• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Analisis Data

2) Tindakan Membalas Pukulan

Selain tindakan pergi dari rumah tokoh Liwa pun melakukan

tindakan berupa membalas pukulan, hal ini dilakukan oleh Liwa

semata-mata hanya ingin membela diri dari Ibarak. Liwa yang

sering mendapat perlakuan kasar dari Ibarak sudah tidak sanggup

lagi berdiam diri dan menahan rasa sakit lagi. Akhirnya Liwapun

melakukan perlawanan dengan cara membalas pukulan Ibarak. Hal

ini dibuktikan melalui kutipan sebagai berikut.

“Berani benar engkau Liwa!” tangan ibarak terayun dengan amat kuat, mendarat di pipi Liwa. Perempuan itu merasa sakit, rasa sakit itu mneyebar ke seluruh tubuh, mengobarkan kemarahan. Selama ini ia selalu mengalah dengan setiap perlakuan Ibarak, tapi hari kesabarannya telah musnah. Liwa harus melakukan sesuatu, iapun menerjang Ibarak dengan membabi buta dan mencakar-cakar Ibarak dengan kukunya yang tajam. (hlm. 84).

Dengan sekali tolak Liwa terjatuh ke tanah, Ibarak langsung menyepaknya. Ia mengira, Liwa akan menjadi ketakutan dan melolong-lolong karenanya. Ternyata tidak, dengan kalap Liwa menyambar kayu bakar dan menghantam tengkuk Ibarak keras- keras. Laki-laki itupun tersungkur ke tanah.

Tapi Ibarak tak terdiam lama, ia segera bangkit dan menatap Liwa dengan geram. Ibarak tak berpikir lebih lama lagi, ia menghajar Liwa dan Liwapun tak mau mengalah. Keduanya saling memukul hingga darah mengucur dan orang-orang datang melerai. Ibarak seakan tak percaya, bahwa Liwa berani menyerangnya, wanita itu kini telah dipenuhi memar dan cucuran darah. (hlm. 84-85).

Dalam kutipan dia atas terlihat bagaimana Liwa seorang

wanita yang dianggap lemah dan tidak berdaya daya dapat

melakukan hal yang mustahil dilakukan oleh wanita suku Dani

lainnya karena mereka harus tunduk kepada adat. Tapi, inilah

keberanian dan perlawanan yang dilakukan oleh Liwa akibat dari

penindasan dan kekerasan yang ia rasakan.

b. Berani bertanya

Dalam novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani penulis

menjumpai kutipan yang mengandung nilai feminisme yang

menunjukan sikap berani bertanya. Berikut adalah contoh feminisme

yang menunjukan sikap berani bertanya.

Sikap berani bertanya dilakukan oleh tokoh Lapina karena

merasa dipojokan oleh pertanyaan yang membuat ia bingung, sehingga

tokoh Lapina berani bertanya. Bertanya merupakan upaya meminta

penjelasan yang dilakukan oleh wanita terhadap laki-laki. Pernyataan

tersebut dibuktikan dalam kutipan berikut.

Suatu ketika Liwa tengah terbaring di dalam honai, ia mendengar suara orang bercakap-cakap. “Sampai kapan engkau akan menjanda Lapina?” terdengar suara seorang laki-laki membuka pembicaraan.

“Mengapa engkau bertanya akan hal itu?” Lapina segera menjawabnya.

“Tak baik terlalu lama menjanda, lagi pula engkau masih sangat muda”.

“Hari ini, aku bahkan masih dalam kedukaan, apa maksudmu?” Lapina balik bertanya. (hlm. 54).

Dalam kutipan di atas, menunjukkan bahwa Lapina tidak suka

pada seorang pemuda yang tertarik padanya dan ingin memintanya

secara adat menjadikan dirinya sebagai istri. Ketidaksukaan Lapina

tersebut ia tunjukkan melalui keberanian untuk bertanya kepada

pemuda itu, apa maksudnya bertanya seperti itu. Padahal Lapina masih

dalam kedukaan akibat kematian suaminya karena perang suku.

Keberanian Lapina dalam hal bertanya untuk meminta

pengertian ditunjukan melalui percakapannya dengan Kugara

suaminya pada saat kugara menegur Lapina karena tidak pergi ke

kebun sementara persediaan makanan sudah menipis. Pernyataan

tersebut dibuktikan dalam kutipan berikut.

