• Tidak ada hasil yang ditemukan

Istilah alergi pertama kalinya diperkenalkan oleh Clemens von Pirquet (1874–1929) pada tahun 1906 untuk menggambarkan setiap perubahan respon terhadap suatu substansi tertentu yang diberikan untuk kedua-kalinya. Peningkatan ketahanan tubuh, yang disebut imunitas dan peningkatan kepekaan yang disebut hipersensitivitas, pada waktu itu dipandang sebagai dua bentuk alergi yang saling bertolak belakang. Pada saat ini, pemakaian istilah alergi, baik dikalangan kedokteran maupun masyarakat luas, telah berubah. Istilah alergi sekarang diartikan sama dengan istilah hipersensitivitas (Jackson 2006).

Pada prinsipnya alergi adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh suatu reaksi imunologik yang spesifik, suatu keadaan yang ditimbulkan oleh alergen atau antigen sehingga terjadi gejala-gejala patologi. Alergi makanan dibagi menjadi dua jenis yaitu dengan keterlibatan IgE dan tanpa keterlibatan IgE. Pada reaksi ini, terdapat penetrasi molekul antigen ke dalam tubuh dan merangsang reaksi imunologik. Reaksi ini tidak timbul saat kontak pertama dengan antigen tetapi gejala akan timbul pada pajanan yang kedua kali dengan alergen yang sama. Gell & Coomb mengklasifikasikan reaksi alergi/hipersensitivitas ke dalam 4 kelas (Pawankar et al. 2009):

1. Reaksi Tipe I 2. Reaksi Tipe II 3. Reaksi Tipe III 4. Reaksi Tipe IV Reaksi Tipe I

Reaksi alergi tipe I dapat digambarkan sebagai berikut: reaksi diawali dengan masuknya antigen melewati sel epitel di permukaan mukosa. Alergen yang masuk akan ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC). Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen peptide pendek dan bergabung dengan molekul HLA (Human leukocyte antigen) kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex II) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper 0 (TH0). Sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan TH0 untuk berproliferasi menjadi TH1 dan TH2. Pada penderita alergi, jumlah sel TH2 lebih banyak dari TH1. sel TH2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL13.

IL-4 dan IL-13 yang dihasilkan oleh sel TH2 akan memacu switching produksi IgG ke IgE oleh sel B. Antibodi IgE akan berikatan pada reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel mastosit (sensitasi) sedangkan IL-5 mengaktifkan eosinofil yang merupakan sel inflamasi utama dalam reaksi alergi. Terjadinya switching produksi IgG ke IgE oleh sel B menyebabkan meningkatnya jumlah alergen-specific IgE pada penderita alergi. Gambar 1 menunjukkan mekanisme reaksi alergi tipe I.

Gambar 1 Mekanisme reaksi alergi tipe I (Singh dan Bhalla 2008)

Terjadinya interaksi antara antigen pajanan kedua dengan IgE yang terikat pada permukaan sel mastosit (provokasi) melalui ikatan cross linking (jembatan antara dua molekul IgE) akan menyebabkan aktivasi sel mastosit sehingga akan melepaskan berbagai mediator yang tersimpan dalam granula sitoplasma sel tersebut (Rengganis 2004; Shing dan Bhalla 2008). Mediator tersebut ada yang telah terbentuk seperti histamin dan beberapa enzim, ada pula yang baru dibentuk seperti prostaglandin D2, Leukotrien D4, Leukotrien C4, bradikinin, dan platelet activating factor. Mediator-mediator ini selanjutnya menimbulkan efek lokal seperti diare dan kolik pada saluran cerna serta meningkatkan absorpsi antigen makanan sejenis atau antigen lain. Keadaan ini juga akan menimbulkan efek sistemik seperti bronkokonstriksi dan pengendapan kompleks imun yang akan menimbulkan keluhan urtikaria. Reaksi ini termasuk ke dalam reaksi fase cepat yaitu reaksi alergi yang timbul saat kontak dengan antigen sampai dengan 1 jam sesudahnya.

