• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Varietas Unggul Padi Sawah

Penggunaan padi varietas unggul berpengaruh terhadap produktivitas padi sawah. Varietas padi dengan potensi hasil tinggi terus dikembangkan untuk meningkatkan rata-rata hasil di tingkat petani. Untuk meningkatkan potensi hasil padi di daerah tropika diperlukan peningkatan indeks panen dan total biomas atau responsivitas terhadap pemupukan (Khush 1999). Peningkatan potensi hasil padi sawah telah mengalami 2 tahapan, pertama pengembangan dari varietas semi- dwarf yang menghasilkan IR8 oleh IRRI pada tahun 1966 (Peng et al. 2008). Varietas padi ini mempunyai produktivitas dari 4 sampai 8 ton/ha pada daerah tropika. Khush (1999) menyatakan IR8 memiliki sifat yang diinginkan seperti pembentukan anakan banyak, daun tegak dan hijau gelap, dan batang kuat. Kedua, dihasilkan dari pengembangan padi hibrida pada tahun 1976 di China. Menurut Peng et al. (1999) bahwa padi hibrida indica/indica meningkatkan potensi hasil 9% dibandingkan inbrida terbaik.

Pengembangan potensi hasil varietas inbrida indica semi-dwarf mengalami stagnasi sejak pelepasan IR8. Perbaikan potensi hasil terus dilakukan melalui persilangan padi japonica/indica sehingga menghasilkan padi varietas tipe-Tongil yang dikembangkan di Korea pada tahun 1971, yang menunjukkan peningkatan hasil 30% dibandingkan dengan varietas japonica (Peng et al. 2008). Varietas Tongil memiliki karakteristik sifat daun sedang sampai panjang dan tegak, pelepah daun tebal, tanaman pendek tetapi malai panjang, bentuk tanaman terbuka, dan tahan rebah. IR72 yang dilepas pada tahun 1980 menghasilkan biomasa sekitar 20 ton/ha dan indeks panen 0.5 dan menghasilkan 10 ton/ha gabah pada pengelolaan yang tepat. Upaya terobosan dilakukan untuk membentuk arsitektur tanaman yang memungkinkan peningkatan potensi hasil. Padi yang dihasilkan dikenal dengan padi tipe baru (PTB), dan IRRI mengembangkannya pada tahun 1989 dan pada tahun 2000 hasilnya telah didistribusikan ke berbagai negara untuk dikembangkan lebih lanjut.

Program pembentukan varietas unggul padi sawah sampai dengan tahun 1970-an lebih ditekankan pada perbaikan varietas lokal, terutama untuk memperpendek umur tanaman, sehingga dalam satu tahun dapat dilakukan panen

dua sampai tiga kali (Susanto et al. 2003). Pengembangan varietas banyak diarahkan untuk meningkatkan daya adaptasi dan toleransi terhadap cekaman biotik maupun abiotik pada agroekosistem yang dihadapi, sehingga mampu menciptakan stabilitas hasil tanaman yang baik.

Varietas unggul yang paling populer kemudian adalah IR64 diintroduksi dari IRRI dan dilepas sebagai varietas unggul di Indonesia pada tahun 1986. Varietas tersebut sangat digemari oleh petani dan konsumen, terutama karena rasa nasi yang enak, umur genjah, daya adaptasi luas, dan produktivitasnya tinggi. Karakteristik dari varietas “tipe varietas IR64” menurut Daradjat et al. (2001) antara lain adalah umur genjah (100 - 125 HSS), postur tanaman pendek – sedang (95 - 115 cm), bentuk tanaman tegak, posisi daun tegak, jumlah anakanbanyak sedang (20 - 25 anakan/rumpun dengan anakan produktif 15 - 16 anakan/rumpun), panjang malai sedang, responsif terhadap pemupukan, tahan rebah, daya hasil agak tinggi (5 - 6 ton/ha), tahan hama dan penyakit utama, mutu giling baik, dan rasa nasi enak. Varietas IR64 memiliki daya adaptasi yang sangat luas dapat dibudidayakan sebagai padi gogo maupun padi rawa. Varietas IR64 ini banyak dijadikan sebagai tetua dalam program pemuliaan dan banyak varietas unggul baru yang merupakan keturunan dari IR64 tersebut (Susanto et al. 2003), diantaranya adalah: Way Apo Buru, Widas, Ciherang, Tukad Unda, Code, Angke, Konawe, Cigeulis, dan Cibogo. Potensi hasil varietas-varietas tersebut tidak berbeda dengan IR64 yang dilepas lebih dahulu. Bersama Ciherang, IR64 kini masih mendominasi areal pertanaman padi, sehingga laju pertumbuhan produktivitas padi nasional tidak mengalami peningkatan yang nyata dari tahun ke tahun.

