• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Puka dalam “Seni Menghadapi Emosi Secara Dewasa” (Vox, 2000:48) mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan tegang pada organisme sebagai reaksi yang kuat terhadap pemicu yang mempengaruhi fisik individu seperti terlihat dalam tingkah laku lahiriah. Sementara itu arti leksikalis emosi adalah reaksi psikologis (perasaan) yang muncul pada waktu tertentu karena dipengaruhi oleh sesuatu.

Dalam kamus Bahasa Inggris Oxford (Harmoko, http://www.binuscareer.com/Article.aspx?id=hLO3fqu87k631%2FWL86q Sqg%3D%3D), emosi didefinisikan sebagai keadaan atau pergolakan pikiran, biologis dan psikologis serta serangkaian untuk bertindak. Sementara Goleman dalam (Harmoko, http://www.binuscareer.com/ Article.aspx?id=hLO3fqu87k631%2FWL86qSqg%3D%3D), emosi dibagi menjadi:

a. Amarah seperti mengamuk, bengis, benci, jengkel, kesal hati. b. Kesedihan, seperti pedih, sedih, depresi berat.

c. Rasa takut, seperti cemas, takut, gugup, khawatir, waspada. d. Cinta, seperti penerimaan, persahabatan, kepercayaan, rasa dekat. e. Terkejut, takjub terpana.

f. Jengkel.

Menurut Goleman dalam (Nugraheny, 2003:14), kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengatur diri kita sendiri dan hubungan kita dengan orang lain secara efektif yang terdiri dari empat kemampuan mendasar:

a. Kesadaran diri, kemampuan untuk membaca dan memahami emosi-emosi diri sendiri serta mengenal pengaruhnya.

b. Kontrol diri, kemampuan untuk menjaga agar emosi dan kata hati yang mengganggu tetap terkontrol.

c. Empati, kemampuan merasakan emosi orang lain. d. Kemampuan sosial, sebagai pendorong atau motivasi.

Kecerdasan emosional menurut Cooper (1998:XV) dalam Harmoko (http://www.binuscareer.com/Article.aspx?id=hLO3fqu87k631 %2FWL86qSqg%3D%3D) adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Sedangkan John Mayer, psikolog dari University of New Hampshire dalam Harmoko (http://www.binuscareer.com/Article.aspx?id=hLO3fqu87k631%2FWL86 qSqg%3D%3D) mendefinisikan kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan cara mengendalikan emosi sendiri.

Goleman mengungkapkan perbedaan antara kecerdasan emosional dengan kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan intelektual merupakan kemampuan kognitif murni atau kemampuan dasar. Sedangkan kecerdasan emosional kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, mengelola emosi. Kecerdasan emosional dapat dipelajari, dilatih, dan bisa dikembangkan (http://www.bpk-penabur-bdg.com). Tetapi perlu diingat bahwa semuanya

itu merupakan proses yang memerlukan waktu, ketekunan, semangat tinggi dan keberanian untuk mencoba. Kecerdasan emosional merupakan jembatan antara apa yang kita ketahui, dengan apa yang kita lakukan. Dengan semakin tinggi kecerdasan emosional, kita akan semakin terampil melakukan apapun yang kita ketahui benar.

Unsur-unsur yang berkaitan dengan kecerdasan emosional menurut Goleman (1999:274) meliputi:

a. Keyakinan

Perasaan kendali dan penguasaan seseorang terhadap tubuh, perilaku, dan dunia.

b. Rasa Ingin Tahu

Perasaan bahwa menyelidiki segala sesuatu itu bersifat positif dan menimbulkan kesenangan.

c. Niat

Hasrat dan kemampuan untuk berhasil dan untuk bertindak berdasarkan niat itu dengan tekun, ini berkaitan dengan perasaan terampil, perasaan efektif.

d. Kendali Diri

Kemampuan untuk menyesuaikan dan mengendalikan tindakan dengan pola yang sesuai dengan usia, suatu rasa, kendali batiniah. e. Keterkaitan

Kemampuan untuk melibatkan diri dengan orang lain berdasarkan pada perasaan saling memahami.

f. Kecakapan Berkomunikasi

Keyakinan dan kemampuan verbal untuk bertukar gagasan, perasaan, dan konsep dengan orang lain.

g. Kooperatif

Kemampuan menyeimbangkan kebutuhan sendiri dengan kebutuhan orang lain.

