• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Hutan Tanaman Industri

Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dimulai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, yang dimaksud dengan HTI adalah hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Pembangunan HTI bertujuan untuk :

1. Meningkatkan produktivitas, potensi dan kualitas kawasan hutan produksi yang tidak produktif,

2. Memenuhi kebutuhan bahan baku industri,

3. Menunjang pengembangan industri hasil hutan guna meningkatkan nilai tambah dan devisa,

4. Memperbaiki mutu lingkungan hidup,

5. Memperluas kesempatan kerja dan kesempatan usaha,

Selanjutnya berdasarkan PP No. 6 Tahun 1999 dinyatakan bahwa tujuan pembangunan hutan tanaman adalah untuk memperbaiki potensi hutan yang terlanjur rusak dan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri, sehingga membangun HTI sama dengan merehabilitasi kawasan hutan produksi yang kritis dan tidak produktif. Dalam PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan disebutkan bahwa sasaran pembangunan hutan tanaman adalah pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif seperti lahan kosong, padang alang-alang dan hutan rawang (potensi kurang dari 20 m3 dan tidak produktif).

Jumlah luasan kawasan hutan yang tidak produktif dan terdegradasi mencapai sekitar 54,6 juta hektar (Nawir dkk. 2008) dengan laju deforestasi seluruh Indonesia 1,87 juta ha/tahun (1990-1996), 3,51 juta ha/tahun (1997-2000); 1,08 juta ha/tahun (2001-2003); 1,17 juta ha/tahun (2004-2006) dan 0,5 juta ha/tahun pada tahun 2007, sedangkan laju rehabilitasi hanya sekitar 500.000 ha per tahun (Ditjen Bina Produksi Kehutanan 2010; Fathoni 2010). Lahan kurang

produktif tersebut pada umumnya mempunyai tingkat kesuburan rendah sehingga produktivitas hutan tanaman akan sulit maksimal jika pengelolaannya tidak intensif (Mindawati 1996).

Dalam pembangunan HTI di Indonesia, banyak kendala dan permasalahan yang muncul selain lahan yang tidak produktif yaitu sering terjadi kebakaran hutan, ada kebijakan penghentian penggunaan Dana Reboisasi (DR) untuk HTI dan maraknya konflik lahan di lapangan sehingga mengakibatkan realisasi jauh dari target yang dicanangkan sebesar 9 juta hektar sampai tahun 2014 (Dirjen Bina Produksi Kehutanan 2007).

Sampai tahun 2008, pembangunan HTI secara keseluruhan sudah mencapai luas sekitar 4,3 juta hektar dengan nilai investasi HTI US $ 3 Milyar dan menyerap 135.000 tenaga kerja. Khusus HTI pulp yang mendukung industri pulp dan kertas dengan kapasitas produksi ± 8,2 juta ton kertas per tahun dan ± 5,5 juta ton pulp per tahun memerlukan nilai investasi sebesar US $ 16 Milyar dan menyerap tenaga kerja 178.000 orang. Devisa negara dari industri pulp dan kertas dapat mencapai US $ 5 Milyar per tahun (Departemen Kehutanan 2007; Pasaribu 2008; Ditjen Bina Produksi Kehutanan 2009).

Untuk mempercepat pencapaian target HTI, pemerintah membuat langkah strategis yaitu menyempurnakan peraturan yang ada melalui penerbitan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Beberapa perubahan mendasar terkait ketentuan HTI dalam peraturan di atas antara lain (Pasaribu, 2008):

1. Hutan tanaman dibangun pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif. 2. Adanya ketentuan tentang Hutan Tanaman Hasil Reboisasi (HTHR) yang

memberikan landasan hukum pemanfaatan kayu hasil program reboisasi dan rehabilitasi.

3. Adanya skim perizinan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), sehingga perorangan atau koperasi masyarakat di dalam/di sekitar hutan dapat mengajukan permohonan IUPHHK-HTR pada hutan produksi yang tidak dibebani hak lain.

