• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kabupaten Maros terletak di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan yang berada di sebelah utara Kota Makassar secara geografis terletak pada 4o45’- 5o07’

LS dan 109o20’-129o12 BT (Anonimous 2004). Luas wilayah keseluruhan adalah

161911 km2 dengan ketinggian dari permukaan laut 0-100 m. Kabupaten Maros di

pengaruhi oleh dua macam angin yaitu angin barat dan angin timur. Sektor unggulan pada wilayah ini adalah pertanian dan perikanan (Bapedalda Kab. Maros 2003).

Pada sektor pertanian terdapat padi sawah, padi ladang, hutan wisata/suaka alam, hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap/biasa dengan luas masing-masing berturut-turut adalah 41.377 ha, 370 ha, 9.041 ha, 25.817 ha, 7.886 ha, dan 25.765 ha. Untuk sektor perikanan terdapat tiga jenis budidaya yaitu budidaya air tawar, budidaya air payau, dan budidaya laut. Budidaya air payau (tambak) merupakan perikanan yang paling maju (Bapedalda Kab. Maros 2003) dengan luas keseluruhan kurang lebih 10.000 ha (Anonimous 2003a). Kegiatan yang dilaksanakan pada kedua sektor ini dapat memberikan pengaruh terhadap kualitas lingkungan perairan pesisir Kab. Maros.

Masalah lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan pertanian adalah sisa pupuk dan pestisida yang tidak tepat cara pemakaiannya. Pada sektor perikanan, degradasi lahan mangrove menjadi lahan pertambakan dan budidaya tambak semi intensif dan intensif (Bapedalda Kab. Maros 2003). Sisa penggunaan pupuk, pestisida, dan pakan ikan/udang dapat menurunkan fungsi lingkungan. Penggunaan bom dan bahan sianida pada usaha penangkapan menjadi penyebab lainnya terlebih lagi dengan adanya penangkapan ikan yang terkonsentrasi di daerah pantai. Pemeliharaan ikan dengan sistem keramba jaring apung (KJA) yang menghasilkan sisa pakan turut pula menyebabkan peningkatan beban di wilayah pesisir.

Beban limbah dari daratan memasuki perairan pesisir Maros terangkut melalui sungai. Jumlah sungai yang bermuara di perairan Maros sebanyak 9 buah, namun Sungai Maros merupakan sungai yang paling banyak memberikan tekanan pada wilayah ini. Sungai itu banyak menerima beban dari berbagai aktifitas

masyarakat. Sungai-sungai lainnya berfungsi hanya sebagai pemasukan air untuk kegiatan budidaya tambak, berair pada musim hujan dan kering saat musim kemarau (Anonimous 2003a).

Sungai Maros merupakan sungai utama melintasi Kabupaten Maros yang terbentang dari arah tenggara ke arah barat dan bermuara di Selat Makassar.

Sungai ini mempunyai luas daerah aliran sungai sebesar 64636 km2 dengan

panjang lebih kurang 7673 km (Anonimous 2003b).

Peranan Hidrooseanografi terhadap Distribusi Biomassa Fitoplankton Fitoplankton pada perkembangannya secara langsung atau tidak langsung salah satunya dipengaruhi oleh faktor hidrooseanografi termasuk didalamnya sifat fisik perairan. Oleh karena itu variabilitas fitoplankton sangat tinggi pada lingkungan yang memiliki dinamika fisik yang komplek, sebagai contoh perairan pantai. Perairan pantai dicirikan dengan perairan yang dangkal, terjadi pengkayaan nutrien, dan adanya pengaruh arus pasang surut serta penerima beban sungai (May et al. 2003).

Pasang surut merupakan salah satu sifat perairan yang dominan berpengaruh

pada komunitas pantai (Parsons et al. 1984). Kelimpahan plankton dan nekton

menjadi berfluktuasi karena adanya pengaruh pasang surut. Bersama dengan angin dan gelombang, pengaruh pasang surut menciptakan turbulen perairan yang dapat mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Turbulen ini sangat efektif di atas paparan benua.

Beban Masukan Bahan Organik dan Anorganik Jenis dan Beban Masukan Bahan Organik

Bahan masukan organik signifikan mempengaruhi dinamika fitoplankton

melalui peningkatan dan/atau menciptakan variabilitas kekeruhan (May et al.