2. Dimensi Kecerdasan Emosional

Koda dalam “Membedah Dinamika Emosi Sebagai Struktur Logis-Ilmiah” (Vox, 2000:90) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kesanggupan manusia dalam menjangkau lima “kawasan” yang paling menentukan keberhasilan hidup seorang individu.

a. Mengenal emosi diri. Pemahaman terhadap perasaan yang sedang berlangsung adalah dasar kecerdasan emosional. Dengan kontinuitas proses pemahaman terhadap gejolak perasaan, individu dimungkinkan untuk menjangkaui wawasan psikologi dan pemahaman diri, sekaligus pembebasan individu dari belenggu perasaan. Proses ini akan bermuara pada tercetusnya keputusan– keputusan yang efektif.

b. Mengelola emosi. Kesadaran diri merupakan dimensi penentu bagi

penanganan perasaan agar dapat menjelma secara memadai. Pada individu yang gagal mengelola emosinya, akan terjadi pertarungan yang tak berkesudahan melawan emosinya sendiri.

c. Memotivasi diri sendiri. Penataan emosi yang memadai merupakan

sarana untuk memotivasi diri dan menguasai diri, serta untuk bereaksi secara wajar. Kemampuan demikian memperbesar peluang produktivitas dan efektivitas kerja dalam berbagai bidang.

d. Mengenali emosi orang lain. Kesadaran emosional yang

merupakan landasan sikap empati, mengandung kemampuan menangkap pesan–pesan sosial yang tersembunyi, yang menginformasikan kebutuhan dan kehendak orang lain.

e. Membina hubungan. Seni membina hubungan, sebagian besar

merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Berbekal kemampuan ini, seseorang akan terbantu dalam meraih popularitas, sukses dalam memimpin dan relasi antar pribadi.

B. Perilaku Belajar Mahasiswa 1. Pengertian Belajar

Setiap orang pernah belajar walaupun dalam mendapatkan pendidikan berbeda-beda berdasarkan kondisi setiap orang. Seseorang dikatakan telah belajar bila di dalam dirinya telah mengalami perubahaan tertentu, misalnya seseorang yang semula tidak bisa membaca dan menulis menjadi atau dapat membaca dan menulis. Hal tersebut bisa dikatakan hasil dari belajar.

Belajar di perguruan tinggi merupakan suatu pilihan dalam mencapai tujuan individual. Semangat, cara belajar, dan sikap mahasiswa terhadap belajar sangat dipengaruhi oleh kesadaran akan adanya tujuan

individual. Konsep atau pengertian belajar sangat beragam dan tergantung dari sisi pandang dari setiap orang yang mengamatinya.

Menurut Purwanto (1986:45) dalam (http://id.wikipedia.org/ wiki/Prestasi-belajar), belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamanya. Morgan (1978) dalam (http://id.wikipedia.org/ wiki/Prestasi-belajar) mengemukakan bahwa belajar adalah setiap perubahaan yang relative menetap dalam tingkah laku yang terjadi dari suatu hasil dari latihan atau pengalaman. Sementara Surachmad (1982:10) dalam (http://id.wikipedia.org/wiki/Prestasi-belajar) menyatakan belajar itu merupakan satu proses dalam diri manusia jasmani maupun rohani dan melahirkan perubahan sebagai hasil dari proses.

Menurut WS. Winkel (1989:36), belajar adalah suatu aktifitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan sikap. Belajar secara tradisional seperti dikemukakan oleh Nasution dalam (Roestivan, 1982:149) dinyatakan sebagai kegiatan untuk menambah dan mengumpulkan sejumlah ilmu pengetahuan. Pendapat tersebut dalam praktek sangat banyak dianut di perguruan tinggi atau sekolah yang mana seorang dosen atau guru berusaha memberi ilmu sebanyak mungkin dan mahasiswa atau murit giat untuk mengumpulkanya. Di sini sering terlihat bahwa belajar itu disamakan dengan menghafal.

Sedangkan menurut Lester dan Alice dalam (Roestiva, 1982: 149), belajar ialah perubahan individu dalam kebiasaan, pengetahuan dan sikap. Dalam definisi ini dikatakan bahwa seseorang belajar kalau ada perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dalam menguasai ilmu pengetahuan. Belajar disini merupakan suatu proses dimana dosen atau guru terutama melihat apa yang terjadi selama mahasiswa atau murit menjalani pengalaman edukatif untuk mencapai suatu tujuan.

Menurut teori Gagne dalam (Roestivan, 1982:156), belajar memuat dua definisi, antara lain:

a. Belajar ialah suatu proses untuk memperoleh modifikasi dalam pengetahuan, ketrampilan, kebiasaan, dan tingkah laku.

b. Belajar adalah pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi.