4. Perolehan perizinan IUPHHK-HTR dilaksanakan melalui permohonan, tidak lagi melalui pelelangan.

5. Dapat diterapkan satu atau lebih sistem silvikultur pada satu areal IUPHHK- HT sehingga menambah alternatif dan fleksibilitas sistem silvikultur (THPB, TPTI, TPTJ) yang dapat diterapkan sesuai kondisi areal.

6. Mengamanatkan kepada pemerintah membentuk lembaga keuangan guna mendukung kegiatan HTI.

7. Untuk lebih meningkatkan kepastian usaha hutan tanaman, dilaksanakan melalui pengaturan Menteri Perdagangan atas usulan Menteri Kehutanan.

Karakteristik Tanaman Eucalyptus

Ciri dan Persyaratan Tumbuh

Eucalyptus L. Merit termasuk dalam family Myrtaceae dan merupakan sebuah marga besar yang terdiri dari sekitar 500 jenis tanaman dan 138 varietas.

Eucalyptus merupakan tumbuhan endemik Australia kecuali jenis E. urophylla

dan E. deglupta yang berasal dari Indonesia yaitu dari kepulauan sebelah Utara Timor, Irian dan Maluku (Boland et al. 1989). Jenis Eucalyptus yang tumbuh secara alami di Indonesia adalah jenis E. urophylla, E. alba,E. deglupta (Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan 1986; Koranto 2003) serta E. pellita yang berada secara alami di Merauke (Papua) tepatnya antara Kecamatan Bupul dengan Carios dan Muting( Kijkar 1981; Leksono 1999).

Taksonomi Eucalyptus adalah sebagai berikut ( Eldridge et al. 1993) : Divisio : Spermathophyta

Sub Divisio : Angiospermae Class : Dikotyledon Ordo : Myrtales Family : Myrtaceae Genus : Eucalyptus

Species : Eucalyptus sp.

Genus Eucalyptus banyak dikembangkan karena memiliki jumlah jenis dan provenan yang sangat beragam, cepat tumbuh, umumnya memiliki bentuk batang yang baik dan lurus, produksi biji tinggi dan mudah bertunas serta memiliki

potensi adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang berbeda (Campinhos et al. 1993).

Persyaratan tumbuh, baik keadaan tanah maupun lingkungan berbeda-beda tergantung jenis E. urophylla merupakan jenis yang tumbuh alami di bagian Timur Indonesia yaitu di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Gunung Mutis Soe. Jenis ini menyukai kawasan yang beriklim kering dengan type hujan C, D dan E dari Schimdt dan Ferguson, tumbuh tersebar pada ketinggian 200-1500 m di atas permukaan laut (dpl) dan masih dijumpai di daerah tertentu pada ketinggian sampai 2300 m dpl dengan curah hujan 1300-2400 mm/tahun. Tumbuh baik pada tanah alluvial dan sarang, tanah berdrainase baik dan bersifat toleran terhadap tanah padat dan asam, tanah miskin zat mineral dan kandungan air kurang serta relatif tahan terhadap api. Musim bunga jenis ini berlangsung antara bulan Januari hingga Maret, buah masak yang siap dipanen biasanya pada bulan Juni hingga September dan pembuahan terjadi setiap tahun secara periodik (Yulianti dan Kurniawati 2003).

Jenis E. grandis menghendaki iklim C dan D, ketinggian tempat sekitar 0- 800 m dpl, curah hujan tahunan rata-rata 1000-3500 mm dengan temperatur maksimum sekitar 24-300C. Tumbuh baik pada lahan datar atau dengan kemiringan yang tidak curam, serta tumbuh pada tanah alluvial di tempat-tempat dekat air tetapi tidak tergenang air dan mengandung lempung. Musim berbunga dan berbuah jenis ini antara bulan Januari sampai Agustus (Boland et al. 1989).