Upaya peningkatan produktivitas padi dengan pengembangan varietas padi hibrida dan padi tipe baru telah dilakukan. Di Indonesia penelitian padi hibrida telah dilakukan sejak tahun 1983 dan pada tahun 2001 dilepas varietas pertama Intani 1 dan 2 dari PT BISI, sedangkan dari institusi pemerintah pertama kali dilepas varietas Maro dan Rokan pada tahun 2002 (Badan Litbang 2007b; Satoto dan Suprihatno 2008). Pembentukan PTB di Indonesia dimulai sejak tahun 1995 dengan mengintroduksi beberapa galur PTB IRRI generasi pertama, pada tahun 2001 telah dilepas varietas Cimelati semi PTB pertama (Abdullah 2008b).

Padi Tipe Baru

Pada tahun 1989, Lembaga Internasional Penelitian Padi atau

International Rice Research Institute (IRRI) telah merancang dan merakit padi dengan arsitektur baru yang kemudian dikenal dengan new plant type of rice

(NPT) atau padi tipe baru (PTB). Ini diilhami oleh Donald pada tahun 1968

melalui pendekatan pemuliaan idiotipe (Yang et al. 2007). Sasaran

pengembangan PTB adalah potensi hasil 20 – 25% lebih tinggi dibanding varietas padi semidwarf mutakhir pada lingkungan tropik. Menurut Peng et al. (1994) dan Khush (1999), untuk mencapai sasaran maka suatu tipe tanaman baru memiliki sifat anakan sedikit, semua anakan produktif, malai lebat (200 − 250 gabah/malai) dan bernas, tinggi tanaman sedang (90 − 100 cm), batang kokoh, daun tegak, tebal dan berwarna hijau tua, perakaran lebat dan dalam, umur sedang (110 − 130 hari), serta tahan terhadap hama dan penyakit utama dan kualitas biji dapat diterima. Sifat-sifat tersebut untuk meningkatkan total biomas sekitar 23 ton dan indeks panen sampai 0.55 sehingga suatu tanaman yang dapat menghasilkan hasil biji sekitar 12.5 ton (Khush 1999). Namun, PTB generasi pertama tersebut memberikan hasil yang tidak sesuai dengan sasaran karena produksi biomas rendah dan kurangnya pengisian biji. Peng et al. (2008) menyatakan untuk meningkatkan potensi hasil maka PTB generasi kedua memiliki sifat-sifat: 330 malai per m2, 150 gabah/malai, pengisian biji 80%, bobot biji 25 mg, total biomas 22 ton/ha, dan indeks panen 50%.

Pembentukan PTB di Indonesia dimulai sejak tahun 1995 dengan mengintroduksi beberapa galur PTB IRRI generasi pertama. Penelitian diintensifkan pada tahun 2001 dengan mengintroduksi lebih banyak galur elit PTB IRRI I dan generasi kedua (Abdullah et al. 2008b) dan telah dihasilkan varietas dan sejumlah galur PTB dalam beberapa generasi. Melalui program perakitan PTB telah dilepas varietas unggul semi-PTB yaitu Cimelati (2001), Gilirang (2002), Ciapus (2003), dan varietas unggul PTB Fatmawati (2003) dengan potensi hasil berkisar antara 7.5 ton/ha sampai 9 ton/ha (Anonim 2009). Varietas tersebut masih memiliki kekurangan, antara lain anakan sedikit dan persentase kehampaan tinggi serta kurang tahan terhadap hama dan penyakit utama, sehingga potensi hasilnya belum sesuai dengan sasaran pemuliaan (Abdullah et al. 2008a).