Mahasiswa yang mengalami proses belajar supaya berhasil sesuai dengan tujuan yang harus dicapainya, perlu memperhatikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajarnya itu. Adapun faktor-faktor belajar itu dapat digolongkan sebagai berikut (Roestivan, 1982:159):

a. Faktor internal ialah faktor yang timbul dari dalam anak itu sendiri. Seperti kesehatan, rasa aman, kemampuan, minat, dan sebagainya. Faktor ini berwujut juga sebagai kebutuhan dari anak itu.

b. Faktor eksternal ialah faktor yang datang dari luar diri si anak. Seperti kebersihan rumah, udara yang panas, lingkungan dan sebagainya.

2. Aspek Belajar

Menurut Suwarjono (http://suwarjono.com/upload/perilaku-belajar-di-perguruan-tinggi.pdf), kuliah merupakan bentuk interaksi antara dosen, mahasiswa, dan pengetahuan atau keterampilan. Pemahaman dan

persepsi mengenai hubungan ketiga faktor tersebut sangat menentukan keberhasilan proses belajar. Kuliah merupakan kegiatan yang membedakan pendidikan formal dan non formal. Pemahaman akan hal ini akan mempengaruhi sikap dan semangat mahasiswa dalam menjalani proses belajar. Hal-hal yang harus dipahami dalam belajar, yaitu (Suwarjono, http://suwarjono.com/upload/perilaku-belajar-di-perguruan-tinggi.pdf):

a. Makna Kuliah

Kuliah adalah bentuk unit kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi, kuliah merupakan bentuk interaksi antara dosen, mahasiswa, dan ilmu pengetahuan. Kuliah diartikan sebagai forum konfermasi mahasiswa terhadap pengetahuan.

b. Pengalaman Belajar atau Nilai

Nilai yang diperoleh peserta didik mempunyai fungsi ganda, sebagai ukuran keberhasilan mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah dan sebagai alat evaluasi keberhasilan mata kuliah itu sendiri. Dalam hal-hal tertentu, nilai yang diperoleh mahasiswa memang merupakan indikator kesuksesan mahasiswa dalam menempuh kuliah tetapi mungkin bukan merupakan ukuran keberhasilan pencapaian tujuan atau sasaran pengajaran mata kuliah dalam mengubah pengetahuan, perilaku atau kepribadian mahasiswa termasuk penalaranya. Biasanya mahasiswa belajar untuk mencari nilai bukan untuk mencari ilmu. Persepsi mahasiswa yang keliru mengenai hal ini akan menyebabkan mahasiswa merasa frustasi dalam menjalankan proses belajar.

c. Konsepsi Tentang Dosen

Dalam proses belajar mengajar yang efektif dosen semestinya harus dipandang sebagai manajer kelas dan merupakan nara sumber proses belajar mengajar. Dosen menetapkan sumber pengetahuan apa saja yang harus dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa dalam bentuk silabus, mahasiswa menjalani proses belajar tersebut dan dosen mengendalikan proses belajar mahasiswa. Pada kenyataan mahasiswa menganggap bahwa dosen merupakan sumber pengetahuan yang utama. Mahasiswa malas membaca artikel, hasil penelitian, dan buku-buku yang terkait dalam program belajar yang harus dipelajari.

d. Kemandirian Dalam Belajar

Kemandirian harus dimulai sejak pertama kali mahasiswa memasuki perguruan tinggi. Mahasiswa harus mempunyai

keyakinan bahwa sumber utama pengetahuan adalah buku, artikel, dan hasil penelitian. Gejala yang dirasakan proses belajar yang sekarang belum bisa dipandang sebagai proses belajar yang mandiri. Hal ini ditunjukkan oleh adanya kecenderungan mahasiswa untuk mengoptimalkan dirinya dengan menerima apa saja yang diajarkan. Akibatnya ada ketidak mampuan mahasiswa dalam mengungkapkan gagasanya dan ketidak mampuan mahasiswa menemukan satu gagasan dan masalah untuk bahan penulisan skripsi atau penulisan lainya.

e. Konsep Memiliki Buku

Buku merupakan sumber pengetahuan sehingga buku tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar. Kurangnya mahasiswa untuk membeli buku karena mahasiswa menganggap dosen merupakan sumber pengetahuan yang utama. Maka dari itu ketika mahasiswa mendapat tugas sering mengeluh mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena mereka kurang membaca buku dan artikel sehingga tugas-tugas kuliah dianggap suatu beban yang berat. f. Kemampuan Berbahasa

Penguasaan bahasa yang memadahi baik struktur maupun kosakata sangat membatu seseorang untuk mengekpresikan gagasan dan perasaan atau mendiskripsikan masalah secara cermat. Kurangnya kemampuan dalam berbahasa Indonesia secara ilmiah akan mengakibatkan mahasiswa sering mengeluh bahwa mereka sukar untuk memahami suatu buku meskipun buku tersebut ditulis dalam bahasa Indonesia sehingga sering terjadi kesalahan persepsi.

