Peranan Hutan Tropis dalam Siklus Karbon dan Fungsi Hidrologi
Peranan hutan tropis dalam neraca karbon atmosfer ditunjukkan oleh banyaknya karbon yang tersimpan di dalam biomassa dan jumlah yang tersirkulasikan per tahun. Sirkulasi karbon melalui ekosistem hutan tropis berlangsung amat cepat. Jumlah karbon yang besar tersimpan dalam biomassa
dikeluarkan melalui respirasi ke atmosfer (Murdiyarso dan Satjapradja, 1997; ESA, 2000). Pemasukan karbon berlangsung melalui fotosintesa yang dipercepat oleh faktor lingkungan yang memadai dan pengelolaan hutan yang
baik.
Penebangan hutan secara fisik merupakan kegiatan yang mengubah sifat permukaan dan tataguna lahan. Kegiatan ini secara langsung akan menimbulkan dampak terhadap transfer bahang (heat) dan massa (mass) dari
dan ke permukaan yang berubah sifatnya. Dampak langsung ini selanjutnya akan mempengaruhi neraca energi, neraca air dan neraca hara (Murdiyarso dan
Satjapradja, 1997).
Neraca energi terpengaruh dengan berubahnya albedo. Pada awalnya albedo akan berubah karena berubahnya sifat geometrik dan optik atmosfer
yang dicemari asap dan aerosol yang dihasilkan proses pembakaran. Sementara perubahan albedo juga ditentukan oleh sifat optik permukaan yang
baru yang dapat meneruskan radiasi sampai ke permukaan tanah. Perubahan neraca energi selanjutnya akan memicu perubahan neraca air, karena transfer uap air atau bahang laten dikendalikan oleh ketersediaan
energi. Jika terjadi penurunan evaporasi dapat mengakibatkan limpasan permukaan meningkat. Peningkatan limpasan permukaan dan tiadanya vegetasi penutup tanah berakibat pada peningkatan erosi. Suhu tanah yang meningkat akibat peningkatan energi yang diserap tanah akan mempercepat
mineralisasi bahan organik.
Untuk meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah, metode pengelolaan lahan yang baru haruslah: (1) meningkatkan jumlah karbon masuk ke dalam tanah dalam bentuk residu tanaman, dan (2) menekan kecepatan dekomposisi bahan organik tanah. Jumlah karbon yang masuk ke dalam tanah merupakan fungsi dari produksi tanaman dan proporsi produksi tanaman yang dikembalikan ke dalam tanah sebagai serasah maupun residu tanaman.
Kecepatan dekomposisi dikontrol oleh keadaan lingkungan tanah seperti suhu, kelembaban, ketersediaan oksigen dan komposisi bahan organik, posisi bahan organik dalam profil tanah dan tingkat perlindungan fisik agregat tanah (Bruce et al., 1999).
Beberapa hasil pengukuran C tersimpan pada berbagai system penggunaan lahan oleh tim peneliti Alternatives to Slash and Burn (ASB phase 1
dan 2) di Jambi (Tomich et al., 1998), adalah sebagai berikut:
- Hutan alam menyimpan C tertinggi sekitar 497 ton/ha dibandingkan system penggunaan lahan lainnya. Lahan ubi kayu monokultur penyimpan C terendah (sekitar 49 ton/ha).
- Gangguan hutan alami menyebabkan hutan kehilangan C sekitar 250 ton/ha, dimanan kehilangan terbesar terjadi karena hilangnya pohon, sedangkan C dalam tanah relative kecil.
- Bila hutan sekunder terus dikonversi ke sistem ubi kayu monokultur, maka kehilangan C di atas permukaan tanah bertambah menjadi 300-350 ton/ha.
- Tingkat kehilangan C dapat diperkecil bila hutan dikonversi menjadi sistem agroforestri berbasis karet sekitar 290 ton C/ha di bagian atas tanah, dan sekitar 370 ton C/ha bila dikonversi menjadi hutan tanaman industry (HTI) sengon.
