• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketersediaan dan Konsumsi Pangan

Persoalan persaingan antara pertumbuhan penduduk dan produksi pangan telah menjadi perhatian sejak dulu. Pada tahun 1798, Thomas Robert Malthus telah mempredikasi bahwa dunia akan menghadapi ancaman karena ketidakmampuan mengimbangi pertumbuhan penduduk dengan penyediaan pangan memadai. Teori Malthus menyatakan peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung dan pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sehingga manusia pada masa depan akan mengalami ancaman kekurangan pangan.

Jumlah penduduk dunia terus bertambah. US Census Bureau

memperkirakan tahun 2010 penduduk di Asia Pasific mencapai 4 milyar. Pertumbuhan penduduk yang pesat ini menuntut pemenuhan pangan yang sangat besar. US Census Bureau mencatat kebutuhan pangan biji-bijian (beras dan jagung) di Asia akan meningkat pesat dari 344 juta ton tahun 1997 menjadi 557 juta ton tahun 2010 (Subejo, 2011). Persoalan krisis pangan dunia yang ditandai kelangkaan pangan dan melonjaknya harga pangan di pasar internasional tahun 2008, salah satunya disebabkan oleh membumbungnya permintaan pangan oleh kekuatan ekonomi baru China dan India dengan penduduk masing-masing 1 milyar jiwa, rendahnya stok pangan dunia, dan banyaknya kejadian bencana alam seperti banjir, kekeringan dan badai yang terkait dengan adanya perubahan iklim global (Fatkhuri, 2008).

Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia termasuk pesat. Berdasarkan data BPS, pada tahun 1900 jumlah penduduk sekitar 40 juta, tahun 1970 menjadi 120 juta jiwa, tahun 1980 menjadi 147 juta jiwa, tahun 1990 menjadi 179 juta jiwa, tahun 2000 menjadi 206 juta, dan sensus penduduk terakhir tahun 2010 mencapai 237 juta jiwa. Selama kurun waktu 40 tahun telah terjadi peningkatan jumlah penduduk sebesar 117 juta jiwa

Pertambahan penduduk ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan pangan. Badan Ketahanan Pangan (BKP) menyebutkan 27,5% penduduk Indonesia terkena rawan pangan. Dengan rata-rata konsumsi beras per kapita di Indonesia sekitar 130 kilogram dan jumlah penduduk 237,6 juta jiwa, dibutuhkan sedikitnya 34 juta ton beras per tahun. Produksi dalam negeri sekitar 38 juta ton, sehingga hanya surplus 4 juta ton beras atau kurang untuk kebutuhan dua bulan.

Apabila tingkat kegagalan panen meluas dan produksi menurun, maka kebutuhan pangan tersebut tidak akan terpenuhi. Indonesia akan menjadi negara pengimpor beras paling besar di dunia. Rata-rata impor beras Indonesia selama tahun 2003 – 2007 adalah 2,6 ribu ton (Departemen Pertanian, 2009). Produksi beras Indonesia dari Tahun 1990-2009 mengalami peningkatan namun masih juga diikuti dengan impor beras sebagaimana Tabel 1.

Tabel 1. Data Produksi dan Impor Beras Tahun 1990-2009

Tahun Luas Panen

(000 Ha) Produktivitas (ton.Ha-1) Produksi Gabah (000 ton) Produksi Berasa) (000 ton) Impor Berasb) (ton) 1990 10.502 4,30 45.179 29.366 29.839 1991 10.282 4,35 44.689 29.048 178.880 1992 11.103 4,34 48.240 31.359 634.217 1993 11.013 4,38 48.181 31.318 - 1994 10.734 4,35 46.641 30.317 876.240 1995 11.439 4,35 49.744 32.334 3.014.204 1996 11.569 4,41 51.101 33.215 1.379.271 1997 11.141 4,43 49.377 32.095 456.176 1998 11.613 4,17 48.472 30.537 5.959.155 1999 11.963 4,25 50.866 31.118 4.698.382 2000 11.793 4,40 51.898 32.345 1.423.464 2001 11.415 4,39 50.181 31.283 386.861 2002 11.512 4,47 51.379 32.369 1.800.069 2003 11.477 4,54 52.078 32.809 1.805.380 2004 11.752 4,52 53.100 33.457 236.900 2005 11.839 4,57 54.151 34.075 68.800 2006 11.786 4,62 54.454 34.036 2007 12.147 4,71 57.157 36.009 2008 12.327 4,89 60.326 38.005 2009 12.842 4,97 63.840 40.219