Hibrid E. urograndis merupakan hasil persilangan antara E. urophylla

S.T.Blake dan E. grandis W.Hill ex Maid, sehingga hibrid E. urograndis

diharapkan dapat tumbuh pada tempat tumbuh kedua tetuanya. Persilangan pertama kalinya dilakukan di Afrika Selatan dengan jenis tetua E. grandis W.Hill ex Maid asal Australia dan E. urophylla S.T. Blake asal Indonesia. Di Toba Pulp Lestari persilangan jenis ini dimulai sejak tahun 1994 secara terkendali dan mulai diujicobakan dalam skala lapangan tahun 1996. Hibrid E. urograndis di PT Toba pulp Lestari merupakan perpaduan sifat dari E. urophylla yang mempunyai pertumbuhan diameter besar namun bercabang dan lebih resisten terhadap penyakit kanker dengan sifat dari E. grandis yang mempunyai pertumbuhan tinggi yang lurus dengan bebas cabang yang tinggi, bentuk tajuk baik dan sifat

kayu yang super sehingga diharapkan hibrid E. urograndis menghasilkan volume kayu yang lebih besar, resisten kanker dan berat jenis kayu yang sesuai untuk bahan baku pulp dibanding tetuanya (Campinhos et al. 1998).

Hibrid E. urograndis hasil persilangan di daerah Aek Nauli, Sumatera Utara tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian sekitar 250-1700 m di atas permukaan laut yang beriklim basah (type A) menurut Schmidt dan Ferguson (1951), curah hujan rata-rata tahunan 2824 mm dengan rata-rata bulanan 235 mm. Suhu udara berkisar 18,7- 21,1oC dengan suhu rata-rata tahunan 19,9oC dan suhu tanah rata-rata tahunan 22,9oC serta jenis tanah termasuk group Inceptisol (TPL 2010).

Di Brazil hibrid E. urograndis tumbuh baik pada tanah jenis Ultisol dan Oxisol yang bersolum dalam dan memiliki kapasitas menyimpan air sedang pada curah hujan rata-rata 900 - 1500 mm per tahun dan akan lebih baik tumbuh pada curah hujan di atas 1200 mm per tahun, meskipun kadar unsur haranya rendah terutama Fosfor (P) dan kation basa. Hibrid E. urograndis tumbuh baik pada ketinggian tempat antara 0-3000 m dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 25°C, suhu maksimum 29°C dan suhu minimum sekitar 20°C (Gonçalves et al.

1997; Stape et al. 1997 dalam Fisher dan Binkley 2000). Hama dan penyakit

Jenis hama yang biasa menyerang tanaman Eucalyptus secara umum adalah hama penggerek batang jenis Zeuzera coffei, penghisap cairan daun Helopeltis

sp., ulat gulung pemakan daun Pyralidae dan serangga perusak akar dari rayap

Macrotermes malaccensis, Schedorhinotermes malaccensis dan Microtermes insperatus. Penyakit Eucalyptus adalah bercak daun (leaf spot), embun jelaga disebabkan oleh Meliola sp., kanker batang disebabkan oleh Nectria sp. dan busuk akar disebabkan oleh Pythium, Phytopthora sp., Cylindrocladium sp., dan

Rhizoctonia solani (Old et al. 2003; Anggraeni dkk. 2006; Tjahyono 2007). Di PT Toba Pulp Lestari hama dan penyakit belum pernah muncul secara eksplosif, akan tetapi menyerang dalam intensitas rendah terutama saat musim penghujan berupa penyakit bercak daun. Rendahnya serangan hama dan penyakit di daerah penelitian karena pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara preventif melalui pemeliharan yang intensif. Apabila terjadi serangan hama atau penyakit

dengan intensitas tinggi maka klon tersebut akan dieliminasi melalui seleksi yang ketat sehingga tidak akan dikembangkan lagi secara luas.