2003).Menurut Libes (1992), beban dan jenis-jenis bahan organik yang masuk ke

dalam perairan laut terdiri atas karbohidrat, lipida, asam-asam nukleat, asam-asam amino, hasil ekskresi nitrogeneus, asam-asam karbosilik, senyawa yang mengandung fosfor dan sulfur. Bahan organik ini selanjutnya mengalami degradasi dengan waktu yang berbeda.

Jenis-jenis utama bahan organik pada perairan biasanya adalah polisakarida

11 dalam Effendi 2003). Selain itu, limbah organik juga merupakan jenis bahan organik yang mengandung bahan-bahan organik sintesis yang toksik seperti

minyak, fenol, pestisida, surfaktan, dan polychlorinated biphenyl (PCBs) serta

polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH). Setiap bahan organik ini memiliki sifat fisik kimia dan toksisitas yang berbeda.

Proses dan Hasil Penguraian Bahan Organik a. Proses Penguraian Bahan Organik

Secara umum sumber nutrien yang ada pada perairan laut berasal dari masukan bahan organik (Valiela 1984). Melalui aktivitas bakteri dan organisme pengurai lainnya, bahan ini mengalami dekomposisi menjadi bahan-bahan anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh organisme autotrof (Chester 1990),

seperti misalnya nitrat dan fosfat. Menurut Savenkoff et. al. (1996) dan Cebrian

(2002), nutrien diperoleh dari proses degradasi bahan organik yang berlangsung pada kolom air atau sedimen. Bahan ini berasal dari berbagai sumber seperti organisme yang mengalami kematian.

Laju penguraian bahan organik sangat ditentukan oleh ketersediaan oksigen pada perairan (Valiela 1984 dan Libes 1992). Penguraian dapat berjalan sempurna jika ketersediaan oksigen mencukupi. Oksigen berfungsi sebagai aseptor elektron yang digunakan bakteri dalam melaksanakan proses perombakan bahan organik (Valiela 1984 dan Libels 1992). Reaksi yang terjadi sehubungan dengan ketersediaan oksigen yang cukup disebut reaksi oksidasi. Menurut Valiela (1984), kondisi ini disebut dengan kondisi aerobik.

Proses penguraian bahan organik dapat pula terjadi pada kondisi sangat miskin oksigen. Reaksi yang terjadi disebut dengan reaksi reduksi (Valiela 1984; Thurman 1991; Millero dan Sohn 1992). Dalam melaksanakan aktivitas, bakteri dan organisme pengurai lainnya mereduksi molekul-molekul yang mengandung oksigen. Selanjutnya, oksigen yang terbentuk dari reduksi itu digunakan sebagai energi dalam melaksakan proses penguaraian bahan organik.

Jenis bahan organik yang masuk ke perairan ada yang mudah terdegradasi dan ada pula yang sukar terdegradasi (memerlukan waktu yang lama). Salah satu contoh bahan organik yang mudah terdegradasi adalah karbohidrat, lemak, dan protein. Jenis-jenis bahan organik ini merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan

hewan yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik dan industri.

Kemudian bahan organik yang sukar terdegradasi adalah polychlorinated biphenyl

(PCBs) dan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) (Effendi 2003).

b. Hasil Penguraian Bahan Organik b.1. Nitrogen

Pada perairan laut, ketersediaan jenis-jenis nitrogen sangat ditentukan oleh reaksi redoks yang dimediasi bakteri. Oleh karena itu proses perubahan nitrogen dari satu bentuk ke bentuk yang lain bergantung pada reaksi oksidasi dan reaksi

reduksi (Fenchel dan Blackburn 1979 in Valiela 1984 dan Libes 1992).

Pada reaksi oksidasi, PON (Partikulate Organic Nitrogen) mengalami

penguraian menjadi DON (Dissolved Organik Nitrogen) (Libes 1992). DON yang

terbentuk selanjutnya didegradasi oleh bakteri dan dengan cepat menghasilkan

NH3. Bentukinikemudian mengalami perubahan menjadi NH4+ karena bereaksi

dengan H+ atau H2O (Valiela 1984 dan Libes 1992). Kemudian NH4+ segera

dioksidasi menjadi nitrit (NO2-) selanjutnya berubah menjadi nitrat (NO3).

Pada reaksi reduksi, salah satu proses yang terjadi adalah fiksasi nitrogen. Nitrogen dalam bentuk gas yang berasal dari proses reduksi nitrit ataupun dari udara difiksasi ke dalam senyawa-senyawa organik melalui bakteri tertentu dan blue-green algae (Valiela 1984; Grahame 1987; Thurman 1991; Libes 1992; Millero dan Sohn 1992). Senyawa-senyawa nitrogen organik ini kemudian berubah menjadi bentuk-bentuk nitrogen anorganik terlarut seperti NO3, NO2-, dan

NH3 (Valiela 1984 dan Davis 1991). Hasil dari proses ini kemudian diserap oleh

fitoplankton. b.2. Fosfor

Penyerapan oleh produser primer dan bakteri menyebabkan rendahnya

konsentrasi fosfat terlarut (DIP = Dissolved Inorganic Phosphat) pada permukaan

perairan. DIP mengalami pertambahan dalam perairan karena terjadi proses

hydrolysis DOP (Dissolved Organic Phosphat). Perubahan ini berlangsung sangat

cepat sehingga DOP dapat menjadi terbatas hanya pada hitungan jam (Valiela 1984).

Fosfat seperti halnya nitrat juga dilepaskan kembali ke dalam kolom air melalui penguraian jaringan organik secara oksidatif (Davis 1991). Banyak

13 regenerasi fosfor berlangsung melalui dekomposisi bakteri yang memberikan formasi ortofosfat. Menurut Thurman (1991), karena proses hydrolysis dan kehadiran bakteri menyebabkan bahan organik yang mengandung posfor jauh lebih cepat berkurang jika dibandingkan dengan bahan organik yang mengandung nitrogen. Hidrolisis abiotik juga terjadi tetapi kecepatan perubahan melalui proses ini lebih rendah jika dibandingkan dengan kondisi aerobik.

Senyawa fosfat diregenerasikan melalui pembusukan fosfor organik

partikulat (POP). Kematian, eksresi, dan molting organisme merupakan

sumber-sumber POP. Beberapa POP dilepaskan sebagai DOP melalui pembusukan organisme yang mengalami kematian pada kolom air, disamping itu beberapa diantaranya masuk ke dalam sedimen. Pada sedimen selanjutnya didegradasi menjadi DIP dan sebagian DIP mengendap atau diserap (Valiela 1984). DIP pada perairan laut semuanya dalam bentuk ion-ion ortofosfat (Valiela 1984; Grahame 1987; Millero dan Sohn 1992).

b.3. Silikat

Silikat berada di kolom air melalui penghancuran cangkang diatom dan radiolaria yang mengalami kematian (Chester 1990; Thurman 1991; Millero dan

Sohn 1992). Cangkang ini mengandung SiO2. Silikat dalam pelepasan kembali ke

kolom air bukan disebabkan aksi bakteri tetapi melalui organisme yang lain (Millero dan Sohn 1992) seperti fitoplankton kemudian mengalami autolisis (Thurman 1991). Konsentrasi bahan suspensi ini sangat bervariasi. Konsentrasi

yang sangat tinggi dapat diperoleh pada perairan yang sering terjadi blooming

diatom. Sebagian diantaranya ada yang tenggelam ke sedimen membentuk oozes (lumpur) sedimen.

Jenis dan Beban Masukan Bahan Anorganik

Bahan anorganik (nutrien anorganik) merupakan sumber nutrien yang masuk ke perairan yang digunakan oleh fitoplankton dalam menghasilkan produksi primer. Sumber ini dapat diperoleh dari luar perairan diantaranya melalui run-off sungai (Savenkoff et al. 1996 dan Cebrian 2002). Jenis-jenis nutrien anorganik yang paling dibutuhkan oleh fitoplankton adalah nitrogen dan fosfor serta silikat.

Menurut Kennish (1994), jenis nitrogen dan fosfor serta silikat merupakan nutrien-nutrien major di estuaria, ketiganya berada dalam bentuk terlarut dan partikulat. Elemen-elemen ini berasal dari lahan-lahan pertanian (pupuk) dan

limbah antropogenik (Kennish 1994; Li et al. 2000; Jassby et al. 2002) serta

penghancuran batuan yang selanjutnya memasuki laut melalui pengaliran sungai (Millero dan Sohn 1992).