Catatan :a) Faktor konversi adalah 0,63 sebelum tahun 1998 dan 0,61 setelah tahun 1998 b) Data beras impor Bulog dan Swasta (Bulog, 2006)

Sumber : Mustafril (2010)

Kebutuhan beras ini dipengaruhi oleh pola konsumsi makanan penduduk. Pola konsumsi makanan penduduk merupakan salah satu indikator sosial ekonomi masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan setempat. Konsumsi beras terdiri atas dua yaitu konsumsi beras rumah tangga dan konsumsi beras di luar rumah tangga. Konsumsi rumah tangga dibedakan atas konsumsi makanan maupun bukan makanan tanpa memperhatikan asal barang dan terbatas pada pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga saja, tidak termasuk konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha atau yang diberikan kepada pihak lain. Konsumsi di luar rumah tangga adalah konsumsi makanan yang berbahan baku beras yang diperoleh/dibeil di luar rumah tangga.

Di tingkat rumah tangga, berdasarkan hasil Susenas konsumsi beras cenderung menurun dengan laju penurunan selama 2002-2007 sebesar 2% per

15

tahun. Penurunan tertinggi terjadi pada tahun 2007 dimana konsumsi beras rumah tangga turun sebesar 5,4% yaitu dari 96,41 kg/kapita/tahun turun menjadi 91,2 kg/kapita/tahun. Pada tahun tersebut, terjadi kenaikan peningkatan konsumsi tepung terigu. Diduga penyebab penurunan konsumsi beras adalah tepung terigu dan olahannya seperti mie instan, roti, mie basah dan makanan berbasis tepung terigu (Departemen Pertanian, 2009).

Konsumsi beras per kapita per tahun Indonesia meningkat nyata yaitu 109 kg (1970), 122 kg (1980), 149 kg (1990), 114 kg (2000), dan 135 kg (2007) bahkan berdasarkan pada konsumsi energi yang sesuai dengan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional, konsumsi beras mencapai 140 kg/kapita/tahun atau mendekati konsumsi beras nasional 139,15 kg/kapita/tahun adalah sangat besar jika dibandingkan dengan negara lainnya di Asia. Konsumsi beras di Jepang hanya 60 kg/kapita/tahun, sedangkan di Malaysia konsumsi beras hanya 80 kg/kapita/tahun (Nurwadjedi, 2011).

Beberapa negara berkembang selama tahun 1970an melakukan impor untuk mensubstitusi produksi pangannya dalam mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Untuk mencapai kecukupan pangan biasanya dilakukan dengan memperluas luas areal panen sehingga produksi panennya meningkat. Meskipun demikian, permasalahan peningkatan produksi untuk kecukupan pangan menjadi kontroversial, dan kecukupan pangan ini sering disebut sebagai salah satu varian dari konsep ketahanan pangan yang implikasinya pada aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap kebutuhan pangan pokok. Kecukupan pangan sebagai tujuan pembangunan didasari pada berbagai persepsi termasuk keinginan untuk memperoleh dan mengontrol penyediaan pangannya sendiri, mencegah eksploitasi pasar internasional, dan mencegah kemerosotan perdagangan hasil panen. Lebih dari itu, kecukupan pangan mungkin berpengaruh pada inefisiensi alokasi sumber daya pertanian yang produktif jika produksi pangan domestik tidak selaras dengan keunggulan komparatif suatu negara (Hassan et al., 2000).

Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia ditegaskan dalam UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan PP No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Hak atas pangan merupakan bagian penting dari hak asasi manusia seperti yang dituangkan dalam Universal Declaration of Human Right. Pada KTT 1996 di Roma, para pemimpin negara dan pemerintah telah mengikrarkan kemauan politik dan komitmennya untuk mencapai ketahanan pangan dan melanjutkan upaya penghapusan kelaparan di semua negara anggota.

