• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Keluarga dan Pendekatan Teori Keluarga

Pengertian Keluarga

Keluarga didefinisikan sebagai sekelompok orang yang mempunyai tingkatan hubungan spesifik melalui pernikahan, adopsi, dan hubungan darah (Rice & Tucker 1986; Kuznet 1989). Lebih spesifik, keluarga menurut definisi U.S. Bureau of the Census (2000) diacu dalam Newman dan Grauerholz (2002) adalah dua orang atau lebih yang memiliki ikatan darah, perkawinan, atau adopsi dan tinggal bersama dalam satu rumah tangga. Para ahli sosiologi menyatakan bahwa keluarga tidak hanya terdiri atas individu-individu tetapi lebih kepada adanya hubungan-hubungan (relationships) antara: suami-istri, orangtua-anak, saudara perempuan-saudara laki-laki, dan sebagainya. Hubungan tersebut termasuk pertalian, ikatan persaudaraan, kasih sayang, dan kewajiban antar anggota, yang merupakan karakteristik kunci dari beberapa tipe kelompok sosial.

Keluarga dianggap sebagai suatu sistem sosial karena memiliki unsur-unsur sistem sosial yang mencakup kepercayaan, perasaan, tujuan, kaidah-kaidah, kedudukan dan peranan, tingkatan atau jenjang, sanksi, kekuasaan, dan fasilitas (Soekanto 2004). Meskipun keluarga adalah kelompok sosial yang merupakan unit terkecil dari masyarakat, akan tetapi keluarga berbeda dari kelompok sosial lain seperti kelompok pertemanan, klub sosial, kelompok gereja, dan sebagainya (Beutler et al. 1989, diacu dalam Newman & Grauerholz 2002). Keluarga juga dapat dipandang sebagai unit dari lingkungan, yaitu suatu kelompok yang terdiri atas individu-individu yang saling berinteraksi dan saling tergantung yang memiliki tujuan dan sumberdaya, yang dalam sebagian siklus kehidupannya saling berbagi (Darling, 1987).

Keluarga dapat dibedakan atas keluarga batih atau keluarga inti (nuclear family), keluarga luas (extended family), dan keluarga pokok (stem family) (Castillo et al. 1968; Young dalam Lucas et al. 1995; United Nations 1958; Soekanto, 2004; Newman & Grauerholz, 2002). Keluarga batih atau keluarga biologis atau inti terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang belum kawin (Young dalam Lucas et al. 1995).

Menurut Soekanto (2004), keluarga batih memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:

1. Unit terkecil dalam masyarakat yang mengatur hubungan seksual yang seyogya.

2. Wadah tempat berlangsungnya sosialisasi, yakni proses di mana anggota-anggota masyarakat baru mendapatkan pendidikan untuk mengenal, memahami, mentaati dan menghargai kaidah-kaidah serta nilai yang berlaku. 3. Unit terkecil dalam masyarakat yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan

ekonomis.

4. Unit terkecil dalam masyarakat tempat anggota-anggotanya mendapatkan perlindungan bagi ketentraman dan perkembangan jiwanya.

Keluarga luas atau keluarga gabung (extended atau composite family) biasanya terdiri dari dua generasi yang berasal dari suatu keluarga biologis dan terdapat di negara-negara yang anak-anak tidak lazim meninggalkan rumah orangtua segera setelah menikah (United Nations 1958, diacu dalam Young 1995). Keluarga gabung terjadi jika ada dua anak atau lebih yang sudah menikah masih tinggal bersama orangtua mereka. Sedangkan keluarga pokok adalah keluarga luas dengan hanya satu anak yang sudah menikah tetap tinggal di rumah tangga orangtuanya (Castillo et al. 1969, diacu dalam Young 1995).

Fungsi Keluarga

Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera menyebutkan bahwa keluarga harus mampu menjalankan delapan fungsi utamanya agar bisa mengembangkan dirnya sendiri. Kedelapan fungsi utama keluarga tersebut adalah: 1) Fungsi keagamaan, 2) Fungsi sosial budaya, 3) Fungsi cinta kasih, 4) Fungsi melindungi, 5) Fungsi sosialisasi dan pendidikan, 6) Fungsi reproduksi, 7) Fungsi ekonomi, dan 8) Fungsi pembinaan lingkungan. Sedangkan menurut resolusi majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), fungsi utama keluarga adalah: sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera.