Padi Hibrida

Arah pemuliaan padi hibrida adalah untuk mendapatkan kombinasi hibrida yang berdaya hasil tinggi dan untuk memperoleh hibrida yang memiliki sifat ketahanan terhadap cekaman lingkungan biotik dan abiotik, adaptif terhadap kondisi lingkungan tumbuh, serta memiliki mutu beras yang baik. Padi hibrida merupakan generasi pertama (F1) dari hasil persilangan antara dua tetua yang secara genetik berbeda dan dikembangkan dengan memanfaatkan terjadinya

heterosis pada F1 (Virmani et al. 1997). Fenomena heterosis merupakan

fenomena aksi gen yaitu gejala pertumbuhan dan kapasitas produksi yang lebih tinggi dibandingkan kedua tetuanya. Fenomena heterosis tersebut menyebabkan tanaman F1 lebih vigor, tumbuh lebih cepat, anakan lebih banyak, dan malai lebih lebat, sehingga mampu berproduksi lebih tinggi dibanding varietas unggul biasa (inbrida). Namun keunggulan tersebut tidak diperoleh pada populasi generasi kedua (F2) dan berikutnya.

Pengembangan varietas hibrida perlu memperhatikan nilai heterosis yang diperoleh dari suatu hibrida. Menurut Nanda and Virmani (1999) tingkat heterosis hibrida padi indica berkisar antara 15 - 20%. Padi hibrida akan memiliki sifat unggul apabila kedua tetuanya membawa sifat atau jika salah satu tetuanya membawa karakter yang diinginkan dan dikendalikan oleh gen dominan (Virmani

et al. 1997). Tanaman padi secara alami memiliki kontruksi gen-gen homozigos yang telah melakukan adaptasi, bahwa tanaman homozigos produktivitasnya cukup tinggi, dan kontruksi heterozigos kurang dapat memacu timbulnya gejala heterosis yang terlalu tinggi. Hal ini berarti bahwa padi hibrida hasilnya tidak lebih banyak secara menyolok dibandingkan hasil padi non-hibrida.

Pada tanaman padi, karena bunganya sempurna maka organ jantan pada

bunga tetua betina harus dibuat mandul dengan memasukkan gen cms

(cytoplasmic-genetic male sterility) sehingga memudahkan untuk menghasilkan

benih F1 hibrida (Nanda and Virmani 1999). Penggunaan gen cms ini

mengharuskan perakitan varietas padi hibrida menggunakan metode tiga galur. Yaitu galur mandul jantan (GMJ) atau CMS (galur A), galur pelestari atau

maintainer (galur B), dan tetua jantan yang berfungsi sebagai pemulih kesuburan atau restorer (galur R).

Keunggulan padi hibrida adalah hasil lebih tinggi dibanding padi unggul inbrida dan vigor lebih baik sehingga lebih kompetitif terhadap gulma. Sasaran utama program perakitan padi hibrida adalah merakit varietas padi hibrida yang adaptif terhadap kondisi lingkungan tumbuh di Indonesia dengan nilai heterosis daya hasil 20 - 25% dibandingkan dengan varietas unggul inbrida (Satoto dan Suprihatno 2008). Potensi hasil yang tinggi dicapai melalui keunggulan aspek fisiologis dan morfologis tanaman. Indonesia telah melepaskan beberapa varietas padi hibrida sebagai varietas unggul nasional yang telah dirakit oleh Balai Besar Penelitian Padi dan perusahaan benih swasta. Potensi hasil padi hibrida berkisar dari 4.5 ton GKG/ha sampai dengan 15 ton/ha GKG pada varietas Miki1 dan SL- 11-SHS (Anonim 2009; Satoto dan Suprihatno 2008). Menurut Susanto et al. (2003) padi hibrida yang dihasilkan banyak memiliki latar belakang genetik galur- galur yang berasal dari IRRI.