Aktifasi eosinofil oleh IL-5 akan menyebabkan pelepasan mediator eosinofil seperti eosinophilic cationic protein (ECP), eosinophilic-derived protein, major basic protein (MBP), dan eosinophilic peroxidase (EPO). Reaksi alergi ini merupakan reaksi alergi fase lambat. Reaksi ini mulai berlangsung 2-4 jam pasca pajanan dengan puncak setelah 6-8 jam dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Alergi makanan hanya berawal dari pajanan mukosa saluran cerna oleh makanan, manifestasi alergi biasanya terjadi di luar saluran cerna dengan gejala yang dapat mengenai berbagai organ. Lolos nya alergen melaui usus halus ke pembuuh darah menyababkan reaksi alergi bersifat sistemik. Roit (2003) telah membuktikan bahwa timbulnya asma akibat alergi makanan pada percobaan sensitivitas usus.

Alergi tipe I adalah reaksi alergi yang dimediasi oleh antibodi IgE atau imunoglobulin E. Antibodi IgE adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul 190 kDa yang dapat berikatan dengan reseptor Fc pada sel mastosit atau sel lain seperti basofil dan eosinofil. Antibodi IgE mempunyai sifat khas yang tidak dimiliki oleh imunoglobulin kelas lain, yaitu afinitas yang tinggi pada mastosit

melalui reseptor Fc pada permukaan sel tersebut. Antibodi IgE dapat melekat pada permukaan mastosit selama beberapa minggu.

Reaksi Tipe II

Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik. Gambar 2 menunjukkan reaksi alergi tipe II. Reaksi ini terjadi akibat terbentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel efektor. Antibodi-antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R. Ikatan antigen-antibodi dapat pula mengaktifkan komplemen melalui reseptor C3b sehingga memudahkan fagositosis atau menimbulkan lisis. Contoh reaksi tipe II ialah keadaan trombositopenia yang berhubungan dengan alergi susu sapi. Secara klinik, reaksi ini sering ditemukan pada transfusi darah yang tidak sesuai, faktor rhesus yang tidak sesuai, penyakit trombositopenik purpura, dan poststreptokokal glomerulonefritis akut (Pawankar et al. 2009; Christanto dan Oedono 2011).

Gambar 2 Mekanisme reaksi alergi tipe II (Pawankar et al. 2009) Reaksi Tipe III

Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun. Gambar 3 menunjukkan reaksi alergi tipe III. Reaksi ini terjadi apabila ditemukan ikatan antigen-antibodi dalam sirkulasi darah atau jaringan yang mengaktifkan komplemen. Dalam keadaan normal, ikatan antigen-antibodi ini secara cepat dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial tanpa menimbulkan kondisi patologis. Namun, bila terdapat kompleks imun dalam konsentrasi tinggi disertai ukuran kompleks imun yang kecil, kompleks tersebut akan sulit dimusnahkan. Selanjutnya, kompleks imun ini akan mengendap pada kapiler atau jaringan dan akan mengaktifkan komplemen untuk kemudian merangsang sel mastosit dan basofil. Zat vasoaktif yang dilepaskan akan menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, dan reaksi inflamasi. Kompleks imun ini akan memberikan gejala sesuai dengan lokasi pengendapannya. Jika target organnya saluran cerna, akan terjadi kolik abdominal atau diare. Apabila kompleks ini mengendap di hidung, akan timbul gejala kongesti atau rinorea. (Pawankar et al. 2009; Christanto dan Oedono 2011).

Reaksi Tipe IV

Reaksi ini juga dikenal sebagai reaksi imun seluler karena tidak terdapat peran antibodi. Gambar 4 menunjukkan reaksi alergi tipe IV. Pada reaksi ini, antigen yang datang dari luar akan dipresentasikan oleh sel APC ke sel TH1 yang bergantung pada MHC II. Sel TH1 yang diaktifkan akan melepas berbagai sitokin, antara lain macrophage inhibitory factor (MIF), macrophage activating factor (MAF), dan interferon (IFN) yang akan mengaktifkan makrofag dan merupakan sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan.. Respons yang timbul pada reaksi tipe IV ini berkisar antara 24-48 jam setelah pajanan. Beberapa kasus alergi susu sapi tergolong reaksi tipe IV yang telah terbukti secara laboratoris (Pawankar et al. 2009; Christanto dan Oedono 2011).

Gambar 4 Mekanisme reaksi alergi tipe IV (Pawankar et al. 2009)

Epidemologi alergi pangan dipengaruhi oleh genetik, budaya dan pola hidup (Kumar et al. 2010). Reaksi alergi yang berakibat fatal dapat terjadi pada semua usia, namun resiko tertinggi terjadi pada anak kecil dengan penyebab utama antara lain kacang tanah, buah, ikan (Woods et al. 2001), dan kasein pada susu (Zakaria et al. 1992).

Diagnosis Alergi

Diagnosis alergi bertujuan terutama untuk mengenali alergen yang menyebabkan seseorang alergi. Diagnosis alergi sangat tergantung dari catatan medis atau riwayat kesehatan seseorang. Beberapa peneliti telah mengevaluasi berbagai macam metode untuk diagnosis alergi berdasarkan pada sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan negatif.

Gambar 5 Gambaran umum pendekatan diagnosis alergi (Holgat et al. 2006) Gambar 5 menunjukkan gambaran umum pendekatan diagnosis alergi. Gambar tersebut menunjukkan tingginya indeks dugaan alergi pada pasien yang menunjukkan gejala asma, rhinitis, atau eczema terutama jika berhubungan dengan sejarah keluarga yang menderita atopi. Uji SPT (Skin prick test) atau RAST (Radioallergosorbent tests) sebaiknya dilakukan untuk mengkonfirmasi atopi atau tidak, baik yang alergi maupun yang tidak alergi berdasarkan dugaan dari riwayat kesehatan. Apabila riwayat kesehatan dan hasil SPT atau RAST negatif maka seseorang itu tidak mengalami alergi sehingga tidak diperlukan penanganan khusus alergi. Apabila riwayat kesehatan dan uji SPT atau RAST seseorang positif maka pasien tidak dibolehkan mengkonsumsi alergen tersebut dan diperlukan immunoterapi. Apabila ada kejanggalan, maka perlu dilakukan

dugaan alergi terhadap riwayat kesehatan. Terkadang pada penderita alergi makanan diperlukan konsultasi ke ahli diet di klinik alergi. Klinik alergi dapat merekomendasikan untuk dilakukan imunoterapi (Holgat et al. 2006).

Skin prick test (SPT) atau uji tusuk kulit adalah metode yang dapat dipercaya untuk mendiagnosis alergi yang dimediasi oleh antibodi IgE pada pasien dengan rhinocon-junctivitis, asthma, urticaria, anapylaxis, atopic eczema, alergi obat dan makanan (Heinzerling et al. 2013). Apabila alergen diinjeksikan ke dalam bagian dermis kulit maka akan terjadi cross-linked atau ikatan silang antara alergen dengan IgE yang terikat pada sel mastosit. Hal ini akan menyebabkan keluarnya histamin dan mediator lainnya dari sel mastosit yang dapat menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, akibatnya timbul kemerahan (flare) dan bentol (wheal) pada kulit tersebut (Pawarti 2004). Dengan dilakukan uji tusuk kulit ini dapat ditentukan jenis alergen pencetus sehingga dikemudian hari dapat menghindari pajanan alergen pencetus tersebut (Pawarti 2004). Gambar 6 menunjukkan mekanisme kerja uji tusuk kulit sebagai salah satu cara untuk diagnosis alergi.

Gambar 6 Mekanisme kerja uji tusuk kulit (Holgat et al. 2006)

Bahan utama yang digunakan untuk SPT adalah ekstrak alergen atau reagen SPT. Untuk mengetahui kemampuan reagen dalam diagnosis alergi makanan maka perlu ditentukan nilai sensitivitas dan selektivitas reagen. Secara umum, sensitivitas suatu metode uji adalah ukuran kualitas metode yang menggambarkan kemampuan metode itu untuk mendeteksi adanya komponen dalam suatu contoh uji. Sensitivitas pada penelitian ini adalah kemampuan suatu reagen untuk mendeteksi adanya antibodi IgE spesifik terhadap alergen tertentu pada bagian tertentu kulit manusia dengan menggunakan uji skin prick test. Spesifisitas pada penelitian ini adalah kemampuan suatu reagen dalam mendeteksi antibodi IgE spesifik terhadap alergen tertentu pada bagian tertentu kulit manusia menggunakan uji skin prick test walaupun seseorang tersebut mengandung

antibodi IgE spesifik kompleks atau banyak mengandung antibodi IgE spesifik terhadap alergen yang lain. Selektivitas adalah kemampuan metode uji untuk memberikan sinyal analitik dengan benar untuk campuran analit dalam suatu contoh tanpa adanya interaksi antar analit.

