• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hidrodinamika Muara Sungai

Berdasarkan bentuk geomorfologinya garis pantai, maka yang disebut muara sungai (estuaria) meliputi muara sungai semi tertutup (gobah), muara sungai dataran pesisir, muara sungai tipe tektonik, fjord, teluk dangkal. Menurut Nybakken (1992), muara sungai atau estuaria (aestus, air pasang) adalah lingkungan perairan pantai berbentuk teluk semi tertutup dan merupakan tempat terjadinya pertemuan dan percampuran air tawar dan air laut. Menurut Hutabarat dan Evans (1986), muara sungai merupakan daerah percampuran antara debit sungai dan air laut dengan salinitas lebih rendah dibandingkan perairan laut terbuka. Jadi definisi di atas memberi pengertian bahwa ada hubungan yang bebas dengan terjadinya percampuran massa air tawar dan air laut yang sangat kompleks (Chanlett et al. 1980; Nybakken 1992). Densitas air tawar jauh lebih rendah dibanding air laut. Hal itu menyebabkan air tawar terapung di atas permukaan air laut. Densitas berpengaruh terhadap gerakan massa air laut dan salinitas. Pengaruh massa air tawar yang keluar dari mulut ke laut pada waktu air laut surut menyebabkan salinitas rendah. Sebaliknya pada waktu air pasang, massa air laut masuk ke sungai menyebabkan salinitas meningkat (Nybakken 1992).

Menurut Morrisey (1995), perairan muara sungai terdiri atas tiga bagian: Bagian pertama adalah muara sungai yang berhubungan langsung dengan laut dan dipengaruhi oleh pasang surut harian. Bagian kedua adalah bagian tengah muara sungai dan merupakan tempat terjadinya percampuran massa air tawar dan air laut. Bagian ketiga muara sungai yang berhubungan langsung dengan laut terbuka. Sifat fisik, kimia dan biologis seperti salinitas, suhu, oksigen terlarut, sedimen dan biota sangat beragam sangat dan kompleks (Kennish 1990; Nybakken 1992). Muara sungai merupakan bagian mulut yang terletak di wilayah paling hilir. Mulut sungai berhubungan langsung dengan hidrodinamika air sungai serta air laut. Kondisi demikian sangat berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan biologis. Sungai berperan penting sebagai saluran pembuangan air hujan yang berlebihan di wilayah hulu. Oleh karena letaknya muara sungai berada di ujung hilir, maka debit air sungai lebih besar dibanding bagian hulu. Hal ini menyebabkan air sungai menyebar hingga puluh kilometer ke laut terbuka, sedangkan air laut yang memasuki

8

sungai dapat mencapai puluhan kilometer ke hulu. Hal ini tergantung topografi sungai dan debit air sungai. Tipe pasang surut di wilayah muara Sungai Kahayan dan Katingan termasuh tipe pasang surut harian ganda dan cenderung ke harian tunggal (Tri Atmodjo 1999). Berdasarkan data ketinggian pasang surut di wilayah muara sungai Kahayan dan Katingan dapat mencapai perbedaan ketinggian lebih dari 3 m pada harian tunggal dan pada harian ganda dapat mencapai 1.5 m.

Keragaman salinitas air laut tergantung dengan besarnya debit sungai dan laut yang keluar masuk muara sungai. Selain itu, keragaman salinitas tergantung arus dan aliran sekunder yang dihasilkan. Oleh karena itu, kecepatan arus sungai dan laut berperan penting dalam pengaturan salinitas muara sungai. Percampuran massa air laut dan sungai dipengaruhi turbulensi, gelombang pasang, gesekan topografi dasar dan terjadinya wilayah (zona) keragaman salinitas (Nybakken 1992). Percampuran massa air sungai dan laut dihasilkan gradien salinitas bagi kelangsungan biota laut, yaitu oligohalin 3-15 ‰,

eurihalin 15-30 ‰ dan stenohalin > 30 ‰. Debit air sungai yang mengalir keluar dari mulut sungai menyebabkan salinitas permukaan air laut turun secara perlahan, sedangkan salinitas dibagian bawah lebih tinggi. Hal ini menyebabkan perbedaan penampang salinitas (isohalin) (Hutabarat dan Evans 1986; Nyabakken 1992).