“Engkau selalu seharian di kebun, tetapi mengapa ubi manis yang kau bawa hanya sedikit?” demikian Kugara menegur Lapina di depan pintu silimo.

“Tidakkah engkau melihat, badanku kian hari kian lemah?” Lapina balik bertanya.

“Aku telah membayarmu dengan babi, kau harus bekerja untukku dan untuk babi-babi itu”, Kugara memberi tekanan dalam suaranya, tampak sekali bahwa ia tidak senang.

“Memang betul, tetapi babi-babi itu tidak membuatku menjadi kuat”, Lapina menghempaskan seluruh bobot noken ke lantai honai dan iapun mulai sibuk menyalakan kayu bakar. (hlm. 33-34).

Dalam kutipan di atas, telihat bahwa Lapina yang dalam

keadaan lemah meminta Kugara suaminya untuk sedikit mengerti

keadaannya. Dengan berani Lapina pun bertanya kepada Kugara dan ia

berharap bahwa Kugara akan mengerti, tetapi Kugara sama sekali tidak

Ketidakmengertian Kugara membuat Lapina kesal dan akhirnya ia

menunjukkannya dengan cara membanting noken dan melakukan

kesibukan.

Sikap berani bertanya ini juga di lalukan oleh tokoh Liwa,

sebagai bentuk perlawanan terhadap suaminya yang tidak mau

mengerti dan perduli pada keadaannya. Pernyataan tersebut dibuktikan

dalam kutipan berikut.

“Engkau harus kembali pada tugasmu, atau kita akan kelaparan”. “Tidakkah kau tahu akan keadaanku?” Liwa membela diri.

“Aku tahu, tapi inilah adat dalam keluarga. Bukankah aku telah membayarmu dengan harga yang mahal? Engkau tak bisa mngelak dari tanggung jawab. Dan aku tak ma uterus menerus memarahimu”. Ibarak berkata seolah-olah Liwa adalah seorang wanita sehat yang dapat melakukan segalanya. (hlm. 77-78).

Dalam kutipan di atas, terlihat bagaimana Liwa mengeluarkan

keberaniannya untuk membela dirinya sendiri yang lelah dengan

perlakuan suaminya. Keberaniann untuk meminta pengertian terhadap

suaminya ternyata tidak mendapatkan hasil, suaminya selalu

mengatasnamakan adat untuk menekan Liwa dan Liwa pun tidak bisa

berbuat banyak.

“Melakukan apa?”

“Kau cukup berlemak, kau menarik bagi laki-laki lain”. “Kalau menarik kenapa?”

“Aku sering melihat Lopes sedang mengamat-amatimu, agaknya ia tertarik”.

“Apa sebenarnya maumu?”

“Aku ingin babi. Babi-babi itu akan membuatku menjadi orang kaya di kampung ini”.

“Kau sudah gila Ibarak”. (hlm. 201).

Kutipan ini menunjukkan keberanian yang dilakukan Liwa yang

bertanya pada suaminya tentang maksud suaminya mengatakan

mendapatkan kejelasan maka Liwa dengan tegas menolak. Ternyata

suaminya menginginkan dirinya dijadikan umpan untuk menjerat

pemuda lain, sehingga suaminya dapat menuntut denda babi kepada

pemuda itu karena telah mengganggu Liwa.

“Liwa, kau tahu bukan? Babi-babiku banyak berkurang?” Ibarak mengalihkan pembicaraan. Liwa mnegerutkan keningnya, ia tak tahu kemana arah pembicaraan suaminya.

“Kalau kurang kenapa Ibarak?” “Aku ingin mendapatkannya kembali”. “Nanti, babi itu juga akan beranak pinak”. “Aku tak sabar Liwa”.

“Terus, apa maumu?”

Suasana di dalam honai tiba-tiba menjadi hening, Liwa bisa mendengar hembusan napas Ibarak yang berat dan ia merasakan kerisauannya. (hlm. 225).

c. Berani menolak

Dalam novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani penulis

menjumpai kutipan yang mengandung nilai feminisme yang

menunjukan sikap berani menolak. Berikut adalah contoh feminisme

yang menunjukkan sikap berani menolak.