- Penyimpanan C rata-rata per siklus tanaman bervariasi tergantung umur tanaman. Semakin banyak dan semakin lama C tersimpan dalam biomassa pohon semakin baik.
- Lahan hutan yang telah terganggu, agroforestri multistrata (bermacam jenis pohon) dan agroforestri sederhana (tumpangsari pohon dan tanaman pangan) menimbun C dalam biomassa rata-rata sekitar 2.5 ton/ha/th. Sedangkan penimbunan C dalam lahan pertanian semusim ubi kayu-rumput-rumputan dapat diabaikan, karena kebanyakan C hilang oleh adanya pembakaran.
- Besarnya penyimpanan C dalam suatu lahan dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanahnya. Penyisipan pohon leguminose dalam system agroforestri meningkatkan jumlah C tersimpan dalam biomassa.
Penyimpanan karbon di dalam tanah berubah karena erosi, yang menyebabkan redistribusi karbon pada permukaan tanah. Pemecahan agregat
terlindung dalam agregat. Selain peranan dalam penyimpanan karbon hutan juga berfungsi dalam pengaturan hidrologi.
Setidaknya ada enam aspek pengaruh hutan terhadap fungsi hidrologi wilayah (Calder, 1998) yang dapat dicatat sebagai berikut:
1. Hutan meningkatkan curah hujan: Walaupun awalnya sulit dibuktikan, saat ini dapat ditunjukkan bahwa hilangnya hutan juga diikuti oleh berkurangnya curah hujan seperti yang dialami oleh Pulau Jawa. Pengurangan hutan yang nyata dalam kawasan yang luas dalam tiga dekade terakhir ini telah menurunkan jumlah curah hujan tahunan sampai 1.000 mm/tahun atau 25% lebih rendah dari kondisi awal abad ini. Implikasi lebih serius dapat terjadi dengan hilangnya kawasan hutan
2. Hutan meningkatkan aliran sungai: Yang terjadi adalah vegetasi hutan juga mengkonsumsi air dalam jumlah yang besar, sehingga hutan justru cenderung menurunkan aliran sungai. Walaupun untuk hutan yang mapan, telah terjadi keseimbangan hidrologi wilayah, sehingga penurunan ini tidak terasa lagi. Sebaliknya, dengan hilangnya hutan maka aliran sungai akan meningkat dan banjir diwaktu musim penghujan, sampai tercapai keseimbangan hidrologi yang baru setelah jangka waktu yang panjang (ratusan tahun).
3. Hutan berperan dalam mengatur dan memperkecil fluktuasi debit sungai. Apabila fluktusi debit sungai kecil maka air yang keluar dapat dimanfaatkan secara maksimal.
4. Hutan mengurangi erosi: Hal ini sangat bergantung pada situasi dan kondisi, seperti intensitas hujan, kelerengan lahan, dan faktor geologi batuan, serta metode pengelolaan yang dipilih. Pengalaman di Jawa, hutan jati menunjukkan tingkat erosi yang tinggi.
5. Hutan mengurangi banjir: Terdapat pengalaman dan pemberitaan media massa membenarkan pernyataan ini, sementara kajian hidrologi umumnya yang menunjukkan lemahnya hubungan penggunaan lahan dengan banjir dan menyimpulkan kurangnya bukti ilmiah yang mendukung laporan bahwa deforestasi meningkatkan banjir. Secara bertahap deforestasi menyebabkan menurunnya daya infiltrasi tanah.
6. Hutan meningkatkan mutu pasokan air: Kecuali pada daerah dengan iklim yang tercemar berat yang menghasilkan hujan asam. Mutu air lazimnya lebih
pengelolaan hutan itu sendiri. Saat ini DAS berhutan menjadi andalan untuk menjamin pasokan air bersih kota-kota metropolitan dunia.