Cina yang merupakan pelopor padi hibrida pada tahun 1998 telah memulai program pemuliaan padi hibrida super (Peng et al. 2008). Yuan (2001), dalam program ini melakukan kombinasi pendekatan ideotipe dengan menggunakan heterosis intersubspesies. Selanjutnya dinyatakan hasil gabah 100 kg/ha/hari sebagai sasaran perakitan padi super berdaya hasil tinggi dalam program pemuliaan padi hibrida super. Tahun 1999 - 2005 secara komersil telah dilepas 34 varietas padi hibrida super dan telah banyak ditanam di Cina, seperti varietas Xieyou9308 dengan hasil 12.23 ton/ha dan varietas Liangyoupeijiu dengan hasil 12.11 ton/ha. Salah satu masalah pengembangan padi hibrida adalah tingkat ekspresi heterosis yang tidak stabil. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kehampaan gabah yang masih tinggi dan kerentanan terhadap hama penyakit utama.

Karakter Morfologi dan Agronomi Padi Varietas Unggul

Morfologi suatu tanaman menggambarkan produktivitasnya. Berdasarkan hubungan morfologi dan produktivitas tanaman, maka model arsitektur tanaman digunakan untuk menciptakan suatu tanaman yang ideal. Karakter morfologi menyangkut bentuk dan struktur tanaman yang merupakan dasar dalam klasifikasi tanaman dan digunakan sebagai alat untuk mengenal adaptasi tanaman terhadap

lingkungan. Padi varietas unggul dengan potensi hasil tinggi memiliki kekhasan karakter morfologi.

Program perakitan padi varietas unggul banyak menggunakan pendekatan atau konsep idiotipe tanaman untuk mencapai sasaran potensi hasil tinggi. Karakter morfologi yang banyak digunakan untuk perakitan varietas padi unggul dengan kemampuan menghasilkan tinggi adalah batang pendek, daun tegak, dan jumlah anakan banyak (Yoshida 1981), sedangkan karakter agronomi adalah tinggi tanaman, kerebahan, umur tanaman, hasil, dan komponen hasil. Menurut Makarim et al. (2009) pandangan morfologi dan fisiologi untuk mendukung penanaman padi hasil tinggi masa depan, diperlukan perbaikan internal tanaman antara lain perbaikan bentuk dan kualitas tajuk, peningkatan pemanfaatan radiasi surya, perbaikan sifat partisi, penguatan batang tanaman, perbaikan aktivitas perakaran, dan perbaikan ukuran sink. Pada perakitan varietas padi hibrida sistem perakaran, jumlah anakan, jumlah gabah per malai, dan bobot 1000 butir merupakan karakter sebagai dasar peningkatan hasil (Badan Litbang 2007b). Perakitan karakter morfologi varietas padi hibrida super dan PTB menggunakan karakter sifat kanopi daun tegak tinggi, posisi malai lebih rendah, dan malai berat, tinggi tanaman, posisi tiga daun bagian atas (Yuan 2001; Khush 1999).

Tinggi Tanaman dan Ketahanan terhadap Kerebahan

Hubungan antara tinggi tanaman dengan hasil telah banyak diteliti. Ternyata varietas berumur pendek tidak selalu berbatang pendek. Varietas berumur panjang tidak selalu disertai oleh tingginya hasil gabah, sebab hasil gabah lebih terkait dengan agihan bahan kering atau efisiensi fotosintesis (Manurung dan Ismunadji 1988). Pemuliaan untuk potensi hasil melalui pengembangan varietas semi-dwarf telah dilakukan di Cina pada tahun 1950 dan oleh IRRI pada tahun 1960 menggunakan gen sd-1 dari Ai-zi-zhan (Huang 2001;

Peng et al. 2008). Pemulia tanaman di IRRI membuat persilangan untuk

memasukkan gen dwarf dari varietas Taiwan seperti Dee-geo-woo-gen dan Taichung Native 1, padi IR8 merupakan varietas padi modern semi-dwarf pertama yang meningkatkan potensi hasil padi sawah dari 6 ton/ha menjadi 10 ton/ha di daerah tropika (Peng et al. 2008). Dengan demikian tinggi tanaman yang pendek

merupakan penciri padi varietas unggul modern, hal ini berkaitan dengan ketahanan terhadap rebah dan efisiensi partisi biomassa antara gabah dan jerami, yaitu memiliki indeks panen yang tinggi (Peng et al. 1994).