“Aku pasti akan melamarmu dengan babi-babi dan engkau pasti akan menjadi istriku”.

“Jangan bermimpi, aku masih dapat bertahan hidup dengan hasil kebun. Aku tak menginginkan babi-babi itu”, suara Lapina terdengar tegas.

“Aih, perempuan muda. Engkau tinggi hati sekali”, tiba-tiba terdengar suara berbisik, diam sesaat, kemudian kembali terdengar suara Lapina berbicara. Kali ini dengan sangat tegas.

“Kalau engkau berani menggangguku, aku akan mengadu pada tua-tua adat dan mereka akan menuntut denda babi kepadamu. Atau aku akan menangis berhari-hari, sehingga suara tangisanku dapat memancing seisi silimo ini untuk membunuhmu!” terdengar suara benda keras terbanting, tak lama kemudian Lapina segera menerobos masuk ke dalam honai, membaringkan tubuh disamping Liwa. (hlm. 54-55).

Sikap penolakan ini dilakukan oleh Lapina karena ia tidak ingin

merasakan masa-masa pahit dan menyedihkan seperti apa yang ia

alami waktu menjadi istri Kugara. Penolakan ini dilakukan karena

Lapina tidak ingin tertindas dan ingin merasakan kehidupan dengan

segala pilihannya sendiri tanpa harus patuh kepada adat.

Selain Lapina, tokoh Liwa pun melakukan sikap yang berani

menolak keinginan dari suaminya Ibarak. Hal ini terlihat pada kutipan

berikut ini.

“Ibarak tidakkah kau sadari, bahwa perbuatanmu itu melampaui batas?”

“Kau tidak bisa melawan perintahku”.

“Aku tidak bisa dan tidak akan pernah melakukan, aku lebih senang kalau engkau membunuhku daripada melakukan perbuatan tertukut itu”.

“Apa katamu?!” Ibarak merasa darahnya seketika mendidih. Ia sudah bersiap mengayunkan tangan, tapi Liwa dengan benci menatapnya.

“Kau selalu menjadikan alasan bayar babi untuk memperdayakanku. Perlu kau ketahui, bahwa tanpa membunuhku, sudah lama aku mati. Aku tak takut apa-apa lagi”, dalam keputusasaan Liwa menyatakan sikapnya, dan sebelum Ibarak mendaratkan pukulan wanita itu berlalu pergi. (hlm 202).

Dalam kutipan di atas, menunjukkan bahwa sikap berani

menolak yang dilakukan oleh Liwa adalah akibat dari kejenuhan Liwa

terhadap keinginan Ibarak suaminya yang selalu mengatasnamakan

adat dan memperdaya dirinya.

Penolakan yang lainnya juga dilakukan oleh Liwa pada saat

Ibarak me,nunjukan perhatiaannya, tetapi Liwa mengerti bahwa

perhatian Ibarak itu tidak tulus, ia baik karena ada maunya.

“Liwa, kau harus makan yang banyak, masa berkabung sudah lewat” suatu hari Ibarak mengunjungi Liwa di dalam honai dan mulai membuka pembicaraan.

“Aku tak enak makan Ibarak”.

“Kau tak boleh begitu, makanlah yang banyak supaya tubuhmu kembali berlemak”.

Liwa tak menanggapi kata-kata Ibarak, ia menjatuhkan ubi yang ditawarkan kepadanya.

“Nanti juga aku makan sendiri”. (hlm. 224).

Kutipan di atas menunjukkan penolakan yang dilakukan oleh

Liwa pada Ibarak. Liwa yang mengetahui maksud dari perhatian yang

diberikannya, membuat Liwa geram dan dengan tegas menolak

perhatian yang diberikan Ibarak.