Dinamika Karbon dalam Tanah Pertanian
Tanah merupakan pool karbon yang penting di dunia yang meliputi 1.500 – 2.000 Pg (1 Pg = petagram = 1 milyar ton) dan 800 – 1000 Pg sebagai karbon inorganik tanah dalam bentuk karbonat (Bruce et al., 1999). Kandungan karbon organik tanah umumnya tinggi dalam tanah alami di bawah vegetasi rumput atau hutan. Konversi hutan dan padang rumput menjadi areal pertanian dan peternakan mengakibatkan hilangnya karbon organik tanah. Lahan padang rumput dan hutan mengalami kehilangan karbon organik tanah 20–50 % dari kandungan awalnya setelah diolah selama 40–50 tahun. Kehilangan karbon organik tanah dari masa lalu suatu areal sering berkaitan dengan tingkat produksi yang rendah, pengolahan tanah yang intensif, penggunaan pupuk dan amelioran organik yang kurang memadai dan kurangnya perlindungan tanah dari erosi dan proses degradasi lahan yang lain (Bruce et al., 1999).
Besarnya jumlah C tersimpan di atas tanah ditentukan oleh besarnya jumlah C tersimpan dalam tanah, melalui peran bahan organik tanah dalam mempertahankan kimia tanah (ketersediaan hara), kondisi fisik tanah (mempertahankan berat isi dan aerasi tanah) (Mutuo et al., 2005).
Sebagian besar kehilangan karbon tanah pertanian terjadi selama dekade awal setelah pengolahan tanah. Dengan waktu, kecepatan kehilangan karbon menurun sejalan dengan semakin menurunnya pool karbon yang mudah terdekomposisi dan adanya perbaikan pengelolaan lahan. Sebagai konsekuensinya, sebagian besar tanah pertanian sekarang hampir netral dalam kaitannya dengan emisi atau penyerap karbon. Berdasarkan hasil simulasi komputer (Smith et al., 1997) menunjukkan bahwa kehilangan karbon tanah dari tanah pertanian di Kanada rata-rata hanya 40 kg/ha/th pada tahun 1990 dan rata-rata kehilangan tersebut terus menurun.
Bruce et al. (1999) menyatakan bahwa perubahan kandungan karbon tanah merupakan refleksi dari hasil bersih dari input karbon (dari bahan tanaman) dan kehilangan karbon melalui dekomposisi. Dekomposisi berarti perombakan yang dilakukan oleh sejumlah mikroorganisme (unsur biologi dalam tanah) dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana. Oleh karena itu pengelolaan yang dapat memperoleh penambahan simpanan karbon yaitu : 1)
meningkatkan jumlah karbon tanah melalui residu tanaman atau 2) menekan laju dekomposisi karbon tanah. Laju dekomposisi dapat dikontrol oleh kondisi tanah (misalnya kelembaban, temperatur dan kecukupan oksigen), komposisi bahan organik, penempatan bahan organik di antara profil tanah, dan tingkat proteksi secara fisik (misalnya di antara agregat tanah).
Simpanan karbon tanah juga dapat berubah karena erosi, di mana terdapat redistribusi karbon pada permukaan tanah. Beberapa bagian pada
permukaan tanah dapat terjadi kehilangan karbon dan di lain tempat dapat terjadi penambahan karbon. Sequester C dalam tanah dapat juga dihitung berdasarkan input C dari sisa tanaman dan sumber lain dan jumlah pelepasan C menjadi CO2. Jadi jumlah bersih sequstrasi C sama dengan besarnya input C
(sisa tanaman) dikurangi output C (pelepasan C sebagai CO2) dengan asumsi
kehilangan akibat erosi dan pencucian diabaikan (Duiker dan Lal. 2000). Pengolahan tanah dengan mengikuti prinsip konservasi dapat berperan dalam menjaga residu tanaman pada permukaan tanah, vegetasi penutup tanah, dan rotasi tanaman. Bahan organik tanah (OM) dan karbon organik tanah (OC) keduanya menentukan karbon dalam tanah.