Megawangi (2004) mengemukakan bahwa keluarga adalah tempat pertama dan utama di mana seseorang anak dididik dan dibesarkan. Dalam keluargalah anak tumbuh dan berkembang menurut tahapan usianya. Oleh karena itu peran orangtua menjadi penting dalam mendidik dan membesarkan

anak sesuai agama, norma dan nilai yang dianut keluarga maupun yang berlaku umum di masyarakat.

Hal tersebut senada dengan pendapat Soekanto 1990 yang menyatakan dalam keadaan normal, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya, saudara-saudaranya yang lebih tua (kalau ada), serta mungkin kerabat dekatnya yang tinggal serumah. Melalui lingkungan itulah anak akan mengenal dunia sekitarnya dan mengalami proses sosialisasi awal. Orangtua, saudara, maupun kerabat terdekat pada umumnya mencurahkan perhatian untuk mendidik anak agar memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar dan baik, melalui penanaman disiplin dan kebebasan dan penyerasinya. Mereka secara sadar atau setengah sadar melakukan sosialisasi yang biasa diterapkan melalui kasih sayang. Atas dasar kasih sayang tersebut, anak dididik untuk mengenal nilai-nilai, seperti nilai ketertiban dan ketentraman, nilai kebendaan dan nilai keakhlakan, nilai kelestarian dan kebaruan, dan sebagainya.

Menurut para ahli penganut faham struktural-fungsional, keluarga dapat menjalankan fungsi-fungsinya jika terdapat diferensiasi peran dan struktur organisasi yang jelas. Berdasarkan strukturnya anggota keluarga memiliki peran masing-masing dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari untuk mencapai tujuan bersama. Ayah dan ibu memiliki peran yang berbeda tetapi bersinergi untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera. Parsons dan Bales (1955) diacu dalam Megawangi (1999) membagi dua peran orang tua dalam keluarga, yaitu peran instrumental dan emosional atau ekspresif.

Peran instrumental diharapkan dapat dilakukan oleh ayah atau suami, karena peran ini dikaitkan dengan peran mencari nafkah untuk kelangsungan hidup seluruh keluarga. Peran instrumental ayah menjadi peran penting dalam menunjang kesejahteraan (ekonomi) dalam keluarga. Peran ini lebih memfokuskan pada situasi eksternal yang dihadapi keluarga.

Sedangkan peran emosional ekspresif adalah peran pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang yang cocok untuk dipegang oleh istri atau ibu. Peran ini bertujuan untuk mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis. Oleh karenanya, istri atau ibu diharapkan dapat memberikan kedamaian agar integrasi dan keharmonisan dalam keluarga dapat tercapai.

Walaupun ibu dan ayah memiliki peran yang berbeda bukan berarti terpisah dalam menjalankan tugasnya mendidik dan membersarkan anak-anak

mereka. Bagaimanapun kedua peran tersebut tetap dilakukan bersamaan, karena secara struktural masing-masing anggota keluarga memiliki fungsi yang harus dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang dianut dalam keluarganya. Dalam hal ini, peran dan fungsi keluarga dan anggota keluarga lainnya menjadi paling penting sebelum berinteraksi dengan lingkungan di luar keluarga, dalam menghasilkan SDM yang berkualitas.

Pentingnya keluarga dalam membentuk SDM yang berkualitas telah diakui sejak dahulu kala. Menurut Carlson (1999), sebelum era industrialisasi (akhir abad 19), Amerika melihat bahwa keluarga merupakan hal yang sangat penting. Hubungan kekerabatan (kinship) dan hubungan agama yang sangat kuat menyatukan bangsa Amerika. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Levy bahwa Bangsa Amerika dipersatukan dalam suatu keluarga dan menjadi tempat membesarkan anak-anaknya. Diibaratkan seperti tanaman yang menumbuhkan nilai-nilai kebenaran.

