• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ayam Hutan dan Ayam Kampung Asal usul ayam

Ayam yang ada sekarang ini berasal dari empat jenis ayam liar yaitu ayam hutan merah (Gallus gallus), ayam Srilangka (Galluslafayetti), ayam hutan abu-abu atau ayam Sonnerati (Gallus sonnerattii) dan ayam hutan Jawa (Gallus varius), meskipun kemungkinan bahwa diantara jenis ayam liar itu, Gallus gallus

adalah nenek moyang ayam yang utama (Williamson dan Payne 1993).

Nenek moyang ayam-ayam piara yang sekarang tersebar diberbagai wilayah di dunia, berasal dari daerah India, Burma, Srilangka, Semenanjung Malaka, Filipina, Sumatera dan Jawa. Ada empat spesies ayam liar yang semua digolongkan dalam genus Gallus. Keempat ayam liar tersebut dikenal dengan sebutan ayam hutan; ayam hutan merah (Gallus gallus Linneaus), ayam hutan Ceylon (Gallus lafayetii Lesson), ayam hutan abu-abu (Gallus sonneratii

Temnick), dan ayam hutan hijau (Gallus varius Shaw).

Ayam hutan merah yang disebut juga Gallus bankiva atau Gallus ferrugineus terdapat di daerah India bagian Timur, Burma, Muangthai, Semenanjung Malaka dan Sumatera; ayam hutan Ceylon terdapat di Srilangka; ayam hutan abu-abu terdapat di India bagian Barat dan Timur; ayam hutan hijau yang dikenal juga dengan nama ayam hutan Jawa (Gallus furcatus atau Gallus javanicus) terdapat di Jawa dan pulau-pulau sekitarnya. Selanjutnya terjadi perkawinan campuran antara keempat spesies ayam-ayam hutan tersebut, kemudian para penemu dan pemelihara ayam–ayam liar mengembangbiakan dan menjinakkan sehingga menjadi ayam-ayam piara. Di Indonesia ada dua macam ayam hutan yaitu ayam hutan hijau dan ayam hutan merah. Ayam hutan merah merupakan salah satu ayam hutan yang menjadi nenek moyang ayam kampung yang banyak di temukan diseluruh Indonesia (Mansjoer 1985).

Klasifikasi dan tingkah laku ayam hutan merah

Klasifikasi ayam hutan merah menurut Gautier (2002) adalah sebagai berikut: Kerajaan Animalia, Filum Chordata, Subfilum Vertebrata, Kelas Aves,

Ordo Galliformes, Famili Phasianidae, Genus Gallus dan Spesies Gallus gallus gallus.

Ciri-ciri umum ordo Galliformes paruh pendek, kaki umumnya beradaptasi untuk mencakar, mengais dan berlari. Hewan muda yang baru menetas berbulu halus dan cepat dewasa (cepat dapat berjalan dan makan sendiri), merupakan hewan buru daratan, beberapa spesies hidup didaratan, berkelompok-kelompok, bersarang di darat, makanan terutama tanam-tanaman dan biji-bijian (Murad 1977). Grzimek,s (1972) menambahkan ayam hutan terdiri dari empat spesies diantaranya Gallus gallus (Red jungle fowl; ayam hutan merah) atau di Indonesia disebut ayam hutan merah Melayu, Gallus varius (Green jungle fowl; ayam hutan hijau), Gallus sonnerattii (Sonnerat’s jungle fowl; ayam hutan india/ayam hutan abu-abu), Gallus lafayettii (Lafayette,s jungle fowl; ayam hutan Ceylon/ayam hutan jingga Ceylon). Peta penyebaran tiga sub spesies ayam hutan dapat dilihat pada Gambar 2.

Mansjoer (1985) menyatakan dari keempat spesies di atas, ayam hutan merah dan ayam hutan hijau merupakan jenis ayam hutan yang hidup di Indonesia. Lebih lanjut dinyatakan bahwa ayam hutan merah Sumatera (Gallus gallus gallus) dan ayam hutan merah Jawa (Gallus gallus javanicus) atau gallus gallus bankiva merupakan nenek moyang ayam kampung (Gallus gallus var. domesticus) yang terdapat di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dengan melihat jarak genetik antara ayam kampung dengan ayam hutan merah lebih dekat dibandingkan dengan ayam hutan hijau (Gallus varius) (Mansjoer 1990, Fumihito

et al. 1994). Tingkah laku

Nishida et al. (1982) menyatakan bahwa ayam hutan merah di Sumatera, Jawa Barat dan Jawa Tengah serta Sulawesi musim kawin sepanjang tahun kecuali pada bulan basah (musim hujan), sedangkan di daerah Jawa Timur, Bali, Lombok dan Sumbawa musim kawin terbatas hanya pada musim kering.