Ketahanan pangan (food security) adalah kondisi pemenuhan kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau. Suryana dalam Riadi (2007) menggambarkan ketahanan pangan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yang aling berinteraksi yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi, dan sub sistem konsumsi. Ketersediaan dan konsumsi memungkinkan setiap rumah tangga memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggotanya. Ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Kecukupan pangan mencakup segi kuantitas dan kualitas, agar rumah tangga dapat memenuhi kecukupan pangan tersebut berarti rumah tangga harus memiliki akses memperoleh pangan baik dari produksi sendiri maupun membeli dari pasar (Riadi, 2007).

Berbagai substansi yang menjadi komponen ketahanan pangan mulai dari sub sistem penunjang yang meliputi prasarana, sarana dan kelembagaan, kebijakan, pelayanan, dan fasilitas pemerintahan, sub sistem ketersediaan pangan yang meliputi produksi, impor, dan cadangan pangan; sub sistem konsumsi yang mendorong tercapainya keseimbangan gizi masyarakat merupakan bidang kerja berbagai sektor. Sektor pertanian diharapkan berperan sentral dalam memantapkan ketahanan pangan.

Secara konsep kedaulatan pangan (food sovereignity) lebih luas cakupannya dibandingkan dengan konsep ketahanan pangan (food security).

Dalam konsep ketahanan pangan yang pertama kali diperkenalkan oleh FAO tidak mempersoalkan siapa yang memproduksi pangan, dari mana produksi pangan tersedia. Dari sisi umur, konsep kedaulatan pangan (sovereignity of food)

masih relatif baru. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh organisasi petani internasional bernama La Via Campesina pada World Food Summit (WFS), November 1996 di Roma. Menurut La Via Campesina, konsep ketahanan pangan FAO dan lembaga internasional lain itu merugikan negara berkembang.

Kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak rakyat untuk menentukan kebijakan dan strategi mereka sendiri atas produksi, distribusi, dan konsumsi pangan yang berkelanjutan yang menjamin hak atas pangan bagi seluruh penduduk bumi, berdasarkan produksi yang berskala kecil dan menengah,

17

menghargai kebudayaan mereka sendiri dan keberagaman kaum tani, kaum nelayan dan bentuk-bentuk alat produksi pertanian, serta menghormati pengelolaan dan pemasaran di wilayah pedesaan. Jadi, kedaulatan pangan merupakan prasyarat dari sebuah keamanan pangan (food security). Keamanan pangan baru akan tercipta kalau kedaulatan pangan dimiliki oleh rakyat. Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi setiap bangsa dan rakyat untuk bisa memiliki hak dan menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal dan perdagangan di tingkat wilayah (Pasaribu, 2007).

Perlindungan Lahan Pertanian

Perlindungan terhadap lahan pertanian merupakan hal yang akan terus dibicarakan selama laju konversi lahan pertanian ke nonpertanian tinggi. Kebijakan untuk merencanakan kebutuhan lahan pertanian untuk 25-50 tahun yang akan datang harus segera dilakukan walaupun ketersediaan lahan pertanian di waktu sekarang masih mencukupi.

Menurut Passour (1982) ada beberapa alasan perlunya perlindungan lahan pertanian antara lain: a) Lahan pertanian harus dilindungi untuk memastikan kecukupan pangan sesuai dengan tingkat permintaan akibat pertumbuhan penduduk nasional dan dunia, b) Fungsi lingkungan, lahan pertanian menjadi ruang terbuka hijau, c) Menata perkembangan wilayah urban, zoning disarankan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dengan memproteksi kegiatan pertanian dari pembangunan pemukiman dan industri, d) Fungsi ekonomi yaitu menjaga agar ekonomi lokal yang berasal dari industri pertanian dapat terjaga.

Perlindungan lahan pertanian telah dilakukan oleh beberapa dunia sejak lama bahkan di negara Eropa Barat telah dilakukan setelah Perang Dunia II berakhir. Berikut ini beberapa negara yang telah sukses dalam pelaksanaan perlindungan lahan pertaniannya (Jacobs, 1997).

a. Canada – Ontario

Di Provinsi Ontario, alat yang digunakan dalam melindungi lahan

pertaniannya adalah “Pedoman Lahan Pangan”. Peraturan ini dikeluarkan oleh

legislatif tingkat provinsi tahun 1978. Pedoman ini diterjemahkan dengan zoning yang dilakukan bersamaan dengan sistem yang berhirarki. Lokal zoning dan

regulasi lahan harus dapat diterapkan pada perencanaan lokal, dan rencana lokal tersebut harus sesuai dengan rencana regional.