Menurut Nyabakken (1992) dan Morrisey (1995) gradien salinitas dan proses per-campuran massa air tawar dan laut di wilayah estuaria terdiri atas tiga tipe:

1 Muara sungai (estuaria) positif dengan karakteristik debit air sungai lebih tinggi pada musim hujan. Secara vertikal salinitas dibagian atas lebih rendah dan dibagian dasar lebih tinggi. Perairan muara sungai demikian disebut estuaria positif (baji garam) (Gambar 2a). Percampuran massa air tawar dan laut terjadi di wilayah yang berhubungan langsung dengan laut terbuka. Percampuran massa air menghasilkan salinitas homogen secara vertikal dan berubah berdasarkan musim.

2 Muara sungai (estuaria) negatif dengan karakteristik debit sungai kecil dan disertai dengan curah hujan lebih rendah, kecepatan penguapan air laut lebih tinggi pada

musim kemarau (Gambar 2b). Kecilnya debit sungai menyebabkan air laut masuk ke dalam sungai hingga puluhan kilometer ke hulu. Hal ini menyebabkan massa air

laut keluar masuk sungai menyebabkan pengenceran air sungai sangat kecil. Air laut yang masuk sungai berada dibagian dasar sungai, sedangkan air tawar berada

9

dibagian permukaan. Apabila kecepatan penguapan tinggi menyebabkan air sungai hipersalin. Air hipersalin lebih berat dan tenggelam di dasar serta dilepas ke laut. 3 Muara sungai (estuaria) netral dengan karakteristik debit sungai dan laut dengan

penguapan berimbang (Gambar 2c).

Gambar 2 (a) Estuaria positif, (b) Estuaria negatif, (c) Estuaria netral (Morrisey 1995)

Menurut Pritchard (1967) dalam Kennish (1994) bahwa sirkulasi air laut di wilayah muara sungai terdiri atas empat tipe:

1 Tipe A: air estuaria baji garam (Salt wedge estuaries) dengan stratifikasi salinitas tinggi.

2 Tipe B: air estuaria muara tercampur sebagian (Partially mixed estuaries) dengan stratifikasi salinitas sedang (moderat).

3 Tipe C: air estuaria homogen secara partikal (Vertically homogeneous estuarine)

dengan gradien salinitas ke arah samping.

4 Tipe D: air estuaria homogen terpisah pisah (Sectionally homogeneous estuarine or Fjord,) dengan gradian salinitas membujur dan berhubungan dengan sirkulasi air laut serta tawar tertutup, sehingga salinitas berubah ke segala arah.

Menurut Duxbury dan Dexbury (1993) estuaria dapat bagi menjadi empat tipe: Tipe pertama disebut salt wedge estuaries dengan karakteristik massa air laut dan tawar tercampur oleh arus dasar sungai, stratifikasi densitas air laut lebih jelas, gradian salinitas terjadi secara vertikal, melintang atau membujur, tingkatan kekeruhan sangat tinggi. Tipe kedua disebut well mixed estuaries dengan karakteristik massa air tawar dan laut

10

tercampur oleh hembusan angin, arus pasang surut dan turbulensi, tidak terdapat stratifikasi densitas air laut, gradian salinitas terjadi secara melintang dan membujur dan tingkat kekeruhan tinggi. Tipe ketiga disebut partially mixed estuaries dengan karakteristik massa air laut tercampur karena hembusan angin, arus sungai, pasang surut, air laut tercampur secara vertikal dari bawah ke atas, tidak terdapat stratifikasi densitas air laut, gradien salinitas terjadi secara melintang atau vertikal dan membujur dan tingkat kekeruhan sedang. Tipe ke empat disebut fjord dengan karakteristik massa air laut dan tawar tercampur oleh hembusan angin, arus sungai, pasang surut, salinitas bagian dasar lebih homogen dan tetap, percampuran massa air laut dan tawar terjadi secara verikal dari lapisan atas ke dasar, stratifikasi densitas air laut terjadi di lapisan permukaan.

