• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Kompos Serbuk Gergaji

Limbah kayu berupa serbuk gergaji merupakan hasil samping pengolahan biomassa kayu berserat yang mengandung lignoselulosa dan fraksi organik tinggi. Sejumlah teknologi telah diupayakan untuk memanfaatkan limbah ini misalnya dengan pembuatan arang, kompos atau media tanam jamur komersil (jamur tiram, jamur kayu, shitake, dan lain-lain) dan seiring dengan semakin meningkatnya harga bahan bakar pemanfaatan serbuk gergaji sebagai bahan bakar pun semakin meningkat disamping juga digunakan sebagai bahan organik campuran pada pembuatan kompos (Gusmailina 2002; Komarayati 1996; Pari 2002). Teknologi pemanfaatan serbuk gergaji masih perlu untuk ditingkatkan aplikasi dan prosesnya sehingga mudah diadopsi serta diperlukan secara luas oleh masyarakat sehingga penumpukan limbah ini pun dapat teratasi oleh masyarakat luas. Menurut Pari (2002) limbah penggergajian ini pada kenyataannya di lapangan masih banyak yang ditumpuk dan bahkan sebagian dibuang ke aliran sungai yang menyebabkan pencemaran air atau dibakar langsung sehingga ikut menambah emisi karbon di atmosfer dan berdampak buruk bagi lingkungan.

Biokonversi serbuk gergaji merupakan salah satu alternatif pemanfaatan serbuk gergaji menjadi kompos melalui proses perubahan bahan organik kompleks menjadi bahan organik sederhana dengan bantuan mikroba melalui proses fermentasi anaerob yang dapat digunakan secara langsung atau dicampurkan sebagai media pertumbuhan tanaman (Komarayati 1996). Proses ini dikenal dengan metode bokashi yang telah dikenal sejak lama di Jepang. Secara tradisional bokhasi dibuat dengan cara memfermentasikan bahan organik dengan tanah dari hutan atau gunung yang mengandung berbagai jenis mikroba dekomposer aktif misalnya gambut (peat).

Gambut (peat) merupakan salah satu jenis tanah yang pembentukannya berasal dari proses dekomposisi tumbuhan yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama melalui proses immobilisasi dan mineralisasi yang juga dipengaruh oleh kondisi lingkungannya (Lazuardi et al. 2004). Proses dekomposisi tumbuhan dalam pembentukan gambut berlangsung dengan bekerjanya satwa tanah dan

mikroba tanah sehingga terjadi peruraian bahan organik tumbuhan menjadi mineral yang tersedia bagi tumbuhan (Sukandarrumidi 2004).

Pemberian bahan organik ke dalam tanah memberikan dampak yang baik terhadap rizosfer akar. Tanaman akan memberikan respon yang positif bila rizosfer sebagai tempat berkembangnya akar memberikan habitat yang baik untuk pertumbuhan perakarannya. Penggunaan bahan organik telah terbukti banyak meningkatkan pertumbuhan tanaman (Rao 1994). Hasil penelitian Suryani (2007) memberikan kompos pada tanaman jeruk dapat meningkatkan ketersediaan hara dan aktifitas cacing tanah serta meningkatkan jumlah buah yang dihasilkan.

Muller-Samann dan Kotschi (2000) dalam Suryani (2007) menyimpulkan empat fungsi penting kompos, yaitu :

a. Fungsi nutrisi, unsur hara kompos lebih lengkap karena mengandung unsur hara makro sekaligus unsur hara mikro yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan tanaman walaupun dalam jumlah yang sedikit.

b. Memperbaiki kondisi tanah baik sebagai akibat peningkatan populasi dan aktifitas mikroba serta peningkatan presentase bahan organik tanah. c. Meningkatkan daya tahan tanaman terhadap hama dan penyakit.

d. Secara ekologis penggunaan kompos akan mengurangi timbunan sampah, mengurangi pencemaran dan peningkatan perbaikan sanitasi. Disamping itu pula pemakaian kompos sebagai media tanam akan mengurangi pemakaian topsoil atau pengambilan humus pada lantai hutan, mengurangi pencemaran akibat pemakaian pupuk kimia dan obat-obatan yang berbahaya, meningkatkan kesuburan lahan dan serapan air.