7

Menurut Soeratmo (1979) ayam hutan tidak toleran terhadap sesama kelompok lainnya dan sering terjadi perkelahian diantara mereka. Sifat ayam hutan sangat liar, penakut dan susah dijinakkan, terutama ayam betinanya. Ayam hutan jantan bersifat poligami yaitu mempunyai pasangan betina yang banyak. Ayam hutan merah hidup berkelompok membentuk suatu kumpulan yang paling besar diantara kerabatnya. Pejantan yang kuat dapat menguasai tiga sampai lima ekor betina. Pejantan muda hidup menyendiri atau membentuk kelompok sendiri sampai tiga ekor.

Scott (1972) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku ayam hutan disebut rangsangan, stimulasi atau agants. Rangsangan dalam tubuh berupa perasaan lapar, sifat bermusuhan dan nafsu untuk kawin yang dipengaruhi oleh sistem syaraf dan reaksi hormonal dalam tubuh. Rangsangan dari luar tubuh berupa suara, pandangan, tenaga mekanis dan rangsangan kimia. Aktivitas yang ditimbulkan oleh rangsangan dikenal dengan respon (Soeratmo 1979).

Grzimek,s (1972) menyatakan inisiatif ayam hutan untuk bergerak, beristirahat maupun tidur biasanya dimulai dari ayam hutan betina. Ayam hutan

Gambar 2 Penyebaran tiga subspesies ayam hutan merah dan ayam hutan hijau di Asia Tenggara (Nishida et al. 1982).

jantan hanya mengawasi anggota/kelompoknya dari ancaman dan bahaya. Salah satu sifat ayam hutan yaitu pandai terbang meskipun dalam jarak pendek, tetapi lebih suka hidup di tanah untuk mencari makan sehingga terkenal dengan hewan

terestrial (Burton 1975).

Ayam hutan merah pemakan tumbuhan dan insekta seperti jagung, kacang kedelai, cacing, rumput, dan bermacam butiran yang ditemukan disekitarnya. Ayam hutan merah tidak dapat mendeteksi rasa manis, tetapi dapat mendeteksi rasa asin, walaupun tidak disukainya (Damerow 1995 ; Limburg 1975 ; Ponnampalam 2000).

North (1978) menyatakan genetik mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku ayam. Perilaku sosial yang berlaku dalam kelompok ayam dapat saja berbeda. Pembentukan tingkat sosial tidak dapat dicegah, terjadi secara lambat atau cepat bergantung pada keadaan kelompok, sifat individu dan luas tempat kelompok. Menurut Hafez (1969) ayam yang ditempatkan dalam kandang yang luas tetapi padat, masing-masing individu jantan dan betina kurang dapat mengenal satu sama lain, dengan demikian akan sukar dan lama terbentuk tingkat sosial. Craig (1981) menyatakan sifat relatif perbedaan besar badan, umur lebih tua dan jenis kelamin merupakan faktor penentu tingkat sosial di dalam kelompok. Hubungan sosial dalam suatu kelompok berubah bila diadakan perubahan susunan individu dalam kelompok. Hubungan sosial yang stabil terbentuk bila dominasi kelompok sudah tercapai.

Sifat Kualitatif

Sifat yang dapat dibedakan atau dikelompokkan, seperti warna bulu, warna

shank dan bentuk jengger pada ayam disebut sebagai sifat kualitatif. Ekspresi sifat kualitatif ditentukan oleh satu gen tunggal sampai dua pasang gen. Perbedaan sifat ini hampir seluruhnya ditentukan oleh perbedaan genetik, sedangkan perbedaan lingkungan memberikan pengaruh yang kecil bahkan tidak ada, sehingga variasi sifat kualitatif juga merupakan variasi genetik (Warwick at al. 1995). Sifat kualitatif sering dipertimbangkan dalam program pemuliaan, karena sifat-sifat ini dapat dijadikan merek dagang tertentu atau dapat juga dijadikan ciri dari breed tertentu. Sifat kualitatif dipengaruhi oleh satu atau

9 beberapa pasang gen (Warwick at al. 1995 ; Noor 1996). Menurut (Noor 1996) bahwa sifat-sifat kualitatif, seperti warna, pola warna, sifat bertanduk, atau tidak bertanduk sangat mudah dibedakan tanpa harus mengukurnya.