Tanaman yang tinggi memiliki kelemahan tidak tahan rebah dan indeks panen yang rendah. Tanaman yang tinggi dengan batang yang lemah akan mudah rebah, ini menyebabkan pembuluh xylem dan floem menjadi rusak sehingga menghambat pengangkutan hara dan fotosintat. Tingginya hasil pada padi varietas unggul terutama disebabkan oleh ketahanan terhadap kerebahan (Yoshida 1981). Strategi untuk pendekatan tipe baru tanaman ideal (ideotipe) yang memakai heterosis intersubspesifik dalam menghasilkan padi varietas hibrida super dicerminkan dengan ciri secara morfologi untuk tinggi tanaman paling sedikit 100 cm (Yuan 2001). Pada PTB tinggi tanaman 90 – 100 cm adalah ideal untuk hasil maksimum, dimana peningkatan produksi biomas dapat dicapai pada saat radiasi surya tinggi dan suplai N yang cukup (Khush 1999).

Anakan

Jumlah anakan merupakan salah satu sifat utama penting pada varietas unggul, sistem anakan menjadi salah satu peubah potensi hasil. Menurut Abdullah et al. (2008b) jumlah anakan per rumpun yang terlalu banyak akan mengakibatkan masa masak malai tidak serempak, sehingga menurunkan produktivitas dan atau mutu beras. Selanjutnya dinyatakan jumlah anakan sedikit diharapkan malai masak serempak, jika gabah per malai banyak maka masa pemasakan akan lebih lama sehingga mutu beras menurun atau tingkat kehampaan tinggi karena ketidakmampuan source mengisi sink. Tanaman bertipe anakan banyak mampu mengkompensasi rumpun yang mati dan mencapai luas daun dengan cepat (Yoshida 1981).

Padi inbrida dengan potensi hasil tinggi menghasilkan tipe tanaman memiliki kapasitas anakan tinggi, jumlah anakan tidak produktif besar dan mempunyai luas daun berlebihan yang menyebabkan saling menaungi dan mengurangi kanopi fotosintesis dan ukuran sink dan ini menjadi pembatas utama pada hasil (Peng et al. 1999). Menurut Yoshida (1981) kapasitas anakan sedang diperlukan untuk varietas padi berpotensi hasil tinggi. Potensi hasil rendah dapat

disebabkan oleh cepatnya pertumbuhan dan indeks luas daun (ILD) melewati optimum, sebaliknya berhubungan erat dengan kapasitas anakan tinggi.

Jumlah anakan yang lebih banyak merupakan keunggulan karakter morfologi padi hibrida sehingga memiliki area fotosintesis yang lebih luas (Badan litbang 2007a), sedangkan tipe tanaman untuk padi hibrida super berdaya hasil tinggi adalah jumlah anakannya sedang (Yuan 2001). Menurut Khush (1999) padi varietas modern menghasilkan 20 - 25 anakan pada lingkungan pertumbuhan yang baik dari anakan tersebut hanya 14 - 15 menghasilkan malai dan sisanya menjadi anakan tidak produktif. Anakan tidak produktif akan bersaing dengan anakan produktif untuk menggunakan cahaya dan unsur hara terutama N.

Jumlah anakan PTB generasi pertama yang sedikit merupakan salah satu penyebab rendahnya hasil. Menurut Peng et al. (2008) kurangnya jumlah anakan menyebabkan rendahnya produksi biomas sehingga pengisian biji kurang. Selanjutnya dinyatakan pada pemuliaan PTB generasi kedua kapasitas anakan ditingkatkan untuk meningkatkan produksi biomas dan untuk memperbaiki anakan terhadap pengaruh kerusakan dari hama atau lainnya selama tahap vegetatif. Khush (1999) menyatakan jumlah anakan untuk PTB adalah sedikit yaitu 6 – 10, sedangkan yang sesuai untuk kondisi di Indonesia jumlah anakan sedang tetapi semua produktif (12 - 18 batang) (Abdullah et al. 2008b).

Daun dan Kanopi

Karakter kanopi dan daun meliputi sudut daun, ketebalan daun, warna daun, dan ILD. Sifat daun untuk padi varietas unggul adalah daun tumbuhnya tegak, tebal, kecil, pendek dan ini merupakan konsep tipe tanaman untuk pemuliaan varietas berdaya hasil tinggi (Yoshida 1981). Daun tegak memungkinkan penetrasi dan distribusi cahaya lebih besar sampai ke bagian bawah dan merata, sehingga meningkatkan fotosintesis tanaman. Fotosintesis tanaman dari kanopi daun tegak sekitar 20% lebih tinggi dibandingkan kanopi daun terkulai pada kondisi ILD tinggi. Ishii (1995) menyatakan bahwa varietas padi berdaya hasil tinggi mempunyai kanopi fotosintesis lebih besar, kanopi fotosintesis ditentukan oleh tiga faktor yaitu kapasitas fotosintesis per unit luas daun, ILD, dan penyerapan cahaya.

Varietas lokal terutama yang tergolong dalam padi jenis indica memiliki daun yang panjang dan horisontal, sehingga memiliki kanopi daun yang terkulai. Daun horisontal dan terkulai akan mengurangi penetrasi cahaya, meningkatkan kelembaban di bawah kanopi daun, dan mengurangi pergerakan udara (Yoshida 1981; Khush 1999). Hal ini akan menurunkan efisiensi fotosintesis dan

menguntungkan untuk pertumbuhan hama dan penyakit (Peng et al. 1994).

Yoshida (1981) juga menyatakan fotosintesis pada daun terkulai lebih rendah dibandingkan kanopi daun tegak pada saat intensitas cahaya tinggi.

Karakteristik daun untuk PTB adalah tegak, tebal dan berwarna hijau tua (Khush 1999). Daun hijau dan tebal akan lebih lambat mengalami senesen, sedangkan daun tegak lebih efisien dalam menggunakan cahaya sehingga aktivitas fotosintesis tinggi. Menurut Abdullah (2008b) PTB harus mempunyai daun yang tegak, tebal, sempit hingga sedang, berbentuk V, dan berwarna hijau tua. Karakter ini diperlukan untuk meningkatkan produksi biomas pada PTB.

Varietas hibrida memiliki arsitektur daun yang memungkinkan penetrasi cahaya tinggi. Varietas hibrida umumnya memiliki daun yang tegak sehingga ILD-nya tinggi dan mampu menangkap cahaya yang lebih efisien, dan fotosintesis akan lebih besar ketika daun terbuka untuk cahaya pada kedua sisinya. Dengan demikian, tanaman akan memiliki sistem fotosintesis yang efisien dan mampu memproduksi biomassa yang tinggi (Laza et al. 2001). Pada perakitan varietas padi hibrida super untuk mencapai suatu source besar dari asimilat esensial untuk hasil super tinggi maka karakter daun terletak pada 3 daun bagian atas yaitu panjang, tegak, menyempit membentuk V, dan tebal (Yuan 2001).

Umur Tanaman

Tanaman padi biasanya memerlukan 3 – 6 bulan dari perkecambahan sampai panen tergantung pada varietas dan lingkungan tumbuhnya. Menurut Yoshida (1981) fase pertumbuhan vegetatif merupakan fase yang menyebabkan terjadinya perbedaan umur panen, sebab lama fase reproduktif dan pemasakan tidak dipengaruhi oleh varietas maupun lingkungan.

Umur pertumbuhan tanaman padi optimum untuk hasil maksimum di tropika sekitar 120 hari dari semai (Khush 1999). Padi varietas tradisional tropika

di Asia baik beradaptasi pada musim panas dengan umur tanaman berkisar 160 – 200 hari. Padi unggul lokal di Indonesia seperti varietas Rojolele dan Pandan Wangi memiliki umur panen panjang yaitu sekitar 155 hari. Varietas unggul baru mempunyai umur panen yang lebih pendek atau genjah yaitu 105 - 125 hari. Menurut Yoshida (1981) varietas dengan umur pertumbuhan terlalu pendek mungkin tidak menghasilkan hasil tinggi oleh karena dibatasi pertumbuhan vegetatif, dan varietas yang durasi pertumbuhan panjang tidak akan menghasilkan tinggi oleh karena pertumbuhan vegetatif yang berlebihan.