Menurut Susanto (2002) penggunaan kompos (pupuk organik) juga memiliki kelemahan, diantaranya adalah :

a. diperlukan dalam jumlah sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan unsur hara dari suatu pertanamanan

b. hara yang dikandung untuk bahan yang sejenis sangat bervariasi

c. bersifat ruah (bulky), baik dalam pengangkutan maupun penggunaannya di lapangan

d. kemungkinan akan menimbulkan kekahatan unsur hara apabila bahan organik yang diberikan belum cukup matang

Kompos cenderung berperan menjaga fungsi tanah agar unsur hara dalam tanah mudah dimanfaatkan oleh tanaman untuk menyerap unsur hara yang tersedia selain juga mengandung unsur hara yang lengkap. Komponen kompos yang paling berpengaruh terhadap sifat kimia tanah adalah kandungan humusnya. Humus yang menjadi asam humat atau jenis asam lainnya dapat melarutkan zat besi (Fe) dan aluminium (Al). Kedua unsur ini mengikat senyawa pospat yang merupakan sumber phospor bagi tanaman. Apabila pospat ini diikat oleh besi atau aluminium akibatnya tidak dapat diserap tanaman. Namun adanya asam humat yang dapat melarutkan Fe dan Al, senyawa phospat akan lepas dan menjadi senyawa pospat tersedia yang dapat terserap tanaman (Rao 1994; Dirjen Dikti 1991)

2.2 Bahan Pembenah Tanah Konsep penggunaan bahan pembenah tanah adalah :

a. Pemantapan agregat tanah untuk mencegah erosi dan pencemaran

b. Merubah sifat hidrofobik atau hidrofilik sehingga merubah kapasitas tanah menahan air

c. Meningkatkan KTK (kapasitas tukar kation tanah)

Bahan pembenah tanah dibedakan menjadi 2 yaitu alami dan sintetis (buatan pabrik), dan berdasarkan senyawa pembentuknya juga dapat dibedakan dalam 2 kategori yaitu : pembenah tanah organik (termasuk hayati) dan pembenah tanah anorganik.

Beberapa bahan pembenah tanah juga mampu mensuplai unsur hara tertentu meskipun jumlahnya relatif kecil dan seringkali tidak semua unsur hara terkandung dalam bahan pembenah tanah yang digunakan.

Penggunaan bahan pembenah tanah pada banyak penelitian telah terbukti menunjukkan hasil positif pada pertumbuhan dan peningkatan produktifitas (hasil) tanaman baik tanaman pertanian, hortikultur maupun kehutanan. Bahan pembenah tanah organik berupa pupuk kandang, pupuk hijau, kompos sisa tanaman dan lain sebagainya telah dibuktikan efektifitasnya baik untuk memperbaiki sifat fisik kimia dan biologi tanah. Namun penggunaan bahan-bahan tersebut belum bisa dikembangkan pada level petani karena bahan tersebut harus melalui proses terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan, disamping itu penggunaan pembenah

tanah ini dirasakan kurang memberikan hasil yang lebih banyak oleh petani dibandingkan pupuk buatan (Sutanto 2002).

Berbagai bahan baik alamiah maupun buatan yang dapat digunakan sebagai bahan pembenah tanah disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Jenis-jenis bahan pembenah tanah

Nama bahan pembenah Jenis

Sintetis :

VAMA (maleic anhidride-vinyl acetate copolimers) organik HPAN (Partly hydrozed polyacrilonitrill) An organik

SPA (sodium polyacryl) An organik

PAAm?PAM Organik

Poly-DADMAC An organik

Hydrostock An organik

Alami :

Emulsi aspal (bitumen) An organik

Lateks, skim lateks Organik

Kapur pertanian An organik

Fosfat alam An organik

Blotog Organik

Sari kering limbah (SKL) Organik

Zeolit An organik

Bahan organik dengan C/N rasio 7-12 organik

Sumber : Puslitbangtanak 2008

Oleh karena itu bila bahan pembenah tanah akan digunakan dalam usaha peningkatan pertumbuhan dan produktifitas tanaman maka diperlukan pemilihan bahan pembenah yang murah, mudah, bersifat insitu dan terbarukan. Selain itu pula penggunaan bahan pembenah tanah harus memperhatikan dampak negatifnya terhadap lingkungan, diperhatikan pula faktor ketersediaan dan jaminan mutu serta harga. Persyaratan teknis bahan pembenah tanah yang dianjurkan seperti tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Persyaratan teknis bahan pembenah tanah

Sumber : Puslitbangtanak, 2008

No Parameter Satuan Persyaratan

1. Bahan aktif (sintetis) * % Dicantumkan

2. KTK ** C mol(+)/kg >80

3. pH >4

4. Kadar logam berat

As ppm <10

Hg ppm <1

Pb ppm <50

Keberadaan lahan yang mengalami degradasi semakin meningkat dari tahun ketahun baik luasan maupun tingkat degradasinya seperti pada bekas lahan tambang batu bara yang menghilangkan seluruh topsoil tanah. Menurut Puslitbangtanak (2008) menunjukkan 11 propinsi di Indonesia terdapat 10.94 juta ha lahan kritis oleh karena itu penggunaan pembenah tanah sangat diperlukan untuk mempercepat laju pemulihan lahan-lahan tersebut.

2.2.1 Arang

Salah satu alternatif yang dapat dikembangkan dan mempunyai prospek sebagai bahan pembenah tanah untuk memperbaiki kondisi lahan yang rusak dan kritis adalah dengan memperbaiki kesuburan tanah yang dapat dilakukan dengan menggunakan/penambahkan arang baik pada tingkat semai di persemaian maupun di lapangan sehingga tanah tidak mengalami kekurangan hara akibat pemanenan dan selalu siap sebagai media tumbuh tanaman. Menurut Gusmailina et al. (2000) keuntungan yang akan diperoleh dengan pemberian arang antara lain : memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah sehingga dapat merangsang pertumbuhan akar serta memberikan habitat yang baik untuk pertumbuhan tanaman; mampu meningkatkan pH tanah yang akan memperbaiki sirkulasi air dan udara serta berfungsi sebagai media untuk mengikat karbon dalam tanah (Herdiana et al. 2008); memudahkan terjadinya pembentukan dan peningkatan jumlah spora baik ekto maupun endomikoriza.

Beberapa penelitian menunjukkan penambahan arang sebagai soil conditioning memberikan respon yang positif terhadap pertumbuhan tanaman. Gusmailina et al. (2000) menambahkan 20% arang kulit kayu tusam dan 30% arang kulit Acacia mangium mendapatkan pertambahan diameter batang semai Eucalyptus urophylla selama 4.5 bulan sebesar 0.56 cm dan pertambahan tinggi sebesar 16.75% dan 16.96%.

2.2.2 Batu Bara

Batubara (coal) terbentuk dengan sangat kompleks dan memerlukan waktu yang lama (puluhan sampai ratusan juta tahun) dari terendapnya tumbuhan yang telah mati dengan komposisi utama dari sellulosa kemudian tertutup oleh lapisan

sedimen dan mengalami proses coalification. Proses pembentukan batubara atau coalification merupakan proses fisika dan kimia alam yang akan mengubah sellulosa menjadi lignit, subbitumine, bitumine dan antrasit. Terdapat banyak faktor yang diperlukan dan mempengaruhi pembentukan batubara, yaitu : posisi geotektonik, topografi (morfologi), iklim, penurunan, dan pengendapan, umur geologi, tumbuh-tumbuhan, dekomposisi, sejarah setelah pengendapan, struktur cekungan batubara, metamorfosis organik (Sukandarrumidi 2004).

Reaksi pembentukan batubara digambarkan sebagai berikut :

5(C6H10O5) C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O +6CO2 +CO sellulosa lignit gas metan

5 (C6H10O5) C20H22O4 + 3CH4 +8H2O + 6CO2 + CO sellulosa bitumin gas metan

Batubara mengandung bahan yang mudah terbakar dan bahan yang tidak mudah terbakar yang disebut abu. Bahan yang mudah terbakar terdiri dari carbon terikat, senyawa hidrocarbon, sulfur, nitrogen, dan pospor; bahan abunya terdiri dari : SiO2,Al2O3, Fe2O3, CaO dan alkali (Trimasonjaya 2008).

Batubara merupakan proses lanjut dari pembentukan tanah gambut dimana dengan kandungan carbon terikat yang cukup tinggi seperti juga halnya arang, mungkin dengan bahan penyusun yang relatif sama ini memberi peluang pemanfaatan batubara untuk dapat berperan dalam pertumbuhan tanaman terutama untuk mempersiapkan bibit tanaman yang berkualitas yang juga diharapkan dapat tumbuh survival pada lapangan yang mengandung batubara.

2.3 Jenis Tanaman 2.3.1 Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte (Gaharu) Taksonomi

Gaharu mengacu pada kayu yang memiliki kandungan damar wangi. Produk ini dihasilkan terutama oleh pohon dari genus Aquilaria, Aetoxylon, Enkia, Phaleria, Wilkstroemia dan Gyrinops. Terdapat 15 spesies Aquilaria yang diketahui menghasilkan gaharu dan merupakan jenis gaharu terbaik dengan permintaan terbesar dipasaran salah satunya adalah A. crassna. Berdasarkan ilmu taksonomi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Myrtales Famili : Thymelaeacea

Species : Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte

Diskripsi

Pohon selalu hijau selama hidupnya dengan tinggi mencapai 15-20 m dan diameter 40-50 cm. Daun berbentuk elips atau lanset, ukuran lebar 3-3.5 cm dan panjang 6-8 cm serta memiliki 12-16 pasang tulang daun. Bunganya hermaprodit berwarna kuning kehijauan atau putih. Buah berwarna hijau berbentuk kapsul seperti telur, biasanya berisi 2 benih per buah. Pohon ini memiliki tajuk yang kecil dan batang yang lurus. Jenis ini dapat ditemukan pada berbagai jenis hutan, hutan primer maupun sekunder bahkan pada tanah marginal, pada daerah dengan ketinggian 300-800 mdpl dan curah hujan 1200-2000 mm/th. Tumbuhan ini dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah tetapi cenderung lebih baik pada tanah berbatu dengan lapisan tanah ferralitic yang dangkal.

A. crassna mulai berbunga pada usia 6-8 tahun, antara bulan Maret dan April dan mulai berbuah antara bulan Mei-Juli. Jenis ini mengalami penyerbukan dengan bantuan serangga. Pohon ini memerlukan naungan saat awal pertumbuhan tapi memerlukan cahaya matahari untuk pertumbuhan selajutnya. Budidaya gaharu dapat dilakukan dengan generatif (benih) maupun vegetatif (cabutan dan stek pucuk).

2.3.2 Palaquium sp. (Nyatoh) Taksonomi

Dalam taksonomi tumbuhan, Palaquium sp. dikenal dengan nama daerah Nyatoh atau nama dagang gutta perca. Genus ini terdiri dari 110 spesies yang hampir kesemuanya memiliki nilai ekonomi dari getah yang cukup tinggi. Berdasarkan ilmu taksonomi nyatoh dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae Famili : Sapotaceae

Diskripsi

Pohon tinggi sampai 60-90 m dengan diameter antara 130-250 cm. Batang lurus, bulat bertorak disangga banir kecil dengan mahkota yang tidak lebar, cabang teratur. Daunnya seperti belalang dengan bagian bawah mengilap berwarna seperti emas. Kayunya coklat muda sampai kemerahan, mengkilat, berurat mudah, ringan, mudah dikerjakan, dan bergambar bagus dengan kayu termasuk berkelas awet III. Daun berbentuk oval, tersusun berbentuk spiral. Buahnya hijau bulat sampai memanjang mengandung lemak yang cukup tinggi biasanya panen raya pada bulan Januari-Maret tetapi kadang dari bulan November/Desember pun sudah mulai ada.

Penyebaran

Palaquium sp. tersebar dari bagian barat India dan Sri langka sampai selatan Cina dan Polynesia. Sebagian besar ditemukan di bagian barat Malaysia dan Kalimantan banyak diantaranya merupakan jenis endemik. Ditemukan pula di Semenanjung Malaya, Sumatera dan Papua New Guinea. Tanaman ini dapat tumbuh dari dataran rendah hingga 600 mdpl, terutama di daerah perbukitan dalam hutan dengan tanah kering tetapi ditemukan pula di daerah lumpur dan rawa air tawar, tumbuh tersebar biasanya di lapangan yang agak miring.

Penggunaan

Kayu Palaquium sp. atau nyatoh ini banyak digunakan untuk berbagai kebutuhan sebagai geladak jembatan, kontruksi bagian atas rumah, mebel, alat rumah tangga, papan lantai, kano, kasau, dayung, kasau, balok, dan lain-lain. Yang paling penting adalah getah pohon ini memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, getahnya disebut gutta perca yang digunakan untuk penyekat dan bahan pembungkus kabel bawah laut atau penyekat pada instalasi pabrikan, pembuatan bola golf, alat-alat transmisi, alat elektronik, pipa, wadah tahan asam, dan banyak alat-alat manufaktur pabrik. Buahnya dapat dimakan dan mengandung lemak tinggi yang dapat dibuat mentega nabati, minyak bijinya digunakan untuk

memasak atau bahan pembuatan sabun. Di beberapa daerah getahnya digunakan untuk mencegah atau pengobatan sakit gigi.

2.3.2 Calophyllum sp. (Kapur Naga.)

Taksonomi

Dalam taksonomi tumbuhan, Kapur Naga dikenal dengan nama Calophyllum sp. menurut ahli botani memiliki jumlah jenis yang banyak sekitar 190 spesies. Genus Calophyllum sp. yang memiliki nama dagang bintangur banyak dikenal diberbagai daerah dengan bermacam-macam sebutan, antara lain : bintangur, nyamplung (Indonesia); penaga, bakokol (Malaysia); tharapi, poon (burna); tangbaiyai, m[uf]u (Vietnam). Berdasarkan ilmu taksonomi Calophyllum sp. dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Guttiferales Famili : Guttiferae Diskripsi

Tanaman ini adalah pohon selalu hijau sepanjang tahun, percabangan pendek, tinggi dapat mencapai 40-60 m; dengan diameter batang antara 100-240 cm. Bunga biasanya biseksual tetapi kadang berfungsi uniseksual, stamen jumlahnya banyak terdiri dari 4-16 tepal. Daun berbentuk oval menumpul berurat besar, tebal, berwarna hijau pekat, bagian atas halus karena mengandung lateks. Buahnya buah batu berbentuk bulat agak besar dengan mancung kecil di depannya, berwarna hijau selama masih tergantung pada pohon tetapi menjadi kuning atau berwarna seperti kayu jika sudah luruh. Tiap biji mengandung satu embrio. Bentuk pohon pada awal pertumbuhan biasanya lurus tetapi kemudian agak membengkok atau bungkuk dengan tinggi bebas cabang yang tidak terlalu tinggi. Kayunya agak ringan hingga sedang, seratnya lembut tetapi padat, agak halus strukturnya dan kurang beraturan; kayunya memiliki 2 warna yakni : kelabu kadang bercak pudar semu kuning dan berwarna merah pudar seperti bata setengah terbakar. Kayunya termasuk kayu awet tapi agak sulit dikerjakan,

penggunaannya harus benar-benar dikeringkan karena nilai kerutannya cukup tinggi dan jika terlalu tipis akan melengkung tetapi kayunya tidak mudah pecah dan membelah terkenal awet terutama dalam air laut. Getah batang awalnya bening kekuningan kemudian mengeras menjadi kuning kemerahan.

Penyebaran

Calophyllum sp. sebagian besar spesiesnya ditemukan di Indomalayan, Mikronesia, Malaysia dan bagian utara Australia. Tidak lebih dari 8 spesies ditemukan di Amerika tengah dan selatan; kira-kira 20 jenis ditemukan di Madagaskar dan sekitarnya. Di semenanjung Malaysia ditemukan ± 40 spesies, Sumatra 35 spesies, Kalimantan 65 spesies dan Papua New Guinea 35 spesies yang hampir semuanya endemik (75%). Beberapa jenis ditemukan pula di bagian barat Afrika dan tropika Amerika yang ditanam untuk kebutuhan ornamental.

Jenis ini dapat tumbuh mulai daerah pesisir pantai hingga ketinggian 300 mdpl pada dataran rendah sampai rawa-rawa.

Penggunaan

Calophyllum sp. biasanya digunakan untuk berbagai keperluan plywood, papan, furniture, kontruksi, kapal, dayung, dan lain-lain. Di beberapa tempat digunakan sebagai tiang kapal, geladak, jembatan, dan perencah. Karena sifat kayunya yang tidak mudah pecah sering digunakan sebagai roda gerobak, pipa suling dan alat musik, juga digunakan untuk dekorasi karena penampangnya yang bagus di Papua New Guenea. Getahnya yang beracun digunakan untuk meracun ikan atau tikus, kandungan toksin di batang kayunya dapat digunakan untuk pengobatan khususnya penyakit kulit, bahan ramuan jamu setelah melahirkan dan rematik. Demikian pula daunnya, bunga dan buahnya sering dimanfaatkan masyarakat setempat untuk pengobatan. Bijinya mengandung minyak yang digunakan untuk mengolah batik yang diwarnai, beberapa daerah dibuat minyak untuk penerangan dan bahan pembuatan sabun.

2.4 Fungi Mikoriza Arbuskula

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) sering disebut juga endomikoriza, ada juga yang menggunakan istilah Vesicular Arbuskula Mikoriza (VAM). Istilah

FMA digunakan untuk membedakan tipe mikoriza ini dari ektomikoriza, karena FMA biasanya tidak ada sarung (sheath) miselium cendawan di sekitar akar seperti yang terdapat pada sekeliling akar ektomikoriza. FMA merupakan cendawan yang penyebarannya sangat luas di dunia mulai dari daerah padang pasir, temperet, tropika dan dapat berasosiasi lebih dari 90% tanaman yang ada di bumi. FMA telah diketahui di dalam akar tanaman lebih dari 100 tahun yang lalu, tetapi struktur reproduktifnya baru diketahui 30 tahun terakhir (Santoso dan Turjaman 2006; Setiadi 1989; Sylvia 2005).

Semua FMA tidak mempunyai sifat morfologi dan fisiologi yang sama oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui identitasnya. Walaupun cendawan ini mempunyai sebaran inang yang sangat luas, cendawan ini mempunyai pengaruh yang spesifik juga terhadap jenis tanaman yang terinfeksi. Disamping itu cendawan ini juga mempunyai pengaruh yang bervariasi pada kultivar dalam satu jenis tanaman dan dapat pula berbeda pengaruh terhadap tanaman dalam ekosistem dan jenis tanah yang berbeda serta dalam jenis tanah yang sama tapi berbeda sifat biologinya, kimia, dan fisiknya (Brundrett et al. 1996).

Dalam Smith dan Read (1997) FMA dicirikan dengan adanya vesikula dan arbuskula. Kedua struktur ini sangat berperan dalam hidup FMA. Genus FMA yang mampu membentuk arbuskula yaitu Gigaspora, Scutellospora, Glomus, dan Acaulospora. Arbuskula memiliki peranan penting karena fungsinya sebagai tempat pertukaran metabolit antara tanaman dan cendawan. Fungsi struktur vesikula masih belum ketahui pasti. Banyak pendapat menyebutnya sebagai organ reproduktif atau organ penyimpanan makanan yang selanjutnya diangkut ke sel tempat pencernaan. Saat tanaman tua atau akan mati jumlah vesikel dijumpai akan meningkat. Vesikula dibentuk oleh hifa intraseluler atau interseluler dan dijumpai dalam sel korteks luar. Glomus spp dan Acaulospora spp mempunyai struktur ini. Genus Gigaspora dan Scutellospora memiliki vesikula ekstraradikal dan tidak teratur. FMA tidak semuanya membentuk vesikula dalam akar inangnya.

Ciri-ciri Fungi Mikoriza Arbuskula : 1. FMA menembus dinding sel akar inang

2. Tumbuh diantara dinding sel dan membran sel, membentuk arbuskula (pertukaran karbon/hara)

3. Beberapa spesies tertentu membentuk vesikula (organ penyimpan lemak) 4. Tidak pernah sampai menembus plasmalemma

5. Tidak membentuk mantel disekeliling akar

6. Sebagian besar aseksual tetapi ada juga yang seksual 7. Umumnya membentuk struktur reproduktif mikroskopi

Alasan mengapa FMA dapat meningkatkan penyerapan hara dalam tanah (Abbott dan Robson 1992) yaitu karena FMA dapat :

Mengurangi jarak bagi hara untuk memasuki akar tanaman

Meningkatkan rata-rata penyerapan hara dan konsentrasi hara pada permukaan penyerapan

Merubah secara kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar tanaman.

Berkurangnya jarak penyerapan dari hara yang masuk dengan cara difusi ke dalam akar tanaman menyebabkan terjadinya peningkatan penyerapan unsur hara, kondisi ini banyak terjadi pada tanaman yang mempunyai akar yang kasar, tersebar tipis dan sedikit rambut akarnya. Kapasitas pengambilan hara dapat ditingkatkan jika terjadi kolonisasi mikoriza pada akar karena waktu hidup akar yang dikolonisasi FMA menjadi lebih diperpanjang, ukuran percabangan serta diameter akar diperbesar dan luas permukaan absorpsi akan diperluas. Hormon pertumbuhan seperti auksin, sitokinin, dan giberelin bagi tanaman dapat juga meningkat. Akar sebagai penyerap unsur hara dan air akan bertahan lebih lama karena dengan meningkatnya auksin proses penuaan akar menjadi lambat (Delvian 2003).

Ketahanan tanaman terhadap patogen akar akan meningkat dengan adanya lapisan hifa mikoriza yang merupakan pelindung fisik masuknya patogen. Dalam proses kolonisasinya cendawan ini akan melepaskan antibiotik mematikan selain itu pula semua hasil eksudat tanaman yang dikeluarkan akan dimanfaatkan sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok bagi patogen.

Resistensi terhadap kekeringan lebih baik pada tanaman yang bermikoriza daripada yang tidak bermikoriza. Tanaman bermikoriza akan cepat kembali pulih setelah periode kekeringan berakhir karena hifa FMA masih mampu menyerap air pada pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah tidak mampu. Hifa dapat mengambil air relatif lebih banyak karena penyebarannya di dalam tanah sangat luas (Munyanziza et al. 1997 dalam Mawardi 2004).

Setiadi (2000) Fungi mikoriza arbuskula dapat diisolasi dari tanah masam hingga alkalin pH 2.7-9.2 beberapa spesies memiliki kisaran pH optimum yang luas. Bagaimanapun sebagian besar beradaptasi pada kondisi pH dari FMA tersebut diisolasi. Acaulospora laevis dijumpai pada pH 4-4,5 dan tidak dijumpai

Dokumen terkait