“Tentu aku masih teringat, seorang laki-laki yang tertarik akan diriku. Aku tahu kemana arah pembicaraanmu Ibarak. Tapi sebelum kau lanjutkan, harus kau ketahui, bahwa aku tak takut dengan ancamanmu, kalaulah aku mesti melawan kehendakmu. Aku menyesal pernah memohonmu untuk melamarku dengan babi- babi kala kita masih muda. Ternyata menjadi alasan bagimu untuk memperdayakanku. Kalau anak-anakku seluruhnya masih hidup, aku akan bertahan bagi penderitaan itu, karena mereka adalah kekuatan mutlak bagiku. Tapi mereka sudah menjadi abu, aku tak punya alasan untuk merasa takut dengan ancaman, bahwa kau akan membunuhku, sebab aku sudah mati berulang kali sebelum jenazahku diperabukan. Lebih baik biarkan aku sendiri, sekali ini masa berkabung bagiku tak akan pernah berakhir. Tak akan, jadi jangan coba-coba memperdayakanku. Lebih baik kau membunuhku daripada tetap hidup, tapi kau terus menerus memperdayakanku”. (hlm. 225-226).

Kutipan di atas menunjukkan penolakan Liwa terhadap keinginan

Ibarak yang menurutnya sudah melampaui batas. Dengan kebaranian

Liwa menolak dan ia tidak takut lagi pada ancaman-ancaman yang

Ibarak lontarkan. Liwa telah jenuh dan ia sudah tidak dapat bertahan

lagi dengan segala perlakuan yang Ibarak lakukan terlebih ketika Liwa

harus kehilangan anak-anaknya akibat kebakaran. Tidak ada lagi

ia merasa sudah tidak memiliki apa-apa lagi kecuali dirinya sendiri,

akhirnya dengan segala keberanian Liwa menolak keinginan Ibarak.

C. Pembahasan

Novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani merupakan karya fiksi karya

Dewi Linggasari. Novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani seperti karya

sastra pada umumnya memiliki struktur intrinsik yang membangun novel itu

menjadi karya yang menarik. Struktur intrinsik yang diteliti dalam novel tersebut

meliputi tokoh, penokohan, latar dan tema. Menurut Abram melalui Nurgiyantoro

(2007: 165) tokoh cerita adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu

karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral

dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa

yang dilakukan dalam tindakan. Novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani

memiliki enam belas tokoh yaitu Liwa, Aburah, Lapina, Kugara, Ibarak, Gayatri,

Ardana, Nilasari, Herlambang, Alya, Kadarisman, Hera, Trimas, Anton, Dr.

Yohanis, dan Bupati dengan uraian perwatakan masing-masing.

Keenam belas tokoh memiliki peran dan intensitas kemunculan yang

berbeda-beda. Tokoh Liwa merupakan tokoh protagonis dan menjadi pusat cerita

dan menjadi tokoh utama. Tokoh Ibarak merupakan tokoh antagonis dan bukan

sebagai tokoh utama. Tokoh Gayatri merupakan tokoh wirawan karena Gayatri

mempunyai keagungan pikiran dan keluhuran budi yang tercermin di dalam

maksud dan tindakan yang mulia, sedangkan Aburah, Kugara, Lapina, Hera,

tokoh tambahan, intensitas kemunculannya tidak banyak tetapi membantu

menghidupkan cerita. Alasan Gayatri dijadikan sebagai tokoh wirawan adalah

selain karena cerita di tulis berdasarkan pengalaman tokoh Gayatri juga untuk

menampilkan cerita yang unik atau berbeda karena kebanyakan karya sastra hanya

terdapat tokoh protagonis dan antagonis saja.

Latar dalam karya sastra terdiri dari latar tempat, latar waktu, dan latar

sosial (Nurgiyantoro, 2007: 227-237). Novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku

Dani juga memiliki latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat

mengacu pada tempat terjadinya peristiwa, latar tempat dalam cerita meliputi

Wamena, Papua dan Yogyakarta. Latar waktu mengacu pada kapan terjadinya

peristiwa, latar waktu dalam novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani yaitu

tanggal, hari, siang-malam. Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan

dengan perilaku sosial tempat di mana cerita terjadi. Latar sosial dalam cerita

menggambarkan situasi adat istiadat masyarakat suku Dani, masyarakat Dani

adalah masyarakat tradisional yang senantiasa mengembangkan sikap tolong-

menolong, gotong royong, dan kebersamaan. Alasan terdapatnya ketiga latar

yang meliputi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial dalam cerita adalah untuk

memperjelas dan memberi gambaran kepada pembaca tentang di mana peristiwa

terjadi, kapan peristiwa berlangsung, dan bagaimana kehidupan sosial yang

melingkupi cerita.