Kualitas SDM sangat ditentukan oleh bagaimana mereka tumbuh dan berkembang dalam suatu keluarga. Dasgupta dan Serageldin (2000) menekankan pentingnya modal sosial dalam keluarga bagi perkembangan intelektual anak-anak. Modal sosial keluarga adalah hubungan antara anak-anak dengan orangtuanya atau dengan anggota keluarga lainnya.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa faktor yang paling berperan dalam dalam pendidikan dan pembentukan kepribadian anak adalah institusi keluarga. Locke (1985), diacu dalam Prameswari (1999) menjelaskan bahwa individu adalah ibarat selembar kertas yang bentuk dan coraknya tergantung kepada orangtua (keluarga) mengisi kertas kosong tersebut sejak bayi. Posisi pertama di dalam mendidik seorang individu terletak pada keluarga. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Belsky (1984), diacu dalam Megawangi (1999) yang mengatakan bahwa kepribadian anak sangat ditentukan oleh bagaimana orangtua mengasuh anaknya. Hal itu memperlihatkan bahwa pada periode-periode awal dari kehidupannya, anak akan menerima pengarahan dari kedua orangtuanya. Periode awal kehidupan ini merupakan periode yang paling penting dan sekaligus rentan.

Pendekatan Teori Keluarga

Teori Struktural-Fungsional. Pendekatan struktural-fungsional adalah pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga. Keluarga

sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi 1999).

Pendekatan teori struktural-fungsional dapat digunakan untuk menganalisis peran anggota keluarga agar keluarga dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga keutuhan keluarga dan mayarakat (Newman dan Grauherholz 2002). Menurut teori struktural-fungsional, keluarga juga dapat dilihat sebagai salah satu dari berbagai subsistem dalam masyarakat (Megawangi 1999). Keluarga dalam subsistem masyarakat tidak akan terlepas dari interaksinya dengan subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat, misalnya sistem ekonomi, politik, pendidikan, dan agama. Dalam interaksi tersebut keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat (equilibrium state).

Selanjutnya Megawangi (1999) mengatakan bahwa keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib. Ketertiban sosial ini akan tercipta jika dalam keluarga terdapat struktur atau strata dalam keluarga, di mana masing-masing individu mengetahui posisinya dan patuh pada sistem nilai yang berlaku. Terdapat tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu: status sosial, fungsi sosial, dan norma sosial yang ketiganya saling kait mengait.

Berdasarkan status sosial, keluarga inti biasanya terdiri dari tiga struktur utama, yaitu: bapak/suami, ibu/istri, dan anak-anak. Struktur ini dapat pula berupa figur-figur seperti: pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak balita, remaja, dan lain-lain. Keberadaan status sosial ini penting karena dapat memberikan identitas kepada individu, tempat dalam sebuah sistem sosial, dan memberikan rasa memiliki karena merupakan bagian dari sistem tersebut. Fungsi atau peran sosial menggambarkan peran dari masing-masing individu menurut status sosialnya. Setiap status sosial tertentu akan memiliki fungsi dan peran yang diharapkan dalam interaksinya dengan individu atau kelompok dengan status sosial berbeda. Selanjutnya norma sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Demikian pula dalam keluarga, setiap keluarga dapat memiliki norma sosial yang spesifik untuk mengatur tingkah laku setiap anggota dalam keluarganya.

Pencapaian keseimbangan pada sistem sosial dapat tercipta dan berfungsi jika struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi. Syarat struktural yang harus dipenuhi menurut Lezy, diacu dalam Megawangi 1999 adalah: 1) diferensiasi peran yaitu alokasi peran/tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, 2) alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga, 3) alokasi ekonomi menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, 4) alokasi politik menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, serta 5) alokasi integrasi dan ekspresi yaitu cara/teknik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku.

Teori Pertukaran Sosial. Teori pertukaran sosial (Social Exchange Therory) merupakan salah satu pendekatan konseptual yang dapat digunakan untuk menjelaskan perkembangan individu dalam konteks keluarga. Teori pertukaran sosial didasari oleh faham utilitarianisme yang menganggap bahwa dalam menentukan pilihan, individu secara rasional menimbang antara imbalan (rewards) yang akan diperoleh dan biaya (cost) yang harus dikeluarkan. Para sosiolog yang menganut teori ini menyatakan bahwa seseorang akan berinteraksi dengan pihak lain jika hal itu dianggapnya menghasilkan keuntungan. Dalam hal ini keuntungan merupakan selisih antara imbalan yang diterima dengan biaya yang dikeluarkan.

