• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1.1 Penyembuhan luka

Luka adalah perusakan pada kulit yang akan merubah struktur dan fungsi dari jaringan yang normal. Luka dapat terjadi karena adanya operasi, sayatan, dan tusukan (Ariani, et al., 2013). Luka harus disembuhkan agar struktur kulit dapat kembali seperti semula dan berfungsi seperti sedia kala (Enoch dan Leaper, 2008). Penyembuhan luka terdiri dari 3 tahap. Tahap pertama adalah fase inflamasi, lalu tahap kedua adalah proliferasi atau fase pembentukan jaringan, dan fase ketiga atau fase terakhir adalah fase remodelling yang berarti penyusunan ulang jaringan (Beldon, 2010). Pada saat luka terjadi, hal pertama adalah mengeluarkan darah. Histamin akan dilepaskan dari sel mast dan akan meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskular, untuk memfasilitasi terjadinya fase inflamasi di sekitar luka (Harper et al. 2014).

Pada fase inflamasi terjadi selama 1-2 hari terjadi aktivasi interleukin dan sinyal transforming growth factor-b (TGF-b), sehingga akan merangsang neutrofil. Neutrofil akan menghancurkan serpihan luka dan bakteri, serta mengeluarkan zat-zat asing yang tidak dibutuhkan hingga luka menjadi steril (Enoch dan Leaper, 2007; Harper et al. 2014). Fase kedua adalah fase proliferasi. Fase ini terjadi pada hari ketiga sampai minggu kedua. Pada fase ini terjadi pembentukan jaringan (Enoch dan Leaper, 2007). Terjadi angiogenesis atau pembentukan pembuluh darah baru sehingga pembuluh darah akan permeabel dan siap untuk memfasilitasi granulasi jaringan. Setelah itu terjadi migrasi fibroblas sehingga dapat diproduksi fibronectin dan kolagen, lalu akan terjadi epitelisasi sehingga luka mengencang atau terjadi atraksi luka (Harper et al. 2014). Fase ketiga adalah fase remodelling. Pada fase ini terjadi penyusunan ulang jaringan dan pematangan jaringan (Enoch dan Leaper, 2007). Fase ini dapat terjadi sampai 2 tahun setelah luka terjadi. Pada fase ini luka akan sembuh tetapi tidak akan sama seperti sebelum luka terjadi. Pada saat luka mematang, bekas luka akan berubah warna dari kemerahan menjadi merah keabuan seiring berjalannya waktu (Harper

et al. 2014).

2.1.2 Parut Luka

Parut luka adalah penyembuhan luka yang tidak sempurna sehingga akan meninggalkan bekas di kulit (Harper et al. 2014). Penyembuhan luka yang tidak sempurna dapat menyebabkan parut luka yang terbentuk pada saat fase inflamasi. Pada akhir fase inflamasi terbentuk kolagen, elastin, dan produksi matriks

20

ekstraselular oleh fibroblast yang akan berperan dalam penutupan luka. Selanjutnya terjadi fase proliferasi. Pada fase proliferasi, proliferasi sel epitel berlanjut, sehingga dapat menyebabkan penebalan lapisan epidermal, yang menyebabkan hipertrofi, penebalan pada bekas luka atau yang biasa disebut keloid. Setelah itu terjadi pematangan luka dan kolagen akan semakin meningkat. Namun, serat kolagen ini tidak dapat menghasilkan kulit yang sama dengan sebelum terjadi luka (Enoch dan Leaper, 2008).

Yang sangat mendasari terbentuknya parut luka adalah fase inflamasi, karena pembentukan kolagen terjadi pada fase inflamasi. Maka pengurangan parut luka dapat dilakukan dengan mengurangi proses inflamasinya. Pada saat inflamasi, sel endothelial akan memproduksi siklooksigenase-2 (COX-2) yang akan berpengaruh pada produksi kolagen, sehingga dengan menghambat COX-2 diharapkan parut luka akan berkurang (Blomme et al., 2003).

2.2 Piroxicam

Gambar 1. Struktur Piroxicam

Piroxicam merupakan nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAIDs) yang memiliki aktivitas antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik. Aktivitas piroxicam adalah sebagai inhibitor prostaglandin yang menghambat enzim-enzim siklooksigenase (COX-1 dan COX-2) (Abd-allah et al., 2011).

Siklooksigenase-2 (COX-2) adalah enzim yang diproduksi oleh sel endothelial yang akan terekspresi pada saat fase inflamasi. COX-2 memiliki peran penting bertanggung jawab atas peningkatan proliferasi fibroblas dan produksi kolagen yang menyebabkan bekas pada luka. Sehingga dengan menghambat COX-2 dapat disimpulkan dapat menghindari terbentuknya parut luka (Blomme et al., 2003; Eligini et al., 2009).

