-undang-undang. Hukum wajib menilai
arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum.78
Sebagai contoh penafsiran menurut bahasa misalnya mengenai istilah menggelapkan dari
Pasal 41/KUHP ada kalanya ditafsirkan sebagai menghilangkan.79Metode interpretasi gramatikal
ini disebut juga metode obyektf.80
2. Interpretasi Sistematis atau Logis
Suatu peraturan hukum atau undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem hukum. Arti pentingnya suatu peraturan hukum terletak di dalam sistem hukum. Arti pentingnya suatu peraturan hukum terletak di dalam sistem hukum. Di luar sistem hukum, lepas dari hubungannya dengan peraturan-peraturan hukum yang lain, suatu peraturan hukum tidak
mempunyai arti.81
Menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum disebut penafsiran sistematis. Menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau keluar dari
sistem perundang-undangan atau sistem hukum.82
Contoh : interpretasi sistematis misalnya, kalau hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya tidak cukup hanya
78
H. Zainal Asikin, Op. Cit., h. 96.
79
Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h 171.
80 Sudikno Mertokusumo II, Loc. Cit.
81 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h 58.
43
mencari ketentuan-ketentuan dalam BW saja, tetapi harus dihubungkan juga dengan Pasal 278
KUHP.83
3. Interpretasi Historis
Makna undang-undang dapat dijelaskan atau ditafsirkan juga dengan jalan meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran ini dikenal sebagai interpretasi historis. Jadi penafsiran historis
merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang.84
Penafsiran historis ini ada dua, yaitu:85
a. Penafsiran menurut sejarah hukum (Rechts historische interpretatie) adalah suatu cara penafsiran dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan huku seluruhnya.
Contoh: KUH Perdata (BW) yang dikodifikasikan pada tahun 1848 di Hindia Belanda. Menurut sejarahnya mengikuti code civil Prancis dan di Belanda (Nederland) dikodifikasikan pada tahun 1838.
b. Penafsiran menurut sejarah penetapan suatu undang-undang (Wethistoirsche interpretatie), yaitu penafsiran undang-undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi dilegislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya.
83Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 173.
84 Sudikno Mertokusumo II, Loc. Cit.
44 4. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
Interpretasi teleologis terjadi apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang sudah usang digunakan sebagai sarana untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa yang terjadi sekarang. Metode ini baru dugunakan
apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan berbagai cara.86
Dapatlah dikatakan bahwa setiap penafsiran pada hakekatnya merupakan penafsiran teleologis. Makin usang suatu undang, makin banyak dicari tujuan pembentuk undang-undang yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Interpretasi teleologis dinamakan
juga interpretasi sosiologis.87
5. Interpretasi Komparatif
Interpretasi komparatif atau penafsiran dengan jalan memperbandingkan adalah
penjelasan berdasarkan perbandingan hukum.88 Pada interpretasi komparatif maka penafsiran
peraturan itu dibenarkan dengan mencari titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan di berbagai negara. Terutaa bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional ini penting. Di
luar hukum internasional kegunaan metode ini terbatas.89
86Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h 61.
87 Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit.
88 Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h 174.
45 6. Interpretasi Antisipatif atau Futuristis
Pada penafsiran antisipatif maka dicari pemecahannya dalam peraturan-peraturan yang
belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan undang-undang.90 Interpretasi ini
pernah dipakai pertama kali ketika terjadi pencurian aliran listrik. Pada 23 Mei 1921 hakim di Belanda memutuskan bahwa pencurian listrik dapat dijatuhkan pidana dan ditafsirkan bahwa aliran listrik termasuk kategori “barang”, padahal pada saat itu aliran listrik baru dimasukkan dalam rancangan undang-undang sebagai sebuah “barang”, sehingga siapa saja dapat dipidana
jika mencuri aliran listrik.91
7. Interpretasi Restriktif
Disini untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang ruang lingkup ketentuan undang-undang itu dibatasi. Ini adalah suatu metode penafsiran dengan mempersempit arti suatu
peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa.92 Misalnya pengertian “tetangga”,
bahwa dalam penafsiran gramatikal diartikan sebagai seorang “penyewa di pekarangan sebelah”.
Tetapi bagi penafsiran restriktif “ tetangga penyewa” tidak termasuk pengertian tetangga.93
8. Interpretasi Ekstensif
Penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam undang-undang
sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan ke dalamnya.94
90Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit.
91 H. Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, Ed I, Cet II, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 99, dikutip dari Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Ed 2, Cet. 5, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2007, h 62.
92
Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit.
93 H. Zainal Asikin, Op. Cit., h. 100.
94
46
Contoh: kata “menjual” dalam Pasal 1576 KUHPerdata tidak semata-mata diartikan menjual dalam konteks jual beli semata-mata, tetapi tindakan apa saja yang mengalihkan barang
dikategorikan sebagai tindakan menjual.95
9. Interpretasi Otentik
Metode interpretasi secara autentik (resmi), yaitu penafsiran yang resmi yang diberikan oleh pembuat undang-undang tentang arti kata-kata yang digunakan dalam undang-undang tersebut.96
Contoh : Dalam Titel IX Buku I KUHP memberi penjelasan secara resmi (autentik) tentang arti beberapa kata/sebutan di dalam KUHP. Seperti dalam Pasal 97 KUHP yang dimaksud “sehari” adalah masa yang lamanya 24 Jam, “sebulan” adalah masa yang lamanya 30 hari.97
Tetapi tafsiran dalam Titel IX Buku I KUHP ini tidak semestinya berlaku juga untuk kata-kata yang dipergunakan oleh peraturan pidana di luar KUHP artinya Hakim tidak hanya bertindak sebagai corong hukum saja melainkan harus aktif mencari dan menemukan hukum itu
sendiri dan mensosialisasikannya kepada masyarakat.98
Interpretasi otentik tidak pernah dibicarakan bersama-sama dengan metode-metode interpretasi lainnya oleh karena interpretasi otentik bukanlah metode penemuan hukum oleh
95 H. Zainal Asikin, Loc. Cit.
96
H. Zainal Asikin, Op. Cit., h 98.
97 H. Zainal Asikin, Loc. Cit.
98
47
hakim, melainkan merupakan penafsiran oleh pembentuk undang-undang yang dimuat dalam
undang-undang.99
Suatu Peraturan hanya dapat ditetapkan dengan jalan penjelasan atau penafsiran. Baru kemudian dapat dilihat apakah itu diperluas atau dipersempit. Pada umumnya metode interpretasi gramatikal itu bersifat membatasi, interpretasi menurut undang-undang memperluas, interpretasi
teleologis sifatnya memperluas, sedangkan metode interpretasi sistematis bersifat membatasi.100