Asumsi yang mendasari teori pertukaran sosial pada intinya adalah bahwa manusia bersifat rasional. Namun demikian masing-masing ahli mengemukakan asumsi teori dengan berbagai cara. Sabatelli & Shehan (1993), mengemukakan bahwa asumsi dari teori pertukaran terdiri atas asumsi yang melekat pada sifat alamiah dari manusia (nature of humans) dan sifat alamiah dari hubungan (nature of relationships).

Inti dari asumsi tentang sifat alamiah manusia adalah sebagai berikut: 1) Manusia mencari imbalan dan menghindari hukuman, 2) Ketika berinteraksi dengan orang lain, ia akan memaksimumkan keuntungan bagi dirinya dengan meminimasi biaya yang harus ia keluarkan. Selama tidak memungkinkan untuk mengetahui imbalan dan pengorbanan aktual dari interaksi dengan orang lain tersebut, orang akan menggunakan ekspektasinya untuk menuntunnya bertindak, 3) Dalam keterbatasan informasi yang ia miliki, manusia akan bertindak secara rasional. Mereka akan menghitung imbalan, biaya, dan

mempertimbangkan beberapa alternatif, sebelum bertindak. Mereka akan memilih alternatif yang paling sedikit pengorbanan atau biayanya, 4) Standar yang digunakan oleh setiap orang dalam menghitung imbalan dan biaya berbeda satu sama lain dan akan sangat bervariasi tergantung waktu, 5) Kepentingan untuk menangkap perilaku seseorang terhadap orang lain dalam berinteraksi berbeda satu sama lain dan tergantung waktu, dan 6) Semakin besar ekspektasi seseorang terhadap nilai imbalan, akan semakin kecil nilai imbalan tersebut pada masa yang akan datang.

Adapun asumsi tentang sifat alamiah dari hubungan terdiri atas: 1) Pertukaran sosial dicirikan dengan saling ketergantungan, yakni kemampuan untuk memperoleh keuntungan merupakan satu kesatuan dari kemampuan untuk memberikan imbalan kepada orang lain, 2) Adanya pengalaman dalam hubungan menunjukkan bagian dari pertukaran, 3) Pertukaran sosial diatur dengan norma dan keadilan, 4) Kedinamisan hubungan sepanjang waktu tergantung pada pengalaman dari pelakunya.

Senada dengan asumsi-asumsi terdahulu, Winton (1995) mengemukakan asumsi yang mendasari teori pertukaran adalah sifat-sifat manusia sebagai berikut: 1) Manusia adalah makhluk yang rasional. Dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki, informasi, dan kemampuan untuk memprediksi masa depan, maka setiap manusia memilih keuntungan yang paling besar, yaitu mencari imbalan (rewards) yang paling besar atau mengeluarkan biaya (cost) yang paling rendah, 2) Manusia adalah aktor sekaligus reaktor. Manusia memiliki motivasi yang berasal dari diri sendiri, membuat keputusan sendiri, dan berinisiatif untuk melakukan aksi dengan menimbang hal-hal yang ditentukan oleh budayanya, 3) Orang harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan imbalan, 4) Perilaku sosial tidak akan terulang kecuali perilaku yang menurut pengalaman masa lalu mendapat imbalan dan diharapkan mengeluarkan biaya termurah, 5) Jika terdapat alternatif yang tidak menguntungkan, maka alternatif yang dipilih adalah alternatif dengan kerugian terkecil, 6) Kehidupan sosial membutuhkan hubungan timbal balik (reciprocity), dan 7) Distribusi keadilan, mencakup perasaan bersalah jika menerima lebih banyak, merasa puas jika menerima semestinya, dan merasa marah jika menerima kurang, 8) Biaya untuk menerima hukuman akan lebih besar dari pada biaya yang telah dikeluarkan, dan 9) Individu beragam dalam menilai objek, pengalaman, hubungan, dan posisi.

