• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat kemandirian petani dipengaruhi oleh kualitas sumberdaya petani. Menurut Slamet (2003), meskipun para petani yang hidup di pedesaan dan pelo-sok-pelosok yang jauh dari pusat-pusat peradaban modern dan sering disebut-se-but sebagai terbelakang, bodoh dan miskin, tetapi mereka adalah manusia seperti kita semua yaitu memiliki potensi dan kemampuan, disamping juga memiliki kebutuhan dan keinginan. Keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan bukanlah sesuatu yang akan melekat secara abadi pada para petani dan yang jelas itu semua bukanlah kemauan dan keinginan mereka. Para petani itu memiliki potensi dan kemampuan. Sekarang kemampuan mereka mungkin masih rendah, tetapi mereka mempunyai potensi untuk meningkatkannya. Mereka pun memiliki berbagai kebutuhan dan keinginan yang akan dapat mereka penuhi sendiri bilamana potensi dan kemampuan mereka mendapat kesempatan untuk berkembang.

Selanjutnya menurut Slamet (2003), kondisi masyarakat petani masa kini adalah sebagai berikut:

(1) Percampuran antara yang modern, maju, kaya dan yang tradisional, terting-gal dan miskin.

(2) Mayoritas berpendidikan rendah.

(3) Mayoritas masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. (4) Lembaga-lembaga masyarakat belum banyak yang secara nyata

member-dayakan masyarakat.

(5) Tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan umumnya masih ren-dah.

(6) Masyarakat madani masih merupakan cita-cita, disebabkan oleh banyaknya kendala yang dihadapi, dan kondisi yang belum kondusif.

(7) Mayoritas masih hidup dalam “kegelapan,” kurang informasi dan umumnya tidak memiliki alternatif yang lebih menguntungkan.

Menurut Tjitropranoto (2005), kondisi petani di lahan marjinal dan penga-ruhnya terhadap kapasitas diri dan pemanfaatan kapasitas sumberdaya, produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan, digambarkan secara skematis pada Gambar 1.

:

Kapasitas Diri Pemanfaatan Kapasitas Sumberdaya PRODUKTIVITAS PENDAPATAN Pendidikan Rendah Motivasi Rendah Apatis Kemauan Rendah Percaya Diri Rendah Petani Kecil Di Lahan Marginal Pemanfaatan SDA Akses Kredit Adopsi Teknologi Akses Pasar KESEJAHTERAAN

Gambar 1. Petani dan Produktivitasnya di Lahan Marginal (Tjitropranoto, 2005)

Gambar tersebut menjelaskan bahwa ciri-ciri petani di lahan marjinal antara lain: berpendidikan rendah, motivasi rendah, apatis, berkemauan rendah dan rasa percaya dirinya rendah. Hal ini mencerminkan rendahnya kapasitas diri petani dan pemanfaatan kapasitas sumberdaya yang masih rendah, yaitu kurangnya akses petani terhadap pemanfaatan sumberdaya alam, akses terhadap kredit, adopsi teknologi dan akses pasar. Keadaan ini akan menyebabkan rendahnya produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani. Berdasarkan pemikiran ini, peningkatan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan melalui peningkatan kapasitas diri petani dan penguatan akses petani terhadap berbagai sumberdaya. Pengembangan kapasitas petani dapat dilakukan melalui upaya pemberdayaan oleh penyuluh pertanian sesuai dengan pengembangan kapasitas yang mereka butuhkan. Dalam hal ini penyuluh pertanian berperan mem-fasilitasi pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani, selanjutnya petanilah yang mampu mengembangkan kapasitas dirinya.

Karakteristik Petani yang Mempengaruhi Kemampuan Mengubah Perilaku

Kualitas sumberdaya pribadi (individual/personal characteristic) adalah ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang sebagai individu manusia. Rogers dan Shoemaker (1981) mengungkapkan bahwa sumberdaya pribadi mencakup: (1) Ci-ri kepCi-ribadian (personality), dan (2) Ciri komunikasi. Ciri kepribadian mencakup: empati, dogmatisme, kemampuan abstraksi, rasionalitas, intelejensia, sikap terha-dap perubahan, sikap mengambil resiko, sikap terhaterha-dap ilmu pengetahuan atau pendidikan, fatalisme, motivasi meningkatkan taraf hidup dan aspirasi terhadap pendidikan dan pekerjaan. Ciri-ciri komunikasi antara lain: partisipasi sosial, komunikasi interpersonal dengan sistem luar, kekosmopolitan, kontak dengan agen pembaharu, keterdadahan terhadap media massa, keinovatifan (keaktifan mencari inovasi), kepemimpinan (leadership) dan penerimaan terhadap norma modern.

Rogers (1969) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengubah perilaku adalah: (a) Kemampuan mem-baca dan menulis, (b) Sifat kosmopolit, (c) Tingkat pendidikan, (d) Status sosial Ekonomi dan (e) Umur. Lionberger (1960) menyatakan bahwa karakteristik

individu atau personal faktor yang perlu diperhatikan adalah: umur, tingkat pendi-dikan dan karakter psikologis. Karakteristik psikologis antara lain adalah ra-sionalitas, fleksibilitas mental, dogmatisme, orientasi terhadap usahatani dan ke-cenderungan mencari informasi. Mc Leod dan O’Kiefe Jr (1972) menyatakan bahwa variabel demografik yang digunakan sebagai indikator untuk menerangkan perilaku individu adalah: jenis kelamin, umur dan status sosial.

Rogers (1969) dan Salkind (1985) mengemukakan bahwa dalam proses pemberdayaan masyarakat tidak bisa terlepas dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal individu masyarakat antara lain: Umur, pendidikan, jenis kelamin, jumlah tanggungan, status sosial ekonomi dan pengalaman masa lalu. Faktor

eksternal yang esensial antara lain: Peran penyuluh (fasilitator, motivator, kata-lisator, pendidik, pelatih); lingkungan (fisik, sosial dan ekonomi) dan ketersediaan dana/modal usaha.

Salkind (1985) mengemukakan bahwa pengembangan sumberdaya ma-nusia adalah merupakan upaya untuk mengubah/meningkatkan pengetahuan, si-kap dan keterampilan. Dalam hal ini, haruslah melalui proses dan merupakan suatu usaha peningkatan taraf hidup manusia agar mendapatkan suatu pengakuan

(recognition) individu dalam kehidupan masyarakat. Lembaga pengembangan

swadaya masyarakat, penyuluh dan lembaga keswadayaan bagi individu sebagai wadah dengan bentuk kelompok berperan penting dalam proses pemberdayaan anggota masyarakat dalam rangka mewujudkan kemandirian indi-vidu/masyarakat. Dengan demikian kehidupan berkelompok berperan mem-pengaruhi kemampuan individu mengubah perilaku.

Hal senada dikemukakan oleh Gerungan (1983), faktor eksternal yang dapat mengubah sikap dan perilaku seseorang antara lain adalah: (a) Kekuatan

(force), (b) Perubahan norma kelompok, (c) Perubahan “membership group,” (d)

Perubahan “reference group,” dan (e) Pembentukan kelompok baru.

Menurut Padmowihardjo (1994), kemampuan umum untuk belajar akan bagi seseorang berkembang secara gradual semenjak dilahirkan sampai saat kedewasaan. Seseorang pada usia 15 – 25 tahun akan belajar lebih cepat dan berhasil mempertahankan retensi belajar, jika diberi bimbingan dalam

pembelajaran yang baik. Kemampuan ini akan berkembang dan tumbuh maksimal pada usia 45 tahun. Kemampuan belajar akan nyata berkurang setelah usia 55 sampai 60 tahun.

Menurut Winkel (1990), pendidikan merupakan proses pembentukan wa-tak seseorang sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara berting-kah laku. Dengan demikian, tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi kemampuan mengubah perilaku.

Karakteristik Sistem Sosial Pengertian Sistem Sosial

Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pemberdayaan, tingkat peme-nuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani dalam beragribisnis adalah faktor sistem sosial. Agen pemberdaya (termasuk penyuluh dan pendamping) dan petani, hidup dan beraktivitas dalam suatu sistem sosial tertentu, secara otomatis akan mempengaruhi kualitas pemberdayaan dan akhirnya mempengaruhi tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis.

Foster (1973) menyatakan bahwa kegiatan manusia dalam kelompok sosial dipengaruhi oleh sistem sosial, budaya dan psikologi kelompok atau masyarakat tempat orang tersebut berada. Sistem sosial mengatur bagaimana hubungan di antara anggota-anggotanya, bagaimana status dan peranan masing-masing ang-gota, serta hak dan kewajibannya. Sistem budaya mengatur perilaku anggota-angota kelompok, dimana perilaku tersebut harus mengikuti norma-norma yang berlaku. Sistem psikologi berhubungan dengan bagaimana individu mereaksi atau merespon stimulus dari luar dirinya dalam situasi kelompok tertentu. Sistem psikologi ini meliputi: pengetahuan, persepsi, aspirasi, sikap, motivasi, harapan-harapan dan aspek-aspek pengalaman hidup seseorang.

Sistem sosial dan budaya sering digunakan secara bergantian, karena kedua konsep tersebut saling dekat dan saling pengaruh mempengaruhi. Sistem sosial menekankan cara kelompok terbentuk dan terorganisasi, macam bentuk hubungan antar mereka dalam hidup bersama, status dan stratifikasi sosial dan

bentuk-bentuk pranata sosial lainnya. Sistem budaya lebih menekankan pada atu-ran atau norma-norma yang memberi arah perilaku anggotanya. Oleh Foster diakui bahwa pembatasan tersebut masih kurang jelas dan kabur, sehingga para ahli lebih mudah memandang konsep tersebut dalam pengertian yang saling men-cakup, yaitu konsep sosial-budaya (socio-cultural).

Sistem sosial adalah suatu set (satuan) kehidupan sosial yang tersusun dari unsur-unsur yang satu sama lainnya saling berhubungan dan pengaruh mem-pengaruhi (Sanders, 1958; Berlo, 1961; Havelock & Huberman, 1977). Sistem berkembang dalam suatu situasi tertentu sambil terus mencari bentuknya yang lebih sempurna.

Loomis (1964) menyebutkan adanya sembilan unsur dalam sistem sosial, yaitu: (1) Tujuan dari sistem sosial; (2) Kepercayaan atau belief; yaitu keperca-yaan yang menyangkut aspek kognitif atau aspek intetellectual ability; (3) Sentimen, yaitu perasaan tertentu diantara para anggota yang dapat mempengaruhi pola interaksinya, sehingga sentimen ini lebih menyangkut aspek afektif atau emosi; (4) Norma, yaitu standar perilaku atau perilaku-perilaku yang telah dapat diterima oleh orang-orang dalam sistem sosial itu, dimana norma itu ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis; (5) Sanksi, yaitu sitem pemberian penghargaan atau hukuman yang berhubungan dengan perilaku yang ditunjukkan seseorang, dimana sanksi ini selalu ada hubungan dengan norma; (6) Kedudukan dan peranan, yaitu kedudukan dan peranan yang jelas dari anggota dalam sistem sosial; (7) Kekuasaan/pengaruh, yaitu adanya struktur kekuasaan yang jelas, sehingga ada struktur kewenangan yang jelas pula; (8) Stratifikasi sosial, yaitu lapisan-lapisan sosial yang ada dalam masyarakat dan (9) Fasilitas, yaitu segala macam alat dan wahana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, baik perangkat keras (hard ware) dan perangkat lunak berupa peraturan/perundang-undangan, dan lain-lain (soft ware).

Selain sembilan unsur tersebut, Betrand (1974) menambahkan satu unsur lagi yaitu “stres and strain.” Stress dan strain yaitu, tegangan yang timbul di dalam sistem sosial yang berguna untuk menimbulkan penguatan atau persatuan diantara anggota sistem.

Perubahan dalam Sistem Sosial

Perubahan dalam sistem sosial dapat menuju ke arah yang positif dan negatif. Berbagai tipe perubahan sistem menurut Havelock dan Huberman (1977) adalah sebagi berikut:

(1) Perubahan terjadi sebagai akibat datangnya masukan baru, berupa informasi, ide atau teknologi baru.

(2) Perubahan yang disebabkan karena kegagalan sistem dalam mencapai ke-seimbangan.

(3) Perubahan dalam rangka proses mencari bentuk baru sebagai sistem secara keseluruhan.

(4) Perubahan karena sistem lama telah lapuk, sebagai akibat erosi kebudayaan. (5) Perubahan yang terjadi karena pengaruh penggunaan barang-barang impor. (6) Perubahan yang terjadi karena fusi dengan sistem sosial lain.

(7) Perubahan yang terjadi karena adanya ide baru yang bertujuan menyem-purnakan sistem, atau dalam rangka menciptakan sistem baru yang lebih sempurna.

Dalam perubahan sistem sosial, dapat terjadi hambatan-hambatan yang memperlambat terjadi perubahan. Bennis, et al (1969) menyebutkan dua faktor penghambat terhadap perubahan dalam sistem sosial, pertama adalah hambatan pribadi dan kedua adalah hambatan dalam sistem sosial itu sendiri. Hambat-an pribadi meliputi:

(1) Homeostatis, yaitu sifat pribadi yang ingin tetap seperti pada keadaan semula. (2) Kebiasaan atau adat yang tidak menginginkan perubahan.

(3) Persepsi anggota sistem sosial yang masih rendah. (4) Sifat ketergantungan pada seseorang.

(5) Sifat super ego, yaitu dirinya merasa sudah menguasai dan merasa tahu, sehingga tidak bersedia menerima pengetahuan yang datang dari luar.

(6) Sifat regresi, yaitu tidak mau memandang ke depan, justeru mengagung-agungkan masa lampau.

Hambatan-hambatan dalam sistem sosial, meliputi:

(1) Tidak mau menerima ide perubahan karena keterikatannya pada norma sosial. (2) Sifat yang melekat pada sistem budaya yang berlaku (systemic cultural

cohe-rence).

(3) Orang-orang dalam sistem sosial yang vested interest.

(4) Menganggap tabu bila meninggalkan adat/tradisi.

(5) Sifat sistem sosial yang tertutup, yang tidak mau menerima masukan baru dari luar.

Menurut Havelock dan Huberman (1977), ada tujuh faktor penghambat perubahan dalam sistem sosial, yaitu:

(1) Hambatan geografis. Hambatan ini misalnya terjadi pada daerah terpencil, dengan sarana transportasi yang sulit, sehingga penyampaian informasi terganggu. Demikian pula terjadi kelambatan dalam penyampaian bahan-bahan yang diperlukan bagi inovasi.

(2) Hambatan historis. Misalnya, sistem pendidikan kolonial yang tidak tepat dalam menyediakan tenaga kerja yang terampil. Sistem kelembagaan kema-syarakatan yang didominasi kelompok elit yang telah berlangsung lama. (3) Hambatan ekonomis. Hambatan ini berupa kurang dimilikinya dana dan

modal yang diperlukan bagi inovasi atau ide baru untuk perubahan.

(4) Hambatan dalam prosedur. Hambatan ini berupa tiadanya koordinasi yang mapan antar pemegang peranan atau lembaga maupun aparat yang akan melaksanakan perubahan. Sebagai akibatnya, bahan-bahan atau pekerjaan bagi pembangunan tidak selesai pada waktunya.

(5) Hambatan personal. Hambatan ini tidak tersedianya tenaga-tenaga ahli dan terampil serta memiliki dedikasi tinggi yang diperlukan dalam pemba-ngunan.

(6) Hambatan sosio-kultural. Misalnya, terdapat pertentangan ideologi, per-tentangan kelas-kelas dalam masyarakat, perasaan menyerah pada nasib, serta sifat-sifat tradisi masyarakat yang ingin mempertahankan kebiasaannya.

(7) Hambatan politik. Misalnya, kurang terjalinnya komunikasi yang baik antara pemimpin-pemimpin politik, antara pemimpin politik dengan peguasa nega-ra, cara pengambilan keputusan yang terlalu terpusat, kurang kesempatan berpartisipasi, padahal masyarakat menghendaki diikut sertakan dalam proses pengambilan keputusan. Juga hambatan-hambatan karena kurangnya dukungan penguasa formal dalam gerakan masyarakat setempat.

Masyarakat Petani sebagai Suatu Sistem Sosial

Petani berta keluarganya umunya tinggal di pedesaan atau di pinggiran kota. Petani dan lingkungan tempat tinggalnya adalah suatu sistem sosial. Sistem sosial tersusun dari sejumlah unsur yang mengatur tata kehidupan sistem yang bersangkutan. Masyarakat desa, merupakan kehidupan bersama dan mendiami suatu wilayah tertentu, juga memiliki sejumlah unsur sistem sosial. Unsur-unsur itulah yang mengatur pola hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain, yang membangun struktur, yang mengatur pembagian tugas, yang membagi peranan, yang menentukan sanksi sosial dan sebagainya.

Menurut Sanders (1958), masyarakat desa (yang di dalamnya ada petani) dapat dipandang sebagai tempat pemukiman bersama (community as settlement). Sebagai pemukiman bersama, masyarakat terdiri dari sejumlah penduduk, terdiri dari berbagai macam bentuk pekerjaan dan layanan sosial, memiliki jaringan komunikasi tertentu, memiliki tradisi dan sistem nilai tersendiri, memiliki lapisan atau struktur, memiliki kelompok-kelompok sosial sebagai wadah mengekspresikan kehendaknya, merupakan wadah untuk mengadakan interaksi satu sama lain, memiliki sistem dan mekanisme kontrol yang akan mengatur perilaku anggotanya dan masyarakat terserbut selalu terjadi perubahan sosial.

Sanders (1958) juga mengemukakan bahwa masyarakat (termasuk petani) dalam kegiatannya, disamping dilandasi oleh ciri-ciri sebagaimana disebutkan di atas, masyarakat ditandai oleh adanya usaha untuk kaderisasi, proses sosialisasi, alokasi dari sesuatu yang dianggap berharga (prestige), mobilitas sosial, integrasi dari perilaku melalui proses penyesuaian (pembudayaan) dan adanya kepemimpinan yang akan mengatur dan mengorganisasi semua kegiatan.

Menurut Sanders (1958), masyarakat sebagai suatu sistem sosial terdiri dari sub-sub sistem. Sub-sub sistem masyarakat pedesaan terdiri dari sub sistem : (1) Kehidupan keluarga, (2) Pemerintahan, (3) Ekonomi, (4) Agama dan (5) Pendidikan. Sub-subsistem tersebut dalam keseluruhan sistem saling

bungan dan saling pengaruh mempengaruhi. Hubungan saling pengaruh antar sub sistem tersebut digambarkan Sander seperti terlihat pada Gambar 2.

Pengaruh Kepemimpinan dalam Sistem Sosial

Kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi oleh pimpinan agar anggota mau mengikuti pengarahannya (Slamet, 2004). Pengaruh kepemimpinan merupakan tingkat kekuatan yang melekat pada diri seorang pemimpin. Orang yang memiliki kepemimpinan yang kuat, akan memiliki pengaruh yang lebih besar pula. Hammer dan Organ (1978), menyebutkan bahwa pengaruh kepe-mimpinan bersumber kepada: (1) Otoritas, (2) Keahlian/kecakapan (expertise) dan (3) Sifat kesetiakawanan (friendship).

Ekonomi Agama Pemerintahan Keluarga Pendidikan Kelas Keterangan Gambar:

Menurut Gambar tersebut, sebelah kanan terdapat “Kelas” dengan 5 anak panah dua ujung. Artinya, bahwa kelas-kelas atau lapisan dalam masyarakat melintasi kelima komponen yang lain. Dalam gambar lintasan tersebut tidak diperlihatkan secara jelas, untuk menghindari keruwetan gambar.

Gambar 2. Saling Hubungan antar Sub Sistem dari Sistem Sosial Masyarakat Pedesaan (Sanders, 1958)

Dalam hubungannya dengan usaha penyebaran inovasi dan peranan pe-mimpin dalam pembangunan pertanian dalam suatu sistem sosial, Havelock

(1971) dan Rogers & Shoemaker (1971) mengemukakan sejumlah peranan pe-mimpin masyarakat, yaitu:

(1) Merangsang dan mengajak para pengikutnya untuk mencari, menyebar dan mengadopsi inovasi.

(2) Mengarahkan pengikutnya untuk melakukan kontak dengan unit sistem sosial yang lain yang lebih maju.

(3) Mengatur suasana dan iklim dalam sistem, sehingga terjadi hubungan yang harmonis antar anggota.

(4) Membangun dan membagi peranan di dalam sistem, sehingga setiap anggota mengetahui dan menyadari tugasnya masing-masing.

(5) Mempengaruhi dan mengajak pengikutnya untuk menghargai dan meman-faatkan setiap ide baru yang datang dari luar.

(6) Menciptakan suatu struktur di dalam sistem sosial yang memungkinkan ada-nya hubungan yang saling memotivasi, sehingga terjadi hubungan saling pengaruh mempengaruhi yang bermanfaat dan saling menguntungkan (social learning interaction).

Konsep-konsep Pemberdayaan Pengertian Pemberdayaan

Menurut Hikmat (2001), pada awal gerakannya konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masya-rakat. Proses pemberdayaan hakekatnya dapat dipandang sebagai depowerment

dari sistem kekuasaan yang mutlak absolut (intelektual, religius, politik, ekonomi dan militer). Konsep ini digantikan oleh sistem baru yang berlandaskan idiil manusia dan kemanusiaan (humanisme). Doktrin dari konsep ini sama dengan aliran fenomologi, ekstensialisme dan personalisme yang menolak segala bentuk power yang bermuara hanya pada proses dehumanisasi eksistensi manusia.

Menurut Pranarka dan Moeljarto (Prijono dan. Pranarka, 1996), pema-haman konsep pemberdayaan oleh masing-masing individu secara selektif dan kritis dirasa penting, karena konsep ini mempunyai akar historis dari perkem-bangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat. Perlu upaya mengakul-turasikan konsep pemberdayaan tersebut sesuai dengan alam pikiran dan kebudayaan Indonesia. Selanjutnya, dijelaskan pula oleh Pranarka dan Moeljarto,

empowerment hanya akan mempunyai arti kalau proses pemberdayaan menjadi bagian dan fungsi dari kebudayaan, yaitu aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia dan bukan sebaliknya menjadi hal yang destruktif bagi proses aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia. Dalam menghadapi era globalisasi dan demokratisasi, sumberdaya manusia perlu dipersiapkan agar mampu menghadapi tantangan masa depan.

Apa pengertian pemberdayaan? Pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata empower (memberdayakan). Menurut Merriam Webster dan Oxford

English Dictionery (Prijono dan Pranarka, 1996), kata “empower” mengandung

dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or authority to dan pengertian kedua berarti to give ability to or enable. Dalam pengertian pertama, diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan.

Menurut Pranarka dan Moeljarto (Prijono dan Pranarka, 1996), berda-sarkan penelitian kepustakaan, proses pemberdayaan mengandung dua kecen-derungan: (1) Proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberi-kan atau mengalihmemberi-kan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Menurut Oakley & Marsden (1984), proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kecen-derungan atau proses yang pertama tadi dapat disebut sebagai kecenKecen-derungan

primer dari makna pemberdayaan, dan (2) Kecenderungan sekunder mene-kankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Seringkali terwujudnya kecenderungan primer harus didahului kecenderungan sekunder. Kecenderungan yang kedua ini dalam proses pengembangan idenya banyak dipengaruhi oleh karya Paulo Freire.

Menurut Padmowihardjo (2005), makna sebenarnya dari pemberdayaan adalah “to give official authority or legal power, capacity, to make one able to do

something.” Dengan demikian pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu

pro-ses kapasitasi atau pengembangan kapasitas sumberdaya manusia. Dengan kapa-sitasi seseorang akan memiliki kekuatan (daya) atau kewenangan yang diakui

secara official atau legal sehingga orang tersebut tidak termarginalisasi, melainkan sadar akan harga dirinya, harkatnya dan martabatnya.

Robinson (1994) memperjelas konsep pemberdayaan dengan mengemu-kakan bahwa:

"Empowerment is a personal and social process, a liberating sense of one’s own strengths, competence, creativity and freedom of action; to be empowered is to feel power surging into one from other people and from inside, specifically the power to act and grow, to become, in Paolo Freire’s terms, “more fully human.”

Payne (1997) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan, pada intinya ditujukan untuk:

“to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and self confidence to use power and by

transferring power from the environment to clients”.(membantu klien

memperoleh daya)

Shardlow (1998) mengemukakan bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan meng-usahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka (such a definition of empowerment is centrally about people taking control of their own lives and having the power to shape their own future).

Menurut Ife (1995) tentang pemberdayaan mengemukakan bahwa:

“Empowerment means providing people with the resource, opportunities, knowledge and skill to increase their capacity to determine their own future and participate in and affect the life of their community.”

Ife (1995), menambahkan bahwa “empowerment aims to increase the

power of the disadvantaged.” Chambers (1987) menambahkan, bahwa konsep

pemberdayaan masyarakat memiliki tiga sifat utama, yaitu: berpusat pada manu-sia, partisipatoris dan berkelanjutan.

Menurut Slamet (2003), pemberdayaan masyarakat merupakan ungkapan lain dari tujuan penyuluhan pembangunan. Pemberdayaan masyarakat adalah sua-tu usaha membuat masyarakat mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi.

Syarat Pemberdayaan

Sajogyo (1999) mengemukakan bahwa untuk merangsang lahirnya gerak-an masyarakat ygerak-ang bermula pada komunitas lokal, ada sejumlah syarat ygerak-ang harus dipenuhi. Tiga syarat tersebut adalah:

(1) Restrukturisasi kelembagaan dasar komunitas. Tatanan dasar yang mengatur

Dokumen terkait