Tabel 1 menjelaskan lokus dan tipe gen yang mengendalikan karakteristik sifat kualitatif pada ayam.

Tabel 1 Karakteristik sifat kualitatif yang diamati dalam penelitian

Ekspresi Lokus Genotipe Fenotipe

Warna bulu I-i I-

ii

Putih Berwarna Pola bulu E-e+-e

E- e+- ee Hitam Liar Pola kolumbian Kerlip bulu S-s (terkait kelamin) ZSZ- Zs Zs ZS W Zs W Jantan Perak Jantan Emas Betina Perak Betina Emas Corak bulu B-b (terkait kelamin) ZB Z- Zb Zb ZBW ZbW Jantan lurik Jantan polos Betina lurik Betina polos Warna shank Id-id

(terkait kelamin) ZId Z- Zid Zid ZId W Zid W Jantan Kuning/putih Jantan Hitam/abu-abu Betina Kuning/putih Betina Hitam/abu-abu Bentuk Jengger P-p P- pp Kapri Tunggal Sumber : Nishida (1982)

Hutt (1949), Jull (1951), Lasley (1978) dan Buntaran (1984) menyatakan bahwa ayam yang sekarang banyak dipelihara orang mempunyai 78 buah kromosom yang terdiri atas 38 pasang kromosom autosom dan sepasang kromosom kelamin (jantan ZZ dan betina ZW). Ciri-ciri kegenetikaan luar dapat dijadikan patokan untuk menentukan suatu bangsa ayam. Ciri-ciri ini ditentukan oleh gen-gen yang terdapat pada kromosom autosom maupun kromosom kelamin. Beberapa sifat kualitatif penting yang merupakan ciri-ciri

khas yang dipakai sebagai patokan untuk penentuan suatu bangsa ayam diantaranya adalah warna bulu, warna kerabang, warna cakar (shank) dan bentuk jengger yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Selanjutnya kemurnian suatu bangsa ayam dapat ditentukan dari keseragaman dalam ciri-ciri kegenetikaan luar tersebut.

Ayam mempunyai warna bulu, warna shank dan bentuk jengger yang bervariasi. Warna bulu ada yang hitam (E-), pola warna bulu tipe liar (e+), pola warna bulu kolumbian (ee), bulu putih (I- atau cc) serta corak bulu lurik (B-). Warna shank ada yang putih/kuning (Id), hitam (id) atau kehijauan. Begitu juga pada bentuk jengger ada yang tunggal (rrpp), ros (R-pp) atau bentuk kapri (rrP-) (Mansjoer et al. 1989).

Ayam Kampung didefinisikan sebagai ayam yang tidak mempunyai ciri-ciri khas, dengan kata lain penampilan fenotipenya masih sangat beragam. Sifat-sifat kualitatif seperti warna bulu sangat bervariasi, ada yang berwarna hitam (EE, Ee+, Ee), warna bulu tipe liar (e+e+, e+e), tipe columbian (ee), bulu putih (I-cc) serta warna lurik (B-, Bb) masih bercampur baur. Demikian pula warna kulit ada yang putih/kuning (Id), hitam/abu-abu atau kehijauan (idid). Bentuk jengger ada yang tunggal (pprr), ros (ppR-), walnut (P-R-) atau bentuk kacang polong/Pea (P-rr). Mansjoer et al. (1989) mengemukakan bahwa pada ayam Kampung yang dipelihara di pedesaan, frekuensi gen warna bulu hitam sebesar 0,20, warna bulu tipe liar 0,43, tipe columbian 0,35, warna kulit putih/kuning sebesar 0,34 dan bentuk jengger tunggal sebesar 0,37.

Warna Bulu

Warna bulu dipengaruhi oleh adanya pigmen melanoblast yang dibentuk saat awal embrio sekitar 8 jam inkubasi (Jull 1951). Pada ayam terdapat warna dan pola warna bulu. Keragaman warna bulu pada banyak situasi bergantung pada letak bulu di tubuh ayam. Pola warna bulu adalah hasil interaksi genetik serta adanya pengaruh dari hormon kelamin jantan dan betina (North dan Bell 1990).