3. Perilaku Belajar

Belajar adalah kegiatan yang sengaja dipilih secara sadar oleh setiap individu, karena seseorang mempunyai tujuan individu tertentu. Kesadaran mengenai hal ini sangat menentukan sikap dan pandangan belajar, yang akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang akan belajar. Menurut Suwarjono (http://www.com/upload/perilaku-belajar-di-perguruan-tinggi.pdf), perilaku belajar yang baik mencakup:

a. Kebiasaan mengikuti kuliah

Mahasiswa kebanyakan hanya datang, duduk, dengar dan catat. Kuliah adalah bentuk kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi. Kuliah sebagai forum untuk mendiskusikan pengetahuan.

b. Kebiasaan memantapkan kuliah

Proses belajar merupakan kegiatan yang terencana dan kuliah merupakan kegiatan untuk memperkuat pemahaman materi pengetahuan sebagai hasil kegiatan mandiri. Pada awal temu kelas mahasiswa telah menyiapkan diri sebelumnya. Sehingga mahasiswa telah memiliki bekal sebelumnya, dengan demikian fungsi kuliah menjadi sarana untuk lebih memahami apa yang sebelumnya meragukan.

c. Kebiasaan membaca buku

Buku adalah sumber pengetahuan yang harus dibaca yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar. Maka dari itu ketika mahasiswa mendapat tugas mereka sering mengeluh mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena mereka kurang membaca buku dan artikel sehingga tugas-tugas kuliah sering dianggap suatu beban.

d. Kebiasaan menyiapkan karya tulis

Wawasan dan pengalaman dosen didapat karena mereka telah mengalami proses belajar dan pergaulanya dengan para praktisi atau karena riset atau penelitian yang dilakukan. Mahasiswa yang sudah terbiasa menyerap pengetahuan yang telah dikunyahkan dosen tanpa masalah dan kontroversi. Tiba-tiba mahasiswa harus menguyah sendiri pengetahuan yang didapat dan harus menghadapi masalah dan kontroversi, serta harus menemukan satu gagasan dan masalah. Dengan demikian pengetahuan mahasiswa akan berkembang.

e. Kebiasaan menghadapi ujian

Nilai yang diperoleh peserta didik sebagai ukuran keberhasilan mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah itu sendiri. Bagi mahasiswa yang mempunyai tujuan individu yang jelas, tentu bukan nilai yang menjadi tujuan tetapi nilai merupakan konsekuensi dari proses belajar yang dilakukanya. Maka dari itu mahasiswa harus selalu belajar dan bukanya belajar pada waktu mau menghadapi ujian saja.

Kesalahan akan perilaku belajar inilah yang dapat menyebabkan mahasiswa stres dalam kuliahnya. Akibatnya semangat belajar akan menurun dan secara emosional mahasiswa kehilangan motivasi untuk belajar serta menurunya rasa percaya diri mahasiswa untuk kuliah. Situasi seperti inilah yang dapat menimbulkan kebosanan mahasiswa dalam

mengikuti aktivitas kuliah dan membuat mahasiswa tertekan dalam kuliahnya sehingga dapat menyebabkan mahasiswa stres dalam kuliah.

C. Pengertian Stres

Stres banyak digunakan untuk menjelaskan tentang sikap atau tindakan individu yang dilakukanya apabila ia menghadapi suatu tantangan dalam hidupnya dan dia gagal memperoleh respon dalam menghadapi tantangan itu. Terjadinya proses stres didahului adanya sumber stres (stresor) yaitu setiap keadaan yang dirasakan orang mengancam dan membahayakan dirinya.

Pengertian stres menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang disebabkan oleh faktor-faktor luar, stres berarti juga ketegangan. Stres adalah suatu kondisi dimana keadaan tubuh terganggu karena tekanan psikologis (http://id.wikipedia.org/wiki/Stres).