Bentuk bahan organik menunjukkan bahan organik yang berasal dari sisa tanaman yang dimulai dengan proses dekomposisi. Konversi dari bahan organik menjadi karbon organik umumnya berkisar antara 1.70-1.72 kg bahan organik akan mengandung 1 kg karbon organik (Rickman et al. 2001).
Karbon merupakan penyusun bahan organik, oleh karena itu peredarannya selama pelapukan jaringan tanaman sangat penting. Sebagian besar dari energi yang diperlukan oleh flora dan fauna tanah berasal dari oksidasi karbon. Sebagai akibat dari hal tersebut maka CO2 terus menerus
terbentuk. Berbagai perubahan yang terjadi dan menyertai reaksi karbon tersebut dalam atau di luar tanah disebut peredaran karbon yang ditunjukkan dalam Gambar 2.
Tumbuhan
CO2
Udara Binatang
Pupuk hijau Pupuk kandang sisa tanaman
Reaksi tanah CO3
-2
HCO3
Kegiatan jasad mikro
CO2 -
Hilang karena drainase meliputi:
CO2, karbonat dan bikarbonat-Ca, Mg, K, dll.
Gambar 2 Bagan peredaran karbon di dalam dan di luar tanah (Buckman dan Nyle, 1982)
Pembebasan karbon organik menghasilkan CO2. Proses tersebut
merupakan sumber CO2 tanah, disamping CO2 yang dikeluarkan akar tumbuhan
dan terbawa oleh air hujan. Karbon dioksida yang dihasilkan tanah akhirnya akan dibebaskan ke atmosfer, yang kemudian akan digunakan lagi oleh tanaman. Dengan demikian peredaran karbon akan terus berlangsung seperti tersebut di atas.
Sejumlah kecil CO2 bereaksi dalam tanah membentuk asam karbonat,
Ca-, Mg- dan K-karbonat atau bikarbonat. Garam-garam tersebut mudah larut dan mudah hilang terikut dalam air drainase atau diserap tumbuhan. Dengan demikian Ca, Mg dan K juga menjadi tersedia bagi tumbuhan.
Potensi Peningkatan Karbon pada Lahan Pertanian
Tingkat perolehan karbon setelah mengadopsi metode perbaikan pengelolaan tanah sangat bervariasi tergantung jenis tanah (Paustian et al., 1997b). Variasi respon dapat disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Status karbon tanah awal. Tanah yang telah mengalami penurunan secara drastis karbon tanahnya karena pengelolaan yang kurang
baik di masa lampau. Jika tanah dikelola dengan lebih baik, potensial penyerapan karbon di dalam tanah menjadi lebih besar.
2. Kondisi iklim. Tingkat penyerapan karbon jauh lebih tinggi apabila terjadi di lingkungan dengan produktivitas yang tinggi. Tingkat penyerapan karbon terhambat di dalam lingkungan yang produktivitasnya terhambat karena iklim yang dingin ataupun iklim yang kering.
3. Variabel agronomi. Jumlah karbon yang dapat diperoleh sebagai respon dari pengelolaan tanah-minimum dan tanpa olah tanah juga ditentukan oleh praktek agronomi yang lain seperti aplikasi pupuk dan cara penanaman.
Disamping respon yang bervariasi, rata-rata akumulasi karbon dapat diperkirakan dengan akurasi yang dapat diterima dari data jangka panjang sekitar 0.3 Mg/ha/th. Untuk memperkirakan potensial akumulasi karbon di dalam tanah selama dekade awal hingga 2020, dengan asumsi menerapkan teknologi konservasi tanah, pada lahan yang tidak terdegradasi dengan hambatan iklim kering dan dingin sebesar 0.2 Mg/ha/th.