2.3 Hidrogel 2.3.1 Definisi

Sudah dibuktikan bahwa penyembuhan luka yang baik adalah dalam keadaan lembab, dibandingkan dengan keadaan kering. Pada keadaan lembab akan mengurangi dehidrasi pada luka serta mengurangi rasa sakit (Richard et al.,

21

mengontrol penguapan air, oksigen dan karbondioksida dapat berdifusi, mengabsorpsi eksudat luka (Sun, 2011). Wound dressing yang baik juga harus bersifat non adherent, memfasilitasi autolytic debridement atau pembersihan luka, mudah menempel pada kulit namun tidak sulit dicuci, serta tentunya ekonomis. Hidrogel sendiri sudah dianggap sebagai “ideal wound dressing” (Boateng, 2008). Hidrogel dapat digunakan sebagai scarless wound, memberi efek dingin pada kulit, semipermeabel sehingga dapat memfasilitasi difusi dari oksigen dan karbondioksida, serta memfasilitasi autolytic debridement, tetapi hidrogel membutuhkan pengolesan ulang setelah beberapa saat dipakai karena mudah tercuci. Selain itu hidrogel juga ada potensi untuk dapat menjadi media pertumbuhan bakteri (Okan et al., 2007).

Gel merupakan sistem semipadat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh satu cairan. Sedangkan hidrogel sendiri adalah gel, tetapi dengan pembawa air (Depkes RI, 2014). Untuk zat aktif piroxicam dapat digunakan hidrogel (Depkes RI, 2014).

2.3.2 Komponen Gel

Gambar 2. Struktur Carbopol (Rowe et al., 2009).

Carbopol merupakan kelompok acrylic polymer cross-linked dengan poly alkenyl ether. Nama lain carbopol adalah acitamer, acrylic Acid pilymer, carbomer, carboxyvinyl polymer. Carbopol berperan besar dalam menambah viskositas dan sebagai suspending agent dalam gel, krim, dan salep. Carbopol juga memiliki sifat sebagai buffering agent (Liu et al., 2008). Selain sebagai gelling agent carbopol memiliki sifat dalam mengontrol pelepasan obat karena dapat berfungsi sebagai binder sehingga penambahan carbopol diduga dapat berpengaruh dalam pelepasan obat (Rowe et al., 2009). Carbopol merupakan

gelling agent yang akan berpengaruh pada penambahan viskositas, karena jika viskositas sediaan semakin tinggi maka zat aktif dalam sediaan akan semakin sulit dilepaskan (Anggraeni et al., 2012).

Carbopol memiliki pemerian serbuk putih, asam, higroskopis, dan berbau khas. Carbopol digunakan sebagai pembentuk gel dengan konsentrasi 0,5-2% (Rowe et al., 2009). Carbopol sering digunakan sebagai gelling agent karena stabilitasnya yang tinggi, kompatibel dengan bahan lain, dan toksisitas rendah.

22

Carbopol bersifat asam dan sebelum digunakan dinetralkan dengan penambahan basa triethanolamine (TEA).

2.4 Landasan Teori

Pada proses penyembuhan luka terjadi 3 tahap yaitu tahap inflamasi, proliferasi, dan remodelling. Parut luka terjadi pada proses inflamasi, terjadi pembentukan kolagen. Pembentukan kolagen pada fase inflamasi ini diakibatkan oleh sekresi COX-2. Maka untuk menghambat COX-2 digunakan piroxicam yang merupakan NSAIDs antiinflamasi, antipiretik, dan analgesik yang akan menghambat enzim COX-2 sehingga menghambat sintesis prostaglandin. Akan dibuat gel scarless wound dengan zat aktif piroxicam dengan variasi gelling agent

carbopol. Penelitian ini bertujuan untuk melihat formulasi sediaan gel scarless wound terbaik yang stabil dengan pelepasan zat aktif piroxicam yang baik. Carbopol sebagai gelling agent akan berpengaruh pada viskositas hidrogel. Semakin besar viskositas pada gel maka akan berpengaruh pada pelepasan obat karena viskositas yang tinggi akan membuat zat aktif sulit dilepaskan sehingga dengan melakukan variasi carbopol diharapkan akan didapatkan sediaan yang stabil serta dapat memiliki profil pelepasan obat yang baik.

2.5 Hipotesis

Formulasi sediaan hidrogel dengan kadar efektif carbopol dengan penambahan zat aktif piroxicam dapat dihasilkan sediaan yang stabil dengan pelepasan obat yang baik, serta diduga dapat menyembuhkan luka tanpa meninggalkan parut luka pada hewan uji tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar dengan menggunakan metode uji histopatologi.

23 BAB III

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait