• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Umum Danau Matano

Danau Matano adalah salah satu danau yang berada dalam wilayah ‟Wallacea‟.

Danau ini berada di bagian tengah Pulau Sulawesi, yang termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Selatan. Danau Matano merupakan hulu dari rangkaian tiga danau besar yang berdekatan yaitu Danau Matano, Mahalona dan Towuti. Dua danau lain yang juga bertetangga dengan ketiga danau ini yaitu Danau Lantoa dan Danau Masapi. Kelima danau ini membentuk satu kompleks danau yang

dikenal dengan sebutan ‟Kompleks Danau Malili‟. Sistem aliran dari kompleks danau

ini berhubungan dengan Teluk Bone melalui Sungai Malili (Tantu & Nilawati 2007a).

Danau Matano dan dua danau tetangganya di bagian hilir (Danau Mahalona dan Danau Towuti) merupakan kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA). Penetapan sebagai kawasan konservasi TWA telah relatif lama dilakukan yaitu tahun 1979 melalui Surat Keputusan Mentan No. 274/Kpts/Um/4/1979 tanggal 24 April 1979. Luas kawasan ini mencapai 98.500,00 ha (termasuk perairan danau), dengan rincian luas masing-masing: TWA Matano 30.000 ha, TWA Towuti 65.000 ha, dan TWA Mahalona 3.500 ha (Tantu & Nilawati 2007b). Walaupun kompleks danau- danau Malili ini telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi TWA, namun TWA ini tidak dikelola sebagaimana mestinya sebuah kawasan TWA. Padahal danau ini memiliki keunikan dilihat dari sisi biota yang tercermin pada keragaman dan endemisitas biotanya. Danau Matano diidentifikasi sebagai sumber utama kehadiran spesies-spesies endemik dalam kompleks danau-danau Malili (Hafner et al. 2001). Keindahan, keunikan dan keragaman ikan endemik Danau Matano dan danau lainnya di kompleks Malili saat ini menarik perhatian banyak naturalis dari berbagai negara di dunia untuk menjadikan kompleks danau-danau Malili sebagai obyek penelitian (Tantu & Nilawati 2007b). Kawasan ini juga merupakan pusat perhatian keanekaragaman ikan endemik perairan tawar Sulawesi (Tantu & Nilawati 2007a).

Walaupun danau-danau ini kaya akan spesies endemik, namun produktifitasnyasangat renda dibandingkan dengan danau-danau tropis lain. Menurut Haffner et al. (2006), biomassa fitoplankton di Danau Matano, Mahalona dan Towuti berturut-turut adalah 0,013; 0,008; dan 0,09 mg l-1. Sementara biomassa di Danau Malawi, Tanganyika dan Victoria berturut-turut adalah 0,3; 0,9; dan 5 mg l-1.

Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Widhiasari (2003) menunjukkan bahwa kelimpahan fitoplankton di daerah litoral Danau Matano berkisar antara 27 dan 1287 ind. l-1; nilai ini berada dalam kisaran kategori oligotrof (0 – 2000 ind. l-1). Studi Widhiasari (2003) ini juga mencatat bahwa jenis fitoplankton yang dominan adalah Chlorophyceae. Sementara Haffner et al. (2006) yang melakukan studi di kompleks Danau Malili melaporkan bahwa komunitas fitoplankton yang dominan adalah cyanobacteria kecil. Taksa yang lebih besar seperti Staurastrum dan Peridinium

jarang ditemukan. Demikian pula dengan komunitas zooplankton terdiri atas beberapa spesies terutama calanoid (Eodiaptomus wolterecki), copepoda cyclopoid (Tropocyclops spp.) dan rotifer (Horaella brehmi).

Parameter fisik kimiawi perairan dideskripsikan oleh Bramburger et al. (2006) sebagai berikut: kisaran suhu tahunan 27–31ºC; pH 7,7-8,3; konduktivitas 143-175 µS cm-¹; dan total fosfor kurang dari 5 µg l-¹.

Secara fisik Danau Matano memiliki keunikan: terjadi secara tektonik; berada pada ketinggian 396 m di atas permukaan laut (dpl); luas 164 km2 dan kedalaman kurang lebih 590 m (Haffner et al. 2001); dan merupakan danau terdalam kedelapan di dunia. Danau Matano dideskripsikan oleh Haffner et al. (2001) sebagai danau oligotrofik; perairan sangat jernih dengan kecerahan mencapai 23 m; daerah litoral relatif sempit yang dibatasi oleh dinding-dinding danau yang curam. Walaupun danau ini berhubungan dengan dua danau di hilirnya, namun danau ini terisolasi oleh elevasi 89 m, dan arus aliran keluar yang kuat, yaitu berkisar 25-30 m³det-¹. Kondisi ini diduga sebagai rintangan fisik bagi penyebaran ikan dari danau-danau yang ada di bagian hilir (Haffner et al. 2001).