Uji tusuk kulit sering dan mudah dikerjakan sehingga cocok untuk pelayanan klinik dan bermanfaat terutama untuk mengeksklusi makanan tertentu sebagai penyebab alergi (Christanto dan Oedono 2011). Tempat uji tusuk kulit yang paling baik adalah pada daerah volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2 sentimeter dari lipat siku dan pergelangan tangan. Faktor yang mempengaruhi uji tusuk kulit diantaranya antihistamin yang dapat mengurangi reaktivitas kulit. Oleh karena itu, obat yang mengandung antihistamin harus dihentikan paling sedikit 3 hari sebelum uji tusuk kulit. Pengobatan kortikosteroid sistemik mempunyai pengaruh yang lebih kecil, cukup dihentikan 1 hari sebelum uji tusuk

kulit dilakukan. Obat golongan agonis β juga mempunyai pengaruh tetapi

pengaruhnya sangat kecil, sehingga dapat diabaikan. Usia pasien juga mempengaruhi reaktivitas kulit walaupun pada usia yang sama kemungkinan juga terjadi reaksi berbeda. Usia pasien semakin muda biasanya mempunyai reaktivitas yang lebih rendah. Uji kulit terhadap alergen yang paling baik adalah dilakukan setelah usia 3 tahun.

Uji tusuk kulit dapat dilakukan dengan berbagai macam peralatan, baik yang single device maupun yang multiple device. Gambar 7 menunjukkan beberapa peralatan atau kit yang digunakan pada uji tusuk kulit. Isolat alergen yang saat ini berada di pasaran berasal dari ekstrak sumber pangan yang berbeda-beda dan dibuat dengan metode yang berbeda-beda yang menjadi rahasia perusahaan (Maleki et al. 2010). Isolat alergen ini merupakan protein crude yang masih

mengandung berbagai jenis protein alergen. Hal ini disebabkan jenis protein yang dapat menyebabkan alergi pada setiap orang berbeda-beda (Koppelman et al. 2001), sehingga isolat alergen tidak dimurnikan sampai diperoleh satu protein alergen saja. Zakaria et al. (1998) telah mengkaji sifat alergenisitas protein udang putih untuk produksi isolat alergen, dan hasilnya menunjukkan bahwa secara umum seluruh protein dari udang putih yaitu fraksi protein terlarut sarkoplasma dan miofibril mempunyai sifat alergenik yang mampu merangsang terjadinya reaksi alergi, sehingga isolat protein tersebut dapat digunakan sebagai alergen untuk uji tusuk kulit. Astuti (2012) juga telah meneliti sifat alergenisitas kacang kedelai, kacang tanah, dan kacang bogor untuk produksi isolat alergen dan hasilnya secara umum menunjukkan bahwa isolat protein tersebut mampu berikatan dengan IgE spesifik pada penderita alergi sehingga isolat tersebut bisa digunakan untuk uji tusuk kulit. Purbasari (2012) juga melakukan hal yang sama dengan menggunakan udang jerbung, kerang dan ikan tongkol.

Ekstrak Alergen Pangan

Kandungan makanan antara lain terdiri dari lemak, kabohidrat dan protein. Kandungan yang sering bersifat alergen adalah glikoprotein yang larut dalam air dengan berat molekul antara 18-70 kDa. Beberapa alergen dapat mempunyai berat molekul 160 kDa (Adkinson et al. 2008). Tabel 1 dan Tabel 2 masing-masing menunjukkan alergen utama pangan yang berasal dari hewan dan tumbuhan. Tabel 1 Karakteristik alergen pangan hewani

No Alergen Frekuensi

reaktivitas (%)