Stresor adalah rangsangan eksternal ataupun internal yang memunculkan gangguan keseimbangan pada individu. Secara sederhana istilah stres dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana individu dituntut berespon adaptif. Stres menuntut pola respon individu, karena peristiwa, rangsangan atau hal yang mengganggu keseimbangannya. Stres merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, bahkan stres merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Walaupun cukup mengganggu, stres tidak perlu selalu dilihat sebagai hal negatif. Dalam hal tertentu stres memiliki implikasi positif. Eustres adalah stres yang berdampak positif, yaitu

keadaan yang dapat memotivasi, berdampak menguntungkan (http://www.pulih.or.id/?lang=&page=self&id=113). Stres dapat dialami seseorang apabila :

a. Adanya kejadian-kejadian signifikan, misalnya: kematian anggota keluarga, perceraian atau perpisahan, dipecat, gagal melakukan hal penting dan lain sebagainya.

b. Kesulitan hidup sehari-hari. Kesulitan hidup sehari-hari ternyata tidak dapat dianggap remeh, misalnya: bagaimana memperoleh uang yang cukup, hubungan sosial yang tidak mulus dengan teman ataupun tetangga dan lain sebagainya.

c. Ciri kepribadian juga dapat berperan. Orang yang sangat menyukai kompetisi, dan menuntut diri maupun orang lain untuk memenuhi standar pencapaian yang tinggi mungkin akan lebih mudah terkena stres yang terkait dengan penyakit.

d. Faktor situsional juga tidak dapat dilupakan. Bila kita diperlakukan diskriminasi atau penuh prasangka karena sesuatu hal yang berbeda dari diri kita, misalnya: agama, jenis kelamin, kelas sosial, etnis dan lain-lain. Kita dapat merasa tertekan dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi atau bekerja secara baik.

Menurut Hartono (2007:9), stres diidentifikasikan sebagai reaksi non-spesifik manusia terhadap rangsangan atau tekanan (stimulus stresor). Stres merupakan suatu reaksi adaptif, bersifat sangat individual, sehingga suatu stres bagi seseorang belum tentu sama tanggapanya. Bagi sementara orang, stres dapat menggambarkan keadaan psikis yang telah mengalami berbagai tekanan yang melampoi batas ketahanannya. Sementara orang lain mengatakan stres hanya berhubungan dengan kondisi-kondisi psikologis dan emosi seseorang.

Menurut Hartono (2007:9), secara umum faktor penyebab stres digolongkan menjadi beberapa kelompok berikut :

a. Tekanan fisik : kerja otot atau olah raga yang berat, kerja otak yang terlalu lama dan sebagainya.

b. Tekanan psikologis : hubungan suami istri atau orang tua anak, persaingan antara saudara atau teman kerja, hubungan sosial lainya, etika moral, dan sebagainya.

c. Tekanan sosial ekonomi : kesulitan ekonomi, rasialisme, dan sebagainya.

1. Tipe Stres Psikologis

Orang berespon terhadap stres secara keseluruhan, sehingga tidak dapat membedakan bentuk-bentuk stres. Stres biologis, misalnya adanya infeksi bakteri akan berpengaruh terhadap emosi kita. Bisa pula stres psikologis, misalnya kegagalan kerja, sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan fisik (http://www.pulih.or.id/?lang=&page=self&id=113). Meski demikian dapat disebutkan beberapa tipe stres psikologis, yang sering terjadi bersamaan.

a. Tekanan. Kita dapat mengalami tekanan dari dalam maupun luar diri, atau keduanya. Ambisi seseorang bersumber dari dalam, tetapi kadang dikuatkan oleh harapan-harapan dari pihak luar.

b. Konflik. Konflik terjadi ketika kita berada di bawah tekanan untuk berespon simultan terhadap dua atau lebih kekuatan-kekuatan yang berlawanan.

1) Konflik menjauh-menjauh: individu terjerat pada dua pilihan yang sama-sama tidak disukai. Misalnya seorang mahasiswa yang sangat malas belajar, tetapi juga enggan mendapat nilai buruk.

2) Konflik mendekat-mendekat. Individu terjerat pada dua pilihan yang sama-sama diinginkanya. Misalnya ada acara seminar sangat menarik untuk diikuti, tetapi pada saat yang sama ada film sangat menarik untuk ditonton.

