• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daging

Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Komponen utama penyusun daging adalah otot. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya berhenti. Daging juga tersusun dari jaringan ikat, epitelial, jaringan saraf, pembuluh darah, dan lemak (Soeparno 2005). Offal adalah seluruh bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain karkas yang terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala, ekor, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, ambing, dan alat reproduksi (Lukman et al. 2007). Menurut Lawrie (2003), yang dimaksud daging adalah daging hewan yang digunakan sebagai makanan dan dalam praktiknya diperluas dengan memasukkan organ-organ, seperti hati dan ginjal, otot, dan jaringan lain yang dapat dimakan di samping urat daging.

Daging merupakan sumber asam amino essensial dan mineral. Komposisi kimia daging terdiri dari air sekitar 75%, protein 19%, lemak 2.5%, nitrogen terlarut non protein 1.65%, dan bahan-bahan anorganik 0.65% (Lawrie 2003). Komposisi ini bervariasi di antara spesies, bangsa, atau individu ternak, dan dipengaruhi oleh faktor genetika dan lingkungan, termasuk didalamnya faktor nutrisi. Nilai kalori daging banyak ditentukan oleh kandungan lemak intraseluler di dalam serabut-serabut otot yang disebut lemak marbling (Soeparno 2005). Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa implantasi hormon yang diberikan pada ternak akan menurunkan lemak marbling sekitar 4-7%. Hal ini disebabkan oleh efek dari pemberian hormon pertumbuhan dalam meningkatkan deposisi protein dan tidak berefek pada disposisi lemak (Hunter et al. 2001).

Daging yang banyak dikonsumsi di Indonesia adalah daging sapi, daging domba, daging babi, daging kambing, dan daging unggas. Daging unggas yang sering dikonsumsi adalah daging ayam. Daging lainnya adalah daging yang berasal dari hewan-hewan liar, seperti kijang atau babi hutan. Demikian pula dengan daging yang berasal dari organisme yang hidup di air yang paling banyak

8

dikonsumsi adalah daging ikan, udang, kepiting, dan kerang (Soeparno 2005). Sebagian besar daging yang dikonsumsi di Inggris berasal dari daging domba, sapi, dan babi. Masyarakat Eropa juga mengkonsumsi daging kuda, kerbau, dan rusa (Lawrie 2003).

Pertumbuhan dan perkembangan ternak pedaging dapat distimulasi dengan perlakuan hormon dari kelenjar pituitari, terutama hormon pertumbuhan (somatotropin) dan hormon-hormon kelamin. Salah satu pengaruh implantasi hormon terhadap komposisi karkas adalah peningkatan proporsi daging dan menurunkan lemak (Soeparno 2005). Penggunaan hormon pada peternakan ini dapat menyebabkan adanya residu hormon dalam daging. The Australia Pesticides and Veterinary Medicines Authority (APVMA) menyetujui pemberian obat-obatan dan bahan kimia lainnya pada peternakan di Australia. Bahan kimia tersebut termasuk antimikroba, antelmentika, hormon pertumbuhan, dan pestisida. Survei yang dilakukan pada tahun 2005 sampai dengan 2006 oleh Badan Survei Australia menunjukkan adanya kandungan residu dalam daging yang melebihi MRL sebesar 5% (Desmarchelier et al. 2007).

Hormon

Hormon berasal dari bahasa Yunani yang berarti merangsang atau membangun aktivitas. Feradis (2010) menjelaskan hormon adalah sebagai suatu substansi organik fisiologik yang dibebaskan oleh sel-sel hidup yang akan berdifusi ke jaringan lain dan mempengaruhi fisiologis organisme tersebut. Nussey dan Whitehead (2001) mengklasifikasi hormon menurut struktur kimia menjadi hormon peptida, steroid, dan derivat dari tirosin atau triptofan.