Berdasarkan Pedoman Lahan Pangan tersebut, maka dipilihlah lahan pertanian potensial untuk diidentifikasi sebagai penggunaan lahan pertanian. Ekspansi perkotaan untuk pemukiman di kota dan desa dipisahkan pada katagori yang berbeda. Kriteria lahan pertanian potensial adalah: 1) Seluruh lahan yang mempunyai kemampuan berproduksi tinggi berdasarkan pada tanah atau iklim, 2) Seluruh lahan pada kelas tanah 1, 2, 3 dan 4 menurut Kelas Kemampuan Lahan Kanada, 3) Wilayah tambahan yang memiliki karakteristik untuk budi daya pertanian dalam waktu yang lama, 4) Wilayah yang memiliki pasar lokal yang berpengaruh pada kelangsungan budi daya pertanian.

b. Amerika Serikat – Oregon

Perlindungan lahan di Oregon menggunakan tiga cara yaitu (1) perencanaan lokal (2) zoning, dan (3) pembatasan perkembangan perkotaan. Pembatasan ini menahan penggunaan lahan untuk perkotaan pada batas tertentu. Hasilnya adalah mengurangi tekanan pasar pada lahan pertanian sehingga pembatasan perkembangan kota ini secara tidak langsung memproteksi lahan pertanian semantara perencanaan lokal dan zoning melindungi lahan secara langsung. Pada kedua cara tersebut diketahui lokasi lahan pertanian, dan aturan-aturan untuk menjaga lahan tersebut agar selalu digunakan sebagai lahan pertanian.

c. Jepang

Perlindungan dilakukan pada harga beras. Pembatasan pada beras impor dan harga jual yang tinggi untuk produk beras lokal sehingga menyebabkan harga tanah yang tinggi untuk lahan pertanian padi. Jepang mempunyai sejarah yang panjang dalam perencanaan. Berawal dari diterbitkannya UU Perencanaan Kota pada tahun 1919 yang bertujuan untuk mencegah urban sprawl atau inflasi harga tanah pada saat ledakan ekonomi pada tahun 1950. Pada tahun 1960 –

1970 harga tanah nonpertanian membumbung tinggi, namun mulai tahun 1960an harga tanah pertanian mendekati harga tanah nonpertanian. Ini terjadi sejak dikeluarkannya peraturan tentang pembangunan pemukiman, harga tanah, dan tata ruang nasional. Negara diatas hanya sebagian kecil dari negara-negara yang telah melaksanakan perlindungan terhadap lahan pertaniannya. Pada Tabel 2 berisi perbandingan pelaksanaan perlindungan lahan pertanian di berbagai negara (Jacobs, 1997).

19

Tabel 2. Perbandingan Pelaksanaan Perlindungan Lahan Pertanian di Berbagai Negara Negara Sistem

Perencanaan

Alat Perlindungan Harga Tanah=Harga Penggunaan Kompensasi Alasan Perlindungan Tingkat Implementasi Struktur Administrasi

Sukses Jangka Panjang

Canada- British Columbia

Komprehensif Cadangan Lahan

Pertanian Tidak diketahui Pendapatan, dan pensiun bagi pekerja pertanian Produksi pangan dan estetika Integrasi provinsi/lokal zoning dan review

Zoning oleh pemerintah lokal, review oleh provinsi

Tidak ada penelitian. Jangka pendek sukses

Canada- Ontario

Komprehensif Zoning Tidak dipakai Tidak dipakai Konservasi Lahan

Pangan

Lokal ke provinsi Desentralisasi

zoning

Insubstansi

Canada-PEI Berdiri sendiri Membeli lahan

umum

Tidak Tidak diketahui Proteksi Industri

Pertanian

Provinsi Korporasi Sangat sukses

Canada –

Quebec

Berdiri sendiri Zoning Pertanian

Eksklusif

Tidak dipakai Tidak dipakai Kecukupan

pangan

Regional/Provinsi Komisi pertanian

independen

Sukses dalam kontrol pembangunan pedesaan, dan mencegah spekulasi

Perancis Sistem Independen (beberapa) Bank Tanah Pertanian, dan Zoning

Ya Tidak diketahui Menjaga sistem

produksi pertanian

Regional Komplek Kelihatan sukses dalam spekulasi dan

proteksi lahan pertanian

Jepang Komprehensif Larangan impor

(menjaga harga pertanian lokal)