Pertumbuhan

Hibrid Eucalyptus urograndis telah dikembangkan secara luas di Afrika Selatan dan Congo. Produktivitas hibrid E. urograndis sangat tinggi dan memiliki riap tahunan rata-rata dapat mencapai sebesar 70 m3 per ha per tahun (Campinhos 1993). Di Brazil hibrid E. urograndis menghasilkan riap rata-rata tahunan (MAI) dengan kisaran 12-48 m3/ha/tahun. Produktivitas hibrid E. urograndis sangat ditentukan oleh jenis tanah dan besarnya curah hujan tahunan (Gonçalves et al. 1997). Hal ini terlihat dari hasil penelitian tegakan hibrid E. urograndis di Bahia, Brazil yang ditanam pada ketinggian 0 - 300 meter dari permukaan laut, mempunyai riap rata-rata sekitar 30 m3/ha yang ditanam pada lahan dengan curah hujan <1000 mm/tahun pada 3 jenis tanah (Oxisol berpasir, Ultisol berpasir dan Ultisol berlempung). Pada areal dengan curah hujan antara 1000-1200 mm/tahun riap rata-rata tahunan dapat mencapai sekitar 37 m3/ha pada jenis tanah Ultisol berlempung, riap rata-rata tahunan mencapai 34 m3/ha pada tanah Ultisol berpasir dan sekitar 30 m3/ha pada tanah Oxisol berpasir. Pada areal yang mempunyai curah hujan > 1200 mm/tahun riap rata-rata tahunan menjadi sekitar 58 m3/ha pada tanah Ultisol berlempung, sekitar 47 m3/ha pada tanah Ultisol berpasir dan sekitar 38 m3/ha pada tanah Oxisol berpasir (Stape et al.

1997).

Pemanfatan dan sifat dasar kayu hibrid Eucalyptus urograndis

Saat ini kayu hibrid E. urograndis baik di Indonesia maupun di dunia pemanfaatannya digunakan sebagai bahan baku industri pulp dan kertas. Berdasarkan Coledette et al. (2008) menyatakan bahwa sekitar 40% kertas dunia menggunakan bahan baku dari kayu Eucalyptus termasuk dari kayu hibrid E. urograndis. Bubur kertas (pulp) dari kayu Eucalyptus di dunia digunakan untuk produksi kertas tissu sebanyak 8% dan kertas cetak dan tulis sebanyak 32%. Selain sebagai bahan baku industri pulp dan kertas, kayu hibrid E. urograndis

dapat dimanfaatkan untuk beberapa produk kayu olahan (solis wood product) dan arang.

Menurut Alrasyid (1984) dan FAO (1979), kayu Eucalyptus cocok digunakan sebagai bahan baku pulp dan rayon kelas kualitas I karena mempunyai karakteristik sebagai berikut :

a. Cepat tumbuh dengan riap volume rata-rata 30 – 40 m3/ha/tahun, b. Berat jenis 0.4 – 0.99,

c. Mempunyai panjang serat 0.6 mm – 1.44 mm,

d. Kandungan sellulosa 40% - 60%, hemisellulosa 22% - 25% dan kandungan lignin 15% - 22%.

Menurut Quilho et al. (2006), umur tegakan hibrid E. urograndis hanya berpengaruh sedikit terhadap berat jenis dan dimensi serat. Di Brazil kayu hibrid

E. urograndis dari tegakan berumur 6-8 tahun yang bibitnya berasal dari klon (vegetatif) mempunyai nilai panjang serat, lebar serat, tebal dinding serat dan berat jenis yang lebih tinggi dibanding kayu hibrid E. urograndis yang bibitnya berasal dari biji (generatif). Rata-rata nilai dimensi serat kayu hibrid E. urograndis dapat dilihat pada Tabel 1. Selain itu, di Brazil hibrid E. urograndis

mengandung sellulosa sekitar 47- 49 %, kandungan lignin berkisar antara 27-31% dan kandungan zat ekstraktif sebanyak 2-4 % sehingga rendemen yang dihasilkan berkisar 51-53% (Coledette et al. 2008).