Hormon peptida adalah kelompok hormon dengan jumlah anggota paling banyak merupakan hormon dengan berat jenis yang besar (memiliki lebih dari 200 asam amino) dan larut dalam air. Hormon ini dihasilkan oleh hipotalamus, neurohipofisa, adenohipofisa, paratiroid, dan pulau langerhans. Hormon ini disusun oleh asam amino. Pemberian hormon ini harus secara suntikan karena jika melalui oral akan dirusak oleh enzim pencernaan (Nussey dan Whitehead 2001; Murray et al. 2003).

9

Kelompok yang kedua adalah hormon steroid. Semua hormon kelamin dan adrenal kortikal merupakan hormon steroid. Hormon steroid mempunyai struktur yang komplek dan merupakan hasil dari metabolit kolesterol (Nussey dan Whitehead 2001; Anwar 2005). Kelompok ketiga adalah hormon yang berasal dari tirosin atau triptofan. Kotekolamin merupakan derivat dari tirosin. Sebanyak 5% dari hormon pada mamalia merupakan kotekolamin (epinephrin, norepinephrin) (Mc Donals 1989; Nussey dan Whitehead 2001).

Pertumbuhan ternak diatur oleh hormon, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hormon dapat mengubah reaksi biokimia yang berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan komponen tubuh. Berbagai hormon diketahui mempercepat pertumbuhan jaringan biologis dan memperlihatkan kontrol terhadap fungsinya secara langsung atau tidak langsung. Mekanisme aktivitas umumnya adalah terhadap protein enzim yang mengontrol tingkat reaksi kimia untuk sintesis atau dengan jalan membuat molekul substrat yang mudah dimasuki seperti insulin (Lawrie 2003).

Menurut Soeparno (2005), hormon yang mempengaruhi pertumbuhan dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok anabolik dan kelompok katabolik. Somatotropik hormon (STH) atau somatotropin atau growth hormon (GH), testosteron, dan tiroksin termasuk hormon yang mempunyai pengaruh anabolik, sedangkan estrogen termasuk hormon katabolik. Hormon yang mempunyai pengaruh langsung terhadap pertumbuhan, antara lain adalah somatotropin, tiroksin, androgen, estrogen, dan glikokortikoid. Hormon-hormon tersebut mempengaruhi pertumbuhan massa tubuh, termasuk pertumbuhan tulang dan metabolisme nitrogen (Soeparno 2005).

Residu Hormon

Residu hormon dalam daging sangat penting diperhatikan saat hormon pertumbuhan sintetik digunakan. Residu merupakan akumulasi obat atau bahan kimia dan/atau metabolitnya yang terdapat pada produk hewan, sebagai akibat pemakaian obat hewan, hormon, pestisida, dan cemaran logam berat pada hewan dan/atau produk hewan (Ditkesmavet 2010b). Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 513.a/Kpts/OT.210/L/12/2008 menyatakan bahwa yang

10

dimaksud dengan residu hormon adalah hormon baik senyawa induk maupun metabolit/turunannya yang terkandung dalam daging, jeroan, susu, darah, atau serum baik sebagai akibat langsung ataupun tidak langsung dari penggunaan hormon (Barantan 2008).

Residu hormon yang terdapat dalam daging dapat berasal dari penggunaan hormon, baik secara implantasi ataupun oral. Penggunaan secara implan biasanya diletakkan di bawah kulit pada permukaan atas telinga, sedangkan pemberian oral berupa feed additive ataupun dari pakan yang terkontaminasi (Toews dan McEwen 1994).

Keberadaan residu hormon pertumbuhan pada daging dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti kanker, efek reproduksi, dan gangguan endokrin (Scientific Guidance Panel 2008). Selain itu menurut Aksglaede et al. (2006), residu hormon juga dapat mempengaruhi keseimbangan hormon alami di dalam tubuh.