Menurut Tri Atmodjo (1999) perairan estuaria di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh pasang surut air laut harian dengan tipe:

1 Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide) dengan karakteristik dua kali air pasang dan dua kali surut sehari dengan tinggi yang hampir sama antara pasang surut. Kejadian pasang surut terjadi secara berurutan (Gambar 3a). Periode pasang surut rata-rata 12 jam 24 menit. Tipe pasang surut demikian terjadi di Selat Malaka dan Laut Andaman (Gambar 4).

2 Pasang surut harian tunggal (diurnal tide) dengan karakteristik satu kali pasang dan satu kali surut dalam sehari (Gambar 3b). Periode pasang terjadi selama 24 jam 50 menit. Tipe pasang surut demikian terjadi di selat Karimata (Gambar 4).

Gambar 3 Tipe pasang surut di wilayah Indonesia (Tri Atmodjo 1999)

3 Pasang surut campuran cenderung keharian ganda (mixed tide prevailing semi diurnal) dengan karakteristik dua kali air pasang dan dua kali surut sehari. Ketinggian

11

kedua pasang berbeda (Gambar 3c). Tipe pasang surut demikian terjadi di wilayah Indonesia Timur (Gambar 4).

4 Pasang surut campuran cenderung ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal) dengan karakteristik sekali pasang dan sekali air surut. Hal demikian dapat terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi berbeda (Gambar 3c). Tipe pasang surut demikian terjadi di perairan Kalimantan dan utara Jawa Barat (Gambar 4).

Gambar 4 Tipe sebaran pasang surut di perairan laut Indonesia

Keragaman salinitas air di muara sungai berpengaruh terhahap proses pengaturan tekanan osmosis biota laut. Curah hujan bulanan dan musiman sangat dipengaruhi salinitas muara sungai (Laevastu dan Hela 1970). Perairan muara sungai merupakan wilayah yang kaya unsur hara dengan produktifitas tinggi. Hal ini terjadi karena makanan alami biota laut tersedia (Valiela 1995). Menurut Amin dan Nugroho (1992), spesies ikan laut pada musim barat kebanyakan bergerombol dilapisan permukaan laut antara kedalaman 0-100 m dan bermigrasi ke pantai. Penyebaran ikan di perairan muara sungai dipengaruhi oleh suhu air, salinitas, oksigen terlarut, pH, sedimen, jenis biota yang menjadi pakan alami dan kecerahan air (Laevastu dan Hela 1970; Collier et al. 1973; Cerri 1983; Wootton 1984). Selain itu, penyebaran ikan di wilayah muara sungai tergantung dengan hidrodinamika air sungai dan laut (Jenkins dan Black 1994). Sebaran ikan di wilayah muara sungai relatif berbeda dan tergantung spesies, ikan air tawar menempati kolom air lapisan atas, spesies ikan laut menempati kolom air bagian bawah, spesies ikan estuaria menempati kolom air payau (front) (Kingsford dan Suthers 1994). Arus air pasang laut berperan penting dalam penyebaran salinitas, biota laut, padatan tersuspensi dan terlarut.