3) Konflik mendekat menjauh. Terjadi ketika individu terjerat dalam situasi dimana ia tertarik sekaligus ingin menghindar dari situasi tertentu. Ini adalah bentuk konflik yang paling sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus sulit diselesaikan. Misalnya ketika pasangan berpikir apakah akan segera memiliki anak atau tidak. Memiliki anak sangat diinginkan karena pasangan dapat belajar menjadi orang dewasa yang sungguh bertanggung jawab. Di sisi lain ada tuntutan finansial, waktu, dan lain sebagainya.

c. Frustasi. Frustasi terjadi ketika motif atau tujuan kita mengalami hambatan dalam pencapaianya.

1) Bila kita telah berjuang keras dan gagal, kita mengalami frustasi.

2) Bila kita dalam keadaan terdesak dan buru-buru, kemudian terhambat untuk melakukan sesuatu, misalkan jalanan macet kita juga dapat merasakan frustasi.

3) Bila kita sangat memerlukan sesuatu, (misalkan lapar dan membutuhkan makanan) dan sesuatu itu tidak dapat diperoleh, kita juga mengalami frustasi.

2. Indikator Stres

Stres dapat menampilkan diri melalui berbagai gejala (http://www.pulih.or.id/?lang=&page=self&id=113), seperti:

a. Yang paling umum adalah meningkatnya kegelisahan, ketegangan, kecemasan.

b. Seseorang mengalami sakit kepala, atau sakit fisik lain.

c. Ketegangan otot, gangguan tidur, meningkatnya tekanan darah dan detak jantung.

d. Perubahan perilaku: individu menjadi tidak sabar, lebih cepat marah, perubahan pola makan (kehilangan selera atau bahkan terus menerus makan).

e. Kelelahan, kondisi fisik menurun.

f. Merasa frustasi, tak berdaya, menjadi depresi.

g. Masalah atau gangguan hubungan sosial dengan teman atau orang lain: curiga, cepat tersinggung, sering berbeda pendapat atau berselisih paham dan lain sebagainya.

3. Pengelolaan dan Penanggulangan Stres

Pengelolaan dan penanggulangan terhadap stres setiap orang berbeda-beda. Namun tujuan pengelolaan dan penanggulangan stres memiliki maksud yang sama yaitu menghilangkan perasaan tidak enak yang dirasakan sebagai akibat stres. Hartono (2007:18) mengatakan bahwa usaha pengelolaan dan penanggulangan stres menurut sifatnya dibagi tiga, yaitu :

a. Psikologis, melalui pendidikan kepribadian untuk mengubah pengertian (persepsi) dan pandangan hidup; latihan relaksasi; serta psikoterapi.

b. Obat (medis), melalui pemberian obat anti cemas.

Secara psikologis manusia berespon terhadap stres sesuai dengan persepsi dan proses pembelajaran yang telah diterimanya (http://www.pulih.or.id/?lang=&page=self&id=113).

a. Menghindari pengembangan mekanisme pertahanan diri yang kaku. Mekanisme ini berkembang saat seseorang menghayati perasaan cemas dan tidak aman, sekaligus memunculkan perasaan bersalah.

b. Menarik diri atau menghindar bila masalah sudah tidak dapat ditanggulangi. Dilakukan hanya dalam kasus-kasus tertentu saja, dan diterapkan secara sementara.

c. Melatih asertifitas. Individu dikatakan bersikap asertif bila mampu berhubungan sosial dengan orang lain jujur, menyatakan sikap dan pandangan secara tegas dan terbuka, tetapi juga menghormati orang yang dihadapinya.

d. Kompromi, negosiasi, dan subtitusi. e. Mengubah gaya hidup.

Menurut Hartono (2007:13) stres sebenarnya reaksi alamiah yang berguna, karena stres merupakan impuls kemampuan seseorang untuk mengatasi kesulitan atau problem kehidupan.

a. Subtitusi (Pengganti)

Apabila sesuatu yang seseorang inginkan tidak dapat di capai atau dilaksanakan, orang tersebut dapat mencari pengganti atau alternatif lain yang seseorang tersebut mampu. Tindakan seperti ini merupakan metode menghilangkan stres secara sehat. Seseorang mau dan mampu melihat banyak bidang lain yang masih dapat ditekuninya dalam hidup.

b. Kegiatan Jasmani

Untuk menghilangkan stres dalam pikiran, atau melepaskan rasa frustasi dan emosi penyebab stres. Maka carilah kegiatan ringan untuk melepas rasa frustasi dan emosi tersebut. Kegiatan yang dapat kita hadapi misalnya berkebun, mencuci mobil atau motor

Dokumen terkait