Penggunaan Hormon Pertumbuhan

Pertumbuhan merupakan kenaikan berat badan dan ukuran karena adanya peningkatan jumlah dari sel (hiperplasia) atau peningkatan ukuran dari sel (hipertropi). Pertumbuhan dapat terjadi dari peningkatan deposisi protein, diukur sebagai peningkatan retensi nitrogen dalam karkas seperti juga peningkatan deposisi lemak. Deposisi protein merupakan pengaturan keseimbangan antara sintesis dan degradasi protein, sedangkan deposisi lemak merupakan pengaturan keseimbangan antara lipogenesis dan lipolisis (Squires 2003).

Penggunaan hormon pertumbuhan pada hewan dibagi dalam dua kelompok, yaitu zat alami (diekstraksi dari hewan atau diproduksi menggunakan DNA rekombinan) dan zat yang diproduksi secara sintetis (xenobiotik). Testosteron, estradiol, progesteron, dan somatotropin merupakan zat yang termasuk dalam zat alami, sedangkan senyawa xenobiotik adalah TBA, MGA, zeranol, golongan stilbenes (terutama dietilstilbestron/DES), dan β-agonis (seperti clenbuterol). Kelompok pertama yang termasuk zat alami merupakan hormon sex yang secara alami ada pada mamalia (termasuk manusia) karena itu hormon ini biasanya ada

11

dalam produk hewan dan ditemukan dalam kadar yang bervariasi tergantung dari umur, keadaan hewan, dan status fisiologi (Toews dan McEwen 1994).

Hormon pertumbuhan pada ternak telah digunakan sejak lama dengan tujuan meningkatkan berat badan, memperbaiki efisiensi pakan, meningkatkan protein, dan menurunkan kandungan lemak tubuh. Berbagai hormon pertumbuhan juga telah diperdagangkan lebih dari 50 tahun yang lalu, seperti estradiol-17β (Compudose), zeranol (Ralgro), trenbolon asetat (Finaplix), melengestrol asetat (MGA), kombinasi trenbolon asetat dan estradiol (Revalor), ataupun kombinasi testosteron dan estradiol (Implix BF) (Solomon 2001).

Aplikasi penggunaan hormon pertumbuhan alami (testosteron, estradiol 17-β, dan progesteron) dan sintetik (TBA, zeranol, dan MGA) melalui implantasi dalam bentuk karet silatik atau pellet (diletakkan di bawah kulit pada permukaan atas telinga), tetapi khusus untuk MGA diberikan secara oral dalam bentuk feed additive (Galbraith 2002; Nazli et al. 2005). Menurut Meyer et al. (1984), tempat implantasi mempengaruhi kadar residu dalam plasma, sehingga pellet diletakkan di bawah kulit pada permukaan atas telinga yang menghasilkan konsentrasi residu rendah dalam plasma.

Menurut Squires (2003), secara umum hormon pertumbuhan dapat diberikan melalui tiga cara yaitu oral (ditambahkan pada pakan, contohnya: MGA), injeksi intramuskular (kadar residu yang tinggi pada tempat penyuntikan), dan implantasi (umumnya ditempatkan pada telinga). Formulasi pemberian hormon secara implantasi dalam bentuk compress pellet mempunyai waktu paruh sekitar 90-120 hari, sedangkan bentuk silastic rubber memberikan respon perlahan dan dilepaskan sampai 200-400 hari.

Zeranol

Zeranol digunakan sebagai pemacu pertumbuhan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Selandia Baru. Zeranol merupakan hormon sintetik, non-steroid, resorcylic acid lactones yang mempunyai efek estrogenik. Zeranol adalah hasil metabolit dari mycoestrogen zearalenon yang dikultur dari Gibberella zea (Fusarium graminearum) (Baldwin et al. 1983; Yuri et al. 2006). Perbedaan zeranol dan zearalenon hanya pada ikatan rangkap yang

12 O O OH O H OH H CH3 H dimiliki zeranol pada posisi atom C7 dan C11/C12 yang bukan merupakan gugus karboksil (Lindsay 1985).

