• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2. Faktor Eksternal a. Faktor Era Globalisasi

2.8 Tinjauan Penelitian Terkait Sebelumnya

Menelaah penelitian sebelumnya memerlukan berbagai pertimbangan khususnya menyangkut penelitian yang memuat substansi perencanaan pengembangan wilayah di era otonomi daerah maupun penelitian yang terkait substansi penelitian di wilayah Bandung Barat dan wilayah yang mempengaruhinya seperti Provinsi Jawa Barat.

Desmawati (2008) melakukan studi tentang sektor unggulan dan arahan penerapannya di Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini penting karena menyangkut studi perekonomian Jawa Barat yang tentunya (dalam skala makro) akan berpengaruh terhadap orientasi pengembangan wilayah di Kabupaten Bandung Barat.

Desmawati (2008), meyimpulkan bahwa meskipun kabupaten pertanian memiliki keunggulan komparatif di sektor pertanian, tetapi 6 dari 4 kabupaten pertanian yang ada sektor pertaniaannya tidak memiliki keunggulan kompetitif. Bahkan, sektor pertanian di kabupaten/kota industri dan jasa termasuk sektor yang kompetitif. Indikasi ini menunjukkan bahwa pembangunan pertanian di wilayah berbasis pertanian masih belum optimal.

27

Pusat-pusat industri di Jawa Barat selain memiliki sumberdaya yang kuat, pertumbuhan sektornya juga mampu bersaing dengan kabupaten lainnya di Jawa Barat. Kabupaten jasa didukung oleh sumberdaya ekonomi yang kuat dan dengan pertumbuhan sektornya yang mampu bersaing dengan kabupaten lainnya di Jawa Barat.

Dilihat dari kesenjangan pendapatan antarpenduduk maka kabupaten dengan andalan sektor industri dan jasa di Jawa Barat berpotensi memunculkan kesenjangan pendapatan yang tinggi. Dilihat dari kesenjangan pemilikan lahan maka kecenderungan fragmentasi lahan di kabupaten/kota industri dan jasa lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten pertanian dan pertambangan. Hal ini makin diperparah jika membandingakan antara wilayah perkotaan dengan perdesaan dimana proses fragmentasi lahan di perkotaan dipercepat oleh aktivitas sektor ekonomi basis wilayah dan penerapan pembangunan pusat pertumbuhan.

Rata-rata tingkat pengangguran kabupaten jasa dan industri ada di atas tingkat pengangguran Jawa Barat. Ini disebabkan karena pengembangan industri pada modal memiliki keterbatasan dalam menampung tenaga kerja. Tingkat pengangguran terendah ada di kabupaten pertanian. Secara umum angka IKM yang relatif tinggi dimiliki oleh kabupaten yang mengandalkan perekonomian pada sektor pertanian. Adapun yang memiliki nilai IKM yang relatif rendah adalah kabupaten/kota industri dan jasa. Secara umum angka IPM yang relatif tinggi dimiliki oleh kabupaten yang mengandalkan perekonomian pada sektor industri dan jasa. Adapun yang memiliki nilai IPM yang relatif rendah adalah kabupaten pertanian. Dari analisis PCA yang dilakukan didapat bahwa tidak ada kaitan yang signikan antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan kesejahteraan manusia.

Kontribusi ekonomi (PDRB, output, nilai tambah bruto, serapan tenaga kerja) sektor industri terhadap perekonomian provinsi adalah yang paling dominan secara keseluruhan. Kontribusi sektor tertinggi per tipe ekonomi adalah sebagai berikut: PDRB Provinsi (industri 43,33 %), output (industri 57,2 %), nilai tambah bruto (industri 45,22 %), penyerapan tenaga kerja (pertanian 29,7 %).

Adapun dari perspektif keterkaitan, keterkaitan ke belakang langsung tertinggi adalah industri (0,53), bangunan (0,53). Keterkaitan ke belakang total

tertinggi adalah bangunan (1,932), industri (1,888). Namun keterkaiatan sektor industri hanya dengan sektor industri itu sendiri dimana 63,7 % input sektor industri berasal dari sektor industri sendiri dan keterkaiatan ke depan, 80,6 % output menjadi input bagi sektor industri. Tidak ada satu sektor ekonomi pun yang benar-benar memanfaatkan produk pertanian domestik. Adapun 72,02 % dari total industri di Jawa Barat adalah non-pertanian. Sebenarnya pertanian mempunyai potensi untuk mendorong sektor industri terutama industri pertanian.

Dari sisi pengganda sektor tertinggi per tipe adalah: pendapatan (industri 1,95), tenaga kerja (industri 3,79), PAD (ligas 6,43; jasa-jasa 2,86), PDRB (bangunan 2,36; industri 2,15). Sektor pertanian selalu berada terbawah kecuali untuk penggandaan PAD. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan besar pada teknologi dan manajemen sektor pertanian. Jika tidak, sektor pertanian bisa semakin tertinggal.

Dari analisis IO 86 sektor ditemukan bahwa tidak semua industri memiliki indikasi negatif dalam keterkaitan antarindustri sendiri. Industri pertanian (agroindustri) ternyata memiliki keterkaitan sektoral yang kompleks dan kuat termasuk keterkaitan dengan sektor pertanian primer.