Dalam teori pertukaran sosial terdapat konsep-konsep sebagai berikut: 1. Imbalan (rewards), dapat berupa materi secara fisik maupun non materi

(sosial dan psikologis) seperti kesenangan dan kepuasan.

2. Biaya (costs) barupa materi maupun non materi seperti status, hubungan, interaksi, maupun perasaan yang tidak disukai.

3. Keuntungan (profit) yaitu selisih antara imbalan dan biaya. Individu selalu mencari keuntungan yang maksimum dengan cara memaksimumkan imbalan atau meminimumkan biaya.

4. Tingkat evaluasi atau tingkat perbandingan alternatif, yaitu suatu standar di mana seseorang dapat mengevaluasi imbalan dan biaya dari suatu hubugan atau kegiatan.

5. Norma timbal balik, adalah suatu gagasan yang menyangkut pertukaran timbal balik. Konsep ini sangat penting, karena tanpa timbal balik tidak mungkin akan terbentuk kehidupan sosial .

6. Pilihan, setiap manusia harus menentukan pilihan. Pengambilan keputusan merupakan output yang dijanjikan oleh pengambil keputusan.

Teori Ekologi Keluarga. Pendekatan teori ekologi dalam menganalisis keluarga pertama kali dikembangkan oleh Bronfenbrenner yang menyatakan bahwa perkembangan anak merupakan hasil dari interaksinya dengan lima sistem dalam lingkungan di sekitarnya. Kelima sistem tersebut adalah: 1) mikrosistem, 2) mesosistem, 3) ekosistem, 4) makrosistem, dan 5) kronosistem. Selanjutnya berdasarkan teori ekologi tersebut, Deacon dan Firebaugh (1988) mengembangkan model ekologi keluarga yang memandang keluarga sebagai suatu subsistem dari sistem sosial lebih jelasnya yang saling berinteraksi. Gambar 1 memperlihatkan hubungan keluarga dengan lingkungannya. Dalam proses pegambilan keputusan, keluarga dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya.

Lingkungan keluarga menurut Deacon dan Firebaugh (1988) lingkungan mikro dan makro. Pada lingkungan mikro, keluarga berhubungan dengan lingkungan fisik dan sosial yang ada di sekitarnya, yaitu tetangga. Kemudian lingkungan mikro ini berhubungan atau dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih besar yaitu lingkungan makro yang meliputi kondisi fisik (sumberdaya alam), sosial, politik, ekonomi, sosial budaya dan teknologi.

Amsyari (1977), diacu dalam Siahaan (2004) secara lebih sederhana membagi lingkungan menjadi 3 macam, yaitu:

1. Lingkungan fisik (physical environment), yaitu segala sesuatu di sekitar kita yang bersifat benda mati seperti gedung, sinar, air, dan lain-lain.

2. Llingkungan biologis (biological environment), yaitu segala sesuatu yang berada di sekitar kita yang bersifat organis, seperti: manusia, binatang, jasad renik, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.

3. Lingkungan sosial (social environment), yaitu manusia yang berada di sekitar atau kepada siapa kita mengadakan hubungan pergaulan.

Gambar 1. Lingkungan mikro dan makro dalam sistem keluarga (Deacon dan Firebaugh, 1988)

Teori Gender. Menurut Donnel (1988) dan Eviota (1993), diacu dalam Mugniesyah (2007), gender adalah perbedaan-perbedaan (dikotomi) sifat perempuan dan laki-laki yang tidak hanya berdasarkan biologis semata, tetapi lebih pada hubungan sosial budaya antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh struktur masyarakatnya yang lebih luas, dalam bermasyarakat dan bernegara. Gender juga dapat dikatakan sebagai proses melalui mana individu-individu yang dilahirkan dalam kategori jenis kelamin laki-laki dan

LINGKUNGAN MIKRO Sosial LINGKUNGAN MAKRO Sistem keluarga LINGKUNGAN MAKRO Alam/struktur Teknologi Ekonomi Biologi Fisik Politik Sosial budaya Sistem sosial Buatan manusia Fisik

perempuan yang kemudian memperoleh sifat-sifat maskulin dan feminin (Kabeer 1990, diacu dalam INSTRAW 1995).