Zeranol di masyarakat dikenal dengan merek dagang Ralgro, berisi tiga pellet kecil yang masing-masing berisi 12 mg zeranol. Dosis penggunaan zeranol di peternakan sapi adalah 36 mg, dengan withdrawal time sekitar 65 hari. Pada peternakan kambing dosis yang digunakan adalah 12 mg, dengan withdrawal time 40 hari (Baldwin et al. 1983).

Zeranol (Gambar 1) juga dikenal sebagai zearalanol dengan nama kimia (3S, 7R)-3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12-decahydro-7, 14, 16-trihydroxy-3-methyl-1H-2-benzoxacyclotetradecin-1-one. Struktur kimia ini juga dikenal dengan 6-(6, 10-dihydroxyundecyl)-β-resorcylic acid-µ-lacton. Zeranol mempunyai struktur molekul C18H26O5 dan berat molekul 322.40 Dalton (Baldwin et al. 1983).

Zeranol umumnya digunakan pada anak sapi setelah disapih, penggemukan sapi jantan dan sapi betina melalui implan di telinga (Zhong et al. 2011). Posisi implan zeranol adalah antara kulit dan kartilago telinga sisi belakang dan di bawah telinga. Setelah diimplan, zeranol akan dimetabolisme menjadi zearalanon (Gambar 2) dan menjadi metabolit yang lebih kecil yakni taleranol (Gambar 3). Ada enam senyawa yang berhubungan dengan zeranol dan metabolitnya, yaitu zearalanon (zeranol), α-zearalanon, β-zearalanon (taleranol), α-zearalenon, zearalenon (mikotoksin), β-zearalenon (Baldwin et al. 1983; Leffers et al. 2001; Malekinejad et al. 2006). O OH O H O H CH3 H OH

Gambar 1 Struktur kimia zeranol.

O OH O H O O CH3 H

13

Zeranol merupakan kasus khusus diantara pengganggu sistem endokrin lainnya karena zeranol berbeda dengan semua bahan kimia, ada dalam makanan sebagai sesuatu yang sengaja ditambahkan. Zeranol dirancang sebagai tiruan estrogen yang kuat, kadang-kadang disebut sebagai ‘natural identical estrogen’ (Lindsay 1985).

Zeranol mempunyai aktivitas mirip dengan estrogen. Saat zeranol diimplan di bawah kulit (subcutaneous) pada telinga, zeranol akan dilepaskan secara perlahan-lahan. Metabolisme dalam tubuh ternak memperlihatkan efek anabolik yang akan bekerja untuk sekresi hormon pertumbuhan dari pituitari dan kemungkinan akhir akan dapat menyebabkan penambahan tingkat insulin plasma yaitu terjadi peningkatan konsentrasi sirkulasi somatotropin (ST) dan hormon insulin-like growth factor 1 (IGF-1) (Lawrie 2003; Zhong et al. 2011).

Hormon IGF-1 adalah mitogenik peptida (bentuk dari protein untuk membentuk sel seperti mitosis), terdiri dari 70 asam amino yang menstimulasi secara selular proliferasi dan deferensiasi di otot dan jaringan lain (Zhong et al. 2011). Menurut Sternesjo dan Johnson (1998), somatotropin dan IGF-1 berpengaruh sangat kuat dalam tubuh dalam hal pemanfaatan bahan makanan, menghasilkan jaringan, tulang, dan lemak. Hasilnya meningkatkan efisiensi pakan dan meningkatkan berat badan.

Stimulasi IGF-1 pada proliferasi kondrosit atau sel kartilago akan meningkatkan pertumbuhan tulang. Keadaan ini juga akan meningkatkan proliferasi sel satelit yang akan bergabung dengan miofibril dan berkontribusi pada pertumbuhan otot dan juga akan merangsang sintesis asam amino dan sintesis protein (Squires 2003).