Tema merupakan gagasan, ide yang mendasari suatu karya sastra. Tema

yang banyak dijumpai dalam karya sastra bersifat didaktis, yaitu pertentangan

penokohan (Sudjiman, 1991:50). Tema dalam cerita tidak diungkapkan secara

tersurat namun secara tersirat. Untuk menemukan tema dalam cerita peneliti harus

mengamati mulai dari karakter para tokoh. Tema yang terkandung dalam novel

Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani adalah adat yang telah meminggirkan hak

wanita akan kenyamanan dan menjalani segala pilihan dengan bebas. Adanya

tema memaknai cerita dan alasan tema tersebut adalah gambaran yang ingin

disampaikan kepada pembaca bahwa masih terdapat penindasan terhadap wanita

yang mengatasnamakan adat.

Karya sastra merupakan sebuah struktur. Struktur di sini dalam arti bahwa

karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara

unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan

unsur-unsur dalam sastra bukan hanya merupakan kumpulan atau tumpukan hal-

hal atau benda-benda yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan hal-hal itu saling

terikat, saling berkaitan, dan saling bergantung. Begitu juga dengan novel Sali:

Kisah Seorang Wanita Suku Dani unsur-unsur yang membangunnya juga saling

berkaitan, membuat suatu hubungan yang timbal balik yang membentuk suatu

kesatuan cerita yang menarik untuk dibaca. Seperti tokoh yang dapat bertugas

menyampaikan tema melalui tingkah laku para tokoh (Liwa, Ibarak, Gayatri,

Aburah, Kugara, Lapina, Hera, Anton, Trimas, Alya, Kadarisman, Ardana,

Nilasari, Herlambang, Dr. Yohanis, dan Bupati) dan dialog antartokoh, latar juga

mengambil peran yang tidak sedikit, bahkan tidak berlebihan jika dikatakan

bahwa sifat seseorang akan dibentuk oleh keadaan latarnya. Seperti pada latar

yang membuat pola pikir wanita suku Dani mulai berkembang dan muali berani

mengambil tindakan untuk membela dirinya sendiri.

Feminisme di dalam novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani barulah

sebatas ide dan hanya merupakan gerakan individual. Hal ini sejalan dengan

pernyataan Wahyuni via Sugihastuti (2010:223) bahwa persoalan yang dihadapi

oleh kaum perempuan merupakan problem sistemik yang tidak mungkin hanya

ditolak secara individual. Pembicaraan mengenai pokok-pokok pikiran feminisme

dalam novel Sali: Kisah Wanita Suku Dani pada dasarnya merupakan eksploitasi

terhadap pikiran, sikap, dan tindakan tokoh cerita dalam hubungannya dengan

eksistensi wanita.

Dalam novel Sali: Kisah Wanita Suku Dani terdapat tiga sikap dan dua

tindakan yang dilakukan oleh tokoh wanita, yaitu (1) sikap berani melawan, yang

diikuti oleh dua tindakan (a) tindakan pergi dari rumah, dan (b) tindakan

membalas pukulan, (2) sikap berani bertanya, dan (3) sikap berani menolak.

Feminisme yang terdapat di dalam novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani

merupakan feminisme vernacular yaitu feminisme kedaerahan. Menurut Illich via

Suguhastuti (2010:240), pada awalnya kata vernacular berarti segala sesuatu yang

buat rumah, tenunan rumah, ditanam di rumah, tidak dimaksudkan untuk diangkat

dan dipertukarkan di pasar, atau untuk keperluan rumah itu sendiri saja. Illich

memakai istilah itu untuk mengacu ke seluruh rangkaian yang terdiri dari dua

cabang rangkaian yang tergenderkan. Kata vernacular diartikan “kedaerahan”.

Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa gender-gender bertalian secara berbeda

suku Dani adalah masyarakat yang khas dan mempunyai karakteristik sendiri

dalam memproduksi gender. Dengan demikian, feminisme yang terdapat di dalam

novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani merupakan feminisme vernacular.