Tabel 1 Rata-rata dimensi serat dan berat jenis kayu hibrid E. urograndis

Asal bibit Panjang serat (mm) Lebar serat (µm) Tebal dinding serat (µm) Berat jenis (kg/m3) Biji Klon 0,955 1,064 18,0 20,0 3,6 4,4 424 491 Sumber : Quilho et al. (2006)

Di Indonesia, menurut Hajib (2000) hibrid E. urograndis masih masuk pada katagori kayu kurang dikenal karena kegunaannya masih sangat terbatas. hibrid E. urograndis mempunyai sifat fisik dan mekanik kayu yang baik dan dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan klasifikasi kekuatan kayu Indonesia, kayu hibrid E. urograndis

termasuk kelas kuat III sehingga dapat digunakan untuk bahan baku mebel atau konstruksi ringan karena memiliki nilai keteguhan tekan sejajar serat, kekerasan sisi, keteguhan patah (MOR) dan keteguhan lentur (MOE) yang cukup tinggi

sehingga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu tanaman pada HTI penghasil kayu pertukangan (Wulandari 2002 dalam Dwianto dan Marsoem 2008).

Tabel 2 Sifat fisik dan mekanik kayu hibrid E. urograndis

Parameter Umur 2 tahun Umur 3 tahun

Berat jenis (specific gravity) Keteguhan patah dalam basah (MOR in wet), kg/cm2

Keteguhan patah dalam kering (MOR in dry),kg/cm2 0,451-0,612 454,10-713,50 548,16-953,28 0,521-0,700 502,54-872,78 702,15-1074,07 Sumber : Hajib 2000.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas HTI

Kramer dan Kozlowski (1960) menyatakan bahwa pertumbuhan pohon sangat ditentukan oleh interaksi antara tiga faktor yaitu faktor keturunan/genetik, faktor lingkungan dan faktor teknik budidaya atau silvikultur yang diterapkan. Sedangkan menurut Soepardi (1992), faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah faktor genetik dan faktor kualitas tapak, khususnya kualitas tanah yang keduanya dapat dimanipulasi atau dirubah secara buatan. Faktor genetik dapat dimanipulasi melalui kegiatan pemuliaan tanaman, sedangkan faktor tanah dapat dimanipulasi melalui kegiatan silvikultur.

Faktor Genetik

Peningkatan produktivitas tegakan perlu dibarengi dengan peningkatan mutu genetik. Mutu genetik dapat dicapai melalui pemuliaan dengan modal utama keragaman genetik untuk tujuan pengembangan jenis dengan sifat unggul. Seleksi dilakukan dalam rangka memilih sifat-sifat yang diinginkan dari suatu pohon, seperti kecepatan pertumbuhan, kecepatan adaptasi lingkungan, dan adaptasi atau resisten hama dan penyakit dan lain-lain (Zobel dan Talbert 1984).

Hibrida adalah metode untuk menghasilkan tanaman baru dan merupakan suatu hasil persilangan dari dua jenis atau lebih tanaman yang memiliki susunan genetik berbeda. Biasanya persilangan dalam genus yang sama bahkan dapat dalam jenis yang sama yang khusus, misalnya antar ras atau bahkan antar dua genotip berlainan dalam populasi yang sama atau sejenis tetapi berbeda sedikit

“gen” nya. Hibrida-hibrida hasil persilangan mendapat warisan sifat-sifat pohon parental atau tetuanya. Oleh karena itu, jika persilangan ditujukan untuk menghasilkan pertumbuhan yang baik atau untuk hibrida yang tahan serangan penyakit maka pohon induk asal yang akan disilangkan harus mempunyai sifat yang diinginkan tersebut (Zobel dan Talbert 1984).

Banyak hibrid di kehutanan yang terjadi secara alami (open pollination) dan sulit dibedakan di lapangan apalagi bila kedua tetua mirip, namun ada juga yang mudah dikenali karena munculnya karakter intermediate, terutama bila tetuanya mempunyai perbedaan yang besar (Zobel dan Talbert 1984). Hibridisasi antara tetua yang berkerabat jauh akan menghasilkan heterosis yang lebih besar daripada hibrid antara tetua yang berkerabat dekat atau asalnya sama.