Karakteristik pola bulu terkait jenis kelamin, yaitu pola bulu lurik (B-) dan pola bulu keperakan (S-). Gen pola bulu lurik (B-) bersifat dominan tidak lengkap dan penampilannya bervariasi yang disebabkan oleh faktor jenis kelamin dan pertumbuhan bulu. Pada betina gen terkaitnya bersifat homozigot, sedangkan

11 pada jantan bisa bersifat homozigot atau heterozigot. Gen pola bulu keperakan (S-) dan pola bulu keemasan (ss) merupakan gen terkait kelamin. Hal ini ditemukan oleh Hutt (1949) melalui persilangan berulang antar ayam Brown Leghorn dan Columbian Wyandott. Lebih lanjut dijelaskan bahwa genotip hitam dan putih dapat mempengaruhi alel S dan s yang hanya dapat dibedakan melalui uji perkawinan.

Hutt (1949) menyatakan bahwa ayam yang berbulu hitam polos selain memiliki warna hitam (E) juga mempunyai gen warna (C) yang mengatur penampilan warna bulu. Warna bulu keemasan (ss) bersifat resesif terhadap warna hitam dan warna perak (S-). Warna bulu putih yang terdapat pada Leghorn

bersifat dominan terhadap bulu berwarna, warna putih tersebut disebabkan oleh adanya gen penghambat (I) terhadap pigmen hitam. Warna buluh putih pada unggas ada juga yang disebabkan oleh tidak adanya pigmentasi pada bulu dan memang tidak memiliki gen warna (C). Ayam tersebut adalah ayam Albino dan sifat gen buluh putih ini bersifat resesif terhadap gen bulu berwarna. Gen warna bulu keemasan (ss) dan perak (S-) terpaut pada kromosom kelamin, demikian pula pola bulu lurik.

Ayam hutan merah jantan warna dominan yang tampak adalah bulu tubuh coklat kemerahan, bulu kepala jingga kecoklatan, bulu leher merah, bulu punggung merah kekuningan, bulu dada hitam kemerahan, bulu sayap hitam dan merah, bulu ekor hitam mengkilap, sedangkan ayam hutan merah betina mempunyai warna dominan pada tubuh yaitu merah kekuningan dan lurik coklat, bulu kepala kuning kecoklatan, bulu leher coklat, bulu punggung lurik coklat hitam, bulu sayap coklat kehitaman, bulu ekor coklat (Rostikawati 1995).

Warna Cakar (Shank)

Menurut Ensminger (1992), beberapa warna cakar berbeda ditemukan pada ayam dari kombinasi pigmen yang berbeda di lapisan atas dan bawah kulit. Warna cakar kuning dipengaruhi oleh adanya pigmen karotenoid pada epidermis dan tidak adanya pigmen melanin. Warna cakar hitam dipengaruhi oleh adanya pigmen melanin pada epidermis. Bila kedua pigmen tersebut tidak ada maka cakar berwarna putih.

Karakteristik warna cakar kuning atau putih (id) disebabkan oleh kurangnya kandungan melanin pada jaringan kulit (dermis). Kandungan melanin dalam lapisan kulit (dermis) dikontrol oleh gen resesif terkait kelamin (id) dalam keadaan homozigot atau heterozigot. Warna cakar hitam Id (inhibitor dari melanin dermis) bersifat dominan tidak lengkap terhadap id. Pada ayam yang memiliki warna kulit putih dan mengandung gen resesif (idid), warna cakarnya biru gelap dan pada ayam berwarna kulit kuning memiliki warna cakar hijau tua atau abu-abu (Somes 1988; Hutt 1949).

Bentuk Jengger

Menurut Hutt (1949) sebagian besar ayam piara sekarang ini memiliki bentuk jengger tunggal, seperti yang dimiliki ayam hutan merah (Gallus gallus), ayam hutan abu-abu dan ayam hutan Ceylon. Selama proses domestikasi terjadi mutasi sehingga ada perubahan-perubahan bentuk jengger diantaranya bentuk ros, bentuk kapri (pea), bentuk kemiri (Walnut), bentuk V, bentuk dupleks dan bahkan tidak berjengger sama sekali.

Bentuk jengger pea (kapri) (P) bersifat dominan tidak lengkap terhadap bentuk jengger tunggal (p). Bentuk jengger kapri (P) pada keadaan homozigot adalah bilah kecil dengan tiga baris memanjang dari papillae dan seringkali baris tengah sedikit mencuat keatas. Gen bentuk jengger kapri (P) merupakan gen tidak terkait kelamin yang bersifat dominan tidak lengkap, pada keadaan heterozigot terlihat jelas bilah bagian tengah mencuat keatas dengan dua bilah disampingnya yang lebih pendek dan kecil (Somes 1988; Hutt 1949).

Sifat Kuantitatif

Sifat-sifat produksi dan reproduksi (produktivitas) atau sifat yang dapat diukur seperti bobot badan, ukuran ukuran tubuh, produksi daging dan telur disebut sebagai sifat kuantitatif. Ekspresi sifat ini ditentukan oleh banyak pasangan gen (poligen) dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Warwick 1995).

Berdasarkan ukuran tubuhnya, diketahui bahwa ayam hutan merah Sumatera (Gallus gallus gallus) memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan ayam hutan hijau; tetapi ayam hutan merah jawa memiliki ukuran tubuh lebih kecil dan berat tubuh yang lebih ringan dibandingkan dengan

13 ayam hutan merah Sumatera maupun ayam hutan hijau (Nishida et al. 1980; 1982).

Perbandingan bobot badan dan ukuran ukuran tubuh ayam hutan merah Jawa (Gallus gallus javanicus), ayam hutan merah Sumatera (Gallus gallus gallus) dan ayam hutan hijau (Galus varius) disajikan pada Tabel 2

Tabel 2 Perbandingan bobot badan dan ukuran ukuran tubuh ayam hutan merah Jawa (Gallus gallus javanicus), ayam hutan merah Sumatera (Gallus gallus gallus) dan ayam hutan hijau (Galus varius)

Gallusgallus Javanicus

Gallus gallus

gallus Gallus varius

Ukuran-ukuran tubuh Jantan (n=5) Betina (n=1) Jantan (n=6) Betina (n=2) Jantan (n=7) Betina (n=7) Bobot badan (g) 718,8 700 863,3 675 745 479 Panjang Paha (mm) 73,48 56,3 83,22 70,9 79,79 66,21 Panjang betis (mm) 108,82 92,2 120 105 109,87 96,77 Panjang cakar (mm) 76,50 61,4 82,43 70,1 81,20 68,06 Linkar cakar (mm) 24 24 33,42 27,5 26,71 22,86 Panjang Jari ketiga (mm) 56,92 52 61,18 53,7 60,20 51,91 Panjang Sayap (mm) 190 165 218,5 193 217,1 181,7 Tinggi Jengger (mm) 21,13 - 31,48 11,04 21,16 - Panjang bulu ekor (mm)* 249,77 142,96

(n=5) - -

239,15 (n=5)

121,92 (n=5)

Sumber: Nishida at al. 1982; Mansjoer 1985 dan Rostikawati 1995*

Keragaman sifat-sifat kualitatif dapat menggambarkan keragaman sifat-sifat produksinya, seperti halnya dikemukakan Mansjoer (1985) bahwa koefisien keragaman performans ayam Kampung yang dipelihara secara tradisional untuk bobot badan dapat mencapai 21,9–24,8%, produksi telur 26%, bobot telur 17,6%, dan daya tetas 23,3%. Koefisien keragaman tersebut dapat dijadikan patokan untuk memperbaiki mutu genetik/seleksi lebih lanjut.

Ukuran-ukuran tubuh (morfometrik tubuh) yang penting untuk diamati dan dijadikan penentu karakteristik jenis ayam antara lain adalah bobot tubuh, panjang bagian-bagian kaki, panjang sayap, panjang paruh dan tinggi jengger (Mansjoer et al. 1989). Lebih lanjut Mansjoer et al. (1996) mengemukakan bahwa untuk ayam Kampung jantan dewasa, rataan bobot badan sebesar 2,24 kg, panjang tulang paha/femur 10,93 cm, panjang tulang betis/tibia 16,29 cm, panjang tulang cakar tarsometatarsus 11,67 cm dan tinggi jengger 3,47 cm dengan koefisien keragaman

untuk bobot badan, panjang tulang paha, panjang tulang betis, panjang tulang cakar dan tinggi jengger berturut-turut sebesar 16,96, 9,61; 9,27, 10,28 dan 48,13%. Ayam Kampung betina dewasa, rataan bobot badan sebesar 1,67 kg panjang tulang paha/femur 9,12 cm, panjang tulang betis/tibia 12,86 cm, panjang tulang cakar/tarsometatarsus 8,99 cm dan tinggi jengger 1,82 cm dengan koefisien keragaman berturut-turut sebesar 19,16; 10,42; 9,33; 8,90 dan 57,69%. Tinggi jengger baik pada jantan maupun betina dewasa mempunyai koefisien keragaman yang paling tinggi.