Produksi Fitoplankton Produktivitas Primer Fitoplankton

Produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrop yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik (bahan berenergi tinggi) dari bahan anorganik (bahan berenergi rendah) dengan

bantuan energi matahari (Parsons et al.1984). Suatu proporsi bahan organik yang

diproduksi oleh organisme berklorofil melalui proses fotosintesis digunakan untuk respirasi selluler mereka, sisanya digunakan oleh organisme pada tingkat tropik yang lebih tinggi untuk pertumbuhan dan reproduksi. Pengurangan jumlah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis dapat terjadi karena adanya kematian organisme berklorofil.

Dalam konsep produktivitas dikenal istilah produktivitas primer kotor (gross

primary productivity) dan produktivitas primer bersih (net primary productivity). Produktivitas primer kotor adalah laju produksi primer zat organik pada jaringan tumbuhan termasuk yang digunakan untuk respirasi, sedangkan produktivitas primer bersih adalah laju produksi primer zat organik setelah digunakan untuk respirasi. Produktivitas primer dibatasi oleh cahaya, nutrien, dan faktor hidrografi yaitu paduan semua faktor yang menggerakkan massa air laut seperti arus, upwelling, dan difusi (Nybakken 1988) serta kelimpahan dan struktur komunitas

fitoplankton (Wetzel 1983). Currie (1958 in Odum 1998) memberikan gambaran

bahwa produktivitas primer fitoplankton optimal pada kedalaman 5-10 m untuk perairan dekat pantai.

Produktivitas primer fitoplankton dalam lapisan eufotik memberikan suplai bahan organik dan energi pada rantai makanan. Variasi parameter ini berpengaruh terhadap siklus material dalam lingkungan perairan baik secara spasial maupun temporal. Di samping berperan dalam siklus material, parameter itu juga berperan

15

dalam siklus karbon sehubungan dengan perubahan iklim global (Global Change)

(Hama et al. 1997).

Produksi Fitoplankton (Pembentukan Biomassa)

Produksi dapat didefinisikan sebagai total bahan organik yang dihasilkan oleh organisme fotosintesis pada suatu unit waktu tanpa melihat apakah

organisme itu tetap hidup atau mengalami kematian (Ricker 1958 in Parsons et al.

1984). Produksi bergantung pada interval waktu saat pengukuran dilaksanakan, keberadaan dan ketiadaan predator, laju pertumbuhan dan kematian alami

populasi. Untuk mengestimasi produksi dapat dipertimbangkan rata-rata standing

stock populasi.

Menurut Parsons et al. (1984); Geider dan Osborne (1992), biomassa dapat

diartikan sama dengan standing stock yang didefenisikan sebagai konsentrasi

material tumbuhan per unit volume (gm-3) atau per unit area (gm-2). Biomassa

biasanya diukur sebagai berat basah, berat kering, berat pengabuan, atau karbon organik. Untuk studi penelitian tentang fotosintesis fitoplankton, konsentrasi klorofil sangat sesuai dan tidak ada duanya dalam pengukuran konsentrasi

biomassa (Geider dan Osborne 1992; Alderink dan Jovin 1997; Steigenberger et

al. 2004). Konsentrasi klorofil-a merupakan indikator terbaik dalam menentukan

standing stock fitoplankton. Kemudian, Sumich (1992) menyatakan bahwa ukuran biomassa ditentukan oleh keseimbangan antara peningkatan hasil (pembelahan dan pertumbuhan sel) dan penurunan hasil (sinking dan grazing).

Pembentukan biomassa fitoplankton ditentukan oleh proses fotosintesis. Grazing, ekspor, dan ekskresi merupakan parameter lainnya yang mempengaruhi biomassa fitoplankton pada perairan (Geider dan Osborne 1992; Cebrian 2002). Hal ini dapat direpresentasikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut :

Hasil = Fotosintesis Bersih –Ekskresi – Pemangsaan – Ekspor

Di samping itu, perubahan biomassa dapat juga ditentukan dengan cara pengukuran laju pertumbuhan spesifik :

µ = ln (BBf /Bo)/ δt = ln [(BoB + Y ) / BBo ] / δt di mana :

BBf = Biomassa Fitoplankton akhir BBo = Biomassa fitoplankton awal

δt = Interval waktu antara pengukuran BBo dan BfB Y = BBf - BoB

Pertumbuhan algae dalam hal ini fitoplankton tidak selamanya berangkai secara langsung dengan laju fotosintesis. Ketidakberangkaian ini terjadi pada skala waktu harian yang dapat dilihat dari hasil proses fotosintesis yang rendah

karena penyinaran tidak optimal dalam sehari (Cuhel et. al. 1984 in Geider dan

Osborne 1992). Hal ini dapat juga terjadi ketika algae dengan kondisi nutrien yang terbatas, terekspose pada daerah yang memiliki konsentrasi nutrien yang tinggi. Pada kondisi yang lain, cadangan karbohidrat dan lipida dapat digunakan dengan cepat untuk pertumbuhan pada kondisi nutrien yang terbatas. Cadangan karbohidrat dan lipida ini terakumulasi selama energi mencukupi.

Prinsip Nutrien Sebagai Faktor Pembatas

Nutrien yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk fitoplankton dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu : (1) makro nutrien dibutuhkan dalam jumlah yang banyak, dan (2) mikro nutrien dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Kelompok yang termasuk makro nutrien adalah C, H, N, P, Mg, dan Ca sedangkan yang termasuk kelompok mikro nutrien meliputi Fe, Mn, Cu, Si, Zn,

Na, Mo, Cl, V, dan Co (Parsons et al. 1984). Di antara unsur-unsur makro nutrien,

N dan P sering menjadi faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton baik pada perairan tawar maupun dalam perairan estuaria dan laut

(Lagus et al. 2004). Disebut sebagai faktor pembatas karena N dan P sangat

dibutuhkan oleh fitoplankton dalam jumlah yang besar namun ketersediaanya sedikit dan tidak mencukupi (Barnes dan Hughes 1988). Besar kecilnya konsentrasi kedua jenis nutrien tersebut sangat bergantung pada masukan nutrien dari luar perairan seperti dari sungai, resapan tanah, pencucian ataupun erosi, dan proses pembentukan yang berlangsung dalam badan perairan itu sendiri.

Kebutuhan Absolut dan Relatif Nutrien Jenis N P dan Si (Rasio Redfield : N/P/Si)

Penelitian yang dilakukan oleh Chu (1942 in Vollenweider 1968)

17 pada nilai ambang 0.3-1.3 mg N anorganik/l, namun kisaran ini akan berbeda bahkan lebih tinggi pada beberapa spesies plankton. Kemudian Mackenthum (1969) menyatakan bahwa untuk pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan

kandungan nitrat berkisar 0.9-3.5 mg/l. Secara lebih khusus, Ketchum (1939a in

Parsons et al. 1984) menjelaskan bahwa kebutuhan minimum nitrat yang dapat

diserap oleh diatom berkisar 0.001-0.007 mg/l.

Fosfat mempengaruhi penyebaran fitoplankton khususnya diatom (Vollenweider 1968). Fosfat dapat menjadi faktor pembatas baik secara sapsial maupun temporal (Raymont 1963). Konsentrasi fosfor di perairan umum berkisar 0.001-0.005 mg/l (Boyd 1982). Kandungan fosfat yang optimum untuk pertumbuhan optimum fitoplankton berkisar 0.09-1.80 mg/l (Mackenthum 1969). Pada perairan yang memiliki konsentrasi fosfat yang rendah (0.00-0.02 mg/l) akan didominasi oleh diatom, pada perairan dengan konsentrasi fosfat sedang (0.02-0.05 mg/l) akan dijumpai jenis Chlorophyceae yang berlimpah, dan pada perairan

yang memiliki konsentrasi fosfat tinggi (>0.10 mg/l) maka jenis Cyanophyceae

menjadi dominan (Prowse 1946 dalam Kaswadji 1976).

Di laut, silikat merupakan nutrien yang diperlukan dan mempunyai pengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Selain membutuhkan fosfat dan nitrat, fitoplankton juga membutuhkan silikat dalam

jumlah yang besar (Jorgensen 1953 dalam Muchtar 1980) khususnya diatom.

Konsentrasi silikat pada perairan pantai biasanya lebih tinggi jika dibandingkan

dengan perairan lepas pantai karena menerima limpasan (run-off) dari daratan.

Jika konsentrasi silikat lebih rendah dari 0.5 mg/l maka fitoplankton khususnya

diatom tidak dapat berkembang dengan baik (Turner 1980 dalam Widjaja dkk.

1994).

Kebutuhan relatif nutrien oleh fitoplankton dapat ditinjau dari Rasio

Redfield. Redfield menyatakan bahwa konsentrasi nutrien-nutrien utama seperti

nitrat dan fosfat serta silikat mengalami perubahan sehubungan dengan perubahan rasio konsentrasi (stoikiometri) dalam tubuh fitoplankton. Oleh karena itu, organisme ini mengontrol konsentrasi dan distribusi nutrien pada perairan laut (Chester 1990). Dari kenyataan itu, terjadi hubungan linier antara konsentrasi nutrien-nutrien terlarut sebagai contoh antara nitrat dan fosfat pada perairan laut.

Pada jaringan tumbuhan dan hewan, rasio yang di berikan oleh Redfield hampir konstan. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi nutrien utama pada perairan laut adalah sama dengan yang terakumulasi dalam tubuh plankton.

Rasio C:N:P pada fitoplankton sangat bervariasi menurut status fitoplankton ditinjau dari nutrisinya. Mineralisasi bahan organik dalam bentuk partikulat fosfor dan nitrogen yang dapat diperoleh dari fitoplankton yang mengalami kematian

merupakan aspek penting pada siklus nutrien di ekosistem akuatik (Brown et al.

1994). Menurut Tezuka (1989) Chester (1990) dan Brown et al. (1994), sampai

sekarang banyak ilmuwan perairan memberikan validasi rasio C:N:P:Si seperti yang diberikan oleh Redfield dengan perbandingan 106:16:1:15 (Diatom). Perubahan rasio ini mempengaruhi perubahan komunitas plankton pada perairan (Cloern 2001 dan Jennerjahn et al. 2004 serta Lagus et al. 2004).

Faktor dan Proses Penentu Produktivitas Fitoplankton Distribusi dan Ketersediaan Nutrien N, P dan Si (Spasial dan Temporal)

Distribusi dan struktur komunitas fitoplankton sangat bervariasi di wilayah tropis karena dipengaruhi oleh perubahan curah hujan secara musiman (Sournia

1969 in Gilbes et.al. 1996). Curah hujan musiman ini menghasilkan perbedaan

debit air sungai yang mengalir ke perairan laut baik secara spasial dan temporal. Akibatnya, konsentrasi nutrien dan salinitas serta kekeruhan mengalami perubahan, pada akhirnya mempengaruhi produktivitas perairan.

Secara spasial, distribusi vertikal nutrien N, P dan Si pada kolom air memiliki nilai yang rendah di lapisan permukaan laut dan berlimpah di lapisan lebih dalam (Valiela 1984; Thurman 1991; Davis 1991; Millero dan Sohn 1992;

Brown et al. 1994). Penyebab rendahnya nutrien di permukaan karena diserap

oleh alga dan bakteri di zona fotik. Pada kondisi-kondisi tertentu, nutrien-nutrien ini mengalami penambahan di permukaan perairan karena adanya ekskresi organisme dan dekomposisi organisme mati baik secara kimia maupun biologi. Ditinjau dari sebaran secara horisontal, jenis-jenis nutrien memiliki konsentrasi yang lebih tinggi di daerah paparan benua (dekat daratan) jika dibandingkan

dengan di luar paparan benua (laut lepas) (Hama et al. 1997 dan Zuzuki at al.

19 Distribusi nutrien secara temporal berhubungan dengan proses-proses fisika

seperti percampuran vertikal dan upwelling (Pipkin et. al. 1987; Thurman 1991;

Libes 1992; Sumich 1992; Pomeroy 1999) serta hydrothermal vents (Libes 1992).

Menurut Thurman (1991), percampuran vertikal dapat disebabkan oleh gelombang dan pasang, sementara itu Sumich (1992) mengatakan gelombang dan angin. Dengan adanya aksi gelombang dan angin, nutrien yang ada pada kolom air di lapisan yang lebih dalam terangkut ke atas bercampur dengan nutrien di lapisan permukaan.