Tidak dipakai Tidak dipakai Kecukupan

pangan Kebijakan impor nasional, kontrol di regional Pada 3 tingkatan, namun kekuasaan di tingkat regional

Kelihatannya sukses dalam

mempromosikan pertanian, tapi tidak jelas untuk mengontrol urban sprawl

Belanda Komprehensif Zoning dan bank

tanah kota

Ya Ya Kecukupan

pangan

Kebijakan nasional, pelaksanaan di tingkat regional dan lokal

Nasional/regional/l okal. Top down

Sangat sukses melindungi lahan pertanian dan meningkatkan produksi pangan

Swedia Komprehensif Zoning dan bank

tanah kota

Tidak diketahui

Tidak diketahui Kecukupan

pangan dan estetika

Regional 3 tingkatan,

kekuasaan di level tengah

Sangat sukses melindungi lahan pertanian dan meningkatkan produksi pangan

UK Komprehensif Ijin pembangunan

dan pengembangan

Tidak dipakai Tidak dipakai Kecukupan

pangan dan memelihara bentang perdesaan

Lokal Panduan dari atas,

kekuasaan pada lokal Sangat sukses Amerika Serikat – New York

Berdiri sendiri Bottom up distrik

pertanian

Tidak dipakai Tidak dipakai Urban sprawl Lokal Distrik pertanian Hasil bermacam-macam

Amerika

Serikat –

Oregon

Komprehensif Tujuan

negara-Perencanaan Lokal

Tidak dipakai Tidak dipakai Urban sprawl Kerjasama Komisi dan

rencana lokal

Sangat sukses

Amerika

Serikat –

Wisconsin

Berdiri sendiri Keuntungan Pajak

Tanah

Tidak dipakai Tidak dipakai Memelihara

pertanian dan memperlambat

urban sprawl

Insentif negara, rencana lokal

Insentif negara Sedikit berdampak pada konversi

lahan

Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Indonesia

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan merupakan salah satu kebijakan Pemerintah dalam mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian khususnya sawah di Indonesia. Pada UU tersebut disebutkan bahwa Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

Lahan pertanian itu bukan dalam artian statis pada satu kawasan namun lebih pada pemahaman dinamis yang dilihat dari kebutuhan dan kemampuan dalam menjamin dan mencukupi ketahanan pangan rumah tangga, wilayah dan nasional, serta kesejahteraan petani yang berusaha di atasnya. Dari batasan tersebut, terlihat bahwa suatu hamparan lahan ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan, atau lahan yang tetap dipertahankan untuk kegiatan pertanian, merupakan hasil kesepakatan dari pihak-pihak terkait, terutama menyangkut ketahanan pangan pada berbagai tingkatan dan kesejahteraan petani yang berusaha di atasnya, serta kesepakatan mengenai satuan waktu tertentu lahan tersebut dipertahankan sebagai lahan pertanian.

Pewilayahan komoditas adalah contoh penetapan wilayah perencanaan/pengelolaan yang berbasis pada unit-unit wilayah homogen. Suatu pewilayahan komoditas pertanian harus didasarkan pada kehomogenan faktor alamiah dan non alamiah. Konsep pewilayahan komoditas pertanian diawali oleh kegiatan evaluasi sumber daya alam seperti evaluasi kesesuaian lahan atau kemampuan lahan. pemilihan komoditas yang akan diproduksi selanjutnya didasarkan atas sifat-sifat nonalamiah, seperti jumlah penduduk, pengetahuan, keterampilan, kelembagaan petani, pasar dan lain-lain (Rustiadi et al., 2009).

Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan/atau hamparan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Pemetaan KP2B dapat dilakukan dengan delineasi visual. Ada 3 cara dalam melakukan delineasi yaitu berdasarkan batas administrasi, spatial contiguity, dan maximun

coverage. Masing-masing mempunyai keunggulan dan kekurangan. Berdasarkan

21

dan pemetaan yang paling memungkinkan untuk kawasan adalah berdasarkan

spatial contiguity. Dengan pendelineasian menggunakan spatial contiguity ini, kawasan potensial yang terbentuk tidak sebanyak berdasarkan batas administrasi, dan luasan hamparan tidak terlalu luas dibandingkan maximum

coverage sehingga pembangunan infrastruktur pendukung pertanian seperti

jaringan irigasi dan jaringan jalan dapat lebih optimal. Dari skala luasan, secara ekonomi lebih layak untuk diusahakan. Kekurangan model ini adalah pengelolaan kawasan cukup sulit karena berada dalam 2 - 3 wilayah administrasi kecamatan, sehingga membutuhkan koordinasi yang baik antar wilayah.