Berat molekul

(kDa) Fungsi

1 Sapi (Bos domesticus)

1.1 Bos d 4 6 14 α-Laktalbumin,

laktosa sintase

1.2 Bos d 5 13 18 β-Laktoglobulin,

lipokalin

1.3 Bos d 6 29 67 Serum albumin

1.4 Bos d 7 83 160 Immunoglobulin

1.5 Bos d 8 100 20–30 Kasein

1.6 75 kDa alergen 16 75 Transferin

2 Ikan Salmon atlantik (Salmo salar), cod (Gadus callarias)

2.1 Grup 1 100 12

Parvalbumin, calcium-binding protein

3 Udang (Metapenaeus spp, Penaeus spp)

3.1 Grup 1 (Met p 1) >50 34–36 Tropomiosin

70 39 Arginin kinase

4 Kepiting (Charybdis feriatus)

4.1 Grup 1 >50 34 Tropomiosin

5 Cumi-cumi (Todarodes pacificus)

5.1 Grup 1 >50 38 Tropomiosin

Umumnya, alergen ini stabil terhadap pemanasan serta tahan terhadap asam dan enzim protease. Alergen dapat menimbulkan sensitisasi dan gejala pada individu atopi meskipun dalam jumlah sedikit, beberapa mikrogram alergen inhalan sudah dapat merangsang pembentukan IgE. Dalam konteks alergi makanan, tidak dapat diduga berapa banyak protein yang diserap, berapa lama kontak dengan sistem imun, dan berapa cepat alergen yang dimakan dipecah untuk dapat diserap, diperkirakan 1 mikrogram laktoglobulin sudah dapat menimbulkan sensitisasi. Alergen dari hewan diantaranya adalah sapi, ikan, udang, kepiting dan cumi-cumi. Alergen utama pada sapi adalah Bos d 4, Bos d 5, Bos d 6, Bos d 7. dan Bos d 8 dengan berat molekul masing-masing 14, 18, 67, 160, dan 20-30 kDa. Alergen utama pada kepiting adalah Met p 1 dengan bobot molekul 34 kDa dan pada cumi-cumi adalah Grup 1 dengan bobot molekul 38 kDa.

Tabel 2 Karakteristik alergen pangan nabati Alergen Frekuensi

reaktivitas (%)

BM

(kDa) Fungsi

Leguminoseae Peanut (Arachis hypogaea)

Ara h 1 >90 70 Protein simpanan biji vicilin Ara h 2 >90 18 Protein simpanan biji konglutin

Ara h 3 44 60 Protein simpanan biji glisinin

Ara h 4 43 36 Protein simpanan biji glisinin

Ara h 5 16 14 Profilin

Ara h 6 38 16 Konglutin

Ara h 7 43 15 Konglutin

Ara h 8 85 17 Patogenesis berhubungan dengan

protein PR-10

Peanut agglutinin 50 27 Lektin

Soybean (Glycine max)

Gly m Bd 30K 90 34 Protein vakuolar biji, sistein protease, homolog dengan grup 1 alergen tungau, papain, dan bromelin

Gly m Bd 28K >50 22 Glikoprotein seperti vicilin, homolog dengan Ara h 1

Gly m 3 67 14 Profilin

Gly m 4 Nd 17 Patogenesis berhubungan dengan

protein PR-10

21 kDa allergen Nd 22 Anggota famili glisinin G2 G1 glisinin Nd 40 Anggota famili glisinin G1,

homolog dengan Ara h 3 Gly m Bd 60K 25 60 Protein simpanan biji vicilin β

-Konglisinin

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Purbasari (2012) menunjukkan bahwa protein yang bereaksi positif dengan IgE penderita alergi pada uji immunoblotting adalah enam pita protein antigen yang muncul dari fraksi miofibril udang memiliki berat molekul 84,47 kDa, 78,71 kDa, 36,18 kDa, 32,95 kDa, 29,88 kDa dan 28,31 kDa. Protein dengan berat molekul 32,95 kDa terlihat paling dominan diantara yang lain. Protein yang muncul dari fraksi sarkoplasma udang sebanyak 2 komponen (33,54 kDa dan 30,56 kDa), 1 komponen dari protein miofibril tongkol (33,54 kDa) dan 3 komponen dari fraksi protein sarkoplasma dan miofibril kerang. Tiga komponen dari fraksi protein sarkoplasma kerang memiliki berat molekul 32,95 kDa, 29,88 kDa dan 28,62, sedangkan 3 komponen protein miofibril kerang dengan berat molekul masing-masing yaitu 93,51 kDa, 32,95 kDa, dan 29,88 kDa. Tabel 3 Karakteristik dan struktur tiga dimensi beberapa alergen