Menurut Hardiyanto (2004) tidak semua hibrid F1 menunjukan pertumbuhan yang lebih baik dibanding dengan kedua induknya, hibrid dapat pula tumbuh lebih buruk daripada induknya. Oleh karena itu perlu strategi pemuliaan yang disusun dengan baik. Strategi pengembangan hibrid dapat sangat sederhana atau dapat sangat komplek. Strategi sederhana berupa seleksi hibrid alami pada pertanaman komersial, sedangkan strategi yang lebih kompleks meliputi hibridisasi alami dan hibridisasi terkendali yang dilakukan pada individu terpilih dari masing-masing jenis (Mulawarman 2003). Jadi untuk mendapatkan hibrid unggul, sebaiknya hibridisasi dilakukan antar individu terseleksi pada tiap-tiap jenis yang akan disilangkan.

Untuk jenis Acacia, hibridisasi telah dilakukan secara alami antara Acacia mangium x A. auriculiformis dengan hasil pertumbuhan yang cepat seperti Acacia mangium, tetapi memiliki percabangan yang ramping dan kulit kayu yang tipis seperti A. auriculiformis (Pinso dan Nasi 1991 dalam Hardiyanto 2004) . Persilangan A. mangium x A. auriculiformis di Musi Hutan Persada (MHP) sudah berhasil dengan produktivitas yang lebih tinggi dibanding tegakan tetuanya, namun masih dalam skala uji coba. Berat jenis kayu hibrid umumnya berada diantara berat jenis kayu kedua tetuanya (induk), sedangkan rendemen pulp dan sifat-sifat kertas dari kayu hibrid lebih baik daripada kedua tetuanya. Hibrid A. mangium x A auriculiformis menghasilkan berat jenis lebih mendekati ke berat jenis A. auriculiformis.

Hibridisasi buatan genus Eucalyptus melalui penyerbukan terkendalibanyak dikembangkan dan memiliki keuntungan dibandingkan dengan tetuanya yang ditanam secara murni. Jenis E. urophylla merupakan jenis yang adaptif terhadap banyak lokasi dan produktif, sedangkan jenis E. grandis merupakan jenis kurang adaptif terhadap lokasi tetapi termasuk jenis produktif (Souvannavong 1992 dalam Koranto 2003).

Program hibridisasi Eucalyptus merupakan salah satu strategi yang sangat sukses dalam pembangunan hutan tanaman. Hibrid E. urograndis (E. urophylla x

E. grandis) telah berhasil dikembangkan secara luas di beberapa Negara. Hibrid

E. urograndis merupakan perpaduan sifat dari E. urophylla yang mempunyai pertumbuhan diameter besar namun bercabang dan lebih resisten terhadap penyakit kanker dengan sifat dari E. grandis yang mempunyai pertumbuhan tinggi yang lurus dengan bebas cabang yang tinggi, bentuk tajuk baik dan sifat kayu yang super sehingga diharapkan hibrid E. urograndis menghasilkan volume kayu yang lebih besar, resisten kanker dan berat jenis kayu yang sesuai untuk bahan baku pulp dibanding tetuanya (Campinhos et al. 1998). Sejak tahun 1956 di Congo telah melakukan pengujian 63 species Eucalyptus dari 350 provenan untuk mengetahui produktivitas, adaptasi dan kemungkinan dijadikan tetua dalam program hibridisasi. Salah satu yang sukses hasil penyilangan adalah hibrid E. urograndis dantelah dikembangkan secara luas dalam skala operasional di Afrika Selatan dan Congo. Produktivitas hibrid E. urograndis sangat tinggi dan memiliki riap tahunan rata-rata sebesar 70 m3 per ha per tahun (Campinhos 1993), demikian juga hibrid Pinus elliotii x Pinus caribaea di Queensland memiliki pertumbuhan dan adaptabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan kedua jenis tetuanya (Nikles 1996).

Persilangan antar jenis Eucalyptus menunjukkan adanya pengaruh heterosis yang tergantung pada asal, hubungan dan kecocokan antara tetua. Penyilangan antara tetua yang berkerabat jauh seperti E. urophylla dari Indonesia dan E. grandis dari Australia akan menghasilkan heterosis yang lebih besar daripada penyilangan antar jenis yang asalnya sama. Banyak bukti hasil penelitian bahwa persilangan antar jenis dari Eucalyptus memiliki tingkat keseragaman yang lebih

tinggi dan memungkinkan produksi tanaman dengan kombinasi karakter yang menguntungkan secara ekonomi.