Soeroto (1997) menyatakan bahwa ikan-ikan endemik Danau Matano merupakan anggota dari famili ikan laut yang diduga telah menempati danau itu sejak

awal kejadiannya. Mayoritas ikan air tawar Sulawesi adalah ikan sekunder, yaitu ikan yang mampu mentolerir kandungan garam. Contoh ikan-ikan sekunder adalah Oryziidae dan Adrianichthyidae, sedangkan anggota dari famili ikan laut adalah Gobiidae, Eleotridae, Atherinidae dan Hemiramphidae (Soeroto 1997). Ikan T. antoniae adalah salah satu jenis ikan endemik Danau Matano yang terdistribusi di sepanjang tepian danau Matano (Kottelat 1991). Ikan ini menempati daerah litoral danau (Heath et al. 2006; Nilawati & Tantu 2007).

Zona litoral yang dihuni oleh T. antoniae terbatas pada perairan dangkal yang kedalamannya kurang dari 10 m. Zona litoral dikenal merupakan zona penting bagi juvenil dan ikan-ikan dewasa di banyak sistem danau. Sementara itu struktur komunitas, preferensi habitat dan pola-pola musiman pemanfaatan zona litoral oleh komunitas ikan danau di daerah tropis belum banyak dipahami. Zona ini merupakan daerah pengasuhan dan mencari makan yang penting (Vono & Barbosa 2001). Posisi spesies di dalam suatu komunitas sangat bergantung kepada ketersediaan sumber daya dan proses-proses ekologis seperti kompetisi interspesifik atau predasi (Piet 1998). Ada tiga dimensi penting dalam pembagian sumber daya komunitas ikan yaitu: dimensi trofik, spasial dan temporal. Dimensi trofik merupakan dimensi paling penting untuk memisahkan spesies ikan di danau, sedangkan dimensi spasial yang penting di danau adalah distribusi vertikal di dalam kolom air (Ross 1986).

Telmatherina antoniae dan Distribusinya di Danau

Famili Telmatherinidae (Kottelat 1991) adalah ikan-ikan kecil dari Kompleks Danau Malili dengan ciri warna yang cerah. Telmatherinidae yang ditemukan di Danau Matano adalah endemik (Gray et al. 2008). Saat ini kelompok ikan ini menjadi perhatian untuk studi yang berkaitan dengan biologi evolusi dan ekologi tingkah laku serta untuk penelaahan asal dan keragaman biologi dalam Kompleks Danau Malili (Herder et al, 2006a, 2006b, 2008; Heath et al. 2006; Gray et al. 2006; Gray & McKinnon 2006; Gray et al. 2008a; 2008b).

Deskripsi taksonomik beberapa spesies Telmatherinidae pertama kali dipublikasikan oleh Boulenger pada tahun 1897, dan telah direvisi oleh Kottelat

(1990b, 1991) dan Aarn & Kottelat (1998). Telmatherina antoniae adalah salah satu dari sembilan spesies anggota Telmathernidae yang hidup di Danau Matano (Nilawati & Tantu 2007). Ikan ini pertama kali diidentifikasi dan dinyatakan sebagai spesies baru dari Danau Matano oleh Kottelat (1991). Klasifikasi T. antoniae menurut Kottelat (1991) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Actinopterygii Order : Atheriniformes Family : Telmatherinidae Genus : Telmatherina

Spesies : Telmatherina antoniae Kottelat, 1991

T. antoniae mudah dibedakan dari spesies Telmatherina lain dengan karakter sebagai berikut: sirip dorsal kedua dan sirip anal membulat ke arah posterior, ada dua bentuk warna jantan (biru dan kuning), tubuh coklat kebiru-biruan, dan bagian kepala berwarna lebih muda. Suatu garis lebar yang warnanya lebih muda terletak di antara sirip dorsal kedua dan sirip anal. Dua buah garis yang lebih tipis dan lebih muda terletak agak di depan dan agak di belakang permulaan sirip ventral. Sirip dorsal pertama berwarna kehitam-hitaman dengan ujung putih kebiru-biruan. Sirip dorsal kedua, sirip anal dan sirip ventral berwarna sangat biru muda. Sirip pektoral dan sirip kaudal transparan. Ikan jantan warna kuning memiliki pola warna yang sama dengan ikan jantan warna biru, tetapi tubuhnya coklat dengan garis-garis coklat kekuning- kuningan. Ikan betina berwarna abu-abu kebiru-biruan (Gambar 1), dengan garis- garis lebih muda seperti garis-garis pada ikan jantan dan satu pita aksial tipis kehitam-hitaman (Kottelat 1991).