Pada lahan yang dikonversi dari lahan pertanian menjadi padang rumput atau ditanami tanaman tahunan penutup tanah umumnya menghasilkan penyerapan karbon yang tinggi. Sequestrasi karbon pada lahan rumput bervariasi menurut jenis tanah. Tanah yang bertekstur pasir kurang sensitif daripada yang bertekstur halus pada daerah yang beriklim panas dan persentase konsentrasi C-organik tanah menurun menurut kedalaman tanah serta tingkat akumulasi karbon akan menurun dengan waktu, sebagian besar penyerapan karbon dalam bentuk akar dan serasah tanaman (Potter et al., 2001).
Paustian et al.,(1997b), memperkirakan rata-rata tingkat penyerapan karbon pada tanah pertanian yang dikonversi ke rumput dan tanaman tahunan sekitar 0.8 Mg/ha/th pada tahap awal setelah konversi. Di daerah tropika penanaman lahan pertanian dengan tanaman penutup tanah dapat meningkatkan penyerapan karbon 250 – 500 kw/ha dalam jangka waktu 4 – 12 bulan tergantung pada jenis tanaman penutup tanah yang digunakan (Arsyad, 2000).
Bruce et al. (1999) mengemukakan beberapa strategi untuk meningkatkan karbon yang diklasifikasikan ke dalam empat pendekatan utama : 1) mengurangi intensitas pengolahan tanah, 2) intensifikasi sistem pertanaman, 3) adopsi metode peningkatan hasil, seperti perbaikan sistem pemupukan, dan 4) penggunaan tanaman tahunan.
Penurunan Intensitas Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dapat meningkatkan kehilangan karbon tanah melalui penurunan bahan organik tanah hingga 30-50 % pada kegiatan pertanian yang terus-menerus, disebabkan beberapa faktor yaitu: 1) merusak agregat tanah yang melindungi bahan organik tanah dari dekomposisi, 2) meningkatnya output yang mempercepat dekomposisi akibat pencampuran pada waktu olah tanah, dan 3) hilangnya partikel berukuran debu yang mengandung bahan organik tanah akibat erosi oleh air atau angin.
Pengolahan tanah dapat menyebabkan tanah lebih mudah tererosi, mengakibatkan hilangnya karbon melalui erosi. Menurut Hussain et al. (1999) selama delapan tahun pengolahan tanah terjadi penurunan secara nyata kemantapan agregat lapisan 0 – 5 cm, sebaliknya pada tanpa olah tanah memiliki tingkat makroagregasi dan kandungan C tinggi dengan tanpa olah tanah dalam waktu yang cukup lama. Peningkatan kemantapan agregat disebabkan meningkatnya POM dan asosiasi fraksi mineral dan bahan organik pada tanpa olah tanah. Penurunan intensitas olah tanah mempunyai proporsi luas terhadap rendahnya laju dekomposisi dan C/N ratio, sedangkan pada olah tanah intensif berperanan terhadap rendahnya kemantapan agregat. Rendahnya kadar C organik dalam makroagregat pada olah tanah mengakibatkan tanah lebih mudah tererosi oleh air, sebab terjadi penurunan ketahanan terhadap slaking (penghancuran agregat tanah). Pengolahan tanah menghancurkan fraksi bahan organik yang tidak terlindungi secara fisik dalam makroagregat berupa pemantap agregat sementara yang berfungsi mengikat mikroagregat menjadi makroagregat (Balesdent et al.,2000).
Pengolahan tanah dapat mempercepat kehilangan karbon tanah melalui beberapa mekanisme yaitu: agregat tanah terganggu, yang melindungi bahan organik dari dekomposisi; dapat menstimulasi aktivitas mikroba dengan meningkatnya aerasi dan tercampurnya sisa tanaman ke dalam tanah, dimana
kondisi untuk dekomposisi sering lebih baik daripada di permukaan (Bruce et al., 1999).