Selanjutnya menurut ILO (2000), gender mengacu pada perbedaan-perbedaan dan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang dipelajari secara luas di antara masyarakat dan budaya dan berubah sejalan dengan perkembangan waktu/zaman. Sedangkan menurut Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (2001), gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peranana, fungsi, dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Peranan gender adalah peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya, dan struktur masyarakatnya. Terdapat tiga peranan gender menurut Mosher (1993), diacu dalam Mugniesyah (2007), yaitu: 1. Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki

untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai dan sejenisnya. Contoh: kegiatan bekerja baik di sektor formal maupun informal.

2. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan keluarga

3. Peran pengelolaan masyarakat dan politik yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni: a) peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial) yang mencakup semua aktivitas yang dilakukan pada tingkat komunitas sebagai kepanjangan peranan reproduktif, bersifat voluntir dan tanpa upah, b) pengelolaan masyarakat politik (kegiatan politik), yaitu peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung atau tidak langsung) dan meningkatkan kekuasaan atau status.

Sementara itu, yang dimaksud dengan relasi gender adalah hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang terlihat pada lingkup gagasan (ide), praktek, dan representasi yang meliputi pembagian kerja, peranan, dan alokasi sumberdaya antara laki-laki dan perempuan. Peranan dan relasi gender sangat merupakan hal yang dinamis. Perubahan peranan gender sering terjadi sebagai respon terhadap perubahan situasi ekonomi, sumberdaya alam, dan atau politik, termasuk perubahan usaha-usaha pembangunan atau penyesuaian

program struktural oleh kekuatan-kekuatan di tingkat nasional dan global (Mugniesyah 2007). Dengan demikian, relasi gender juga terjadi pada proses pengambilan keputusan.

Pengambilan keputusan merupakan proses yang mendasari semua fungsi manajemen sumberdaya keluarga (Deacon & Firebough, 1988). Menurut King dan Mason (2005) dalam kehidupan keluarga sehari-hari, pengambilan keputusan seringkali dilakukan, seperti pengambilan keputusan dalam menentukan menu makanan, menentukan pergi liburan, menentukan membeli baju, dan lain sebagainya.

Menurut Guhardja et al. (1992), terdapat tiga tipe pengambilan keputusan dalam keluarga dilihat dari keterlibatan anggota keluarganya, yaitu:

1. Pengambilan keputusan konsensus, yakni pengambilan keputusan secara bersama-sama antar anggota keluarga, setiap anggota memiliki hak untuk mengemukakan pendapatnya. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan akan menjadi tanggung jawab semua anggota keluarga.

2. Pengambilan keputusan akomodatif, yang dicirikan oleh adanya orang yang dominan, sehingga keputusan yang diambil adalah dengan menerima pendapat orang yang dominan tersebut.

3. Pengambilan keputusan de facto, adalah pengambilan keputusan yang diambil secara terpaksa.

Di dalam keluarga, pola pengambilan keputusan menyangkut kewewenangan suami istri dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini pola pengambilan keputusan dapat dibedakan atas pola tradisional dan pola modern. Pada pola tradisional, kewenangan mengambil keputusan hanya diberikan kepada suami. Sedangkan istri hanya sebagai pendukung keputusan. Sementara itu pada pola modern, keputusan diambil secara bersama-sama. Ada semacam kesamaan hak antara suami dan istri dalam mengambil keputusan, tanpa menghilangkan peran masing-masing.

Sumarwan (2003) merangkum beberapa studi yang mengidentifkasi model pengambilan keputusan produk oleh sebuah keluarga sebagai berikut: 1. Istri dominan dalam pengambilan keputusan. Istri memiliki kewenangan

untuk memutuskan produk dan merek apa yang dibeli untuk dirinya dan untuk anggota keluarganya.

2. Suami dominan dalam pengambilan keputusan. Suami memiliki kewenangan untuk memutuskan produk dan merek apa yang dibeli untuk dirinya atau anggota keluarganya.

3. Keputusan autonomi, yakni keputusan yang bisa dilakukan oleh istri atau suami tanpa tergantung dari salah satunya. Artinya istri bisa memutuskan

Dokumen terkait