12

Pencemaran Perairan Muara Sungai Sumber Pencemaran

Kegiatan manusia (antropogenik) adalah salah satu sumber pencemaran perairan muara sungai dan laut (Kennish 1992; Firor 1995; Dara 1997). Pertambangan, pertanian, perkotaan, transportasi dan bahan bakar fosil merupakan sumber penceraman zat kimia (Kennish 1992; Laevastu 1993; Kumar dan Hader 1999). Kebakaran hutan merupakan sumber pencemaran udara (Firor 1995; Primack et al. 1995). Bahan pencemaran juga dapat terakumulasi dalam partikel padatan tersususpensi dalam air, permukaan sedimen dan biota laut (Mason et al. 1993; Konovalov 1994). Hg, Cd dan Pb merupakan zat pencemar yang sangat toksik terhadap biota laut. Cd dapat berasosiasi dengan Pb dan seng (Zn) dalam air laut (Lee et al. 1995). Zn merupakan mineral penting dalam enzim dalam jaringan tubuh biota laut yang dapat disubstitusi logam berat. Pb dapat hadir bersama sulfat (SO4). Kehadiran Cd dalam biota laut akan berinteraksi dengan kalsium (Ca), tembaga (Cu) dan besi (Fe). Cd berpotensi menghambat akumulasi mineral essensial (Zn, Ca, Cu) ke dalam sel jaringan tubuh biota laut. Batuan alam mengandung Cd 0.03 ppb, air laut rata-rata mengandung sekitar 0.1 ppb, tanah rata-rata mengandung 4.5 ppb Cd (Lee et al. 1995). Kegiatan pertambangan menyebabkan lapisan tanah dan batuan yang mengandung Cd dan Pb tererosi. Menurut Dara (1997), tanah mengandung 0.002-0.03 μg/m3 Cd. Kegiatan pembersihan logam mulia dapat menyebabkan Pb dan Cd larut ke dalam air. Limbah perkotaan dan pupuk fosfat (PO4) mengandung Hg, Cd dan Pb. Industri keramik, cat, pipa PVC menggunakan Cd. Sabun, kertas, tinta printer dan pewarna tekstil mengandung Cd. Emisi gas hasil pembakaran bahan bakar fosil dan plastik mengandung 50% Cd (Lu 1995). Udara mengandung 1 nanogram/m3 Cd. Air tawar mengandung 1 μg/l Cd. Air laut mengandung 10 mg/l Cd dan dapat membunuh ikan dalam waktu sehari. Air laut yang mengadung 2 mg/l Cd dapat membunuh ikan dalam waktu 10 hari (Dara 1997).

Pada masa lampau, limbah Hg salah satu pencemar global. Sekarang posisi Hg diganti oleh Pb. Jadi Pb salah satu pencemar global baru, karena penyebarannya sangat luas dipermukaan bumi. Tanah mengandung 5-25 mg/kg Pb berat kering, air tanah mengandung 0.001-0.006 mg/l Pb. Jadi kandungan Pb dalam tanah lebih tinggi dibandingkan air tanah. Batuan fosfat mengandung 15 mg/kg Pb (PbS = galena). Udara

13

mengandung 0.001 mg/m3 Pb dan disepanjang jalan raya sibuk mengandung Pb lebih tinggi. Debu dan tanah di sepanjang jalan raya yang sibuk mengandung 1000-4000 mg/kg Pb berat basah.

Hg adalah satu-satunya logam berbentuk cair. Hg dalam perairan bersumber dari kegiatan gunung berapi, tanah dan batuan. Hasil penelitian Fitzgerald dan Lyons (1975) menunjukkan bahwa lapisan permukaan laut Atlantik Barat Laut mengandung 3-8 ng/l Hg. Hg dalanm air laut berbentuk senyawa anorganik dan organik (Dara 1997). Penambangan emas, pembakaran bahan fosil (minyak bumi, batubara, gambut), pestisida, limbah perkotaan dan industri merupakan sumber Hg (Lu 1995). Insektisida, fungisida dan herbisida mengandung metil Hg, alkil Hg, fenil Hg dan HgCl2. Kegiatan manusia dan gunung merapi melepaskan sekitar 3000 ton/tahun Hg ke udara (Dara 1997). Batu bara muda mengandung 0.001-0.003 mg/kg Hg dan batu bara tua mengandung 0.0011-0.0027 mg/kg Hg, residu tars (kerak) cerobong asap pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batu bara mengandung 0.0019-0.0021 mg/kg Hg dan rata-rata 0.5200 mg/kg Hg. Kegiatan gunung berapi bawah laut menyumbang 5.000 ton Hg per tahun. Kegiatan industri menyumbang sekitar 1 juta kg Hg per tahun ke muara sungai dan laut (Dara 1997). Udara tidak tercemar mengandung 0.0001 mg/kg Hg, sedangkan udara disekitar tambang Hg mengandung sekitar 0.080 mg/kg Hg (Lu 1995). Kandungan Hg dalam air dan biota laut meningkat tajam apabila habitatnya tercemar oleh logam tersebut.