Residu dan Metabolit Zeranol

Standar Codex Alimentarius Commission (CAC) untuk obat hewan atau hormon biasanya ditetapkan dalam persyaratan acceptable daily intake (ADI) dan maximum residue limit (MRL) atau batas maksimum residu (BMR), sedangkan di Indonesia ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Batas maksimum residu zeranol pada daging dan beberapa offal, disajikan dalam Tabel 2.

14

Zeranol yang berisi zearalanon dapat berikatan dan mengaktifkan reseptor estrogen sehingga menghasilkan sindrom hiperestrogenik pada hewan. Hubungan antara konsumsi jamur pada biji-bijian dan hiperestrogenik pada babi telah diteliti sejak tahun 1920 (Bennet dan Klich 2003).

Tabel 2 Batas maksimum residu zeranol pada daging dan beberapa offal

Produk hewan CAC (µg/kg) BSN (µg/kg) USFDA (µg/kg) Daging 2 2 150

Hati 10 300

Ginjal 450

Lemak 600

Sumber: CAC (2011), BSN (2000), Galbraith (2002)

Kurt dan Mirocha pada tahun 1978 melaporkan bahwa konsentrasi zearalenon yang rendah (1.0 ppm) sudah dapat menimbulkan sindrom hiperestrogenik pada babi. Konsentrasi yang tinggi menyebabkan gangguan siklus kebuntingan, aborsi, dan masalah reproduksi lainnya. Keadaan ini juga telah terjadi pada sapi dan domba (Bennet dan Klich 2003).

Zearalenon dan hasil metabolismenya yang masuk dalam tubuh secara oral dapat dideteksi di empedu dengan angka rata-rata 68% β-zearalenon, 24% α-zearalenon dan 8% α-zearalenon. Pada ruminansia, α-zearalenon dan metabolitnya ditemukan pada otot, hati, ginjal, kandung kemih, lemak meskipun hanya mengkonsumsi 0.1 mg zearalenon/hari/kg pakan (Zinedine et al. 2007).

Zeranol memiliki potensi estrogenik yang tinggi, sehingga keberadaan estrogen dalam daging merupakan paparan estrogen eksogen bagi konsumen. Menurut Aksglaede et al. (2006), zeranol dan metabolitnya mempunyai potensi yang sama dengan diethilstilbestrol dan estradiol-17β dalam mengganggu keseimbangan hormon alami.

Zeranol dan metabolitnya diekskresikan dalam senyawa bebas dan sebagai konjugat (glukoronat dan atau sulfat), dengan variasi tiap spesies yaitu 99% pada manusia dan 1% pada anjing. Manusia mengekskresikan zeranol melalui urin, dimana senyawa ini menjadi lebih hidrofobik yang terkonjugasi, sedangkan anjing

15

mengekskresikannya melalui feses, dalam bentuk tidak terkonjugasi karena terhambat oleh aktivitas bakteri β-glukuronidase dan sulfatase, meskipun senyawa hasil konjugasi dapat masuk ke saluran usus sebagai konjugat empedu (Baldwin et al. 1983).

The National Residue Survey Australia tahun 2003 menyatakan adanya residu hormon pada sampel urin sapi dan kuda. Sampel urin sapi yang diuji mengandung α-zeranol (zeranol) sebesar 0.003 mg/kg, β-zeranol (taleranol) 0.004 mg/kg dan metabolit zeranol lainnya. Pihak Australia sendiri mengindikasikan temuan tersebut sebagai kontaminasi jamur Fusarium spp pada ladang penggembalaan atau pakan akan tetapi tidak ada penelusuran lebih lanjut akan temuan tersebut (Crapp 2003).

Toksisitas Zeranol

Bahan dasar hormon sintetik zeranol yaitu zearalenon dapat menimbulkan gejala muntah, diare dan pusing pada konsumen makanan dengan residu zeranol. Kejadian ini dihubungkan dengan outbreak mikotoksin yang terjadi pada negara-negara yang banyak mengkonsumsi biji-bijian (Zinedine et al. 2007).