Faktor Kualitas Tapak

Kualitas tapak atau tempat tumbuh adalah totalitas faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tegakan dan menunjukkan kapasitas produksi tanah dalam menghasilkan masa kayu untuk jenis tertentu (Kramer dan kozlowski 1860). Menurut Daniel et al. (1997) kualitas tempat tumbuh merupakan jumlah total faktor-faktor lingkungan (tanah, iklim mikro, kelerengan dan lain-lain) yang merupakan fungsi sejarah geologis, fisiografi, iklim mikro dan perkembangan suksesi. Faktor tempat tumbuh tegakan adalah totalitas dari peubah keadaan tempat tegakan, mencakup bentuk lapangan, sifat-sifat tanah dan iklim yang memiliki tingkat keeratan hubungan yang cukup tinggi dengan dimensi tegakan (Suhendang 1990).

Cara mengukur kualitas tempat tumbuh dapat melalui pengukuran satu atau lebih sifat-sifat vegetasi yang mencerminkan pengaruh dari faktor lingkungan, melalui pengukuran faktor lingkungan yang berasosiasi dengan pertumbuhan atau melalui penggunaan indikator peninggi. Keadaan tempat tumbuh dicirikan oleh keadaan atau sifat-sifat tanah (Suhendang 1990; Daniel et al. 1997).

Tanah merupakan faktor edafis penting untuk pertumbuhan tanaman karena tanah merupakan perantara penyedia faktor-faktor suhu, udara, air dan unsur- unsur hara yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Wasis 2005). Pembangunan hutan tanaman industri memerlukan tanah yang subur agar hasil tanaman dapat optimum. Produktivitas suatu ekosistem dapat dipertahankan jika tanah dapat melakukan fungsinya secara optimal. Tanah merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan dapat dimanipulasi melalui teknik silvikultur dalam rangka perbaikan kesuburan tanah. Adapun fungsi tanah adalah: menunjang akar; menyerap, menyimpan dan menyediakan air; menyimpan dan menyediakan unsur-unsur hara mineral bagi tanaman; mendorong pertukaran gas terutama O2 dan CO2 secara teratur;

mendorong aktivitas biologi dalam tanah; serta menerima, menyimpan dan melepaskan karbon (Fisher dan Binkley 2000).

Definisi kualitas tanah dalam suatu ekosistem adalah kemampuan suatu tanah untuk dapat berfungsi agar diperoleh produktivitas tanaman yang berkesinambungan (Doran dan Parkin 1994; USDA 2001), sedangkan menurut Setiadi dkk. (1992), kualitas tanah yang subur atau kesuburan tanah diartikan sebagai tingkat kesuburan kimiawi, fisik dan biologi yang memungkinkan suatu pohon atau tegakan tumbuh dengan baik dan dapat menghasilkan produk kayu.

Berdasarkan pada sifat kepermanennya, Islam dan Weil (2000) mengkelasifikasikan sifat-sifat tanah yang memiliki kontribusi terhadap kualitas tanah adalah: berubah dalam jangka waktu harian akibat suatu pengelolaan ( kadar air, respirasi tanah, pH, N mineral, K tersedia, P tersedia dan berat jenis tanah), berubah dalam tahunan akibat suatu pengelolaan (agregat tanah, biomassa mikroba, respirasi), dan permanen atau tidak berubah (kedalaman tanah, kelerengan, iklim, tekstur, batuan dan mineralogi). Kesuburan tanah dapat dilihat dari berbagai parameter sifat-sifat tanah, sebagai berikut:

Sifat kimia tanah. Beberapa sifat kimia tanah yang penting dan berpengaruh terhadap pertumbuhan suatu tanaman adalah: reaksi (pH) tanah, bahan organik tanah; unsur hara dan kapasitas tukar kation (KTK). Nilai pH tanah yang merupakan indikator kualitas tanah terbaik adalah antara pH 6-pH 7 karena sebagian unsur hara menjadi tersedia (USDA 1998). Indikator lainnya

Dokumen terkait