Pengaruh Pencemaran Logam Berat Terhadap Biota Muara Sungai

Ikan pada umumnya lebih sensitif terhadap pencemaran logam berat dibanding Crustacea dan biota bentik laut lainnya (Ward dan Young 1982 dalam Connell dan Miller 1995). Ikan Badukang dan Sembilang termasuk kelompok blackfish (catfish) yang lebih tahan terhadap perubahan lingkungan karena pencemaran dibanding ikan whitefish. Pencemaran perairan sungai, muara sungai dan laut salah satu ancaman yang harus ditangani secara serius. Karena sudah banyak kejadian yang membuktikan kegiatan manusia di darat dan laut mencemari perairan muara sungai, pantai dan laut. Limbah Hg, Cd dan Pb yang dibuang ke dalam air, sering menjadi sumber penyebab kematian biota laut. Hal ini terjadi karena toksisitas logam berat yang bersifat akut (letal). Namun limbah logam berat yang dibuang ke perairan laut, sering bersifat toksisitas kronis (subletal) dan tidak menyebabkan kematian biota laut secara langsung. Pengaruh toksisitas subletal

14

jarang terpantau oleh manusia, karena pengaruh baru muncul setelah beberapa tahun kemudian. Hal ini lebih berpeluang menyebabkan perubahan jaringan organ dalam tubuh ikan dan polimorfisme. Menurut Connell dan Miller (1990) dan Lu (1995), pengaruh toksisitas logam berat terhadap berbagai biota laut terjadi dalam waktu yang relatif lebih cepat dibanding manusia (>10 tahun). Kehadirannya logam berat secara berlebihan mengganggu keseimbangan ekosistem (Ogunfowokan et al. 2005). Hal ini diperlukan upaya pemantauan secara biologis dan kimia (Connell dan Miller 1995; Lu 1995). Pemantauan kandungan logam berat dalam air laut di wilayah muara sungai perlu dilakukan karena pengetahuan dan pengalaman kita masih terbatas mengenai ekosistem muara sungai serta bahayanya (Hutabarat dan Evans 1985). Jika air laut dan makanan ikan terpapar logam berat dalam rentang waktu lama, maka kandungan logam berat organ tubuh meningkat dalam biota (Connell 1990; (Dara 1997).

Sedimen, plankton, bentos, organ tubuh ikan mengakumulasi logam berat dalam air laut. Kegiatan mikroba dalam air dan sedimen merubah bentuk senyawa logam berat (metilasi). Metil logam berat senyawa logam paling toksik terhadap biota laut dan manusia. Senyawa logam berat ini memiliki tingkat kelarutan tinggi dalam air dan biota laut, sehingga mudah diserap dan diakumulasi organ tubuh biota laut. Penguraian dan pembebasan logam berat dalam sedimen dapat mencapai lebih dari 70 tahun. Selama selang waktu tersebut terjadi akumulasi logam berat yang berkelanjutan melalui kulit, insang, saluran pencernaan dan makanan. Pada selang waktu tersebut menyebabkan kematian biota laut dan gangguan terhadap ekosistem (Hutabarat dan Evans 1985). Padahal muara sungai berperan penting sebagai habitat biota laut (Strydom 2003). Akumulasi logam berat dalam sedimen berpotensi menyebabkan kematian telur dan anak biota laut serta fungsi ekosistem (Baran 2000).