Toksisitas zearalenon sendiri dapat digolongkan menjadi:

a. Fase akut: pada fase ini konsentrasi zearalenon yang dapat menimbulkan sakit adalah rendah, hanya sekitar 2 000-20 000 mg/kg berat badan (LD50 pada mencit, tikus putih, dan marmot yang diberi zearalenon secara oral).

b. Fase sub-akut dan sub-kronis: pemberian oral zearalenon pada hewan domestik sampai 90 hari intake memperlihatkan interaksi zearalenon dengan reseptor estrogen. Babi dan domba memperlihatkan respon yang lebih peka daripada rodensia (dosis yang diberikan adalah 40 µg/kg berat badan/hari).

c. Fase kronis dan karsinogenik: penelitian awal menunjukkan adanya luka pada hati yang berkembang menjadi hepatokarsinoma pada mencit. Pada mencit betina menunjukkan gangguan sirkulasi hormon estrogen, dengan efek berbeda di jaringan yang berbeda seperti fibrosis uterus ataupun kista glandula mamae. d. Efek pada endokrin: zearalenon dan metabolitnya menunjukkan aktivitas dapat

berikatan dengan estrogen reseptor (ERα dan ERβ) pada beberapa penelitian in vitro ataupun in vivo. Afinitas zearalenon dalam mengikat ER pada kisaran

16

0.01, relatif hampir sama aktivitasnya dengan estradiol-17β. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan berupa resiko kanker payudara dan kanker lainnya (Zinedine et al. 2007).

Takemura et al. (2007) dalam penelitiannya menemukan afinitas zearalenon (Gambar 4) dan zeranol yang kuat dalam mengikat reseptor estrogen (ERα dan ERβ) dan afinitas zeranol lebih besar dibandingkan dengan zearalenon. Kuiper et al. (1998) juga melaporkan bahwa afinitas zearalenon pada ERα sekitas 10% dan 18% pada ERβ dari afinitas estrogen. Relatif binding afinity (RBA) zearalenon yang ditemukan oleh Takemura et al. (2007) adalah 4.3% pada ERα dan 6.0% pada ERβ, sedangkan RBA zeranol lebih besar dibandingkan dengan zearalenon, yaitu 48% dan 23% masing-masing pada ERα dan ERβ. Hal ini membuktikan zeranol dan zearalenon mempunyai afinitas yang berbeda pada reseptor estrogen dimana zeranol mempunyai afinitas lebih kuat pada ERα dibandingkan dengan zearalenon. Kesimpulan yang dapat diambil adalah zeranol lebih kuat dalam mengikat reseptor estrogen dibandingkan zearalenon.

O O O H OH O CH3 H

Gambar 4 Struktur kimia zearalenon.

Takemura et al. (2007) juga menjelaskan penempatan active site reseptor estrogen oleh zearalenon dan zeranol yaitu dengan cara yang mirip dengan estrogen, seperti cincin phenol yang menempati area yang sama dengan cincin A dari estrogen dan cincin metil yang berdekatan dengan area cincin C18 dari estrogen.

Menurut Truhaut et al. (1985), toksisitas zeranol dibandingkan dengan estradiol-17β adalah sebagai berikut

a. Aktifitas seperti estrogen: secara in vitro zeranol mempunyai kemampuan mengikat reseptor estrogen kompetitif menggantikan estradiol-17β. Kemampuan RBA zeranol sekitar 14% dibandingkan dengan estradiol-17β.