Periode pertumbuhan padi dapat menjadi penentu hasil tinggi. Pada program perakitan padi hibrida super di Cina, untuk mencapai tujuan hasil super tinggi digunakan kriteria hasil harian per luas. Menurut Yuan (2001) hasil biji berhubungan erat dengan lamanya pertumbuhan dan hasil absolut varietas berumur panjang lebih tinggi dibandingkan berumur pendek. Varietas padi hibrida super Xieyou9308 memiliki umur panen 150 hari dengan hasil 12.23 ton/ha, sedangkan Liangyoupeijiu dengan umur panen 135 hari hasil rata-rata yang dicapai adalah 12.11 ton/ha (Peng et al. 2008).

Menurut Khush (1999) lama pertumbuhan PTB berkisar 100 - 130 hari, sedangkan di Indonesia PTB dengan potensi hasil tinggi harus mempunyai sifat umur genjah yaitu 110 – 120 hari (Abdullah 2008b). Varietas PTB yang telah dihasilkan antara lain Fatmawati memiliki umur 105 – 115 hari dan semi PTB Cimelati berumur 118 - 125 hari (Anonim 2009).

Varietas hibrida memiliki umur panen yang pendek yaitu sekitar 100 - 105 hari, dari pindah tanam hingga panen, atau sekitar 120 hari dari semai sampai panen. Hasil varietas yang umurnya lebih panjang masih dapat meningkat secara linear sampai umur 135 hari. Umur pendek mempunyai keuntungan membutuhkan air yang lebih sedikit, lebih cepat terhindar dari serangan hama dan penyakit, serta memungkinkan penanaman dua kali atau pergiliran dengan tanaman lain (Peng et al. 1994).

Malai

Hanada (1993) membagi varietas padi berdasarkan jumlah malai dan bobot biji ke dalam tipe malai berat, malai sedang, dan malai ringan. Varietas

padi modern berdaya hasil tinggi mempunyai jumlah malai lebih banyak dibandingkan varietas padi tradisional (Khush 1999). Karakteristik varietas malai berat memiliki sink besar, source cukup, dan translokasi bahan kering ke malai dengan kecepatan fotosintesis, translokasi, dan akumulasi asimilat dari bahan kering ke malai setelah pembungaan tinggi ( Jun et al. 2003).

Untuk mencapai sasaran potensi hasil tinggi pada PTB diperlukan karakter jumlah malai 330 per m2 dan 150 gabah per malai, (Peng dan Khush 2003: Peng

et al. 2008). Menurut Abdullah et al. (2008b) varietas PTB yang diharapkan mempunyai potensi hasil 9 - 13 ton/ha harus mempunyai sifat jumlah anakan produktif 12 – 18, jumlah gabah per malai 150 - 250 butir, persentase gabah bernas 85 - 95%, dan bobot 1000 gabah bernas 25 - 26 gram.

Model tipe malai yang berat pada padi hibrida menjadi salah satu ukuran utama untuk pemuliaan padi hibrida super di Cina (Yuan 1998). Karakteristik tipe tanaman ideal untuk varietas dengan malai berat adalah jumlah malai efektif per rumpun tanaman adalah 12 – 15; jumlah gabah 180 – 240; tingkat pengisian biji di atas 85%; bobot 1000 biji 28 – 30 g; bobot gabah per malai lebih dari 4.8 g (Jun et al. 2006). Keunggulan potensi hasil padi hibrida karena memiliki jumlah anakan banyak dan jumlah gabah per malai lebih banyak, sedangkan untuk padi hibrida super berdaya hasil tinggi 15 ton/ha memiliki karakter malai berat yaitu berat biji per malai 5 g dan jumlah malai 270 – 300 per m2 (Yuan 2001; Yuan et al. 2003).

Hasil dan Potensi Hasil

Dokumen terkait