Intensitas Cahaya dan Kedalaman Zeu dan Zmix a. Intensitas Cahaya

Cahaya matahari merupakan sumber energi pada proses fotosintesis. Menurut Lalli dan Pearsons (1995), cahaya merupakan salah satu faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton dalam perairan. Makin dalam penetrasi cahaya pada kolom perairan maka lapisan di mana proses fotosintesis dapat berlangsung adalah semakin besar, dengan demikian konsentrasi oksigen terlarut masih memiliki nilai yang tinggi pada kolom air yang lebih dalam (Ruttner 1973).

Menurut Parsons et al. (1984), intensitas cahaya secara kualitatif

digambarkan lewat distribusi spektral yang bergantung pada perbedaan panjang gelombang. Cahaya dengan panjang gelombang diatas 760 nm disebut infra merah (IR) dan cahaya yang kurang dari 300 nm adalah ultra violet (UV). Panjang gelombang antara UV dan IR disebut visibel (VS), fraksinya sebagian besar penting untuk aspek-aspek biologi seperti fotosintesis dan rangsangan visual organisme. Total radiasi pada panjang gelombang ini disebut dengan PAR (photosyntetically available radiation) yang dapat menembus perairan dan selanjutnya diserap oleh klorofil fitoplankton.

Proses fotosintesis fitoplankton hanya dapat berlangsung bila ada cahaya pada kolom perairan (Nybakken 1988 dan Huisman 1999). Hasil fotosintesis yang cukup besar dapat diperoleh mulai dari lapisan permukaan sampai ke kedalaman dengan nilai intensitas cahaya tinggal 1 %. Lapisan ini sering disebut zona eufotik (Steeman-Nielsen 1975 dalam Nontji 1984) seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2. Zona di bawah dari zona tersebut adalah kedalaman kompensasi (titik

kompensasi) dengan intensitas cahaya tinggal 1 % dari intensitas cahaya permukaan. Pada lapisan ini, laju fotosintesis sama dengan laju respirasi. Zona di bawah titik kompensasi disebut zona disfotik yang mempunyai laju fotosintesis lebih kecil dari laju respirasi. Perubahan laju fotosintesis merupakan hasil dari respon fitoplankton terhadap variabilitas cahaya (Hood et al. 1991.

Hubungan antara intensitas cahaya dan produktivitas primer perairan sangat nyata (Gambar 2). Peningkatan intensitas cahaya secara proporsional sebanding dengan peningkatan produktivitas primer (Riley dan Chester 1971). Jika intensitas cahaya semakin besar maka proses fotosintesis juga akan semakin meningkat sampai mencapai puncak di saat cahaya dalam kondisi jenuh.

Gambar 2. Hubungan antara intensitas cahaya dan fotosintesis pada berbagai kedalaman (Fogg 1975)

Intensitas Cahaya (%)

Fotosintesis (gC/m2/hari)

Kedalaman (m)

Hubungan antara intensitas cahaya dan produktivitas primer perairan telah disarikan oleh Fogg (1975) sebagai berikut :

- Laju fotosintesis mempunyai hubungan yang linear dengan cahaya hanya pada intensitas yang rendah.

- Pada intensitas tertentu (Ik), laju fotosintesis akan mencapai maksimum (Pmax). - Intensitas cahaya yang terlampau kuat akan menyebabkan laju fotosintesis menurun (photo inhibitor).

- Titik kompensasi adalah intensitas dimana laju fotosintesis adalah sama dengan laju respirasi (p=R)

- Berdasarkan hal-hal di atas maka dalam sebaran vertikal dapat terlihat : (a) laju fotosintesis di permukaan adalah kecil karena pengaruh sinar matahari yang

21 terlampau kuat, (b) semakin dalam laju fotosintesis semakin hingga mencapai

maksimum (Pmax) pada kedalaman beberapa meter di bawah permukaan, (c) di

bawah Pmax laju fotosintesis akan berkurang secara proporsional terhadap

intensitas cahaya, (d) laju fotosintesis akan bersifat positif jika nilainya lebih besar dari respirasi (P > R).

b. Kedalaman Zeu dan Zmix

Kedalaman lapisan eufotik (Zeu) dan tercampur (Zmix) menentukan besarnya

kolom air yang dapat tersinari oleh cahaya untuk proses fotosintesis. Menurut

Dokumen terkait