Hasil pengamatan Bayer et al. (2000) menyimpulkan bahwa simpanan bahan organik tanah pada jenis tanah Acrisol Lempung Liat Berpasir dapat lebih besar tergantung sistem olah tanah serta pertanaman dan pengaruhnya terhadap laju kehilangan dan penambahan bahan organik. Tanpa olah tanah menyebabkan total karbon organik (TOC) yang tinggi pada profil tanah dengan kedalaman 0-30 cm dibanding pengolahan tanah konvensional. Selanjutnya, konsentrasi TOC terbatas pada lapisan permukaan 0-5 cm untuk sistem pertanaman O/M (gandum dan jagung); 0-12.5 cm pada O+V/M+C (gandum+pupuk kandang/jagung+cowpea). Perbedaan konsentrasi TOC pada tanah tanpa olah tanah (NT) pada (O/M) pada tanah kedalaman 0-30 cm sebesar 4.6 Mg/ha lebih besar (49.2 Mg/ha) dari jumlah TOC pada sistem olah tanah konvensional (CT) sebesar (44.6 Mg/ha). Sedangkan pada sistem O+V/M+C masing-masing 56.6 Mg/ha (NT) dan 50.2 Mg/ha (CT) atau lebih tinggi sebesar 6.4 Mg/ha pada NT.
Akumulasi karbon dalam tanah terjadi di antara agregat (Bernoux et al., 2006). Perbedaan akumulasi TOC dalam tanah antara CT dan NT pada kedua sistem pertanaman tersebut kemungkinan disebabkan oleh tingginya laju dekomposisi bahan organik tanah pada CT. Menurut Bayer et al. (2000), kehilangan C tinggi setelah dilakukan pengolahan tanah dengan cara pembajakan. Pada NT, sebagian besar residu tanaman tinggal pada permukaan tanah, dengan jumlah yang sedikit kontak langsung dengan tanah. Akibatnya dekomposisi residu berjalan dengan lambat, juga dapat menyebabkan rendahnya temperatur pada permukaan tanah (Reicosky et al. 1999) dan dapat merupakan proteksi permukaan tanah dari erosi (Bayer et al. 2000) .
Intensifikasi Sistem Pertanaman
Untuk kelansungan hidupnya tumbuhan memerlukan sinar matahari, gas asam arang (CO2) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari
dalam tanah. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman
dan diubah menjadi karbohidrat, selanjutnya disebarkan keseluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun di seluruh bagian tubuh tanaman. Proses pengurangan CO2 di udara oleh tanaman hidup tersebut dinamakan proses
disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman.
Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak
dilepaskan ke udara lewat pembakaran (Hairiah et al., 2004).
Beberapa sistem pertanaman dapat diintensifkan untuk meningkatkan aktifitas photosintesis. Penggunaan tanaman penutup tanah rumput-rumputan, semak dan terutama pohon-pohonan dapat meningkatkan karbon tanah karena tanaman tersebut meningkatkan periode pertumbuhan aktif dan menghasilkan proporsi yang lebih besar karbon dalam tanah (Paustian et al, 1997a). Intensifikasi sistem pertanaman tidak hanya meningkatkan jumlah karbon yang masuk ke dalam tanah, tetapi juga menekan laju dekomposisi melalui pendinginan akibat penaungan.
Aplikasi Tindakan Agronomi
Aplikasi pemupukan dan pemberian amelioran bahan organik meningkatkan penyerapan karbon dengan peningkatan produksi dan jumlah residu yang dikembalikan ke dalam tanah. Tindakan agronomi yang lain yang mampu meningkatkan produksi termasuk perbaikan varietas tanaman, pengendalian hama yang lebih baik, cara pemberian pupuk yang lebih efisien, dan perbaikan pengelolaan air dapat meningkatkan karbon tanah dengan menyediakan jumlah residu yang lebih besar yang dapat dikembalikan ke dalam tanah.
Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk kerusakan tanah yang umum terjadi. Kerusakan tanah merupakan masalah penting bagi negara berkembang karena intensitasnya yang cenderung meningkat sehingga tercipta tanah-tanah rusak yang jumlah maupun intensitasnya meningkat.