Bentuk Logam Berat dalam Perairan

Logam berat tidak dapat larut dalam air laut, tetapi logam berat melepas ion ke- dalam air laut. Ion logam berat dalam air laut diserap oleh sel kulit, sel lamela insang, saluran pencernaan biota laut. Spesies organometal yang terakumulasi dalam jaringan organ tubuh biota laut dapat membentuk senyawa yang relatif stabil (Hawker 1995). Ion Cd2+ dalam air laut berasosiasi dengan ion klorida (Cl)-. Ion Cd dan Cl membentuk

15

senyawa sekitar 51% CdCl20, 39% (CdCl)+, 61% (Cd Cl3)- dan 2.5% Cd2+. Spesies Cd diakumulasi oleh partikel permukaan sedimen (Hawker 1995; Darmono 2001). Selanjutnya kandungan dan sifat senyawa Cd dalam air dapat berubah setiap waktu karena teroksidasi dan pencemaran. Sekitar 65-90% Cd yang terkandung dalam air laut terdiri atas ion dan senyawa kompleks. Ion dan semyawa kompleks tersebut diserap oleh biota laut.

Hg dalam air laut ditemukan dalam bentuk Hg2+, Hg (OH)2 dan HgCl2. Air laut mengandung Hg (OH)2 dan HgCl2 paling tinggi. Ion halida kompleks Hg dalam air laut dapat membentuk senyawa (HgCl4)2- yang lebih stabil dengan protein (-NH) dan senyawa humik yang mengandung sulfur (-S). Hg dalam air laut memiliki kemampuan membentuk senyawa anorganik melalui oksidasi reduksi (Lu 1995). Kegiatan mikroba anaerobik dalam sedimen dapat merubah Hg anorganik menjadi Hg organik secara gradual (Hughes dan Poole 1989; Dara 1997). Partikel bahan organik dalam sedimen menyerap Hg dalam air dan membentuk senyawa HgS atau HgS22- (Hawker 1995). Kegiatan mikroba Clostridium cochkarium di dalam sedimen menyebabkan Hg termetilasi dan membentuk monometil Hg (CH3-Hg) dan dimetil Hg (CH3–Hg–CH3) (Watras 1992; Mason et al. 1993; Gagnon et al. 1996; Golding et al. 2002; Key-Young Choe dan Gill 2003). Dimetil Hg dalam sedimen lebih stabil pada pH tinggi, tetapi tidak dapat dipisahkan dengan CH3Hg+ pada pH rendah dan keluar dari sedimen bersama air pori-pori. Metil Hg memiliki kelarutan tinggi dalam air dan biota laut. Dimetil Hg lebih mudah menguap pada waktu sedimen tidak tergenang air laut. Sekitar 50% metil Hg yang terkandung dalam air laut atau sedimen berupa senyawa anorganik (Dara 1997), sedangkan Pb dalam biota laut berupa senyawa timbal fosfat (Pb3(PO4)2 (Darmono 2001). Spesies Pb dalam air laut dapat membentuk senyawa PbCO30, Pb(CO3)22+, PbCl+ (Kennish 1992). Perubahan senyawa logam berat yang terakumulasi dalam biota laut sangat berpengaruh terhadap perkembangan sel jaringan.

Mekanisme Biokonsentrasi dan Jalur Akumulasi Logam Berat Faktor Biokonsentrasi

Kemampuan suatu jaringan organ tubuh biota laut mengakumulasi Hg, Cd dan Pb dalam air atau sedimen dapat dianalisis menggunakan faktor biokonsentrasi. Faktor biokonsentrasi adalah proses perpindahan logam berat dari air laut ke dalam jaringan biota laut hingga kepekatannya melebihi beberapa kali sumbernya. Proses biokonsentrasi logam berat dalam organ tubuh biota laut mencakup pemindahan unsur atau senyawa kimia dari