Analisis Komponen Utama (AKU)

Principal Componen Anaysis (PCA) diterjemahkan sebagai Analisis Komponen Utama (AKU) adalah salah satu metode multivariat yang paling tua dan banyak digunakan (Everitt dan Dunn 1991). Hayashi et al. ( 1982) menyatakan bahwa AKU merupakan metode yang populer untuk membedakan keragaman suatu populasi. Mulyono dan Pangestu (1996) menambahkan bahwa AKU sering digunakan sebagai penentu diskriminasi diantara populasi-populasi ternak.

Nishida et al. (1982) menggunakan AKU untuk membedakan ukuran dan bentuk tubuh pada ayam. Komponen Utama I disetarakan dengan ukuran tubuh, sedangkan komponen Utama II disetarakan dengan bentuk tubuh.

Everiit dan Dunn (1991) menyatakan bahwa penggunaan aplikasi AKU dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan matriks kovarian dan matriks korelasi. Menurut Hayashi et al. (1982) Komponen-komponen utama yang berasal dari matriks kovarian mampu menerangkan keragaman total populasi sekitar 76%, sedangkan matriks korelasi hanya sekitar 69%. Komponen- komponen utama yang berasal dari matriks kovarian juga lebih efektif untuk membedakan suatu populasi.

Konservasi Satwaliar

Sumberdaya alam adalah unsur-unsur lingkungan alam, baik fisik maupun hayati yang diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraannya. Kategori sumberdaya alam meliputi: (1) sumberdaya alam yang dapat diperbaharui/dipulihkan, seperti tanah, air, hutan,

15 padang rumput dan satwa; (2) sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui/dipulihkan, seperti minyak bumi, batubara, gas bumi dan biji logam; (3) Sumberdaya alam yang tidak akan habis yaitu energi matahari, energi pasang surut air laut, udara dan air dalam fungsinya sebagai pengatur tata air (siklus hidrologi).

Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilanya. Kegiatan konservasi berasaskan pelestarian dan kemampuan serta pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Asas tersebut adalah landasan dalam mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta kesinambungan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Widada dkk. 2003).

Satwa adalah semua jenis sumberdaya alam hewani yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun dipelihara oleh manusia (Widada dkk. 2003)

Konsevasi sumberdaya alam adalah kegiatan yang meliputi perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi, introduksi, pelestarian pemanfaatan dan pengembangan (Anonim 1985). Sesuai dengan pengertian konservasi sumber daya alam secara umum, maka Alikodra (1990) menyatakan bahwa konservasi satwa liar merupakan kegiatan yang meliputi perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi, introduksi, pelestarian pemanfaatan dan pengembangan satwa liar. Jadi tujuan kegiatan konservasi satwa liar adalah terjaminnya kelangsungan hidup satwa liar dan terjaminnya kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkannya baik langsung ataupun tidak langsung berdasarkan prinsip pelestarian.

Alikodra (1990) menyatakan bahwa tujuan kegiatan konservasi dapat dicapai melalui upaya-upaya sebagai berikut :

2) melakukan pengendalian persaingan dan pemangsaan,

3) pembinaan wilayah (suaka) tempat berlindung, tidur, dan berkembang biak baik berupa taman-taman, hutan, maupun suaka margasatwa, cagar alam, taman nasional, dan taman hutan raya ataupun kebun raya,

4) melakukan pengawasan terhadap kuantitas dan kaulitas lingkungan hidup satwa liar seperti ketersediaan makanan, air, pelindung, penyakit, dan faktor- faktor lainnya,

5) meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya konservasi satwa liar, 6) pengembangan pendayagunaan satwa liar baik untuk rekreasi, berburu, obyek

wisata alam ataupun penangkaran, dan 7) pengembangan penelitian.

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Dokumen terkait