17

Zeranol secara in vivo mempunyai aktivitas yang lebih kecil dibandingkan dengan estradiol-17β.

b. Fertilitas: zeranol yang diberikan secara oral kepada rodensia jantan dengan dosis 0.3125 mg/kg/hari selama 60 hari tidak menyebabkan toksisitas, tetapi dengan dosis 1.25 dan 5.0 mg/kg/hari akan menyebabkan penundaan pembuahan pada rodensia betina. Dosis tinggi pada rodensia betina akan menyebabkan penurunan jumlah fetus, dan meningkatkan kematian fetus dalam kandungan.

Metode Deteksi Residu Zeranol

Berbagai metode (Tabel 3) telah dikembangkan untuk mendeteksi hormon dalam sampel biologis. Pengujian yang dikembangkan untuk mendeteksi residu zeranol antara lain gas chromatography/mass spectrometry (GC-MS), high performance liquid chromatography/mass spectrometry (HPLC-MS) dan immunoassay (Sawaya et al. 1998; Liu et al. 2007).

Tabel 3 Metode penentuan konsentrasi zeranol pada daging

Metode Limit deteksi

HPLC Tidak dilaporkan TLC 10-25 ppb GC/MS 0.15-5.0 ppb, 0.5 ppm RIA 0.3 ppb, 2.5 ppm ELISA 10 pg, 1.09 ppm Sumber: Doyle (2000)

Enzym linked immunosorbance assay (ELISA) adalah metode cepat dan praktis untuk mendeteksi residu dalam produk makanan dan direkomendasikan oleh Uni Eropa (Nazli et al. 2005). Metode ELISA yang digunakan untuk mendeteksi zeranol adalah ELISA kompetitif. Hasil ELISA dapat dibaca dalam beberapa jam, cukup spesifik, dan sensitif (Reig dan Toldrá 2007).

Metode ELISA yang digunakan adalah competitive binding assay. Uji kompetitif ini berdasarkan pada ikatan spesifik hormon dengan protein (spesifik

18

antibodi). Keseimbangan uji dibentuk antara jumlah hormon yang tidak dilabel dan yang berlabel dengan ikatan protein yang komplek. Proporsi hormon yang dilabel dengan yang tidak dilabel dalam mengikat antibodi, bergantung pada jumlah hormon yang tidak dilabel yang ada dalam pengujian tersebut. Jumlah dari ikatan tersebut menurun seiring dengan meningkatnya jumlah hormon yang tidak dilabel (Squires 2003).

Pengujian lain yang dijadikan konfirmasi setelah ELISA adalah high performance liquid chromatography (HPLC). Metode ini diyakini sangat sensitif dan spesifik untuk menganalisis residu zeranol pada jaringan (Ding et al. 2009). Metode HPLC merupakan salah satu metode kromatografi. Kromatografi ini dapat didefinisikan sebagai teknik pemisahan yang melibatkan transfer massa antara fase stasioner dan bergerak (mobile) (Reig dan Toldrá 2007).

Metode HPLC terdiri dari dua fase. Fase diam (stasioner) dan fase gerak (mobile). Fase diam merupakan fase dalam column dari semua jenis kromatografi, dimana sampel yang memiliki interaksi kuat akan terelusi dari column dengan lambat dan memiliki waktu retensi lebil lama. Cairan pembawa larutan sampel pada fase gerak akan terus-menerus mengalir melalui column dan membawa analit. Biasanya campuran pelarut yang digunakan seperti metanol atau acetonitril (Karen dan Liyuan 2005). Prinsip metode ini adalah teknik pemisahan komponen sampel yang terdiri dari placement (injection) cairan sampel, fase stasioner dalam tube yang berisi partikel berpori dan akhirnya komponen sampel tersebut dialirkan melalui column dengan cairan yang bertekanan. Pemisahan komponen sampel ini melibatkan berbagai reaksi kimia dan atau interaksi fisik antara molekul dan partikel sampel. Komponen-komponen sampel ini dipisahkan dengan perangkat (detektor), yang sekaligus mengukur jumlah komponen sampel yang dipisahkan tersebut (Agilent Tech 2010).

Dokumen terkait