Sifat spatial contiguity (kontiguitas spasial), memiliki pengertian bahwa tiap-tiap wilayah yang didefinisikan satu sama lainnya cenderung bersifat bersebelahan secara kontinyu sehingga secara agregat menjadi suatu kesatuan yang kontigus (contigous) atau saling mempengaruhi. Kontigus merupakan karakter yang melekat dari wilayah karena pada dasarnya tidak ada wilayah yang bersifat bebas atau independen, terbebas dari pengaruh wilayah lainnya. Oleh karenanya, aspek interaksi spasial atau keterkaitan spasial antarwilayah merupakan bahasan sangat penting dalam ilmu wilayah. Di dalam proses-proses pewilayahan, kesatuan atau kesinambungan hamparan yang sangat dikehendaki. Wilayah-wilayah yang berkesinambungan secara spasial akan mempermudah pengelolaan, sebaliknya wilayah yang terfragmentasi akan menciptakan berbagai bentuk inefisiensi (Rustiadi et al., 2009).

Kriteria Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Dalam merencanakan dan menetapkan lahan pertanian pangan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan maka lahan tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Kesesuaian Lahan

LP2B yang ditetapkan adalah lahan yang memiliki kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (S1), sesuai (S2), dan agak sesuai (S3). Evaluasi lahan merupakan suatu pendekatan atau cara untuk menilai potensi sumber daya lahan. Hasil evaluasi lahan ini akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan yang diperlukan, dan akhirnya nilai harapan produksi akan diperoleh (Djaenuddin et al., 2003). Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu (Ritung et al., 2007). Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini, dalam keadaan alami tanpa

ada perbaikan (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial).

Klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dilakukan secara kualitatif atau kuantitatif, tergantung dari kelengkapan data yang tersedia. Kerangka sistem klasifikasi dibagi menjadi 4 (empat) kategori yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas dan Unit. Ordo menunjukkan kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan lahan yang tidak sesuai

(N=Not Suitable). Kelas menunjukkan tingkat kesesuaian lahan suatu lahan,

pada klasifikasi ini digolongkan menjadi Kelas S1 (Highly Suitable), S2 (Moderately Suitable), S3 (Marginally Suitable), N1 (Currently Not Suitable) dan

N2 (Permanently Not Suitable) (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Kelas S1 : Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata. Kelas S2 : Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Kelas S3 : Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta. Kelas N, lahan yang karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi. Sub kelas menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas sementara unit menunjukkan perbedaan–perbedaan kecil yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub kelas.

Menurut Ritung (2007) berdasarkan tingkat detil data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N).

23

b. Ketersediaan infrastruktur

Infrastruktur pendukung yang dibutuhkan oleh pertanian khususnya tanaman pangan adalah prasarana jaringan irigasi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Tahun 2005 dari total luas lahan irigasi fungsional yang ada jaringan utama seluas 5,7 juta ha, sawah yang sudah optimal seluas 4,8 juta ha dan sawah yang belum optimal seluas 0,36 juta ha. Jumlah jaringan irigasi dalam kondisi tidak berfungsi penuh diperkirakan mencapai 70%. Kondisi ini mengakibatkan permanfaatan lahan sawah menjadi berkurang atau menurunkan indeks pertanaman dan bahkan dibeberapa tempat menjadi pendorong untuk alih fungsi lahan sawah menjadi lahan nonsawah, baik untuk pertanian bukan sawah maupun untuk lahan nonpertanian (Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, 2007). Jaringan irigasi yang tidak berfungsi penuh tersebut diakibatkan oleh rusaknya jaringan irigasi. Kerusakan ini terutama diakibatkan banjir dan erosi, kerusakan sumberdaya alam di daerah aliran sungai, bencana alam serta kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi hingga ke tingkat usaha tani.

Prasarana lain yang dibutuhkan adalah jalan khususnya jalan usahatani,

Dokumen terkait