No Sumber Alergen Nomor PDB Jumlah residu/BM** Sekuens** Struktur tiga dimensi* 1 Kedelai/ Gly m 1 1HYP 80 residu/ 8,3 kDa ALITRPSCPDLS ICLNILGGSLGT VDDCCALIGGL GDIEAIVCLCIQ LRALGILNLNR NLQLILNSCGR SYPSNATCPRT 2 Gandum /CM16 1HSS 124 residu/ 53,4 kDa SGPWMCYPGQ AFQVPALPACR PLLRLQCNGSQ VPEAVLRDCC QQLAHISEWCR CGALYSMLDS MYKEHGAQEG QAGTGAFPRCR REVVKLTAASI TAVCRLPIVVD ASGDGAYVCK DVAA YPDA

Sumber: Adkinson et al. (2008); * http://www.rcsb.org/pdb; **http://www.uniprot.org

Astuti 2012 melakukan pengujian immunoblotting ekstrak kacang tanah dengan menggunakan 5 serum penderita alergi. Hasilnya menunjukan bahwa pada umumnya, IgE pada kelima serum ini dapat berikatan dengan protein kacang tanah yang memiliki berat molekul antara 35-45 kDa. Antibodi IgE spesifik pada serum 1 berikatan kuat dengan protein 37,8 kDa; IgE serum 2 berikatan kuat dengan protein 63 kDa, 43,8 kDa, 40,6 kDa, 37,8 kDa dan 29,3 kDa; IgE serum 4 berikatan dengan protein 40,6 kDa, 37,2 kDa dan 35,2 kDa; IgE serum 5 berikatan dengan protein 40 kDa, 37,2 kDa dan 33,3 kDa; sedangkan IgE spesifik pada

serum 8 berikatan dengan protein 42,9 kDa, 40 kDa dan 35,8 kDa. Dari ke-5 serum tersebut, hanya serum 2 yang memiliki IgE spesifik yang dapat berikatan dengan salah satu major alergen kacang tanah, yaitu pada protein 63 kDa, yang dikenal dengan major alergen Ara h 1. Tabel 3 menunjukkan karakteristik dan struktur tiga dimensi beberapa alergen kedelai dan gandum.

Antibodi IgE spesifik adalah antibodi IgE yang bagian paratop-nya dapat berikatan dengan bagian epitop pada antigen. Antigen yang dimaksud adalah bagian protein makanan hasil isolasi. Gambar 8 menunjukkan epitop dan paratop pada suatu antigen dan pengikatannya dengan antibodi IgE. Gambar 9 menunjukkan antigen yang mempunyai empat epitop berbeda.

Gambar 8 Epitop dan paratop pada suatu antigen

Epitop antigen dapat berupa suatu bentuk konformasi tertentu atau bentuk linear (Kindt et al. 2007). Denaturasi protein yang memiliki epitop dapat merubah konformasinya sehingga dapat menghilangkan sifat antigeniknya atau justru membentuk epitop baru sehingga membuat protein tersebut semakin antigenik. Sebaliknya, epitop linear tidak dapat dirusak oleh proses denaturasi, bahkan denaturasi dapat membuat epitop linear yang terdapat di dalam struktur sekunder suatu protein menjadi terekspos keluar sehingga sifat antigenik protein tersebut menjadi bertambah. Epitop pada suatu antigen dapat terletak pada proteinnya atau pada molekul lain yang berikatan dengan protein tersebut, misalnya karbohidrat.

Gambar 9 Antigen yang mempunyai empat epitop berbeda

Kepiting

Kepiting merupakan salah satu komoditas perikanan laut yang sangat digemari masyarakat dan mempunyai nilai ekonomis tinggi. Disamping cita rasanya yang digemari, kepiting mengandung nilai nutrisi yang baik. Kepiting yang banyak dikonsumsi dan berpotensi untuk dibudidayakan adalah kelompok famili portunidae yang tergolong sebagai kepiting perenang (swimming crabs) karena memiliki pasangan kaki terakhir yang memipih dan digunakan untuk berenang. Famili ini meliputi rajungan (Portunus, Charybdis dan Thalamita) dan

kepiting bakau (Scylla spp.). Klasifikasi kepiting bakau secara lengkap (King 1995; Keenan 1999) disajikan sebagai berikut:

Filum : Arthropoda Subfilum : Mandibulata Klas : Crustacea Subklas : Malacostraca Superordo : Eucarida Ordo : Dekapoda Subordo : Pleocyemata Infraordo : Brachyura Famili : Portunidae Genus : Scylla

Spesies : serrata, tranquebarica, olivacea, paramamosain

Ke-empat spesies kepiting bakau diatas dapat ditemui di Indonesia. Spesies Scylla serrata dikenal dengan kepiting bakau hijau atau “giant mud crab” karena

bobotnya dapat mencapai 2-3 kg/ekor. Kepiting jenis S. tranquebarica dikenal sebagai kepiting bakau ungu yang juga dapat mencapai ukuran besar. Jenis S olivacea dikenal sebagai kepiting bakau merah atau red/orange mud crab dan S. paramamosain dikenal sebagai kepiting bakau putih (Nurdin dan Armando 2010).

Gambar 10 Struktur morfologi kepiting bakau

(http://deviansouisa.blogspot.com/2011/10/kepiting-bakau.html)

Gambar 10 menunjukkan struktur morfologis kepiting bakau. Ciri morfologi kepiting bakau umumnya terdiri dari dua bagian, yaitu tubuh dan kaki. Kaki kepiting bakau ada lima pasang, yaitu sepasang capit (chela/cheliped) tiga pasang kaki jalan (walking leg) dan sepasang kaki renang atau kaki dayung (swimming leg) yang berbentuk lebar dan pipih untuk membantu berenang (Kaliola et al. 1993). Kepiting bakau relatif berukuran besar, memiliki karapas yang lebar dan permukaannya sangat licin dan dapat tumbuh hingga mencapai bobot 3 kg.

Bagian daging kepiting yang dapat dimakan adalah 45% terdapat dalam badan, perut, kaki, dan penjepit (Irianto dan Soesilo 2007). Tabel 4 menunjukkan komposisi kimia daging kepiting. Kepiting adalah sumber protein yang baik (mengandung sekitar 18-19.5 g protein per 100 g). Komposisi asam amino protein daging kepiting terdapat pada Tabel 5.

Tabel 4 Komposisi kimia daging kepiting

Komposisi kimia Satuan (/100 g) Jumlah

Air g 79.02 Energi Kkal 87 Energi kJ 364 Protein g 18.06 Total lipid g 1.08 Abu g 1.81

Karbohidrat (by difference) g 0.04

Serat, Total serat g 0

Sumber: United States Department of Agriculture (2012)

Tabel 5 Komposisi asam amino protein daging kepiting

Asam amino Jumlah (g/100g)

Triptofan 0.251 Treonin 0.731 Isoleusin 0.875 Leusin 1.433 Lisin 1.572 Metionin 0.508 Sistin 0.202 Fenilalanin 0.763 Tirosin 0.601 Valin 0.849 Arginin 1.577 Histidin 0.367 Alanin 1.023 Asam aspartat 1.866 Asam glutamat 3.080 Glisin 1.089 Prolin 0.595 Serin 0.711

Sumber: United States Department of

Agriculture (2012)

Kepiting juga mengandung EPA (eicosapentaenoic acid) dan DHA (docosahexaenoic acid), yaitu komponen asam lemak Omega-3 yang penting dalam pembentukan membran sel otak pada janin sejumlah 0.3 gram. Kandungan kolesterol kepiting tergolong rendah (78 miligram per 100 gram). Kandungan kolesterol tersebut kurang lebih setara dengan daging ayam panggang tanpa kulit (75 miligram per 100 gram) (Brown dan Selgrade 2008).

Cumi-cumi

Cumi-cumi termasuk dalam kelas Cephalopoda. Klasifikasi cumi-cumi selengkapnya adalah (Bouchet 2014).

Filum : Mollusca Subfilum : Mandibulata Kelas : Cephalopoda Subkelas : Coleoidea Subordo : Decapodiformes Ordo : Myopsida Famili : Loliginidae Genus : Uroteuthis

Subgenus : Uroteuthis (photololigo)

Dokumen terkait