Jadi, feminisme vernacular muncul sebagai reaksi atas terjadinya ketidakadilan

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani unsur instrinsik

yang diteliti adalah tokoh, penokohan, latar dan tema, serta feminisme tokoh

wanita. Kesimpulan mengenai analisis diuraikan berikut ini.

Dalam novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani terdapat enam belas

tokoh, yaitu Liwa, Aburah, Lapina, Kugara, Ibarak, Gayatri, Alya, Kadarisman,

Ardana, Nilasari, Hera, Trimas, Anton, Dr. Yohanis, Herlambang, dan Bupati.

Tokoh utama dalam novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani adalah Liwa.

Tokoh protagonis adalah Liwa, tokoh antagonis adalah Ibarak dan tokoh wirawati

adalah Gayatri. Di dalam novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani, tokoh

tambahan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tokoh tambahan yang

berhubungan langsung dengan tokoh utama dan tokoh tambahan yang tidak

berhubungan langsung dengan tokoh utama tetapi berhubungan dengan tokoh

wirawati.

Unsur latar yang terdapat dalam novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku

Dani meliputi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani adalah Wamena, Papua dan Yogyakarta. Latar

waktu yang digambarkan dalam cerita adalah tanggal, hari, dan siang-malam.

Latar sosial cerita menunjukkan adat istiadat orang suku Dani. Tema yang

terkandung dalam Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani adalah adat yang telah

meminggirkan hak wanita akan kenyamanan dan menjalani segala pilihan dengan

bebas hal ini ditunjukkan dengan bagaimana adat memandang wanita suku Dani

sebagai manusia kelas dua.

Karya sastra merupakan sebuah struktur, begitu pula novel Sali: Kisah

Seorang Wanita Suku Dani yang juga merupakan bagian dari karya sastra

memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan, timbal balik, dan saling mendukung

karena masing-masing unsur tidak dapat berdiri sendiri. Kehadiran struktur

intrinsik dimaksudkan untuk membangun cerita yang dapat dinikmati oleh

pembaca.

Feminisme yang terdapat di dalam novel Sali: Kisah Seorang Wanita

Suku Dani, yaitu adanya usaha dari tokoh wanita suku Dani untuk

memperjuangkan haknya agar setara dengan laki-laki dan untuk bebas dari

penindasan serta kekerasan yang wanita suku Dani alami. Karena wanita dianggap

sebagai manusia kelas dua, segala bentuk kekerasan terhadap mereka dianggap

legal dan sah. Kekerasan terjadi di dalam rumah maupun di luar rumah. Bentuk-

bentuk kekerasan di dalam rumah, antara lain adalah penyiksaan oleh suami,

pemberian tugas mengasuh anak dan mengurus rumah tangga secara sepihak.

Kekerasan itu dilegalkan oleh rumah tangga dan adat.

Kekerasan terhadap wanita disebabkan oleh adanya prasangka gender,

yaitu pemahaman yang salah kaprah terhadap konsep gender jenis kelamin. Jenis

kelamin membagi manusia menjadi laki-laki dan perempuan berdasarkan

perbedaan alat kelamin dan reproduksi. Jenis kelamin adalah kodrat Tuhan yang

(maskulin) dan perempuan (feminim) berdasarkan konstruksi sosial budaya.

Gender melahirkan stereotipe laki-laki dan perempuan. Laki-laki itu kuat, jantan,

perkasa, dan rasional; sedangkan perempuan itu lembut, cantik, keibuan, dan

emosional.

Gerakan feminisme yang dilakukan oleh tokoh Liwa sebenarnya

bertujuan untuk merombak adat yang kolot. Liwa ingin mengubah adat yang

menyubordinasikan dan memarjinalkan perempuan menjadi adat yang mengakui

keberadaan perempuan. Akan tetapi, adat adalah sistem yang kuat, sedangkan

gerakantokoh Liwa baru merupakan gerakan individual. Perubahan belum

terwujud, tokoh Liwa sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Liwa sudah tidak

mampu menahan penderitaan hidupnya.

Feminisme dalam novel Sali: Kisah Wanita Suku Dani barulah sebatas

pemikiran, sikap, dan tindakan yang merupakan gerakan individual. Penulis

Dokumen terkait