Secara morfometrik, T. antoniae memiliki karakter sebagai berikut: lebar moncong 0,88-1,05 kali panjang baku; 14-17 sisik predorsal; 33-34 sisik pada baris longitudinal; dan 14-17½ jari-jari anal bercabang. Jari-jari sirip dorsal pertama (D1) V-VII, dorsal kedua (D2) I,8-11½; jari-jari sirip kaudal bercabang 8+7; jari-jari sirip anal I,14-17½; jari-jari sirip pektoral 15-16; dan jari-jari sirip pelvik I,5. Sisik pada

baris longitudinal 33-36. Sisik pada baris transversal ½8½, sisik predorsal 14-17; sisik preoperkulum 4-5; sisik operkulum 4-6. Gill-raker pada lengkungan pertama 27- 31 (Kottelat 1991).

Gambar 1. Telmatherina antoniae jantan kuning (atas) dan betina (bawah)

Ikan T. antoniae dewasa reproduktif memiliki dua kelompok ukuran tubuh yaitu ukuran besar dan kecil (Gray et al. 2006). Perbedaan yang nyata pada kedua kelompok ikan dewasa reproduktif ini yaitu tinggi tubuh yang mencolok meningkat pada ikan-ikan yang berukuran panjang baku (PB) kira-kira 53 mm (Kottelat 1991). Studi yang dilakukan McKinnon et al. (2000) pada T. antoniae jantan yang melakukan pemijahan pada dua lokasi berbeda yaitu di Old Camp dan Pump masing- masing memiliki ukuran rata-rata PB 47,2 mm dan 50,16 mm. Sementara itu McKinnon et al.(2000) juga menemukan bahwa ukuran rata-rata PB jantan biru dan kuning masing-masing adalah 49,8 mm dan 49,7 mm.

Ikan T. antoniae hidup di daerah litoral; daerah ini dijadikan sebagai habitat pemijahan (Kottelat 1991; Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007).

Pasangan yang memijah meletakkan telurnya pada substrat dasar (Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007), seperti di antara batuan, di atas batuan beralga, kerikil atau pasir yang tidak memiliki tumbuhan air, dan pada tumbuhan air, pada batang pohon atau kayu-kayuan beralga yang tenggelam di dasar perairan. Ikan ini bahkan dapat memijah di perairan yang dangkal dengan kedalaman kurang lebih 0,5 m (Soeroto et al. 2004; Nilawati & Tantu 2007). Sementara itu Sumassetiyadi (2003) menyatakan bahwa ikan T. antoniae memijah di daerah bervegetasi dan meletakkan telur-telurnya pada substrat tumbuhan air (fitofil).

Reproduksi

Gray & McKinnon (2006) meneliti tingkah laku kawin tujuh Telmatherinidae dan menemukan bahwa secara umum ikan-ikan tersebut memperlihatkan tingkah laku sebagai berikut: tidak mempunyai kepedulian induk (non parental care), pemijah pada substrat, tidak menunjukkan teritorialitas, dan sering berganti pasangan memijah. Deskripsi tingkah laku lain dari T. antoniae dan T. albolabiosus telah dijelaskan masing-masing oleh Nilawati & Tantu (2007) dan Tantu & Nilawati (2006).

Studi mengenai pemeliharaan polimorfisme warna pada ikan jantan T. antoniae oleh Gray et al. (2006) menunjukkan bahwa frekuensi bentuk warna jantan

T. antoniae yang memijah di daerah litoral pada kedalaman 0,5 sampai 2,0 m lebih berhubungan dengan parameter-parameter temporal, dibandingkan dengan parameter- parameter spasial. Nilawati & Tantu (2007) mendeskripsikan ritual pemijahan T. antoniae. Ikan jantan dewasa mencari pasangan dengan cara mendekati ikan betina dewasa dari sisi kiri atau kanan. Kemudian ikan betina akan memperlambat kecepatan renangnya apabila ia tertarik pada ikan jantan yang mendekati. Setelah berada di dekat ikan betina, ikan jantan melakukan gerakan ‟seperti menari‟ di samping betina kemudian pasangan ini akan berenang beriringan dengan posisi jantan

‟selalu‟ berada di bawah abdomen ikan betina. Ikan jantan yang agresif melakukan

gerakan-gerakan tarian menyilang atau membentuk lingkaran di samping betina. Ikan jantan tampak memandu dan melindungi pasangannya untuk mendapatkan substrat

pemijahan. Bila ikan betina mendapatkan substrat pemijahan, ikan jantan akan segera mendekat, dan membentuk formasi posisi sejajar dengan betina. Selanjutnya pasangan ikan ini saling mendekatkan abdomen dan secara bersamaan menekannya ke arah substrat, dengan posisi tubuh membentuk sudut kira-kira 30º terhadap substrat. Ikan betina kemudian melepaskan telur dan ikan jantan melepaskan sperma. Pada posisi ini tubuh pasangan memijah ini tampak bergetar.