16

dalam air melalui jaringan insang, kulit dan saluran pencernaan makanan. Logam berat diserap dan diakumulasi diangkut sel darah dan menyebar melalui sirkulasi darah keseluruh organ tubuh biota. Pengangkutan logam berat oleh sel darah terjadi bersama dengan nutrisi dan oksigen. Jalur pengambilan logam berat dalam air laut oleh insang mirip dengan pengambilan oksigen dalam air. Penyarap logam berat oleh insang ikan melalui jalur yang sama dengan oksigen. Penyarapan logam berat oleh dinding saluran pencernaan ikan melalui jalur yang sama dengan zat makanan. Jadi setiap biota laut mempunyai mekanisme yang sama dengan penyebaran oksigen dalam biota laut (Connell 1995). Mekanisme penyerapan logam berat dalam air ke dalam organ tubuh biota laut dapat terjadi dengan cara difusi dengan permukaan sel jaringan organ tubuh biota (Hansch dan Fugita 1964 dalam Connell 1995). Kepekatan logam berat dalam organ tubuh biota laut berkaitan dengan laju penyerapan logam berat melalui insang, kulit dan saluran percernaan. Insang biota laut dapat menyerap oksigen dalam air laut melalui difusi menembus selaput (membran) lamela insang. Akumulasi logam berat dalam organ tubuh biota laut terjadi melalui mekanisme pengangkutan difusi aktif dan pasif. Ikatan logam berat dengan gugus metalothionin (sulfhidril -SH), nitrogen (-NH), karboksilat (-COOH) dan hidroksil (-OH) yang terdapat dalam organ tubuh biota laut akan membentuk kompleks Hg, Cd dan Pb. Ikatan ion logam berat dengan gugus fungsi dalam organ tubuh biota laut sangat tergantung dengan kecepatan penyerapan (Hawker 1995). Pengangkutan logam berat melalui difusi aktif menyebabkan terbentuknya keseimbangan logam berat dalam organ insang dan air laut. Namun karena sifat logam berat akumulatif dalam jaringan organ tubuh biota laut menyebabkan kandungan meningkat. Akumulasi logam berat dalam organ tubuh biota laut dapat mensubstiutsi kofaktor enzim. Hal ini menyebabkan kegiatan enzim dan metabolisme dalam organ tubuh biota terganggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pb dapat mensubsitusi kofaktor enzim Zn. Hal ini menyebabkan kegiatan enzim dan metabolisme dalam sel organ tubuh biota laut terganggu (Hawker 1995; Darmono 2001).

Menurut Guthie (1980) dalam Lu (1995) bahwa protein plasma dalam biota laut dapat mengikat semua senyawa asing, sel organ hati dan ginjal mengakumulasi logam berat lebih tinggi, tulang merupakan tempat akumulasi Pb dan logam berat lainnya. Sumsum tulang dalam biota laut mengakumulasi logam berat sangat tinggi. Hal itu terjadi karena muatan dan ukuran logam non esensial dan essensial relatif sama. Logam berat

17

yang terakumulasi dalam tulang biota laut dapat terlepas melalui mekanisme pertukaran ion dengan pelarut kristal tulang melalui kegiatan osteoklasik. Namun otot biota laut mengandung logam berat lebih rendah dibanding organ hati dan ginjal (Lu 1995). Pengaruh akumulasi Cd dalam organ tubuh manusia terjadi sekitar 28 tahun. Kandungan Cd dalam organ tubuh biota laut meningkat seiring dengan kandungan Cd dalam habitat dan pakan alami. Akumulasi Cd dalam organ tubuh biota laut menghambat pertumbuhan jaringan organ genotip dan fenotip (Leonova et al. 1993). Kemampuan organ tubuh biota laut mengakumulasi logam berat tergantung spesies, ukuran, umur dan jenis logam berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hati dan insang ikan Tautagalobrus adspersus dapat mengakumulasi 8 kali Cd dalam air. Ikan yang dipelihara dalam air yang mengandung 48 mg/l Cd selama 4 hari dan hati ikan mengakumulasi 195 mg/kg Cd berat basah (bb). Insang dapat mengakumulasi 33.5 mg/kg Cd bb (Greig et al. 1974 dalam Darmono 2001). Kemampuan organ tubuh ikan mengakumulasi logam berat relatif bervariasi. Organ

Dokumen terkait