Namun hasil positif agroindustri tidak muncul dalam penelitian

Dermoredjo (2001). Penelitian ini mengungkapkan bahwa meskipun sektor agroindustri mempunyai keterkaitan ke belakang paling tinggi namun kebijakan pengembangannya masih sulit. Tingkat kebocoran sektor ini masih tinggi, yaitu 66,18 %; sebagai perbandingan tingkat kebocoran sektor pertanian sebesar 31,27 %. Sama seperti penelitian Desamawati, penelitian Dermoredjo (2001)

menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak terkait dengan pembangunan manusia.

Penelitian Simanungkalit (2003) menyebutkan bahwa daya saing Kabupaten Bandung dalam perspektif Provinsi Jawa Barat baik. Penelitian ini pada prinsipnya digunakan untuk melihat pertimbangan akademis mengenai pemekaran Kabupaten Bandung Barat. Penelitian ini membuat penilaian tingkat daya saing (tinggi, sedang, rendah) per tipologi untuk setiap kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan nilai untuk Kabupaten Bandung, yaitu:

29

1. Daya saing tinggi: ekonomi dan fiskal, peternakan, pemerintahan dan rentang kendali

2. Daya saing sedang: aktivitas ekonomi penduduk, ketenagakerjaan, kependudukan, transportasi dan komunikasi, perumahan dan lingkungan, pertanian, perikanan

3. Daya saing rendah: kesenjangan daerah, sosial

Secara agregat, Kabupaten Bandung Barat mempunyai tipologi berdaya saing tinggi di Provinsi Jawa Barat. Oleh karena itu, dalam perspektif Provinsi Jawa Barat, alasan pemekaran Kabupaten Bandung Barat kurang bisa diterima terlebih melihat beberapa indikator yang pada umumnya dipakai untuk pemekaran seperti ekonomi dan fiskal, pemerintahan dan rentang kendali, serta kesenjangan daerah.

Penelitian Ilyas (2002) tentang Analisis Kesiapan Potensi Ekonomi Wilayah di Sulawesi Utara terhadap Kemandirian Pembangunan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah mengungkapkan bahwa orientasi pembangunan di era otonomi daerah seharusnya terkait dengan: (1) tuntutan dan kebutuhan masyarakat lokal, (2) sumber daya ekonomi yang terbatas, (3) perlunya skala prioritas. Struktur perekonomian di Provinsi Sulawesi Utara didominasi oleh sektor pertanian dengan kontribusi PDRB sebesar 45,80 %. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan sektor kedua yang signifikan dengan kontrbusi PDRB sebesar 14,23 %. Dengan menggunakan Principal Component Analysis

(PCA) didapatkan bahwa tidak ada keterkaitan antara sektor hulu dengan hilir. Selain itu, sektor industri cenderung mengambil bahan impor dan kurang menyerap tenaga kerja. Ilyas (2002) melakukan prioritas pembangunan untuk setiap kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Utara dengan menggunakan

Location Quotient (LQ) sektor ekonomi. Dari penelitian ini juga didapat bahwa indeks kemampuan rutin (IKR) Provinsi Sulawesi Utara masih rendah.

Penelitian Rozi (2007) tentang Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemsikinan dengan Studi Kasus Provinsi Riau menyebutkan bahwa otonomi daerah pada intinya adalah desentralisasi fiskal. Untuk itu, dalam otonomi daerah, yang diperlukan adalah meningkatkan kinerja fiskal dan

perekonomian daerah untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Mekanisme yang dilakukan adalah dari sisi penerimaan dan pengeluaran. Dari sisi penerimaan adalah bagaimana memperbesar Dana Alokasi Umum (DAU) yang berorientasi penurunan kemiskinan dengan mengalokasikannya untuk program yang bersentuhan dengan masyarakat. Dari sisi pengeluaran yang perlu dilakukan adalah peningkatan alokasi anggaran infrastruktur dan pertanian yang langsung berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan serta alokasi anggaran pendidikan, kesehatan, dan pelayanan kesehatan yang mempengaruhi peningkatan IPM yang kemudian akan menurunkan tingkat kemiskinan.

Penelitian Suryadi (2002), lebih spesifik mengembangkan ekoturisme dalam rangka pengembangan wilayah di era otonomi daerah. Penelitian ini menyebutkan bahwa ekoturisme merupakan sektor ekonomi unggulan yang mempunyai keterkaitan dengan ekonomi rakyat. Penelitian ini lebih banyak menggunakan metode eksploratif. Suryadi (2002) memaparkan bahwa seharusnya pengembangan otonomi daerah itu berbasis lokal dan pro pada ekonomi rakyat.

Penelitian Kurniawati (2005) dan Yuliati (2008) menyoroti pertanian di Kecamatan Lembang dan Parongpong yang selama ini dikenal sebagai daerah pertanian unggulan. Ada beberapa ancaman yang coba dimunculkan dari penelitian ini, yaitu konversi lahan sawah dan perekonomian petani marjinal. Konversi lahan sawah banyak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan permukiman. Sedangkan petani marjinal yang selama ini turut serta meyumbangkan komoditas unggulan semakin mempunyai nasib yang tidak menentu karena tidak mempunyai lahan sendiri, berasal dari keluarga miskin, minim modal, serta tidak ada bantuan kelembagaan.

BAB 3

Dokumen terkait