Bahan organik memiliki peranan cukup penting di dalam sistem usahatani, sehingga penambahan bahan organik merupakan usaha untuk
memperbaiki sifat-sifat tanah, ketahanan tanah menahan daya pelarutan dan pemecahan oleh air serta daya penghancuran agregat (slaking).
Hasil penelitian Sudarsono (1988), dengan pembenaman jerami ke dalam tanah Renzina setiap tahun dan setiap dua tahun meningkatkan kadar C- organik tanah pada periode 1962-1973 di Champagne Berrichone, Perancis. Tetapi C-organik hampir tidak berubah dan C/N menurun pada periode berikutnya 1973-1985. Namun nisbah C/N pada 1985 selalu lebih tinggi daripada 1962. Dibandingkan dengan pembakaran jerami, pembenaman jerami membawa perubahan-perubahan bahan organik tanah baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Tanah tropika masam umumnya memerlukan kapur sebagai bahan amelioran untuk mengatasi kemasaman tanah yang tinggi, dan juga untuk menyediakan Ca bagi tanaman. Selain berpengaruh terhadap kesuburan tanah, penambahan kapur juga mempengaruhi secara nyata kemantapan agregat terhadap daya merusak air pada kadar C yang sama. Hasil penelitian Chan dan Heenan (1999) menunjukkan pemberian kapur mengakibatkan tingkat kemantapan agregat yang diperoleh pada kadar C yang lebih rendah, sedangkan pada tingkat kemantapan agregat 50 % (>250 µm) maka total C organik pada tindakan pengapuran sebesar 13.0 g/kg sedangkan tanpa pengapuran 17.8 g/kg.
Jenis Tanaman dan Pola Tanam
Jenis tanaman mempengaruhi kemantapan agregat. Angers dan Groux (1996) menunjukkan bahwa penanaman jagung memberikan hasil penurunan terhadap kemantapan agregat makro di samping meningkatkan kemantapan agregat mikro dibanding dengan penanaman padang rumput pakan ternak. Kondisi kemantapan agregat berhubungan dengan meningkatnya kadar C pada agregat >2.000 µm di padang rumput adalah sebesar 30.0 g C/kg dibandingkan penanaman jagung hanya 17.7 g C/kg. Sebaliknya pada agregat mikro padang rumput memiliki kandungan C 18.1 g C/kg sedangkan pada penanaman jagung adalah sebesar 29.3 g C/kg. Tingginya kadar C pada agregat makro menunjukkan ketahanan terhadap penghancuran agregat.
Pool karbon organik tanah (SOC) merupakan fungsi dari jumlah residu tanaman, perakaran tanaman, return dan laju dekomposisi bahan organik. Kandungan karbon organik tanah meningkat melalui penggunaan sisa tanaman
tergantung pada kuantitas dan kualitas residu, sifat-sifat tanah dan pengelolaan. Keseimbangan tingkat kandungan karbon organik tanah sering berhubungan linear dengan jumlah residu tanaman yang diaplikasikan pada tanah. Kandungan lignin pada residu dapat berdampak positif terhadap akumulasi karbon organik tanah (Lal et al. 1999). Sitompul, et al. (1996) melaporkan bahwa keadaan tanah yang optimal bagi pertumbuhan tanaman diperlukan adanya bahan organik tanah di lapisan atas paling sedikit 2 %.
Menurut Hairiah (2004) sebagian besar CO2 di udara dipergunakan oleh
tanaman selama fotosintesis dan memasuki ekosistem melalui serasah tanaman yang jatuh dan akumulasi C dalam biomasa (tajuk) tanaman. Separuh dari jumlah C yang diserap dari udara bebas tersebut diangkut ke bagian akar berupa karbohidrat dan masuk ke dalam tanah melaui akar-akar yang mati. Selanjutnya dikemukakan bahwa ada 3 pool utama pemasok C ke dalam tanah yaitu: 1) tajuk tanaman pohon dan tanaman semusim yang masuk sebagai serasah dan sisa panen; 2) akar tanaman, melalui akar yang mati, ujung-ujung