Sumassetiyadi (2003) yang mempelajari aspek reproduksi ikan T. antoniae

menyatakan bahwa nisbah kelamin antara jantan dan betina tidak seimbang, dan populasi ikan ini didominasi oleh ikan jantan. Menurut Sumassetiyadi, ikan betina

pertama kali matang gonad pada ukuran panjang total 70 mm (panjang baku ≈ 52,50 mm) dan untuk jantan pada ukuran 77 mm (panjang baku ≈57,75mm).

Status Konservasi dan Ancaman Potensial Ikan-ikan Endemik Air Tawar IUCN telah menyusun 10 kategori konservasi untuk status spesies langka yakni: (1) Punah: spesies (atau taksa lain, seperti subspesies dan varietas) yang telah punah dan tidak ditemukan dimanapun. (2) Punah di alam: spesies yang hanya ada di dalam pemeliharaan, dalam kurungan, atau sebagai populasi alam di luar kisaran asalnya. (3) Kritis: spesies yang menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat. Peluang punah di alam minimal 50% dalam waktu 10 tahun atau 3 generasi. (4) Genting: spesies menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat, dan beresiko menjadi kritis. (5) Rentan: spesies yang menghadapi resiko kepunahan tinggi di alam dalam jangka menengah, dan beresiko menjadi genting. Spesies dalam golongan ini dalam waktu 100 tahun mempunyai resiko kepunahan lebih dari 10%. (6) Tergantung usaha konservasi: spesies tidak sedang terancam kepunahan, tetapi kelangsungan hidupnya tergantung pada program konservasi, dan spesies itu bisa terancam punah. (7) Mendekati terancam punah: spesies mendekati kualifikasi rentan. (8) Kekhawatiran rendah: spesies tidak dimasukkan ke dalam kriteria tergantung usaha konservasi maupun kriteria mendekati terancam punah. (9) Kurang data: informasi yang ada tidak cukup untuk menentukan resiko kepunahan untuk spesies itu. Dalam banyak hal, spesies

belum terlihat selama bertahun-tahun atau dekade karena tidak ada ahli biologi yang telah berusaha untuk mencarinya. Lebih banyak informasi diperlukan sebelum spesies ini bisa digolongkan ke dalam kategori terancam. (10) Tidak di evaluasi: spesies belum dinilai kategori keterancamannya (Primack 2000). Ikan T. antoniae

digolongkan berstatus rentan di dalam Red List Data Book of Threatened Animals tahun 1996 dari IUCN (International Union For Conservation of Nature and Natural Resources) (WCMC 2006).

Ricciardi (2001) memperkirakan laju kepunahan hewan air tawar pada masa yang akan datang hampir lima kali lebih besar daripada hewan darat, dan tiga kali untuk mamalia laut. Status spesies air tawar di Amerika Utara menunjukkan kondisi krisis pertumbuhan dan kurang lebih 28% ikan air tawar asli telah dimasukkan ke dalam kriteria genting, rentan atau punah oleh World Conservation Union. Kepunahan keanekaragaman hayati antara lain disebabkan oleh: (1) kerusakan habitat, (2) eksploitasi jenis secara berlebihan, (3) introduksi jenis eksotik, (4) gangguan habitat termasuk pencemaran, (5) penyebaran penyakit, (6) persaingan, dan (7) pemanasan global (Reid & Miller 1989; Moyle & Leidy 1992).

Danau-danau di dunia telah mengalami introduksi spesies eksotik yang menyebabkan perubahan besar pada komposisi fauna ikannya (Ogutu-Ohwayo 1990). Hal ini berhubungan dengan aktivitas manusia, preferensi masyarakat dan kebijakan pemerintah (Hall & Mills 2000). Meningkatnya introduksi spesies bukan asli dipicu oleh meningkatnya kebutuhan pangan, nilai ekonomis dan rekreasi (Welcomme 1988). Introduksi spesies bukan asli telah dijadikan sebagai strategi umum dalam pengelolaan perikanan danau yang mengalami degradasi stok (Olowo et al. 2004). Berbagai alasan introduksi spesies bukan asli yaitu: (1) olah raga atau rekreasi, (2) budidaya, (3) manipulasi ekologi dan perbaikan stok liar, (4) mengendalikan organisme-organisme yang tidak diinginkan, (5) sebagai ikan hias; (6) transfer tidak disengaja (Welcomme 1984; 1986; 1988; Mills et al. 1993), dan (7) untuk menggantikan stok yang mengalami penurunan (Olowo et al. 2004).

Dokumen terkait